PROSIDING KNHTN 3

(1)

(2)

PROSIDING

KONFERENSI NASIONAL HUKUM TATA NEGARA Ke-3

DEMOKRATISASI PARTAI POLITIK DI INDONESIA

Padang-Bukittinggi, 5-8 September 2016

EDITOR:

Feri Amsari, S.H., M.H., L.LM. Charles Simabura, S.H., M.H. Khairul Fahmi, S.H., M.H.

TIM PENYUSUN:

M Nurul Fajri, S.H., M.H. Mochtar Hafiz., S.H.

DITERBITKAN OLEH:

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Gedung Bersama, Lt. 2 Fakultas Hukum Universitas Andalas

Kampus Limau Manis, Padang Email: sekretariat@pusako.or.id Telp/Fax: (0751) 775692


(3)

KATA PENGANTAR

Berangkat dari pengalaman Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-1 dan ke-2, Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 memang direncanakan dan diupayakan untuk dapat secara langsung melibatkan pihak-pihak yang notabene merupakan para pengambil keputusan atau yang mempengaruhi dalam setiap-setiap pengambilan keputusan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Agar hasil dari kegiatan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 ini mendapatkan muara yang tepat dan sesuai dengan apa yang dharapankan. Dengan mengangkat tema Demokratisasi Partai Politik di Indonesia , sedari awal agenda Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 telah menargetkan untuk memberikan ruang seluas-luasnya namun berimbang kepada semua pihak untuk menentukan arah demokratisasi di tubuh partai politik. Sehingga tujuan dari penyelenggaran konferensi ini sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan terciptanya demokratisasi di tubuh partai politik di Indonesia bergulir dari pelbagai arah.

Mulai dari Wakil Presiden, HM. Jusuf Kalla, Menteri Dalam Negari, Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM, Yossona H. Laoly, perwakilan Partai Politik atau Politisi, Akademisi dari berbagai latar belakang keilmuan, Praktisi, Tokoh Masyarakat serta perwakilan Non Goverment Organization serta kalangan terdidik lainnya yang tidak hanya berasal dari Indonesia dengan berbagai latar belakang yang relevan terlibat dalam menyampaikan pokok-pokok pikirannya tentang bagaimana mewujudkan demokratisasi partai politik di Indonesia. Prosiding ini menyajikan hampir seluruh catatan proses Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3, mulai dari makalah hingga seluruh gagasan-gagasan dan perdebatan yang muncul dari setiap sesi selama kegiatan berlangsung (memorie van toelichting). Termasuk juga pernyataan sikap dalam bentuk kesimpulan dan saran Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 yang lahir dan dirumuskan oleh para peserta yang hadir dan dibacakan pada sesi menjelang penutupan koferensi. Dengan begitu, prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 ini diharapkan mendapatkan tempatnya sebagai rujukan sejarah dalam mencari, mendalami serta memahami suasana kebatinan atau dinamika yang terjadi (original intent) melalui pihak-pihak yang telah memberikan sumbangsih pemikirannya selama Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 ini diselenggarakan. Khususnya menyangkut segala upaya dan perjalanan untuk mewujudkan demokratisasi partai politik di Indonesia.

Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 ini tentulah memiliki berbagai kekurangan, kesalahan atau kekeliruan. Untuk itu, saran dan masukan dari semua pihak sangatlah dibutuhkan untuk kebaikan dikemudian waktu. Akhir kata, sebagai tujuan dan cita-cita yang paling luhur, semoga prosiding ini dapat memberikan sumbangan yang signifikan untuk memperkaya khazanah keilmuan di bidang Hukum Tata Negara.

Padang, November 2016

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas


(4)

DAFTAR ISI

Pembukaan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara 3

Notulensi ... 1 Keynote Speech

Dr. Yassona H. Laoli ... 36 Seminar Tantangan Demokrasi Internal Partai Politik

Notulensi ... 42 Notulensi Parallel Group Discussion Panel 1

Memetakan Permasalahan Demokrasi Partai ... 58 Notulensi Parallel Group Discussion Panel 2

Demokrasi Partai Dalam Penyelesaian Sengketa Internal dan Hubungan Pusat

Dan Daerah Partai ... 106 Notulensi Parallel Group Discussion Panel 3

Sumber, Pengelohan dan Pengawasan Dana Partai ... 147 Penyampaian Kesimpulan

Notulensi ... 232 Penutupan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara 3

Notulensi ... 247 Makalah Parallel Group Discussion Panel 1

Sulardi

Membangun Demokratisasi Melalui Mekanisme Pemilihan Ketua Partai Politik ... 248 Muhammad Fauzan Azim

Memperbaiki Hulu Demokrasi Melalui Penataan Sistem Pemilihan ketua

Partai Politik ... 264 Muhammad Husen Db

Proses Pemilihan Ketua Partai yang Demokratis ... 286 Rafli Fadilah Achmad

Gagasan Penyempurna Musyawarah Nasional Partai Politik Sebagai Upaya


(5)

Syafrida Rachmawaty Rasahan

Demokrasi Ala Partai Politik Di Indonesia ; Membandingkan Proses Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat Rentang Tahun 2010-2015 (Mencari Pola Regenarasi Pimpinan Partai Politik Yang Ideal) ... 314 Ridho Imawan Hanafi

Demokrasi Internal Partai: Ketika Partai Memilih Pemimpinnya ... 328 Awaludin Marwan

Pemilihan Ketua Partai Dari Sudut Hak Politik Minoritas: Studi Perbandingan Indonesia dan Belanda ... 348 Beni Kharisma Arrasuli

Demokrasi Internal Partai Proses Pemilihan Ketua Partai Yang Demokratis ... 360 Cakra Arbas

Demokratisasi Dalam Menjaring Pemimpin Partai Politik ... 374 Fajlurrahman Jurdi

Hegemoni Aliansi Oligarki Dalam Pemilihan Ketua Umum Partai Politik ... 390 Kurniawan S

Proses Pemilihan Ketua Umum Partai ... 407 M. Adnan Yazar Zulfikar

Partai Politik Sebagai Inkubator Demokrasi ... 425 Siti Marwiyah

Dampak Pemilihan Tidak Demokratis Di Internal Partai Terkait Penentuan Kandidat Pemimpin ... 445 Abd. Wachid Habibullah

Mekanisme Penentuan Calon Presiden Dan Calon Wakil Presiden Di Internal Partai Politik Dalam Pemilihan Umum Serentak ... 458 Adventus Toding


(6)

Andrian Habibi

Pemilihan Demokratis Berbasis Strata Perkaderan Partai Dalam Mengusung Calon Legislatif dan Eksekutif Daerah ... 489 Asrinaldi

Masihkah Partai Politik Demokratis? Memahami Proses Pencalonan Kepala Daerah Dalam Pilkada Serentak ... 504 Catur Wido Haruni

Menentukan Kandidat Pilpres, Pileg, dan Pilkada Oleh Parpol secara Demokratis... 523 Dian Agung Wicaksono

Eksistensi Politik Dinasti Dalam Demokratisasi Partai Politik ... 542 Dian Bakti Setiawan

Rekrutmen Pengisian Jabatan Politik Dalam Mekanisme Internal Partai Politik ... 557 Dri Utari Christina Rachmawati

Primordialisme Dalam Rekruitmen Calon Presiden (Analisis Kritis Partai Politik Sebagai Mesin Pemilu) ... 571 Fatkhul Muin

Budaya Demokrasi Dan Political Recruitment Partai Politik Terhadap Calon Anggota Legislatif ... 600 Fritz Edward Siregar

Kaderisasi, Jabatan Dan Pemimpin ... 616 Gunawan Muhamad

Pelaksanaan Demokrasi Substantif Di Internal Partai Dalam Menata Pengusungan Kandidat Yang Representatif Pada Pemilihan Legislatif ... 636 Hasyim Asy’ari


(7)

Ilham Aldelano Azre

Dilema Oligarki Dan Otonomi Parpol Daerah Terkait Penetuan Kandidat Dalam Pemilihan Umum... 666 Inna Junaenah

Tanggung Jawab Partai Politik Untuk Menetapkan Standar Kualifikasi Kandidat Anggota Legislatif ... 681 Muhammad Fauzan

Peran Partai Politik Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih (Alternatif Model Rekruitmen Calon Anggota Dpr/Dprd Oleh Partai Politik Pada Masa Yang Akan Datang)... 704 Mahesa Rannie

Pembatasan Praktek Nepotisme Partai Politik Pada Saat Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia ... 721 Masduri

Penguatan Kaderisasi Sebagai Upaya Membangun Demokratisasi Pencalonan Anggota Partai Politik Pada Pemilihan Legislatif Dan Eksekutif ... 748 Sunny Ummul Firdaus

Konstruksi Hukum Penentuan Kandidat Pilkada Oleh Partai Politik Secara ... 765 Wegik Prasetyo

Mencari Kerangka Ideal Seleksi Kandidat Partai Politik ... 773 Heroik Pratama Muttaqin

Merancang Model Rekrutmen Politik yang Demokratis ... 790 Zulkifli Aspan

Mengagas Sanksi Bagi Parpol Terhadap Keterlibatan Kader Dalam Korupsi Dan Politik Uang ... 807 Khoirunnisa Nur Agustyati

Tantangan Dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Di DPR ... 823 Rizki Jayuska


(8)

Makalah Parallel Group Discussion Panel 2 Dodi Nur Andryan

Solusi Yang Konstitusional Dan Demokratis Untuk Menyelesaikan Sengketa Internal Partai Politik Di Indonesia... 859 Zulva Asma Vikra

Hubungan Kepengurusan Partai Politik Dalam Konteks Reformasi Sistem Kepartaian Di Indonesia ... 878 Imam Ropii

Musyawarah Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Internal Partai Yang Demokratis ... 891

Achmad Fachrudin

Penyelesaian Sengketa Internal Partai yang Demokratis ... 909 Ardilafiza

Penyelesaian Sengketa Internal Partai Politik Melalui Mahkamah Partai Politik ... 928 Bactiar

Penguatan Peran Mahkamah Partai Dalam Penyelesaian Konflik Internal Partai Politik ... 938 Bambang Ariyanto

Desentralisasi Pengelolaan Partai Politik (Upaya Penataan Kelembagaan Partai Politik Menuju Partai ... 950 Emy Hajar Abra

Efektifitas Mahkamah Partai Dalam Negara Demokrasi ... 967 Fadli Ramadhanil

Demokratisasi Penyelesaian Sengketa Kepengurusan Partai Politik ... .. 985 Fauzin

Penguatan Mahkamah Partai Sebagai Alternatif Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Yang Demokratis ... 998


(9)

Ibrahim

(De)Sentralisasi Partai Politik : Dari Problem Ke Opsi Penguatan Otonomi ... 1011 Ikaputri Reffaldi

Penyelesaian Perselisihan Kepengurusan Partai Politik Di Era Reformasi ... 1024 Ilhamdi Taufik

Kepengurusan Partai Politik Pusat dan Daerah ... 1040 Luthfi Widagdo Eddyono

Desentralisasi Partai Politik: Sebuah Kajian Original Intent Dan Pemaknaan Sistematik UUD 1945 ... 1051 Maria Madalina

Manajemen Konflik Internal Partai Guna Mewujudkan Partai Politik Yang Demokratis ... 1070 Nuruddinhady

Penyelesaian Sengketa Internal Partai Yang Demokratis Dalam Membangun Sistem Kepartaian Yang Modern ... 1086 Putra Perdana

Politik Hukum Pembentukan Mahkamah Partai Politik Untuk Menyelesaikan Sengketa Internal Partai Politik yang Demokratis di Indonesia ... 1099 Rosita Indrayati

Penyelesaian Sengketa Internal Partai Politik Yang Demokratis Dalam Sistim Ketatanegaraan Indonesia... 1115 Sirajuddin

Desain Penyelesaian Sengketa Internal Parpol Berbasis Keadilan Substantif Dalam Bingkai Hukum Progresif ... 1137 Tamrin

Relasi Politik Nasional Dan Daerah Susunan Pengurus Partai Politik ... 1155 Yuliani Iriana Sitompul

Penyelesaian Sengketa Internal Partai Politik Di Indonesia: Problem Dan Tantangannya ... 1173


(10)

Esty Ekawati

Soliditas Partai Kebangkitan Ban Gsa Pasca Konflik Internal Tahun 2008 ... 1193 Makalah Parallel Group Discussion Panel 3

Almas Ghaliya Putri Sjafrina

Urgensi Pembenahan Keuangan Partai Politik Melalui Subsidi Negara Dan Dorongan Demokratisasi Internal ... 1209 Purnomo S. Pringgodigdo

Bantuan Keuangan untuk Pendidikan Politik di Kota Surabaya ... 1226 Epri Wahyudi

Menggagas Keuangan Partai Politik Dan Tata Kelelonya (Menegakkan Prinsip Transparansi Dan Akuntabilitas) ... 1243 Ida Budhiati

Memperkuat Kelembagaan Parpol : Laporan Hasil Audit Keuangan Sebagai Syarat Pendaftaran Partai Politik Calon Peserta Pemilu ... 1261 Raden Mas Jerry Indrawan

Pendanaan Partai Politik Oleh Negara:Mekanisme Pemberian Dana Publik Kepada Partai Politik ... 1271 Ali Asrawi Ramadhan

Menakar Demokrasi Tanpa Transparansi Keuangan Partai Politik ... 1285 Mei Susanto

Model Pendanaan Partai Politik Menuju Partai Politik Yang Terbuka Dan Modern .... 1295 Muhtar Said

Menjaga Marwah Partai Politik Melalui Transparansi Keuangan ... 1313 Oly Viana Agustine

Redesain Sumber Pendanaan Partai Dalam Menciptakan Laporan Keuangan Yang Akuntabel Dan Transparan ... 1325 Purnomo S. Pringgodigdo

Bantuan Keuangan untuk Pendidikan Politik di Kota Surabaya ... 1339 Ramlan Surbakti


(11)

Reformasi Keuangan Partai Politik ... 1356 Reza Syawawi

Keterbukaan Keuangan Partai Politik ... 1365 Septi Nur Wijayanti

Corporate Political Responsibility (CPR) Sebagai Upaya Mewujudkan Demokratisasi Keuangan Partai Politik ... 1376 Veri Junaidi

ANOMALI PENDANAAN DAN REKRUTMEN POLITIK DI INDONESIA: Profile Pendanaan dan Rekrutmen oleh Partai Politik di Indonesia ... 1397 Wirahospita

Indeterminasi Peran Parpol (Studi Kasus Fenomena Penguatan Munculnya Jalur Independen)... 1417 M.Iwan Satriawan

Demokrasi Dua Wajah Partai Politik di Indonesia: Upaya Mewujudkan Transparansi Dana Partai ... 1438 Abdul Wahid

Transparansi Keuangan Partai Politik Demi Mewujudkan Demokrasi Internal Partai Politik ... 1453 Edita Elda


(12)

NOTULENSI PEMBUKAAN

KONFERENSI NASIONAL HUKUM TATA NEGARA KE-3 DEMOKRATISASI PARTAI POLITIK

CONVENTION HALL UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 5 SEPTEMBER 2016

MC : Masni Fansuri Notulen : Dzikra Atiqa

Menyanyikan lagu indonesia raya (Pukul: 13.15) KATA SAMBUTAN

Prof. Dr. Saldi Isra,S.H. Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang

Assalamualaikum wr.wb,salam sejahtera bagi kita semua, yang sama-sama kita hormati bapak wakil presiden, bapak Dr. Jusuf Kalla yang sama-sama kita hormati bapak menteri dalam negeri, menteri aparatur negara reformasi dan birokrasi,menteri pekerjaan umum dan perkembangan rakyat, bapak ketua DPD RI, bapak gubernur,bapak rektor,bapak dekan yang sama-sama kami hormati, khusus kepada Prof. Bagir Manan yang nantinya akan memberikan keynote speach setelah dibukanyanya acara oleh bapak wakil presiden.

Hadirin sekalian yang saya hormati, izin kan saya melaporkan kegiatan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara yang hari ini secara resmi akan dibuka oleh wakil presiden jusuf kalla. Ini merupakan konferensi hukum tata negara ke-3 yang secara reguler dialaksanakan oleh pusat studi konstitusi universitas andalas, ini adalah konferensi hukum tata negara ketiga, yang pertama dilaksanakan di Sawahlunto tiga tahun yang lalu dengan topik pemilihan umum serentak,dan beberapa rekomendasi


(13)

telah disampaikan kepada lembaga yang memiliki otoritas untukmembuat UU, tahun lalu dilaksanakan juga dengan topik seleksi pejabat publik, jadi kita membuat design baru bagaimana seleksi pejabat publik seperti KPK komisi yudisial dan segala macam. Hari ini bapak ibu yang berbahagia dan kami hormati, sengaja kami memilih topik tentang demokratisasi partai politik karena dasar substantifnya ada, kita tau kalau dibaca UUD hasil perubahan, parpol memiliki tempat yang sangat strategis untuk semua posisi-posisi penting di negara ini, ditengah substansi konstitusi yang seperti itu, muncul kritik bagi parpol, banyak pandangan negatf kepada parpol, sementara disisi lain infrastruktur negara ini tidak bisa kita abaikan didalam konstitusi, oleh karena itu, kita kalangan perguruan tinggi khususnya kami dari pusat studi konstitusu fakultas hukum universitas andalasmerasa berkewajiban untuk melakukan penelitian mendalam tentang apa yang terjadisaat ini, kira-kira bagaimana perbaikan dan reformasi parpol yang dapat kita tawari, dan nanti akan kita sampaikan kepada pemegang otoritas. Didalam konferensi yang ketiga ini, sengaja kita memberikan fokus kepada empat hal:

1. Bagaimana mendisigned reformasi internal partai politik? 2. Bagaimana cara desentralisasi partai poltik?

3. Bagaimana cara menyelesaikan sengketa internal partai politik? 4. Bagaimana cara pengelolaan keuangan didalam partai politik?

Empat hal ini bapak wakil presiden akan dibahas didalam koferensi hukum tata negara nanti, dan kami berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami melaksanakan kegiatan ini,ada kementrian hukum dan HAM,ada yayasan tahir foundation yang memberikan perhatian kepada hal-hal yang seperti ini, yang dipimpin oleh bang todung mulya lubis, yang sudah menfasilitasi semua kegiatan ini, kami sedang melakukan penelitian dengan cara mengunjungi hampir 15 provinsi di Indonesia dan kami yang menanyai parpol di 15 provinsi tersebut dan menanyai bagaimana pendapat mereka tentang parpol di masa yang akan datang. Penelitian nanti akan kami sampaikan sebagian didalam konferensi ini, dan kami juga berterimakasih kepada IFES Indonesia, thanks to David yang sudah menyediakan semuanya. Kami berharap kepada bapak wakil presiden, hasil dari kegiatan ini nantinya akan di formulasikan untuk naskah akademik untuk merevisi UU parpol,


(14)

dan kita akan serahkan kepada bapak menteri dalam negeri, kepada bapak menteri hukum dan HAM dan kami akan memberikannya juga kepada parpol-parpol yang menduduki bangku parlemen untuk menjadikan acuan dalam mengambil keputusan, itu merupakan tujuan konferensi nasional tahun ini. Tahun ini, berbarengan dengan pelaksanaan konstitusi juga berbarengan dengan pemberian anugerah konstitusi Moh. Yamin, jadi kami mencari orang-orang yang meiliki jasa dan pemikiran yang jelas tentang pandangan dan perkembangan konstutisi di negara ini. Tahun ini ada empat kriteria yang kita pilih;

1. Life time achivement, orang yang tidak pernah mengabdi kepada perkembangan hukum tata negara.

2. Karya monumental hukum tata negara.

3. Ada journalist yang memberikan fokus kepada perkembangan hukum tata negara.

4. Ada pemikir muda hukum tata negara.

Besok malam pak wakil presiden, acara itu akan dilaksanakan di Bukittinggi dalam acara gala dinner yang akan diikuti oleh semua peserta konferensi, yang insyaallah besok akan dihadiri oleh bapak gubernur, dan bapak ketua DPD RI.

Itulah kira-kira yang bisa kita sampaikan, saya berterimakasih kepada semua pihak-pihak yang telah membantu semuanya terjadi, ada kementerian Hukum dan HAM, ada Tahir foundation, ada walikota Sawahlunto,ada Bank BNI 46, dan kita berharap ini akan menjadi agenda tahunan untuk mendiskusikan isu-isu ketatanegaraan, setelah ini saya berharap bapak menteri dalam negeri akan membukakan pintunya juga untuk PUSAKO untuk mengkaji isu-isu konstitusi ini.


(15)

KATA SAMBUTAN

Prof. Tafdil Husni, SE. MBA.Phd REKTOR UNIVERSITAS ANDALAS Pukul: 13.25

Assalamualaikum wr.wb..

Yang sama-sama kita hormati, bapak wakil presiden beserta rombongan, yang kami hormati bapak pimpinan lembaga tinggi negara ketua DPD, kemudian bapak menteri, kemudian yang kami hormati bapakibuk pejabat pusat, yang jugakita hormati bapak gubernur sumatera barat, yang kami hormati tamu undangan, dan juga keynote speech kepada bapak prof. Bagir Manan, dan seterusnya kepada semua hadirin yang berbahagia.

Pertama kita tidak henti-hentinya memanjatkan rasa puji dan syukur kita kepada Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan kepada kita sehingga kita telah dpat berkumpul dalam acara pembukaan konferensi nasional hukum tata negara ini.

Bapak ibuk yang sama-sama saya hormati,dalam rangka lustrum UNAND ke-12, dan juga Fakultas Hukum yang ke-13, cukup banyak kegiatan akademik maupun non akademik yang dilakukan pada siang ini , dalam rangka berkontribusi terhadap perkembangan hukum nasional. Pusat Studi Konstitusi fakultas Hukum yang diketuai oleh Prof. Saldi Isra mengambil bagian dalam konferensi hukum tata negara ke-3, kami sebagai pimpinan berkomitmen untuk terus menjalin hubungan atas penyelenggaraan kegiatan ini. Tidak hanya saat ini saja tapi juga saat diadakan konferensi yang pertama dan kedua yang sebelumnya.

Kami berharap agar konferensi hukum tata negara ini memberikan kontribusi yang beharga bai pembangunan demokrasi dan sistem ketatanegaraan indonesia, khusus terhadap demokratisasi parpol. Bapak ibuk yang terhormat, kami Universitas Andalas sangat berbangga kepada Fakultas Hukum Universitas Andalas yang telah mampu menyelenggarakan kegiatan ini yang menyediakan dan menghadirkan ahli-ahli srta pakar-pakar hukum tata negara, dan ilmu politik dari seluruh Indonesia, tidak hanya


(16)

itu, kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan negara sahabat, bahkan ahli konstitusi dari politik dan ketatanegaraan lainnya, di Belanda, Australia, Canada, dan Jerman. Peserta yang hadir bukan hanya dari kalangan kampus, tetapi juga dihadiri oleh praktisi pemerintahan maupun non pemerintahan, terutama yang konsen pada pembangunan partai politik. Konferensi multi pihak dalam kegiatanini sangat dibutuhkan, karena beban ini tidak hanya menjadi beban pemerintah, tetapi juga menjadi beban bagi semua piihak,termasuk akademisi, praktisi politik, aktivis, dan masyarakat sipil. Bapak wapres, bapak menteri dalam negeri, para undangan yang kami hormati, konferensi ini selain merupakan diskusi ilmiah juga merupakan ajang silaturahmi diantara para pihak yang berkepentingan terutama para pejabat pembuat kebijakan, terutama lembaga negara yang mengambil kebijakan dalam sesi-sesi di konferensi nantinya. Sehingga apa yang dapat dihasilkan dapat langsung terkomunikasikan kepada para pihak pembuat kebijakan. Dalam koferensi ini diharapkanbukan hanya menjadi naskah akademik, tetapi dapat menjawab permasalahan sekitar parpol di negeri ini.

Bapak ibuk yang kamihormati, dimasa yang akan datang kegiatan serupa ini dapat dilaksanakan setiap yahunnya bukan hanya dalam skop nasional tetapi juga dalam skop internasional. Kegiatan ini guna mendukung visi Universitas Andalas untuk menjadi universitas yang terkemuka dimasa yang akan dtang, kemudian kamii juga akan berterimakasih kepada pihak-piihak terutama bapak wakil presiden yang telah meluangkan waktu untuk membuka kegiatan ini, terimakasih kepada bapak menteri, ketua lembaga pimpinan negara, serta semua utusan yang sama-sama kami hormati. Kami ucapkan maaf yang sebesar-besarnya atas semua kesalahan dan kekurangan atas penyelenggaraan acara ini.


(17)

KATA SAMBUTAN Dr.(H.C) H.M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pukul:13.33

Assalamualaikum wr.wb

Yang saya hormati saudara ketua DPD, keluarga hukum tata negara, bapak rektor, bang todung mulya lubis, pusat kajian konstitusi pusako.

Marilah kita selalu bersyukur kepada Allah SWT, yang telah mengizinkan kita menghadiri acara ini.

Berbicara tentang ketatanegaraan tentu banyak ahli yang berada disini. System ketatanegaraan ini bersifat dinamis. Maka dari itu karena system ketatanegaraannya yang dinamis maka sistem hukumnya pun dinamis. Indonesia telah mencoba berbagai system yang berat, 45 UU kita, kita memakai sistem presidensial, kita tidak terlalu puas, kita beralih ke federal dengan RIS walau lamanya 10 bulan, kita menjadi negara federal. Indonesia timur itu presidennya ada di maldi sedangkan perdana menterinya ada di Makassar katanya. Tidak puas kita membikin UU sementara yang kita tiru adalah negara-negara barat yang menganut sistem parlementer, lahirnya kabinet bisa jatuh dalam 1 tahun, 6 bulan kebijakannya. Pokoknya kalau parlementer bukan mencari bagaimana berlangsungnya tapi dari fikirannya. Kemudian tahun 49 balik lagi ke yang pertama, kemudian orde baru tetap dengan sistem yang sama,nulai dengan jegiatan demokratis, ada 10 partai,12 partai tapi akhirnya juga otoriter. Kembalilagi kepa UUD 45. Jadiitulah perjalanan ketatanegaraan negara Indonesia ini. Yang hampir semua sistem sudah kita coba. Demokrasi bukanlah system yang sempurna dalam ketatanegaraannya tetapi paling kurang kekurangannya diantara banyak sistem. Dan juga kita kalu berbicara tentang kepartaian sejak maklumat november pak Hatta dan yang lain merumuskan, partai tumbuh 10, kemudian naik lagi sampai puncaknya pada pemilu. Dari 12 partai kemudian diplih menjadi 3 supaya lebih mudah. Ini terbukti adanya dinamika sistem ketatanegaraan kita pernah kita coba. Bahwa dari semua pengalaman itu apa yang paling efektif maka itu yang kita pakai. Memang tidak mudah karena inti dari parpol adalah mencapai tujuan,


(18)

sedangkan inti dari akademisi adalah mencari kebenaran, tapi saya kira itu adalah ciri bagaimana mendapatkan kebenaran demi mencapai tujuan bersama. Pertanyaan yang tadi telah disampaikan, kita emua menyadari bahwa dalam demokrasi tentu parpol merupakan inti dari permasalahan demokrasi. Ada juga demokrasi tanpa partai dalam pemilihan kepala desa ini hanya perumpamaan yang kecil saja, karena tidak mungkin semua orang memilih seseorang ataupun pemilihan senat tidak memerlukan partai. Tapi artinya adalah, partai adalah suatu fondasi dalam ppelaksanaan demokrasi itu sendiri.

Pertanyaannya sekarang ialah, partai sebagai fondasi demokrasi, tentu demokrasi partai harus lebih dulu berdemokrasi. Inilah yang menjadi masalah pada saat sekarang ini, bahwa partai itu lebih demokratis agar demokratis. Memang tidak mudah apabila kita sangat permanen, apabila biaya politik di Indonesia tidak ada yang menanggung. Saya ini berbicara sebagai mantan ketua umum partai. Kenapa banyak kritikan kepada keuaumum partai, tentu salah satu yang menjadi perdebatan adalah karena biaya politik di indonesia. Semua partai memilki biaya yang besar untuk mempertahankan sistem ketatanegaraan bangsa ini. Itulah kegiatan dan masalahyang ada dibidang parpol. Namun, partai juga dapat demokratis, karena dalam pengambilan keputusan dalam parpol sangat demokratis.

Tetapi disaat pengambilan suara dianggap demokrasi didalam parpol tersebut. Demokrasi dilihat dari pengambilan keputusan. Harus adanya system yang jelas dan harus disetujui bersama.

Yang pertama apabila itu menyangkut kegiatan nasional, maka itu harus di putuskan dalam munas, kalau etnis didalam etnis, kalau subjektif maka kita putuskan didalam pengurus. Kalau bersifat orang kita putuskan secara bersama. Dengan adanya pengambilan keputusan itu maka dapat dikatakan hampir demokratis. Dan akibat demokratis biayanya sedikit, akibat biayanya yang sedikit maka dapat lebih demokratis lagi. Itulah perputaran partai dalam demokratis. Dan saya secara pengalaman selama lima tahun kepemimpinan saya berjalan dengan baik. Karena itu, demokrasi adalah dalam hal pengambilan keputusan untuk memilih orang, itu intinya sebenarnya.


(19)

Dewasa ini kalau ingin mencalonkan diri sebagai gubernur atau bupati, partai menjadi rebutan untuk mendapatkan fondasi. Jadi akibatnya adlah bukan lagi mendorong kader tapi melihat partai untuk mencalonkan seseorang.Semua link harus mempunyai hak yang terbatas untuk merekomendasikanseseorang atau kader untuk menjadi gubernur dan harus memiliki tim pengurus pusat,pengurus tingkat satu.

Pengurus tingkat pusat hanya memiliki 20%,pengurus tngkat satu 40%, dan pengurus tingkat dua 20%. Sebaliknya kalau ingin mencalonkan calon tingkat 2 seperti bupati, maka 40% ada ditingkat dua itu, 20% tingkat satu, dan pusat 20%. Artinya tidak ada satu pun pihak yang otoriter. Itulah cara pengambilan keputusan di dalam parpol yang demokratis. Apabila sudah berjalan seperti ini maka anda tidak akan dipilih berdasarkan uang hak terkorup yang ada.

Salah satu hal yang menyebabkan banyak partai sulit untuk berdemokratisasi adalah karena uang. Solusinya sebenarnya sederhana dengan adanya biaya partai. Sebenarnya saya juga kurang percya dengan biaya besar. Sehingga tidak perlu adanya biaya besar.

Yang kedua, soal pemerataan pihak. Semua anggota DPR tidak boleh menyumbang untuk mendanai partai. Apa akibatnya? Akibatnya ialah, ia tidak boleh mengatasnamakan partai untuk mencari proyek. Karena menurut surat menteri tidak ada satu pun anggota DPR berbicara proyek pada siapa pun.

Tapi kemudian muncul pertanyaan darimana partai mendapatkan dana? Ia dari anggota yang mampu, yang bisa meyumbang. Maka dari itu tidak ada satupun anggota DPR GOLKAR yang mampu ditangkap KPK pada jaman 2004-2005. Yang terjadi adalah didalam segelumit kasta bukan parpol. Termasuk tidak ada satupun menteri di dalam kabnet waktu saya ada tidak melakukan itu.

Semua UU yang di sahkan dari tahun 1999-2003 semua satu pikiran bahwa pemerintah atau birokrat menjadikan itu caea awal berfikir. Semua lembaga ataupun pemerintahan yang diatur dalam UU tersebut harus diawasi oleh publik.


(20)

Semua lembaga/institusi yang dibuat UU harus diawasi oleh public dan public harus menjadi peka dalam semua isu-isu tentang semua keadaan dalam bernegara. Sehingga bukan kepentingan politik yang dikemukakan tetapi kesejahteraan rakyatlah yang menjadi nomor satu.

Mudah-mudahan konferensi ini akan memperbaiki pemikiran dan menyadarkan kita serta memberikan pemahaman bahwa parpol itu harus demokratis disaat ajang pemilihan. Jadikan parpol itu sebagai ajang demokratis dan dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Suatu kehidupan Negara tidak akan sehat tanpa adanya perasaan nasionalisme/bersatu. Demokrasi akan tumbuh dalam kehidupan yang progresif. Demikianlah yang dapat saya sampaikan termakasih.


(21)

KATA SAMBUTAN Tjahjo kumolo, S.H. Menteri Dalam Negeri Pukul:13.55

Assalamualakum wr.wb

Yang saya hormati seluruh hadirin yang hadir.

Izinkan saya menyampaikan beberapapoin kesimpulannya saja dulu Poin kesimpulan:

1. Pemerintah membuka forum komunikasi dengan harapan bahwa urgensi penguatan peranan parpol.

2. Perlunya entitas nasionalisasi parpol yang lebih matang sebagai pilar tentang demokrasi yang harus semakin modern.

3. Dibutuhkan sebuah postur parpol yang lebih matang, dan harus mampu mengambil sebuah peran disebuah lini yang telah kita dengar bersama.

4. Parpol diharapkan dapat menjadi acuan dan diterima didalam masyarakat yang makin modern.

5. Parpol sebagai pilar demokrasi untuk menjaga demokrasi untuk menjaga pilkada serentak pada tahun 2019.

Ini adalah kelima pengantar yang sudah kami susun dalam kesimpulan yang telah dibicarakan oleh pembicara sebelumnya.

Kurung waktu semasa saya menjadi anggota DPR yaitu 30tahun memang banyak proses penjungkirbalikan sistem ketatanegaraan kita ini. Timbul pertanyaan dari saya, Kita membutuhkan atau harus melahirkan sebuah system yang bisa menyesuaikan dengan system ketatanegraan pada saat sekarang ini. Dari proses orba-reformasi dianggap tidak konsisten dalam menentukan system pemerintahan di Indonesia terjadi penjungkirbalikkan system ketatanegaraan ini, apakah sistem parlementer atau sistem yang lain. Memang benar penguatan lembaga negara ini tergantung dengan penguatan parpol. PDIP system komando yang didemokrasikan. Kalau tidak ada rakyat bung karno mhon maaf maka tidak bisa menjadi ketua umum,


(22)

mentok jadi sekjen. Pernah PDIP pecah menjadi lima, toh partai itu tidak bisa mendapatkan apa-apa. Beda dengan GOLKAR, HANURA muncul, gerindra bisa berdiri sendiri. Memang PDIP lahir dari partai nasionalis itu benar. Penentuan ketua DPR atau pimpinan DPR memang itu hak preogratif dari ketum. Maka dari itu dari issue-issue ini yag akan dibhas dalam forum ini ini sangat menarik sekali. Bagaimana membangun demokratisasi didalam tubuh parpol. Mempersiapkan revisi UU pemilu, Ada 13 revisi UU yang akan disiapkan. Perdebatan pun masih ada antara adanya sistem tertutp dan terbuka atau kombinasi keduanya. Proses ini yang nantinya akan membawa kepada pemilu serentak ini nanti dimohonkan kepada prof bagir mana, dan prof mahfud yang berpengalaman di MK. Belum lagi masalah ketum parpol, kami bekerjasama dengan KPKuntuk bisa melaksanakn proses ini. Recuitment ini yang saya kira harus memiliki sistem yang jelas. Periapan pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 didahului dengan proses pemilihan KPU dan BAWASLU, saya sudang mengambil sikap, tidak ada satupun menteri yang ngkra. Kalau untuk pemilu, otomatis ketua panselnya adalah mendagri. Mungkin banyak yang protes kenapa mendagri menjadi ketua pansel. Kalau tidak salah ketua pansel yang ditunjuk presiden adalah Prof. Saldi. (audiens bertepuk tangan)

Mungkin Prof mahfud juga harus menjelaskan, dengan putusan MK dengan sistem yang demokratis tadi, menjungkirbalikan parpol tapi ya jalan sistem yang ditentukan tadi. Apakah ini fair, bisa ia bisa tidak. Anggota partai saya hanya untuk menjadi anggota DPR RI terbesar saya cek dia habis 49 milyar rupiah, terkecil memang habisnya ada yang 80 juta rupiah. Kemarin kami door to door semua parpol, yang memiliki sistem terbuka itu adalah PAN, tapi pak zulkifli mengatakan ada yang terbuka ada yang tertutup. Semua rekomendasi dari forum ini nanti apa yang akan kita pakai. Memperkuat hak kedaulatan parpol. Dapat menjamin produk dari sebuah sistem ini dengan produk yang berkualitas.

Kelima kesimpulan tadi dari pemerintah dikira dapat menjawab pertanyaan politik yang ada di Indonesia. Bagaimana hakekat demokrasi, esensi demokrasi, dan fisik-fisik dari demokrasi itu sendiri. Kemudian perkembangan politik yang tadi pak wapres sampaikan dari sebuah era reformasi disini, saya kira perlu ditelaah dengan baik, kemudian ada tambahan parpol kedepannya seperti perindo, partai idaman, PSI.


(23)

Saya kira sebagai institusi demokrasi, yang memegang peranan penting dalam proses demokrasi, wajar parpol harus menempatkan posisinya secara aktif, dan kreatif dalam menjalankan tugasnya. Sayakira ini kuncinya, kalau tidak regradasiini akan lenyap. Banyak juga kepala daerah yang sters maslah anggaran, bagianproyek, sampai muncul masalah BANSOS, dan hibah, pajak, dan anggaran daerah. Nah yang rawan iniharus kita awasi selalu. Saya ingin membangun adanya hubungan yang efektif antara pusat dan daerah. Agar efisien dan mempercepat era reformasi dan birokrasi di Indonesia. Dan dalam konteks ini memperkuat parpol juga menjadi slah satu hal yang penting untukkita laksanakan. Intinya adalah pemerintah terbuka, ini harus selesai. Dari kita merdeka, kita belum mempunyai sistem yang konsisten dan dilaksanakan dengan baik. Dan harapannya sistem ini diperkuat untuk menghasilkan insan yang amanah dan kuat dalam menjalankan tugas negara ini. Saya kira ini yang dapat saya sampaikan, saya harap hasil rekomendasi ini dapat menjadi acuan bagi kita bersama untuk menjalankan tugas yang baik bagi negara ini. Agar dari masa reformasi sampai sekarang tidak ada catatan yang tidak enak dalam bernegara sehingga dapat dijalankan dengan baik. Sebagai contohnya saja, masalah antara SBY dengan Megawati yang ada, artinya masyarakat berfikir ah karena ibukmega masih belum ikhlas, padahal bukan itu permasalahan secara prinsip, masalahnya apa/ tunggutanggal mainnya..(audiense tertawa). Ya karena saya sedang menyusun buku karena saya saksi hidup. Tanya saja Prof mahfud dalam hal pemilihan ketua MPR, pada saat bertemu mendadak muncullah pak guntur, ini sebenarnya bukan masalah megawati dan SBY, ini adalah masalah besar bung karno. Prinsip bagi keluarga kami. Kenapa pada saat itu soeharto yang menjadi presiden didit untuk bertemu susahnya setengah mati. Pak harto sakit, sampai meninggal disaat pak habibie ingin melayat susahnya minta ampun untuk dapat melihat. Sebenarnya tidak ada masalah prinsip disini, ini hanya masalah karakter dan budaya. Pak harto orang jawa, habibie sulawesi, mungkin tersinggung tapi tidak ada niat apa-apa. Saya menulis buku juga beretika, saya tanya kepada pak habibi, pak boleh gak saya tulis ?,dan pak habibie pun menjawab tidak ada masalah. Sama juga pada saat pak harto meminta kepala staf angkata darat sebagai wapres, sebagai presiden pak habibi mengatakan siapsaya laksanakan perintah pak harto. Tapi pak hartoada embel-embelnya. Ditolak pasti ada asas-asas yang tidak terpenuhi. Zaman buk megawati jadi presiden saya ditugaskan,


(24)

tjahjo tolong kamu ke nusa kambangan, karena anak cucunya pakharto di nusa kambanga tolong dirikan helypad supaya pak harto dapat melihat anaknya dan cucunya sigit pada saat itu. Kok tidak ada dendam, dendamitu adalah urusan bapak ku dan dia. Samajuga pada saat jokowi saat adanya diajukan panglima TNI dan mantan ajudan kesayangannya buk mega jadi wapres, tau-tau gajadi masalahnya sepele.

Sekarang mari kita bangun indonesia, ini pesan moralnya. Mudah-mudhan kedepan akan lebih baik lagi. Yang terakhir setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban, sedikit apapun parpol pada masy daerah dan indonesia, sekian terimakasih wabillahi taufik walhidayah asslamualaikum wr. wb


(25)

KEYNOTE SPEECH

Merancang Demokrasi Internal Partai Politik Prof. Dr. Bagir Manan, S.H, MCL

Ketua Mahkamah Agung Periode 2001-2008 Pukul:14.30

Assalamualaikum wr.wb,yang terhormat, prof saldi, prof mahfud, bapak rektor, prof todung, dan bapak mendagri.

Ketika melalui Dr. Susi disampaikan pesan Prof. Saldi meminta saya berdiri di hadapan Bapak-bapak dan Ibu-ibu berbicara tentang Demokratisasi Partai Politik , saya menyampaikan reaksi spontan.

Pertama; apakah Prof Saldi tidak salah tema? Barangkali tema yang sedang bergejolak di hati rakyat banyak adalah: Apakah ada konsep atau gagasan dalam Negara RI yang besar dan dihuni orang banyak ini, kita bangun RI yang demokratis tanpa partai politik? Pertanyaan rakyat banyak ini bukan tanpa kearifan. Sampai hari ini mereka merasakan, baik negara apalagi rakyat banyak, belum memperoleh apapun dari partai politik. Yang ada, rakyatlah yang selalu diminta mengantarkan partai politik cq orang-orang partai politik atau orang yang didukung partai politik duduk dan menikmatiprivelegekekuasaan.

Kedua; baik dalam perjalanan praktis maupun teoritis, saya (yang sedang berdiri di hadapan anda) selalu berada di luar pagar soal-soal politik dan partai politik. Tetapi, barangkali Prof. Saldi sedang rindu pada konsep: Hubungan antara keawaman dan orisinalitas . Dalam dunia ilmu pengetahuan ada pandangan: Makin awam seseorang, makin orisinal pendapatnya dan mencerminkan hati nuraninya . Hukum besi hati nurani adalah senantiasa sebagai cermin kebenaran, ketulusan dan anti kebohongan . Hati nurani adalah kejujuran. Barangkali Prof. Saldi berpendapat, salah satu persoalan penting yang kita hadapi adalah: Makin langkanya sikap, tingkah laku yang dituntun hati nurani, melainkan oleh kepentingan, baik atas nama merasa berjasa untuk melanjutkan kekuasaan, sebagai anggota trah, ataupun sebagai cara memperbaiki kualitas hidup, dan martabat dengan segala privilege yang harus melekat atau dilekatkan .


(26)

Sejak tumbuh paham dan praktik demokrasi perwakilan (representative

democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy) dalam

penyelenggaraan negara (representative government), kehadiran partai politik merupakan suatu kemestian: The life of democratic state is built upon the party system .1 Harus diakui, dalam perkembangan lebih jauh, penyelenggaraan negara

dengan sistem perwakilan tidak hanya diwakili melalui partai politik, tetapi dikenal juga perwakilan golongan (organisasi) non partai politik, seperti perwakilan kaum pekerja, kaum petani, daerah (model MPR RI sebelum perubahan UUD 1945).2

Bahkan, dikenal juga perwakilan etnis tertentu (etnis minoritas), seperti pernah diatur dalam UUDS 1950.3

Demokrasi, bukan saja bermakna partisipasi publik, tetapi merupakan tatanan yang timbul dari dan untuk menjamin keberagaman atau kebhinekaan, seperti keragaman ideologi, keragaman budaya, keragaman sosial, ekonomi atau agama. Sistem partai tunggal tidak memberi tempat pada keragaman. Sistem partai tunggal bertentangan dengan demokrasi. Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ada gagasan untuk mendirikan partai tunggal. Namun, gagasan itu ditentang. Bahkan kemudian keluar Maklumat Pemerintah bulan November 1945 yang menganjurkan pendirian partai-partai politik.

Dalam kenyataan, tidak selalu partai politik merupakan cerminan demokrasi, seperti sistem partai tunggal atau partai dominan, dalam sistem otoriter yang menjalankan sistem politik monolitik.

Sigmund Neumann mengatakan:

Such an initial description, to be sure, indicates that the very definition of party supposes a democratic climate and hence makes it a misnomer in every dictatorship. A one party system (le parti unique) is a contradiction in itself. Only the co-existence of at least one other competitive group makes a political party real. Still the fact remains that the term has been widely used by modern autocrats and for a very obvious reason: to keep the semblance of a people rule in their post-dictatorship.

1

Harold J. Laski,Grammar of Politics, Yale University Press, 1925, hlm 295. 2

Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang”. 3

Pasal 58 ayat (1) UUDS 1950 berbunyi: “Golongan-golongan kecil Tionghoa, Eropa, dan Arab akan mempunyai perwakilan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan berturut-turut sekurang-kurangnya 9, 6, dan 3 anggota”.


(27)

But it is also true that even the totalitarian party depends upon a functioning opposition. If one does not exist, it must still be assumed by the dictators, since under monolithic rule the dictatorial must constantly justify the existence in view of the ever present threat of counter revolution, hidden or imaginary through its organization may be. The opposition party is the raison d etre of dictatorial movement and its all pervasive controls through institutions, propaganda, and terror .4

Meminjam istilah faction dari Madison, dapatlah dikatakan, kehadiran partai-partai politik dalam sistem demokrasi merupakan konsekuensi, bahkan bawaan (nature) pengakuan dan jaminan partisipasi golongan-golongan (faction) yang hidup dalam masyarakat. Walaupun sebagai konsekuensi dari pengakuan dan jaminan golongan-golongan masyarakat, dihadapi pula persoalan apabila terlalu banyak partai atau lebih dari dua partai (multy party system). Mengapa?

Salah satu ajaran yang telah diketahui umum menyatakan: sistem multi partai (partai banyak) memang lebih mencerminkan demokrasi atau sekurang-kurangnya lebih demokratik . Sistem ini memberikan peluang pada setiap kelompok atau golongan, bahkan perorangan mengaktualisasikan partisipasi dalam politik dan penyelenggaraan pemerintahan. Benarkah itu? Belum tentu. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut.

Paling tidak terdapat tiga aspek yang akan menjadikan sistem partai banyak tidak benar-benar efektif sebagai sarana atau proses demokrasi.

Pertama; dari sudut rakyat. Sistem partai banyak dapat menimbulkan kesulitan bagi rakyat untuk menentukan pilihan. Kesulitan makin bertambah karena partai yang

4

Harry Eckstein and David E. Apter (ed), Comparative Politics: A Reader, New York, Free Press, 1968, hlm 351.

“Deskripsi (gambaran) di atas sesungguhnya menunjukkan pengertian (definisi) partai politik dalam suasana demokrasi, dan karena itu (definisi tersebut) tidak cocok (tidak dapat) dipergunakan dalam sistem kediktatoran. Sistem partai tunggal menyiratkan suatu kontradiksi dalam dirinya sendiri (kontradiksi dengan makna atau pengertian partai politik). Hanya apabila ada koeksistensi dengan sekurang-kurangnya satu kelompok kompetitif lain yang akan menunjukkan partai politik itu benar-benar ada. Meskipun demikian, sebutan partai politik tetap dipergunakan secara luas oleh penguasa otokrasi, dengan suatu alasan dasar: untuk menunjukkan keterkaitan dengan “pemerintahan rakyat” pada masa setelah pemerintahan kediktatoran. Tetapi juga benar, bahwa sistem kepartaian totaliter tergantung pada berfungsinya oposisi. Jika tidak ada, para diktator akan mengasumsikan oposisi itu ada, karena dalam pemerintahan monolitik, partai-partai yang bersifat kediktatoran harus senantiasa menemukan pembenaran bahwa kontra-revolusi selalu ada, baik yang tersembunyi maupun sekedar khayalan belaka. Partai oposisi menjadi “raison d’etre” gerakan kediktatoran dan sistem pengawasan tanpa batas melalui berbagai badan, propaganda, dan teror”.


(28)

banyak itu tidak memiliki garis politik yang jelas, baik ideologi maupun program yang akan dijalankan, kecuali sekedar berusaha duduk dalam badan perwakilan atau pemerintahan. Orientasi partai hanya terbatas melihat politik sebagai suatu bentuk dan proses kekuasaan, dalam arti memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.

Kedua; dari sudut partai. Sistem partai banyak menimbulkan persaingan yang semakin kencang antar partai. Dalam demokrasi sepanjang persaingan dilakukan atas dasar etika berdemokrasi yang mewadahi exchange of ideas memang merupakan suatu kemestian. Tetapi ketika persaingan sekedar mengumpulkan suara, akan muncul pasar jual beli suara (the money can buy), sekedar memunculkan penampilan tanpa isi seperti kegarangan mengkritik atau berargumentasi , memunculkan orang-orang semata-mata karena dikenal publik seperti di panggung-panggung infotainment atau entertainment. Di pihak lain, bagi mereka yang diajak, merupakan panggung publikasi dan peluang. Tentu saja, ada diantara mereka yang datang karena panggilan hati dan oleh karenanya mengisi diri untuk memenuhi segala syarat dan bertanggung jawab kepada publik.

Ketiga; dari aspek negara. Dalam hubungan dengan negara, sistem partai banyak bertalian dengan pengambilan keputusan di badan perwakilan rakyat, seperti parlemen, dan sistem pemerintahan, yaitu sistem parlementer, presidensil atau sistem campuran (dual system atau hybrid system). Sistem partai banyak umumnya menyebabkan pembahasan memakan waktu lama (tidak efisien), keputusan adalah hasil kompromi, bahkan hasil dagang sapi (koehandel). Badan perwakilan menjadi badan yang tidak efektif mewakili kepentingan rakyat banyak.

Dari segi sistem pemerintahan, sistem partai banyak lazim dipertalikan dengan sistem pemerintahan parlementer dimana eksistensi dan keberlangsungan pemerintah atau kabinet tergantung pada kepercayaan dan dukungan mayoritas anggota parlemen. Pengalaman Perancis antara tahun 1946-1958 (sebelum UUD 1958 yang berlaku hingga sekarang dengan segala perubahannya) dan Indonesia antara tahun 1950-1959 (sebelum kembali ke UUD 1945), sistem partai banyak menimbulkan instabilitas pemerintahan. Pembentukan kabinet maupun penyelenggaraan program dilakukan dalam suasana serba dagang sapi .

Perlu dicatat, suasana yang agak unik pengalaman parlementer Indonesia (1950-1959). Pertama; kejatuhan kabinet (kabinet mengembalikan mandat) tidak


(29)

semata-mata karena mosi tidak percaya dari Parlemen. Dalam beberapa peristiwa, Kabinet mengembalikan mandat karena ada perbedaan pandangan yang tajam dengan Kepala Negara. Menurut tatanan konstitusional yang berlaku, Presiden yang hanya sebagai Kepala Negara semestinya tidak mencampuri jalannya pemerintahan. Tidak demikian yang terjadi. Mengapa? Presiden yang secara konstitusional hanya sebagai Kepala Negara adalah juga pemimpin bangsa yang bertanggung jawab atas seluruh peri kehidupan bangsa, sehingga merasa berkewajiban turut serta dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan. Campur tangan Presiden tidak hanya terbatas pada jalannya pemerintahan, melainkan termasuk pembentukan kabinet yang mendapat dukungan mayoritas partai di DPR. Salah satu pengalaman campur tangan tersebut adalah yang popular dikenal dengan gagasan Kabinet Kaki Empat .

Kedua; acapkali juga terjadi, Kabinet mengundurkan diri karena tekanan ekstra parlementer daripada mosi tidak percaya dari DPR.

Namun perlu dicatat, sekalipun dalam sistem parlementer, sistem partai banyak tidak serta merta identik dengan instabilitas pemerintahan. Di beberapa negara, seperti Kerajaan Belanda, sistem parlementer yang disertai sistem partai banyak dan kabinet senantiasa dibentuk atas dasar koalisi partai-partai, namun pemerintahan senantiasa stabil. Mengapa?Pertama; tidak ada perbedaan yang tajam antar partai politik, antara lain, karena biasanya tidak ada perbedaan yang bersifat ideologi antar anggota koalisi. Perbedaan hanya terbatas pada kebijakan, program, dan cara-cara mewujudkan program. Kedua; kearifan berdemokrasi cq berpolitik, baik di lembaga-lembaga politik (seperti partai politik), kematangan masyarakat, dan kematangan pelaku politik. Perbedaan dimaksudkan untuk menemukan yang lebih baik, bukan untuk hegemoni kekuasaan.Ketiga; rakyat secara umum telah sejahtera, sehingga tidak mudah dipergunakan sebagai alat politik, seperti mobilisasi politik. Kesejateraan merupakan faktor penting mewujudkan homogenitas sosial yang akan saling menjaga dan harmoni. Keempat; partai-partai politik senantiasa meyakini krisis yang terjadi akan dibayar mahal, baik secara politik, sosial dan ekonomi.

MacIver menyatakan: Without the spirit of nationalism, or at least without the recognition of the unity of people, it is hard to lay a sure foundation of democracy.


(30)

Democracy did develop in areas where progressive culture and economic advantage went together .5

Secara doktriner, dalam sistem pemerintahan presidensil, kehadiran sistem partai banyak tidak berpengaruh pada stabilitas pemerintahan karena tidak mengenal hubungan pertanggungjawaban antara pemerintah dan parlemen yang diduduki anggota dari partai politik. Persoalan tidak pada stabilitas, melainkan pada efektifitas pemerintahan. Beberapa waktu yang lalu, media memuat keterangan: Dalam praktik Presiden tidak mudah mendapat dukungan DPR dan hal ini yang berpengaruh pada efektifitas pemerintahan . Ada dua sumber hambatan dalam hal ini.

Pertama; penyakit bawaan sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers). Harold J. Laski melukiskan hal ini dengan menyatakan: American President is at odds with Congress and that even happen when his own party is in power .6Pernyataan

ini disandingkan dengan sistem yang tidak menjalankan pemisahan kekuasaan, melainkan pembagian kekuasaan (division of powers), bahkan diffusion of powers

(seperti Inggris) cq sistem pemerintahan parlementer: It measures an essential co-ordination of effective government .7

Kedua; praktik yang sedang berjalan di Indonesia yang meliputi:

(1) Sistem partai banyak yang tidak memiliki coherent policy , bahkan tidak memiliki program yang definitif, selain sekedar mempunyai wakil yang duduk dalam pemerintahan.

(2) Sistem pemilihan proporsional sekalipun dengan modifikasi menyebabkan beberapa hal, antara lain:

a. Sebaran suara pemilih yang mengakibatkan tidak ada mayoritas mutlak. b. Tidak ada hubungan antara pemilih dan wakil.

c. Meskipun dalam sistem presidensil, tetapi Presiden akan selalu menghadapi aneka ragam sikap di DPR (tidak mayoritas).

5

MacIver,The Web of Government, MacMillan Company, 1947, hlm 176, 189.

Tanpa semangat nasionalisme atau sekurang-kurangnya tanpa pengakuan terhadap persatuan rakyat, sangatlah sulit meletakkan dasar demokrasi yang benar. Demokrasi berkembang dalam wilayah-wilayah dimana budaya progresif dan kemajuan ekonomi berjalan secara bersama-sama. 6

Harold J. Laski,op., cit, hlm 299. 7


(31)

Mengapa negara modern membutuhkan partai politik? Partai politik sebagai instrumen atau alat mewujudkan demokrasi seperti ditulis Laski seharusnya menjalankan peran:

Pertama; parties arrange the issues selection the problems as more urgent and to present solutions of them which may be acceptable to the citizen body .8 Peran ini

menurut Laski, sebagaimana disampaikan oleh Lowell sebagai the broker of ideas .

Kedua; organizes persons to advocate its own view of their meaning .9

Dapat pula ditambahkan peran sebagai urutan selanjutnya yang diutarakan oleh David E. Apter:10

Ketiga; offer political choices provide a peaceful selection of alternative government offer differences in view any policy priorities .11

Selain tiga peran di atas, terdapat fungsi lain partai politk:

Keempat; memilih calon-calon yang akan dipilih atau didudukkan sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan (calon anggota DPR, DPRD, Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Bupati Walikota).

Kelima; trachtenn het overheidsbeleid te beinvloeden door kandidaten voor formeel vertegenwoordigende lichamen te stellen .12

Peran partai politik dalam penyelenggaraan negara seperti disebutkan di atas, tidak berjalan sepihak. Di sisi lain, peran itu ditentukan oleh sistem politik ( whose rise and fall is depended in large measure upon the nature of the political system ).13

Partai dalam sistem politik demokrasi akan berbeda dengan partai dalam sistem otoriter. Pertanyaannya, mungkinkah partai politik menjadi instrumen demokrasi dan menjalankan peran di atas, apabila partai politik itu sendiri tidak demokratis? Dalam kasus Indonesia, ukuran ini ditentukan oleh kenyataan partai politik dan sistem politik yang sedang berjalan atau dijalankan.

8

Partai-partai menata isu-isu, memilih persoalan-persoalan yang lebih mendasar dan menyampaikan pemecahan yang dapat diterima oleh warga. Bahkan dalam ungkapan Lowell disebut sebagai perantara atau agen berbagai ide.

9

Mengajak orang-orang untuk mendukung pandangan sesuai dengan kehendak partai yang bersangkutan.

10

Harry Eckstein dan David E. Apter,op., cit, hlm 327. 11

Menawarkan alternatif-alternatif politik, menyediakan seleksi alternatif pemerintahan secara damai, menawarkan pandangan-pandangan dan prioritas kebijakan yang berbeda.

12

Berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui calon wakil di badan perwakilan rakyat. Rosenthal,et., al,Openbaar Bestuur, Tjeen Willink, Alphen, Netherlands, 1977, hlm 212.

13


(32)

2. Partai Politik Indonesia Sebagai Kenyataan

Uraian di bawah ini akan didahului dengan beberapa catatan yang bersifat kesejarahan partai politik di Inggris dan di Indonesia. Catatan kesejarahan ini perlu berdasarkan beberapa alasan.

Pertama; suatu ketika kita mendapat seruan jangan sekali-kali meninggalkan sejarah . Keputusan Presiden RI No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila adalah sebuah contoh betapa pentingnya sejarah dan mengetahui sejarah. Di Bandung, sampai hari ini, di banyak sudut jalan utama, berdiri gambar Alm Bung Karno yang disertai tulisan: 1 Juni, hari lahir Pancasila .

Kedua; untuk mengetahui sejauhmana partai politik kita yang ada sekarang ini masih serupa benar dengan partai politik di masa lalu. Tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan.

Pertama; David E. Apter melukiskan partai politik Inggris abad 18 sampai awal abad ke 19 sebagai:

Corruption, the buying and selling of political office and rampant patronage was the by-product of party politics. Nor did the parties have consistent political ideologies .14

Tetapi kemudian ada perubahan, yang dilukiskan oleh David E. Apter sebagai:

Disciplined parties, effective parliamentary organization, a high standard of ethics, all these now characterize the British political party system in spite of occasional lapses from political virtue and internal cohesion .15

Kedua; Herbert Feith mendeskripsikan partai politik Indonesia tahun 1950-an: 1. Tentang sistem partai banyak.16

14

Ibid, hlm 328.

Korupsi, jual beli jabatan politik dan merajalelanya patronage (partai menjadi tempat berlindung) merupakan produk sampingan partai politik. Termasuk pula (pada waktu itu) tidak ada partai politik yang konsisten terhadap ideologi politik.

15

Ibid.

Disiplin partai, pengorganisasian parlemen yang efektif, standar etik yang tinggi, merupakan karakteristik sistem partai politik Inggris saat ini, meskipun sekali-kali masih tergelincir dari kebajikan berpolitik dan keterpaduan internal.

16

Herbert Feith,The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Equinox Publishing 2006, hlm 122.


(33)

The multy party pattern of the pre-war nationalist movement had re-emerged in November 1945, when the Republic s government had formally called for the establishment of parties. Influenced by the model of the Netherlands and other continental countries with multy party system, the leaders of the Republic did not expect or hope for a system of only two parties .17

2. Tentang peran partai tahun 1950-an.18

2.1. to break down the political and psychological barriers with divided non s from co s those who had not cooperated with the Dutch in the revolutionary period from those who had. And they provided the co s with a means of clearing their names .19

2.2. Even more important, parties now had important patronage function In effect the parties obliged the government to distribute its stone of material and status rewards largely through them government posts, business opportunities, overseas trips, houses, and cars tended to go chiefly to those with party connections Parties were principal channel of access to the bureaucracy .20

3. Tentang keanggotaan partai21

To be a party members was to be modern, politically conscious an alert citizen aware of the important of nationality. And to be an office bearer of a party was to be a man of prestige, for political distinction had become probably the most important source of status in society as a whole. It was furthermore, a step toward greater

17

Pola sistem partai banyak yang ada pada masa sebelum perang kemerdekaan muncul kembali pada November 1945 saat Pemerintah Republik Indonesia menganjurkan secara resmi pembentukan partai-partai politik. Terpengaruh oleh sistem di Belanda, dan beberapa negara Eropa daratan yang menerapkan sistem partai banyak, para pemimpin Republik ini tidak menghendaki sistem dua partai.

18

Ibid. 19

Untuk memutus hambatan-hambatan politik dan psikologis yang terbagi antara pro dan kontra – [yaitu] antara mereka yang tidak bekerjasama dengan Belanda saat revolusi kemerdekaan dan mereka yang bekerjasama – Pemerintah menyediakan cara untuk membersihkan nama mereka. 20

Bahkan yang lebih penting, partai-partai politik mempunyai fungsi penting sebagai pelindung…efeknya, partai politik mewajibkan Pemerintah membagi anggaran dan penghargaan status kepada mereka [partai politik]…jabatan-jabatan pemerintahan, kesempatan-kesempatan di lapangan bisnis, perjalanan luar negeri, rumah-rumah serta mobil-mobil terutama diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai koneksi atau hubungan dengan partai politik…partai menjadi penghubung penting terhadap akses ke birokrasi.

21


(34)

prestige, both the prestige of being a higher echelon party leader and that of holding a high office of state to which one had come through nomination by one s party party were a principal means by which one s status ambitious could be realized .22

4. Tentang kepemimpinan partai23

At first sight it would seem that parties were dominated by their top leaders, by the small group of men having close personal acquaintance with one another and influenced at the highest levels of the government .24

Bagaimana deskripsi-deskripsi di atas (masih) tercermin dalam kepartaian di Indonesia? Ada yang lebih suram atau lebih baik?

1. Tentang korupsi

Ditinjau dari pelaku, korupsi dapat dibedakan: korupsi di lingkungan birokrasi, korupsi di lingkungan penegakan hukum, korupsi di lingkungan lembaga politik, dan korupsi yang melibatkan pranata di luar tiga lingkungan tugas yang telah disebutkan, seperti korupsi oleh lembaga bisnis atau luar bisnis. Walaupun tidak pasti sebagai produk sampingan , ada korupsi yang dapat dipertalikan dengan partai politik, seperti:

a. Korupsi yang melibatkan sejumlah gubernur, bupati, walikota. Meskipun mereka pejabat di lingkungan birokrasi, tetapi sebagian mereka adalah anggota partai politik dan proses pencalonan serta pemilihan tidak terlepas dari partai politik (political appointee).

b. Korupsi yang melibatkan pimpinan partai atau anggota DPR, tidak mungkin terlepas dari partai politik.

2. Tentang jabatan politik dan jabatan lain.

22

Menjadi anggota partai haruslah bersikap modern dan mempunyai kesadaran politik – seorang warga negara yang selalu sadar atas pentingnya kebangsaan. Dan menjadi pengurus sebuah partai haruslah orang yang berwibawa, dengan mana kemampuan politik tersebut menjadi salah satu sumber penting bagi status [seseorang] dalam sebuah masyarakat secara keseluruhan. Lebih-lebih, menuju pada tahap selanjutnya mendapatkan kewibawaan yang lebih tinggi, baik kewibawaan sebagai pimpinan tertinggi partai dan pemegang jabatan pemerintahan melalui nominasi partainya…partai menjadi cara utama untuk merealisaskan ambisi seseorang.

23

Ibid. 24

Pada mulanya tampak partai-partai sangat didominasi oleh pimpinan-pimpinan tertinggi, oleh sekelompok kecil anggota yang mempunyai hubungan personal yang sangat dekat dan saling mengenal satu sama lain, dan berpengaruh pada jajaran tertinggi pemerintahan


(35)

Dalam praktik, umum diketahui adanya jual beli jabatan politik. Keterlibatan partai politik dapat terjadi:

a. Kepada publik hampir selalu diperdengarkan ungkapan money politics , atau uang perahu yang harus disetorkan calon kepada partai, atau ungkapan-ungkapan lainnya.

b. Pengangkatan pejabat negara melalui DPR (mekanisme fit and proper test ), akan bernuansa politicking , dan dapat mendorong para calon tidak hanya mencari dukungan dari anggota DPR, tetapi juga fraksi-fraksi di DPR, bahkan partai politik. Ada pula sebagian orang yang menggunakan partai politik dan duduk di lembaga politik atau pemerintahan melalui partai politik semata-mata sebagai peluang untuk, misalnya, memiliki akses dengan birokrasi, pusat-pusat kegiatan ekonomi negara, dan lain sebagainya.

Mungkin dapat ditambah dengan hal-hal lain. Tetapi mengapa hal-hal semacam itu terjadi?

Pertama; faktor internal. Ada berbagai faktor internal yang menjadi kenyataan atau wajah partai politik kita sekarang ini.

1. Banyak partai

Reformasi membuka kembali sistem partai banyak (multi partai yang tidak terbatas seperti yang terjadi di masa Revolusi sampai tahun 1960-an). Di masa Orde Lama ada penyederhanaan kepartaian (partai) menjadi 10 partai melalui Perpres No. 7 Tahun 1960 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian dan Perpres No. 2 tahun 1962 tentang Larangan Organisasi Yang Tidak Sesuai Dengan Kepribadian Indonesia. PSI dan Masyumi termasuk partai yang terlarang. Demikian pula, Murba yang dibekukan.

Di masa Orde Baru, Pemerintah mewajibkan partai-partai yang ada dari masa Orde Lama, bergabung sehingga hanya ada 3 partai, yakni PPP, PDI dan SEKBER GOLKAR. SEKBER GOLKAR sangat kukuh menyatakan diri bukan partai politik. Suatu bentuk manipulasi , karena organisasi ini melakukan kegiatan yang lazim sebagai partai politik, seperti ikut dalam pemilihan umum serta mendudukkan anggota dalam organisasi negara (legislatif dan eksekutif). Di masa Reformasi, selain yang berdiri sejak masa awal Reformasi, setiap menjelang pemilihan umum ada pendaftaran partai politik baru. Partai yang


(36)

dalam pemilihan umum tidak memenuhi electoral threshold tinggal mengubah nama dan mendaftar sebagai partai baru.

2. Tidak ada konsistensi antara idelogi dengan aktifitas politik.

Reformasi menghidupkan kembali partai atas dasar ideologi atau keyakinan tertentu. Di masa Orde Baru, hanya Pancasila yang boleh menjadi dasar ideologi partai dan organisasi sosial. Lagi-lagi hal ini hanya sekedar supaya mempunyai hak hidup . Semua partai atau organisasi memang menyebut berdasarkan Pancasila , tetapi biasanya ada embel-embel seperti semangat ke-Islaman , nasionalisme , dan lain-lain. Peluang ini memang tidak disalahkan . Selain itu, Pancasila sebagai ideologi belum berisi ajaran (doktrin), melainkan sekedar sebagai filosofische grondslag . Itulah yang terjadi hingga hari ini, sehingga baik partai maupun dalam penyelenggaraan negara, tidak tampak adanya comprehensivenessdan kebijakan yang koheren (coherent policy) dalam melaksanakan Pancasila. Suatu ketika, sistem ekonomi etatisme disebut berdasarkan Pancasila. Begitu pula sistem ekonomi yang menempatkan kapital dan pasar sebagai jalan menuju kesejahteraan dianggap sebagai bagian dari sistem Pancasila.

3. Pendorong kelahiran partai (motif mendirikan partai).

Ada sejumlah pendorong atau motif mendirikan partai, antara lain:

a. Sebagai upaya pemurnian kembali ideologi yang selama ini terabaikan atau sebagai sesuatu yang harus (diwajibakan) untuk dijauhi.

b. Akibat ketidakpuasan atau perpecahan didalam partai yang ada. Hal ini umumnya terjadi akibat perebutan hegemoni dan kepemimpinan didalam partai, atau ada unsur idealistik sebagai koreksi terhadap partai atau semata-mata karena peluang internal yang tidak memadai.

c. Dorongan untuk tetap mempunyai peran dan memperoleh dukungan dalam upaya memantapkan atau memperoleh bagian kue kekuasaan. d. Hampir selalu menghadapkan figur pribadi seperti tokoh perlawanan ,

penampilan yang mempesona publik, berasal dari keturunan tokoh tertentu, dan lain-lain personal performance . Karena itu seperti disebutkan di atas tidaklah mengejutkan, suatu partai didirikan tanpa suatu tuntunan comprehensive policy , apalagi program yang akan


(37)

diperjuangkan dan dijalankan. Tidak pula mengherankan, partai-partai tumbuh menjelang pemilihan umum dan pemilihan Presiden, karena orientasi utama adalah sekedar mendudukkan anggota atau pendukung dalam susunan organisasi negara atau pemerintahan.

4. Kepemimpinan oligarkis.

Merupakan suatu kenyataan, setiap organisasi, baik negara maupun swasta, dijalankan atau dikelola oleh sedikit orang (the minority). Ada dua corak kepemimpinan oleh yang sedikit, yaitu atas dasar oligarkisme atau elitisme . Apa bedanya? Oligarkisme bertolak dari ukuran ingroup dan

outgroup yang bertolak dari spoil system , seperti berjuang bersama , ikatan kepentingan, keturunan, atau loyalitas. Dalam tatanan elitisme , ukuran ingroup dan outgroup dapat bergeser didasarkan pada prinsip meritisme , terutama yang berkaitan dengan expertise, responsibility, dan

accountability.

Walaupun telah cukup banyak pengelola partai kita yang dapat digolongkan sebagai elit, tetapi kepemimpinan tetap didasarkan pada tatanan oligarkisme. Bukan expertise, responsibility, dan accountability yang berada di depan, melainkan tunduk pada pimpinan. Tidak heran, kalau kepada kita diperdengarkan ungkapan menunggu keputusan Bapak/Ibu pimpinan . 5. Rekruitmen keanggotaan dan representasi partai pada jabatan publik.

Orientasi utama partai-partai politik adalah mempunyai orang dalam lembaga-lembaga publik (badan perwakilan dan pemerintahan). Hal ini sangat mempengaruhi rekruitmen, yaitu sekedar menemukan orang yang dapat menarik publik tanpa perlu dipertalikan dengan sistem rekruitmen sebagai kader partai. Pola ini bertemu buku dengan orang-orang yang mencari peluang untuk ikut dalam kekuasaan karena merasa mempunyai nama, memiliki modal, atau sebagai peluang melapangkan kepentingannya. Karena itu seperti telah dicatat di atas orang-orang partai di badan perwakilan (DPR, DPRD), gubernur, bupati dan walikota, selain tidak paham benar mengenai pekerjaannya, juga diadili karena pelanggaran hukum. Hal ini


(38)

berbeda dengan deskripsi Feith tentang anggota dan pemimpin partai tahun 1950-an:

To be a party member was to be modern, politically conscious an alert citizen aware of the important of nationality. And to be an office bearer of a party was to be a man of prestige, for political distinction had become probably the most important source of status in society as a whole.25

(Menjadi anggota partai haruslah bersikap modern dan mempunyai kesadaran politik seorang warga negara yang selalu sadar atas pentingnya kebangsaan. Dan menjadi pengurus sebuah partai haruslah orang yang berwibawa dengan mana kemampuan politik tersebut menjadi salah satu sumber penting bagi status [seseorang] dalam sebuah masyarakat secara keseluruhan.

Kedua; faktor eksternal. Seperti halnya faktor internal, dijumpai beberapa faktor yang mempengaruhiperformancepartai politik di Indonesia.

1. Faktor tatanan dan sistem politik a. Praktik sistem pemerintahan

Secara konstitusional, sistem pemerintahan presidensil semestinya tidak banyak pengaruh partai terhadap susunan dan kebijaksanaan Pemerintah. Tetapi karena ada praktik wakil resmi partai dalam Kabinet, partai menjadi sangat berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan, partai meskipun dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak mencalonkan atau mendukung orang yang kemudian menjadi Presiden dan Wakil Presiden, tetapi berlomba untuk duduk dalam Kabinet. Akibatnya, Kabinet menjadi multi wajah yang menyulitkan adanya satu

coherent policy yang akhirnya berpengaruh pada efektifitas

pemerintahan. Efektifitas menjadi makin sulit karena pimpinan pemerintahan sendiri tidak membekali diri dengan comprehensive policy

dan program yang harus dijalankan oleh semua anggota Kabinet. Akibatnya, menteri bekerja menurut gagasan dan kemauan sendiri .

25


(39)

b. Praktik sistem pemilihan umum

Walaupun telah diadakan modifikasi, seperti proporsional tertutup dan

electoral threshold, sistem ini apalagi di Indonesia dengan wilayah luas dan penduduk banyak akan tetap menimbulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Menjadi pendorong tumbuhnya sistem partai banyak.

(2) Rakyat (pemilih) tidak mengenal calon yang mereka pilih. Atau dengan kata lain, ada jarak antara pemilih dan yang dipilih.

(3) Calon tidak memikul kewajiban mengetahui daerah pemilihannya. Akibatnya, calon lebih berorientasi pada persoalan nasional.

(4) Kekuatan politik di badan perwakilan akan terpecah. Walaupun tidak mempunyai konsekuensi terhadap stabilitas pemerintahan, tetapi mendorong terjadinya koehandel yang sangat berpengaruh pada efektifitas pemerintahan.

(5) Sistem partai banyak yang disertai sistem pemilihan proporsional mendorong persaingan tidak sehat antar partai politik yang menimbulkan money politics .

(6) Didorong keinginan memperoleh suara sebanyak-banyaknya untuk menduduki kursi badan perwakilan dan jabatan-jabatan yang dipilih langsung (terutama di tingkat daerah), selainmoney politics, para calon yang diutamakan yaitu para vote getter , bukan kader-kader partai yang berkualitas. Politik oligarki atas dasarspoil system tidak hanya di lingkungan internal partai, tetapi juga dalam mengisi jabatan-jabatan publik yang dipilih. Isteri dan anak gubernur, bupati ataupun walikota, diusahakan untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Begitu pula, keanggotaan pada badan-badan perwakilan menunjukkan praktik yang mirip.

c. Kekuasaan DPR yang hampir tanpa batas.

Kekuasaan DPR yang hampir tiada batas merupakan alat efektif kepentingan partai. Salah satu sasaran perubahan UUD 1945 yaitu menggeser executive heavy yang dipandang sebagai sumber kekuasaan otoritarian. Di pihak lain, untuk menjamin demokrasi, DPR diperkuat sehingga menjadi legislative heavy , baik di bidang legislatif, anggaran,


(40)

maupun pengawasan. Sayangnya, dalam praktik penguatan ini hanya mengenai hak anggaran dan pengawasan. Sedangkan pelaksanaan kekuasaan legislatif sangat tidak memuaskan, baik jumlah maupun kualitas. Penguatan DPR tidak lagi sekedar lebih menegaskan checks and balances. Bukan saja antara Presiden dan DPR, tetapi juga dengan lembaga-lembaga negara lain, seperti prosedur pencalonan pimpinan dan anggota lembaga negara dan lembaga pemerintahan yang harus melalui persetujuan dan konfirmasi (consent and confirmation) DPR.

Meskipun disebut perwakilan rakyat (DPR, DPRD), tetapi secara nyata DPR (termasuk DPRD) adalah representasi partai politik. Penguatan DPR adalah penguatan partai politik. Meskipun melalui Mahkamah Konstitusi memungkinkan calon independen , dalam kenyataan, calon Presiden dan Wakil Presiden sangat ditentukan partai politik. Partai politik menjadi lebih kuat karena dalam Kabinet diberi tempat menteri sebagai wakil resmi partai (supra). Tidak berlebihan, meminjam ungkapan Lord Bryce mengenai Parlemen Inggris: Parlemen itu kekuasaannya tidak terbatas, kecuali mengubah kelamin perempuan menjadi laki-laki atau kelamin laki-laki menjadi perempuan . Dengan demikian kita dapat melihat bersatunya kekuasaan DPR yang sekaligus kekuasaan partai politik. Pertanyaannya, apakah menyatunya DPR dan partai politik berjalan paralel dengan penguatan demokrasi dalam makna pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat ?

2. Faktor sosial

Dalam makna sosial, demokrasi adalah partisipasi rakyat yang dilaksanakan secara bebas dalam penyelenggaraan negara. Kebebasan itulah yang sebenarnya menjadi galih (inti dasar) demokrasi. Kalau tidak ada kebebasan, partisipasi tidak lain dari mobilisasi. Pertanyaannya, apakah keikutsertaan rakyat seperti dalam pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah suatu bentuk partisipasi atau mobilisasi?

Paling tidak, sejak Orde Lama sampai hari ini, rakyat belum berkesempatan secara bebas menjalankan partisipasi sebagai wujud equality among the equals ,


(1)

berimbas pada korupsi politik. Setiap partai akan dapat berkompetisi dengan sehat dalam merekrut kader dan pembelajaran politik yang mapan, dapat meraih suara simpati rakyat tanpa harus korupsi dan penyimpangan proyek.

Keterbukaan dana partai politik harus menjadi hal yang wajib dilakukan bagi setiap partai demi mendukung perbaikan demokrasi politik di Indonesia ke depannya. Peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam keuangan partai politik sangat menentukan berfungsinya lembaga demokrasi. Tanpa adanya penyediaan dana yang memadai kepada partai, regulasi keuangan partai tidak akan efektif. Selain untuk memenuhi kepastian hukum, regulasi keuangan partai harus ditegakkan oleh institusi independen dengan kewenangan yang memadai serta mempunyai sanksi yang jelas.

B. Saran

1. Ketentuan tentang keterbukaan dana partai politik seharusnya dimasukkan ke dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu yang mencantumkan perlunya transparansi dana parpol sebagai syarat kepersertaan serta ada sanksi yang mengikat, seperti sanksi pembekuan sampai pembubaran partai politik yang harus diberikan kepada partai politik yang tidak transparan dalam pengelolaan dana partai;

2. Subsidi finansial dari negara kepada partai harus disertai tujuan yang jelas, untuk mendorong partai politik melaksanakan fungsinya sebagai agen demokrasi, menciptakan persaingan yang adil antar partai, dan mewajibkan partai mengelola keuangan partai secara transparan dan akuntabel;

3. Pengawasan dan penegakan ketentuan tentang keuangan partai politik dalam sumber penerimaan, jenis pengeluaran, pengelolaan, pertanggungjawaban, larangan, prosedur penegakan keentuan, berbagai jenis sanksi dan beserta institusi penegakan ketentuan keuangan partai politik perlu diatur secara komperehensif dalam undang-undang tersendiri ataupun bagian dari undang- undang yang mengatur partai politik ataupun pemilihan umum;

4. Partai politik Peserta Pemilu yang terbukti memperoleh dana dari negara secara tidak sah dikenakan sanksi berupa pengembalian dana yang sudah diterima dari negara ke kas negara dan pencabutan hak mendapatkan dana dari APBN dan APBD untuk dua kali Pemilu berikutnya;

5. Harus ada satu institusi yang berfungsi menegakkan ketentuan tentang keuangan partai politik yang diberi tugas dan kewenangan yang jelas. Penetapan suatu otoritas independen yang disertai kewenangan untuk melakukan verifikasi, penyelidikan dan penyidikan untuk menegakkan


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adenauer, Konrad Stiftung (Ed), 2007. Parties and Democracy The KAS Democracy Report 2007, Germany: Bouvie.

Alkostar, Artidjo, 2008. Korupsi Politik di Negara Modern, Yogyakarta: UII Press. Artanti, Eva, 2009. Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.

Budiarjo, Miriam, 1982. Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai:

Partisipasi dan Partai Politik Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Febari, Rizki Febari, 2015. Politik Pemberantasan Korupsi Strategi ICAC Hongkong dan

KPK Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Lutfi, AM Lutfi, 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia: Sistem Demokrasi Partai

Politik, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004.

Gunawan, Andri, dkk, 2013. Indeks Negara Hukum Indonesia 2013, Jakarta: Indonesian Legal Rountable.

---, dkk, 2014. Indeks Negara Hukum Indonesia 2014, Jakarta: Indonesian Legal Rountable.

Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, 2013. Pembiayaan Partai Politik

Sulawesi Selatan, Jakarta: Partnership (Kemitraan).

Kelly, Norm dan Sefakor Ashiagbor, 2011. Partai Politik dan Demokrasi dalam

Perspektif Teoritis dan Praktis, Washington DC: National Democratic Institute

for International Affairs.

Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto, dan Topo Santoso, 2008. Perekayasaan Sistem

Pemilu untuk Tata Politik Demokratis, Jakarta: Partnership for Governance

Reform Indonesia.

---, 2011. Pengendalian Keuangan Partai Politik,

Seri Demokrasi Elektoral Buku 10, Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata

Pemerintahan.

---, 2015. Peta Permasalahan dalam Keuangan Politik di Indonesia, Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.

Pudjiarto, Harum, 1996. Memahami Politik Hukum di Indonesia (Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1971), Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Peter Mair,

Wolfgang C Muller and Fritz Plasser (Ed), Political Parties and Electoral Change, Party Responses to Electoral Markets, (New Delhi: Sage Publications, 2004) hal. 1.


(3)

Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI.

Tim Penyusun, 1999. Sejarah Pembentukan Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:

Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI.

Tim Perumus, 2009. Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Usul Inisiatif Masyarakat, Jakarta:

Indonesia Corruption Watch (ICW).

Tim Taskforce, 2008. Naskah Akademis dan Rancangan Undang-undang Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional

(KRHN).

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Tahun 1945.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang ratifikasi United

Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) menjadi Undang-undang.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011, perubahan atas Undang- undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan.


(4)

Jurnal

Adnan Buyung Nasution, 2003. Pemberantasan Korupsi: Menunggu Sang Ratu Adil? , Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2003, Jakarta: BPHN, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Hamdan Zoelva, 2013. Memberantas Electoral Corruption , Jurnal Pemilu & Demokrasi, 5 Februari 2013, Jakarta: Perludem.

Rifyal Ka’bah, 2007. Korupsi di Indonesia , Jurnal Hukum dan Pembangunan, ke-37 (1) Januari-Maret 2007.

Theodora Yuni Shah Putri, 2005. Sinergi KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Media Hukum dan Keadilan Teropong Volume III Nomor 12, 2005, Depok: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Gress Gustia Adrian Pah et al, 2014. Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Oleh Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor : 2031 K/Pid.Sus/2011) , e- Journal Lentera Hukum, Vol. I (1) April 2014.

Riyanto Isang, et al, 2008. Korupsi Dalam Pembangunan Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan Budaya , Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol VIII (2) Januari 2008.

Kamus

Bryan A Garner (Ed), 2014. Black’s Law Dictionary Tenth Edition, United States of America: Thomson Routers, West Publishing Co.

Fockema Andreae, 1983. Kamus Hukum Terjemahan, Bandung: Bina Cipta, 1983. Martin Basiang, 2009. The Contemporary Law Dictionary First Edition, Indonesia:

Red & White Publishing.

Media, Artikel dan Internet

Ahsanul Minan, Politik Hukum Pengaturan Dana Kampanye Partai Politik Studi komparatif mengenai pengaruh perubahan konstalasi politik terhadap pengaturan tentang dana kampanye dalam pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009 , melalui www.ahsanulminan.webs.com, diakses pada tanggal 17 Juli 2016.

ICW, Infografis Lawan Korupsi, 4 Tahun Tren Korupsi Indonesia 2010-2013. http://beritagar.id/artikel/berita/keterbukaan-pengelolaan-keuangan-parpol-

diusulkan-masuk-ruu-pemilu. Diakses pada tanggal 15 Juli 2016.

http://www.kompasiana.com/muhammadtaufik/menghilangkan-korupsi-partai- politik_5528ff8b6ea8342e748b4592. Diakses pada tanggal 11 Juli 2016.


(5)

http://nasional.kompas.com/read/2016/05/26/09175281/tidak.transparan.kelola.k euangan.partai.politik.harus.dijerat.sanksi.pembekuan. Diakses pada tanggal 11 Juli 2016.

www.komisiinformasi.go.id. Transparansi Pendanaan Parpol. Diakses pada tanggal 11 Juli 2016.

http://riset.ti.or.id/category/indonesia-corruption-perceptiob-index/ diakses tanggal 15 Juli 2016.

http://acch.kpk.go.id/statistik-tindak-pidana-korupsi.

http://ahsanulminan.webs.com/Coretan%20dinding/Politik%20Hukum%20Pengatu ran%20Dana%20Kampanye%20Partai%20Politik.pdf. Diakses tanggal 17 Juli 2016. http://www.fec.gov/info/mission.html

http://www.electoralcommission.org.uk/our-worj/roles-and-responsibilities http://www.english.tse.jus.br/arquivos/law-on-politicalparties

http://www.idea.int/political-finance/sources.cfm#country-MX http://www.idea.int/political-finance/sources.cfm#country-ZA http://www.eci.nic.in/eci/eci-html


(6)

Biografi Penulis

EDITA ELDA, SH, MH, lahir di Padang tanggal 25 Januari 1986. Menamatkan S1 sebagai lulusan terbaik predikat cumlaude pada Fakultas Hukum Universitas Andalas tahun 2007, dan kemudian menyelesaikan S2 pada 2009 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sejak tahun 2009 bergabung sebagai Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas. Bidang keahliannya mencakup hukum pidana, hukum acara pidana, kriminalistik, hukum pidana internasional, serta tindak pidana korupsi. Selain aktivitas mengajar, Edita juga aktif sebagai peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana (PSH&SPP) dan juga Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Selain itu, juga sebagai Tenaga Pengajar Paralegal pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang sejak tahun 2013. Sebagai bagian dari tugas pengabdian, Edita juga berperan sebagai pembina pada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) serta pelatih dan pendamping kegiatan perlombaan Debat Mahasiswa tingkat Nasional. Saat ini, ia sedang menempuh jenjang pendidikan doktoral bidang Hukum di Universitas Indonesia sejak tahun 2014.