Putusan Pengadilan Tingkat Pertama
140
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kedudukan, kemampuan, harkat serta martabatnya
semula; 4.
Memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari dalam tahanan 5.
Menyatakan barang bukti digunakan dalam berkas perkara lainnya. 6.
membebankan biaya perkara pada negara. Putusan tersebut dihasilkan dari rapat permusyawaratan Majelis Hakim hari Kamis, tanggal 1
November 2007 dan dibacakan pada hari Senin, tanggal 5 November 2007. “Hakim
Pengadilan Negeri Medan berkesimpulan, dakwaan jaksa tidak terbukti. Hakim hanya menganggap terdakwa tidak menaati aturan Tebang Pilih Tanaman Indonesia TPTI.
Perbuatan itu disebut bukan perbuatan pidana delik, hanya melanggar izin atau hukum administrasi. Karena itu,majelis hakim membebaskannya dari semua tuntutan pidana, baik
korupsi maupun illegal logging. Dalam perkara Adelin, jaksa membidik perbuatanillegal logging-nya dengan dua macam
tuntutan primer, yaitu korupsi dan illegal logging. Dalam tuntutan korupsi, jaksa menggunakan Pasal 2 UU Tipikor, yang unsurnya terdiri atas 1 setiap orang, 2 secara melawan hukum,
3 melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan 4 perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur nomor
1 setiap orang, nomor 3 perbuatan memperkaya diri sendiri, dan nomor 4 merugikan keuangan negara. Unsur kedua melawan hukum adalah unsur yang dipersoalkan oleh hakim,
yang menganggap perbuatan Adelin Lis memang melanggar Pasal 50 ayat 2 UU Kehutanan, tapi hakim mengklasifikasikan perbuatan itu sebagai pelanggaran aturan atau izin TPTI, jadi
bukan perbuatan pidana. Dalam memeriksa dakwaan Jaksa Penuntut Umum JPU, Majelis Hakim berpendapat bahwa
dakwaan -dakwaan JPU merupakan Lex specialis derogate legi generali sesudah memeriksa dakwaan kesatu. Pendapat Majelis Hakim ini kurang tepat, karena Majelis Hakim seharusnya
sebelum memeriksa dakwaan JPU, terlebih dahulu menentukan apakah dakwaan-dakwan JPU ini merupakan Lex specialis derogate legi generalis atau tidak.
Di persidangan, Ahli A De Charge, Prof. DR. Andi Hamzah, S.H, telah memberikan keterangan bahwa Putusan Mahkamah Agung R.I No. 426Pid2006 terhadap DL. Sitorus, di
mana Hakim setuju dengan pendapat ahli perihal apabila dalam surat dakwaan terdapat suatu perbuatan melanggar ketentuan pidana umum UU Korupsi dan ketentuan pidana istimewa
UU Kehutanan, maka sesuai Pasal 63 ayat 2 KUHP, ketentuan pidana istimewa UU Kehutanan saja yang diterapkan Lex specialis derogate legi generalis, dan dalam perkara DL.
Sitorus ini diterapkan UU Kehutanan. Pendapat Majelis Hakim yang menyatakan dakwaan-dakwaan JPU ini merupakan Lex specialis
derogate Legi generalis, maka Mejelis Hakim hanya memeriksa dakwaan pada ketentuan pidana istimewanya saja, tanpa memeriksa dakwaan pada ketentuan pidana umum. Tetapi dalam
mengambil Putusan dalam perkara ini, Majelis Hakim memeriksa seluruh dakwaan JPU, baik dakwaan baik dakwaan kesatu maupun dakwaan kedua, sehingga Majelis Hakim tidak secara
jelas menerapkan asas Lex specialis derogat legi generali dalam memeriksa dakwaan JPU. Seharusnya, ketentuan mengenai asas lex specialis derogat legi generali tidak dapat diterapkan
dalam kasus ini. UU Korupsi bukanlah peraturan hukum yang bersifat umum terhadap UU Kehutanan. UU Korupsi adalah peraturan yang bersifat khusus terhadap KUHP. Begitu juga
dengan UU Kehutanan, adalah peraturan yang bersifat khusus terhadap KUHP. Memang ada
141
pendapatyang menyatakan bahwa karena dalam hal ini pokok perbuatan adalah masalah yang berkaitan langsung dengan Hak Pengelolaan Hutan, maka ketentuan UU Kehutanan menjadi
lex specialis. Sedangkan UU Korupsi karena tidak secara khsusus menyebutkan tentang bidang tertentu bidang kehutanan, maka UU Korupsi-lah yang berkedudukan sebagai lex generalis
terhadap UU Kehutanan. Namun Undang-undang Korupsi dan Undang-undang Kehutanan masing-masing mengatur hal
yang berbeda. Dari sisi tujuan dan hal-hal yang diatur juga berbeda. UU Korupsi bertujuan mengejar pemulihan “kerugian keuangan negara”. Sedangkan UU Kehutanan bertujuan
memanfaatkan dan melindungi hutan. Sekalipun di dalam proses pembuktian unsur “melawan hukum” pada UU Korupsi akan mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku pada UU
Kehutanan, namun karena tujuan dari kedua undang-undang ini berbeda, maka UU Korupsi tidak dapat dianggap sebagai lex generalis dan UU Kehutanan sebagai lex specialis. Oleh karena
itu, pendakwaan UU Korupsi dan UU Kehutanan dapat dilakukan bersama-sama dan tidak perlu memilih salah satunya saja kumulatif.
Selanjutnya dalam mengambil Putusan, Majelis Hakim harus memeriksa apakah perbuatan terdakwa AL telah memenuhi unsur-unsur dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum JPU.
Apabila menurut pertimbangan Majelis Hakim, terdakwa AL terbukti bersalahmemenuhi unsur-unsur dakwaan, maka terdakwa AL harus dinyatakan bersalah.
Pertimbangan Majelis Hakim PN Medan dalam perkara ini adalah sebagai berikut: Terhadap Dakwaan Kesatu Primair
Majelis Hakim dalam mempertimbangkan unsur
“secara melawan hukum” pada dakwaan kesatu primair ini berpandangan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003PUU-
IV2006 tanggal 25 Juli 2006, bahwa “pengertian secara melawan hukum” di dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 ini hanya dilihat dalam pengertian formil saja dalam arti harus
ada ketentuan perundang-undangan hukum tertulis yang dilanggar dan perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana. Berdasarkan pengertian “unsur melawan hukum” dalam arti
formil ini, Majelis Hakim mempertimbangkan apakah perbuatan Terdakwa atau perbuatan PT. KNDI di dalam menjalankan kegiatan usaha mengelola, memungut hasil hutan, atau
mengusahakan hutan diatas areal lahan hutan seluas 58.000 hektar di Kabupeten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum.Pertimbangan
Majelis Hakim mengenai perbuatan melawan hukum formil yang didakwakan JPU kepada Terdakwa yaitu:
a.
Melakukan penebangan dan memungut hasil hutan di luar areal Rencana Kerja Tahunan
RKT yang telah disahkan, dengan tanpa hak dan tanpa ijin. DAKWAAN INI TIDAK TERBUKTI, karena sesuai dengan fakta belum terlihat dengan jelas apakah benar telah
dilakukan penebangan di luar RKT. Dan ijin HPH PT. KNDI belum pernah dilakukan pencabutan dan dianggap sah berlaku. Seandainya terjadi penebangan di luar RKT, maka
hal ini sesuai dengan PP No. 34 Tahun 2002 dipandang sebagai pelanggaran yang bersifat administratif, yang sanksinya berupa sanksi administratif oleh Departemen Kehutanan
b. Melakukan penebangan dan pemungutan hasil hutan kayu telah bertentangan dengan
kewajiban PT. KNDI dalam Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 805Kpts- VI99 tanggal 30 September 1999 tentang Pembaharuan ijin HPH kepaa PT. KNDI , yang
menyebutkan:
142
1.
Perusahaan harus melakukan sistim silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI. DAKWAAN INI TIDAK TERBUKTI, karena tidak ada bukti yang cukup untuk
menggambarkan sejauhmana sistim silvikultur TPPI tidak dilaksanakan oleh PT. KNDI 2.
Perusahaan dilarang melakukan penebangan hutan di luar areal RKT yang telah
disahkan. DAKWAAN INI TIDAK TERBUKTI, karena sesuai dengan fakta belum terlihat dengan jelas apakah benar telah dilakukan penebangan di luar RKT
3. Perusahaan harus membangun jalan dan memelihara jaringan jalan di dalam areal
kerjanya sesuai dengan ketetapan dan ketentuan pembuatan jalan angkutan serta sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang telah disahkan. Dikualifikasikan
PELANGGARAN ADMINISTRATIF
4. Perusahaan harus membayar Iuran Hasil HutanProvisi Sumber Daya Hutan PSDH
dan Dana Reboisasi DR. DAKWAAN INI TIDAK TERBUKTI, karena dalam persidangan terungkap bahwa pembayaran ini telah lunas dengan bukti surat potokopi
transfer pembayaran
5. Perusahaan harus mengikutsertakan koperasi, lembaga pendidikan setempat dan
BUMD sebagai pemegang saham. DAKWAAN INI TIDAK TEBUKTI, karena adanya kendala dalam hal belum adanya petunjuk teknis.
6. Melakukan penebangan dan pemungutan hasil hutan kayu telah bertentangan dengan
kewajiban PT. KNDI untuk melaksanakan Timber Cruising dan membuat laporan cruising. Dikualifikasikan PELANGGARAN ADMINISTRATIF.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus Dakwaan Kesatu Primair yang menyatakan unsur “secara melawan hukum” dalam arti formil tidak terbukti, dinilai KURANG TEPAT.
Karena perbuatan Terdakwa dalam menjalankan kegiatan usaha mengelola, memungut hasil hutan, atau mengusahakan hutan di areal HPH PT. KNDI, telah menyebabkan kerusakan
hutan sehinggamenimbulkan kerugian keuangan negara, ini merupakan perbuatan secara melawan hukum dalam arti formil dalam dakwaan kesatu primair ini.
Adanya kerusakan hutan dapat diketahui dengan melihat kondisi hutan sebelum dan sesudah penebangan oleh PT. KNDI. Perubahan hutan alam menjadi tanah gundul, tanah subur
menjadi tanah kering, dan perubahan stok air tanah, sudah merupakan suatu perubahan fisik yang dapat disaksikan secara langsung, sehingga hutan tersebut sudah mengalami perubahan
fisik yang merupakan kerusakan hutan. Ahli DR. Ir. Basuki Wasis, M. Si, dosen di Fakultas Kehutanan IPB, sesudah melakukan penelitian, memberikan keterangan di persidangan bahwa
kegiatan-kegiatan PT. KNDI pada areal HPH PT. KNDI berdampak pada Konversi lahan hutan dari hutan alam menjadi tanah terbuka dan hutan sekunder yang terbakar telah
menyebabkan pemadatan tanah. Hal ini menunjukkan bahwa pada Hutan Produksi di areal HPH PT. KNDI telah terjadi kerusakan struktur tanah yang merupakan kerusakan Hutan
Produksi. Perbuatan Terdakwa dalam menjalankan kegiatan usaha mengelola, memungut hasil hutan, atau mengusahakan hutan diatas areal HPH PT. KNDI, yang telah menyebabkan
kerusakan hutan sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara, merupakan unsur secara melawan hukum dalam arti formil dalam dakwaan kesatu primair ini. Oleh karena itu unsur
secara melawan hukum dalam dakwaan kesatu primair ini telah terpenuhi, sehingga Terdakwa dapat dipidana
Amar putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa terdakwa penebangan kayu di luar RKT yang dilakukan oleh PT KNDI merupakan pelanggaran administrasi bukan sebagai tindak
pidana.Pendapat Hakim Pengadilan Negeri Medan yang menyidangkan kasus PT. KNDI ini telah dinyatakan juga oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
143
yang ditujukan kepada penasehat hukum PT. KNDI yakni Hotman Paris Hutapea bahwa surat Menteri Kehutanan Nomor S.613Menhut-II2006 27 September 2006 disebutkan
pelanggaran penebangan hutan di luar RKTRencana Karya Tahunan oleh pemilik izin HPH adalah pelanggaran administrasi bukan pidana sehingga para tersangka dibebaskan oleh
Pengadilan Negeri Medan darisegala tuntutan yang telah dituduhkan.
203