Tujuan kegiatan dan Indikator Keberhasilan No

Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Teknologi, MIPA dan Pendidikan Vokasi 557

3. Manfaat kegiatan

Manfaat kegiatan program IbM dapat ditinjau dari dua aspek sebagai berikut : a. Aspek Ekonomi Pogram penerapan IPTEKS ini menjadi amat strategis karena pada saat ini Indonesia berada pada suatu kondisi ‖lampu merah‖ dari segi ketahanan pangan nasional. Salah satu upaya untuk menanggulangi masalah tersebut adalah dengan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga yang pada akhirnya akan meningkatkan ketahahan pangan dalam skala yang lebih luas yaitu di tingkat regional dan nasional. Kemampuan membeli atau ―daya beli‖ merupakan indikator dari tingkat sosial ekonomi seseorang atau keluarga. Pembelian merupakan fungsi dari faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling menjalin .Kurangnya ketersediaan pangan keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan b. Aspek Pengembangan IPTEKS Manfaat dari progam penerapan IPTEKS adalah adanya model program peningkatan ketahanan pangan rumah tangga keluarga dengan fokus pada program keterampilan untuk memilih, mengolah, dan menyajikan makanan dengan prinsip healthy safety food yang pada akhirnya akan membantu meningkatkan ketahanan pangan dalam skala yang lebih luas regional dan nasional.

4. Tinjauan Pustaka

Ketahanan Pangan Rumah Tangga sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition ICN yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefinisikan bahwaμ ―Ketahanan pangan rumah tangga Household food security adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari- hari‖. Hasan dalam Andnyana 2005 bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Teknologi, MIPA dan Pendidikan Vokasi 558 Pangan dinyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Maxwell 2000 menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan. Indikator dampak digunakan sebagai cerminan konsumsi pangan yang meliputi dua kategori yaitu secara langsung yakni konsumsi dan frekuensi pangan dan secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Dari uraian diatas menggambarkan bahwa ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi yaitu meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Dalam konteks ketahanan rumah tangga ada hal mendasar yang perlu diperhatikan yaitu bahwa untuk mencapai tingkat ketahanan pangan rumah tangga yang baik, maka perlu diperhatikan aspek gizi yang memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Untuk mencapai kriteria tersebut, maka memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam memilih, mengolah, dan menyajikan makanan untuk keluarga. Uraian di atas baru membahas konsep ketahanan pangan keluarga dalam konteks yang bersifat teoritis, belum detail mencakup aspek praktis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dibuat suatu model pengelolaan makanan untuk tingkat rumah tangga dengan prinsip healthy safety food . Untuk mengukur tingkat ketahanan pangan rumah tangga, ada beberapa teori yang dipakai . Menurut Chung dalam Andnyana 2005, untuk mengukur ketahanan pangan rumah tangga yang digolongkan ke dalam food secure tahan Pangan dan food insecure rawan ketahanan pangan dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran dari indikator out put yaitu konsumsi pangan intik energi atau status gizi individu khususnya wanita hamil dan baduta. Rumah tangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika tingkat konsumsi energi lebih rendah dari cut off point atau TKE 70 Zeitlin Brown, 1990. Di Indonesia Soeharjo 1996 juga telah menetapkan pengukuran ketahanan pangan rumah tangga dari tingkat konsumsi energi dan protein. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energy dari