97
Berdasarkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Mencurigakan PPATK atau Financial Intelligence Unit FIU di Indonesia telah menerbitkan Pedoman pemberian informasi
tindak pidana pencucian uang di bidang kehutanan dan konservasi sumberdaya alam hayati melalui SK Kepala PPATK KEP-2B1.02PPATK0406 tanggal 22 April 2006. Pedoman ini
sejatinya tidak hanya mencakup pencucian uang dengan predicate crime Kehutanan, tetapi juga seperti yang diatur di Pasal 2 ayat 1 huruf w UU No. 25 tahun 2003, yaitu tindak pidana di
bidang Lingkungan Hidup. PPATK menyatakan dalam konteks pemberantasan tindak pidana pencucian uang di bidang
kehutanan, prioritas utama yang dikejar adalah uang dan harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan, dengan tiga alasan:
156
1. Faktor Resiko untuk mengejar pelaku kejahatan kehutanan secara langsung
2. Mengejar hasil kejahatan dinilai lebih mudah dibanding mengejar pelaku kejahatan
kehutanan 3.
Prinsip live bloods of crime. Di sektor Kehutanan, pelaku tindak pidana pencucian uang dapat individu atau
korporasi.Dari aspek potensi pelaku pencucian uang dalam pidana bidang Kehutanan, PPATK telah memetakan empat jenis pelaku individu dan 3 jenis pelaku korporasi.
Tabel 3: Pelaku Pencucian Uang di bidang Kehutanan
157
No. Pelaku Individu
Pelaku Korporasi 1.
Cukong financial backer: bos atau
orang yang secara finansial berkemampuan mengatur aktivitas
illegal logging Perusahaan pemegang konsesi kehutanan dari
Menteri Kehutanan, antara lain: IUPHHK-HA, IPHHPH, IUPHHK-HT, dan
IPK
2. Broker kayu: penyalur dan
penghubung kayu illegal pada penjual di dalam dan luar negeri
Perusahaan pemehang konsesi atas izin Kepala Daerah, antara lain:
IPKTM, IPHBK, HTR, IPHHK, IPK
3. Backing: orang yang memberikan
perlindungan terhadap terhadap aktivitas illegal logging.
Industri Kehutanan skala besar: Industry bubur kertas, chips, plywood,
sawmill yang mendapatkan bahan baku dari kayu illegal
4. Political Exposed Person PEP:
pemegang jabatan public atau orang yang mempunyai pengaruh pada publik
--
Sumber: PPATK – Departemen Kehutanan, 2008
Tabulasi diatas memberikan petunjuk tentang siapa saja pihak yang dapat dijerat UU Pemberantasan Pencucian Uang, yang mencakup baik perorangan ataupun korporasi. Akan
tetapi, jika dicermati lebih dalam, empat pelaku individu dan tiga pelaku korporasi yang diulas oleh PPATK dan Departemen Kehutanan diatas masih terlalu menekankan pada illegal logging.
Padahal, berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dikenal sepuluh jenis tindak
156
Ibid.
157
PPATK dan Departemen Kehutanan, 2008, Pedoman Pemberian Informasi; Tindak Pidana Pencucian Uang di BIdang Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, Jakarta: PPATK Hal. 26-27
98
pidana Kehutanan. Dengan kata lain, pemetaan pelaku potensial dalam pidana pencucian uang di bidang Kehutanan masih sangat mungkin bertambah banyak.
Pemetaan Masalah dalam PencucianUang di Sektor KehutananSebagaimana telah diulas sebelumnya dalam temuanPPATK dengan predicate crime pidana bidangKehutanan hingga
Februari 2012 fakta masih sangatrendah, yakni: 9 dari 1.924 laporan atau 0,47 dariseluruh laporan. Hingga bulan Juni 2012, hanyaterjadi peningkatan hingga 26 laporan atau
totalberjumlah 35 laporan transaksi mencurigakan dibidang kehutanan. Ini karena ditemukan beberapa kendala atau hambatan yangmengakibatkan belum efektifnya penanganan
tindakpidana pencucian uang dengan predicate crime dibidang kehutanan, yaitu:Rendahnya pemahaman penyidiktentang pentingnya pendekatanfollow the money dalam penyidikantindak
pidana kehutanan maupunkorupsi di sektor kehutanan. Angka statistik yang dirilis oleh PPATK, misalnya,menyebutkan dengan terang setidaknya ada
17Laporan Hasil Analisis LHA yang dihasilkan terkaitkejahatan kehutanan, yang terjadi di 10 sepuluhprovinsi di Indonesia. Kemudian dijelaskan pulabahwa dari 17 LHA berdasarkan
perkara tersebut,dapat dipecah pula bahwa berdasarkan subyekhukumnya, setidaknya ada 35 LHA yang mengacupada berbagai orang dengan beragam latar belakangpekerjaan.Keberadaan
statistik transaksi keuanganmencurigakan dan laporan hasil analisis terhadapkejahatan kehutanan, dapat dipahami karenakejahatan kehutanan merupakan kejahatan yangmelibatkan
keuntungan ekonomi dalam jumlah besar.Motifnya kejahatan ini murni karena motif ekonomi dan seringkali menggunakankekuatan ekonomi tersebut untuk membuatkejahatannya menjadi
mungkin. Oleh karena itu,ketika statistik TKM maupun LHA berbunyi terkaitkejahatan kehutanan, itu dapat diterjemahkan untukbanyak pidana, baik itu pencucian uang, korupsi,
ataubahkan perpajakan. Namun ditemukan bahwa kemampuanPenyedia Jasa Keuangan PJK dalammelakukan
identifikasi transaksikeuangan terkait dengan tindakpidana kehutanan. belum optimal. Ketua Kelompok Hukum DirektoratHukum dan Regulasi pada PPATK,Riono Budi Santoso
mengatakan bahwaPPATK kesulitan dalam menemukantransaksi keuangan mencurigakan yangterkait dengan kejahatan kehutanan.Hal ini terjadi karena kebanyakanpelaku kejahatan
kehutanan sepertipembalakan liar dan alih fungsihutan ilegal adalah pengusaha. Jaditransaksi yang pelaku kejahatankehutanan lakukan terlihat wajar olehdunia perbankan atau Penyedia
JasaKeuangan karena dianggap sebagaibagian dari usaha Degan kondisi demikian jika pemberantasanpencucian uang di sektor Kehutanan dibatasi
hanyadengan predicate crime tindak pidana bidang Kehutanan saja, maka dapat disimpulkan, upayapemberantasan pencucian uang di sector ini gagal,dan kecil kemungkinan terjadi
perubahan signifikanke depan jika tidak dilakukan perbaikan strategioleh PPATK terhadap PJK, Kementrian Kehutanan,lembaga barang dan jasa, dan lainnya.
UUTPPU diharapkan dapat menjawab keterbatasan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan memanfaatkan mengaitkan tindak pidana kehutanan dengan tindak pidana
pencucian uang, diantaranya ialah:
158
a. Bank akan terdorong meningkatkan praktik due diligence dalam memberikan pinjaman
terhadap aktor di sektor Kehutanan melalui penerapan “know your costumer”;
b. Bank dapat diminta untuk memonitor transaksi keuangan mencurigakan yang terjadi
di sektor Kehutanan. Estimasi bahwa hampir 70 kayu di Indonesia didapatkan dari
158
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra Aditya, 2008: Hlm. 35-36