Tinjauan Pustaka Prosiding Hasil hasil Penelitian Teknologi

Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Teknologi, MIPA dan Pendidikan Vokasi 558 Pangan dinyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Maxwell 2000 menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan. Indikator dampak digunakan sebagai cerminan konsumsi pangan yang meliputi dua kategori yaitu secara langsung yakni konsumsi dan frekuensi pangan dan secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Dari uraian diatas menggambarkan bahwa ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi yaitu meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Dalam konteks ketahanan rumah tangga ada hal mendasar yang perlu diperhatikan yaitu bahwa untuk mencapai tingkat ketahanan pangan rumah tangga yang baik, maka perlu diperhatikan aspek gizi yang memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Untuk mencapai kriteria tersebut, maka memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam memilih, mengolah, dan menyajikan makanan untuk keluarga. Uraian di atas baru membahas konsep ketahanan pangan keluarga dalam konteks yang bersifat teoritis, belum detail mencakup aspek praktis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dibuat suatu model pengelolaan makanan untuk tingkat rumah tangga dengan prinsip healthy safety food . Untuk mengukur tingkat ketahanan pangan rumah tangga, ada beberapa teori yang dipakai . Menurut Chung dalam Andnyana 2005, untuk mengukur ketahanan pangan rumah tangga yang digolongkan ke dalam food secure tahan Pangan dan food insecure rawan ketahanan pangan dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran dari indikator out put yaitu konsumsi pangan intik energi atau status gizi individu khususnya wanita hamil dan baduta. Rumah tangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika tingkat konsumsi energi lebih rendah dari cut off point atau TKE 70 Zeitlin Brown, 1990. Di Indonesia Soeharjo 1996 juga telah menetapkan pengukuran ketahanan pangan rumah tangga dari tingkat konsumsi energi dan protein. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energy dari Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Teknologi, MIPA dan Pendidikan Vokasi 559 proteinnya lebih besar dari kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan E P 100 . Jika konsumsi energi atau proteinnya lebih kecil dari kecukupan, maka rumah tangga tersebut dikatakan rawan ketahanan pangan E P 100 . Menurut Hasan dalam Andnyana 2005, ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan pangan melalui survei tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga Sukandar dkk, 2001. Konsep pengukuran ketahanan pangan lain yang dikembangkan Hardinsyah dalam Andnyana 2005 adalah berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan skor diversifikasi pangan. Pada dasarnya konsep pengukuran ketahanan pangan yang dikembangkan Hardinsyah relatif sederhana dan mudah. Selain sudah memperhitungkan jumlah pangan yang dikonsumsi aspek kuantitas dan dikelompokkan pada lima kelompok pangan Empat Sehat Lima Sempurna makanan pokok, lauk pauk, sayur buah dan susu dan dihitung kuantitasnya menggunakan Unit Konsumen UK agar perbedaan komposisi umur dan jenis kelamin anggota rumah tangga dapat dipertimbangkan. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan, selain teori pengukuran yang telah disebutkan di atas, akan dipergunakan model pengukuran dari Susenas yang dinamakan derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga dengan empat kategori: a Rumah tangga tahan pangan, b Rumah tangga rentan pangan; c Rumah tangga kurang pangan; dan d Rumah tangga rawan pangan Menurut Rosner 2004, dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan suatu negarawilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Hal yang sama dinyatakan Ariani 2004 bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Menurut Aziz dalam Andnyana 2005 ketahanan pangan rumahtangga dapat dicapai dengan Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Teknologi, MIPA dan Pendidikan Vokasi 560 pendapatan daya beli dan produksi pangan yang cukup. Sementara menurut Hasan dalam Andnyana 2005 risiko ketidaktahanan pangan tingkat rumah tangga timbul karena faktor rendahnya pendapatan atau rendahnya produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi tidak hanya oleh ketersediaan pangan pada tingkat makro dan tingkat di dalam pasar dan kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan aspek sosio-budaya. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga tersebut diatas, dapat dirinci menjadi 3 faktor yaitu faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan pangan dan gizi. Ketersediaan pangan. Menurut Suhardjo 1996 bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kapasitas penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri. Menurut Baliwati 2001, daerah yang memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki potensi produksi pangan yang berbeda. Namun sebaliknya jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan daya beli harus sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya Suhardjo, 1996. Sedangkan Soemarwoto dalam Rachman 2005 menyatakan keluarga yang lebih suka menjual bahan pangan yang dimilikinya disebabkan oleh pertimbangan ekonomi. Daya beli. Kemampuan membeli atau ―daya beli‖ merupakan indikator dari tingkat sosial ekonomi seseorang atau keluarga. Pembelian merupakan fungsi dari faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling menjalin .Kurangnya ketersediaan pangan keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan Khomsan :2004. Keluarga dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah Suhardjo, 1996. Hal yang sama dinyatakan Soemarwoto dalam Rachman 2005 bahwa faktor ekonomi menyebabkan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga makanan. Secara umum perilaku konsumsi makanan seseorang atau keluarga sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang dimiliki terhadap sistem nilai tindakan yang dilakukan. Jika ditelusuri Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Teknologi, MIPA dan Pendidikan Vokasi 561 lebih lanjut, sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu yang berkaitan dengan pelayanan gizikesehatanKB, Ciri-ciri sosial yang dimiliki umur, jenisgolongan etnik, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya, dan informasi pangan, gizi dan kesehatan yang pernah diterimanya dari berbagai sumber. Kebudayaan memberikan nilai sosial pada makanan karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula nilai sosial yang rendah Beberapa kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam rangka peningkatan ketahanan pangan tingkat nasional antara lain dengan melakukan tindakan intervensi . Khusus pada sub sistem konsumsi yang memang berkaitan langsung dengan ketahanan pangan rumah tangga dilakukan dengan cara pemberian makanan tambahan untuk kelompok rawan pangan gizi buruk, pemberian bantuan tunai untuk meningkatkan kemampuan mengakses pangan Deptan : 2005 . Berbagai intervensi ini sudah cukup baik , tapi menurut hemat penulis cara ini masih bersifat temporer , artinya memiliki keterbatasan pada biaya dan waktu yang diperlukan, ibarat membantu orang maka jangan diberi terus ikannya, tapi perlu diberi alat untuk menangkap ikan yaitu berupa pancing. Oleh karena itu perlu cara yang lebih mendasar untuk mengatasi masalah ini salah satunya dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan yang memadai , sehingga bekal ini akan menjadi modal dasar untuk mampu meningkatkan ketahanan pangan keluarga secara berkelanjutan suistainibility food security. Apabila ketahanan pangan di tingkat rumah tangga telah tercapai, maka ketahanan pangan dalam lingkup yang lebih luas yaitu di tingkat daerah maupun nasional akan lebih mudah dicapai.

5. Metode Kegiatan IbM

Secara umum program penerapan IPTEKS ini akan menggunakan metode Kaji Tindak Action Research . Berdasarkan target atau hasil yang direncanakan, maka program penerapan IPTEK ini dibagi dalam tahapan sebagai berikut : a. Studi awal pemetaan keluarga rawan pangan khususnya di Desa Banjarsari Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung . b. Pengembangan program Healthy Food . Secara praktis metode ini dipergunakan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang meliputi kemampuan memilih, mengolah, dan menyajikan makanan pangan bagi keluarga dengan prinsip sehat seimbang empat sehat lima sempurna. Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Teknologi, MIPA dan Pendidikan Vokasi 562 c. Pengembangan program Safety Food ditujukan untuk membantu meningkatkan ketahanan pangan keluarga yang meliputi kemampuan untuk memilih dan mengolah makanan yang bebas dari zat-zat kimia dan mikroorganisme yang berbahaya, serta menerapkan konsep sanitasi dan hygiene yang tepat. d. Implemementasi program Healthy Safety Food pada keluarga rawan pangan di Desa Banjarsari Kabupaten Bandung . e. Lanjutan dari program Healthy Safety food dengan adanya kesadaran untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga secara berkelanjutan sustainibility food security . Konsep sustainibility food security akan dikembangkan dengan dua pendekatan yaitu : 1 Metode diversifikasi pangan pada keluarga rawan pangan dengan mamanfaatkan kekayaan sumber daya alam potensi daerah masing-masing untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga . Diversifikasi pangan dalam konteks keluarga ini dapat difasilitasi dengan adanya keragaman sumberjenis pangan dan cara pengolahan yang bervariasi. 2 Mengembangkan model penyuluhan dan pendidikan gizi bagi keluarga rawan pangan yang mengintegrasikan seluruh komponen yang ada di daerah masing- masing mulai dari aparat desa, pemda setempat, dan kontribusi dari akademisi yang berada dekat dengan lingkungan tersebut. Model ini dikembangkan agar keluarga rawan pangan , dalam jangka panjang memiliki kemandirian untuk mampu meningkatkan ketahanan pangan di lingkungan keluarganya masing- masing. 6 . Pelaksanaan Kegiatan IbM

a. Gambaran Kuantitatif Potret dan Profil Desa Banjarsari Kecamatan

Pangalengan Kabupaten Bandung Desa Banjarsari merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Desa Banjarsari berada di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan air laut, yang memiliki luas ± 2.208,97 Ha. Desa Banjarsari berbatasan dengan desa Margaluyu di sebelah barat, di sebelah utara berbatasan dengan desa Sukamanah, sebelah selatan dengan desa Wanasuka dan sebelah timur dengan desa Tarumajaya dan Kertasari.