Penerapan Asas Lex Specialis derogat Legi Generale vs Concursus Idealis

146 Namun, Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung tampaknya tidak mempertimbangkan poin krusial ini. Tetapi lebih memposisikan UU Korupsi dan UU Kehutanan merupakan dua aturan yang dapat menjerat satu perbuatan pidana perbarengan aturan. Artinya, hakim menggunakan Pasal 63 ayat 1 KUHPidana dalam pertimbangan tersebut, atau kerap dikenal dengan concursus idealis. Pasal 63 ayat 1 KUHPidana mengatur bahwa, “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanyalah salah satu dari aturan tersebut, yang ancaman pidana pokoknya terberat.Ada dua hal yang dapat dipahami dari Pasal 63 ayat 1 KUHPidana tersebut, yaitu: 1. Menggunakan sistem absorbsi, yakni: hanya mengenakan satu aturan pidana 2. Yang dikenakan adalah aturan pidana dengan ancaman hukuman terberat Mencermati Dakwaan Kesatu dan Kedua Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan Pasal 2 ayat 1 UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KESATU dan Pasal 50 ayat 2 jo Pasal 78 ayat 1 dan ayat 14 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, jika hakim menerapkan Concursus Idealis, maka yang akan dikenakan terhadap terdakwa tentu saja adalah Dakwaan KESATU dengan ancaman sanksi maksimal seumur hidup atau 20 tahun. Sedangkan, ancaman sanksi maksimal untuk dakwaan KEDUA hanyalah 10 tahun, atau jika dilakukan atas nama Badan Hukum dapat ditambah sepertiga, yakni 13 tahun. Atas dasar itulah, Majelis Hakim menjatuhkan vonis pidana penjara 10 tahun pada Adelin Lis karena melakukan Korupsi dan Pembalakan Liar.

7.3. Kaitan dengan Money Laundering

Tidak adanya dakwaan JPU, yang berakibat pada tidak adanta putusan Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa terdakwa Adelin Lis Direksi PT. KNDI diduga atau patutdiduga telah melakukan tindakan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan melalui kegiatan Money Launderingcukup mengherankan. Ada beberapa asumsi mengapa tidak digunakan ketentuan tersebut dalam kasus ini pertama, adanya kebingungan dan ketakutan dalam penggunaan pasal-pasal pencucian uang karena beberapa ketentuan yang belum dipahami oleh aparat penegak hukum, kedua ada motif khusus agar kasus ini sengaja dilemahkan penegakannya. Berdasarkan Pasal 3 UUTPPU apabila dikaitkan dengan Pasal 2 UUTPPU dapatdikonstruksikan bahwa “harta kekayaan” yang “diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan” merupakan unsur suatu hasil tindak pidana. Pada definisi perbuatan pencucian uang direduksi dengan adanya kata “yang diketahuinya atau patut diduganya”.Jadi hasil tindak pidana yang merupakan unsur suatu Money Laundering, dikonstruksi dengan menambah kata “yang diketahuinya atau patut diduganya”. Penjelasan Pasal 3 UUTPPU secara jelas dapat ditafsirkan bahwa hasil tindak pidana adalah, minimal sudah menunjukkan adanya indikasi bukti permulaan atas terjadinya tindak pidana. Dengan kata lain dari penjelasan pasal tersebut jelas tersirat bahwa Predicate Crimes sebagai core crime dari Tindak Pidana Pencucian Uang tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup dengan adanya bukti permulaan yang cukup. Hal inilah yang menjadi dasar pemberantasan TPPU oleh penyidik Polri untuk melakukan penyelidikan atas indikasi pencucian uang yang diperoleh dari core crimesdengan melalui audit trail. 147 Pendekatan Anti Pencucian Uang, dalam UUTPPU mensyaratkan bahwa yang terpenting ‘sudah terdapat bukti permulaan yang cukup’. Hal tersebut dapat terlihat dalam pasal- pasal:Pasal 35 menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana”. Penafsiran gramatikal dari pasal ini menyiratkan bahwa bentuk pembuktian yang diadopsi oleh UU Tindak Pidana Pencucian Uang adalah seakan-akan adalah Pembuktian Terbalik Sempurna; karena tersirat hanya terdakwa yang wajib membuktikan bahwa hartakekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Namun kontradiksi akan muncul apabila membaca penjelasan Pasal 35 yang menyatakan bahwa “Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Keten tuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik”. Meskipun sepertinya terdapat kontradiksi antara Pasal 35 wajib membuktikan dengan penjelasan Pasal 35 diberi kesempatan untuk membuktikan, penjelasan Pasal ini diperlukan apabila isi suatu Pasal tidak jelas. Ketika bunyi suatu pasal Pembuktian terbalik yang diadopsi oleh UU No.15 Tahun 2002 sebagai langkah awal kriminalisasi pencucian uang sebelum diubah dengan UU No. 25 Tahun2003 pada dasarnya mengikuti terobosan yang diterapkan pada Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi,namun hal ini tidak jelas jika mengacu ke penjelasan dari isi pasal tersebut. Perbedaan antara isi pasal dengan penjelasan pasal dapat menjadi loop holes celah hukum yang dipergunakan oleh pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau untuk memeras terdakwa. Salah satu bunyi konsideran pada UUTPPU menyatakan: “bahwa perbuatan Pencucian Uang harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan terjaga”. Bahkan dalam penjelasan umum paragraf ke-4 dan ke-5 dikatakan bahwa: “Perbuatan Pencucian Uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktik Pencucian Uang telah menjadi perhatian internasional. Berbagai upaya telah ditempuh oleh masing-masing negara untuk mencegah dan memberantas praktik Pencucian Uang termasuk dengan cara melakukan kerjasama internasional, baik melalui forum secara bilateral maupun multilateral”. Ada beberapa point penting dari perumusan bunyi konsiderans ini, berkaitan dengan upaya pembuktian Predicate Crimes: a. Perbuatan Pencucian Uang harus dicegah dan diberantas, dengan alasan: 1 Agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi. 2 Tercipta stabilitas perekonomian nasional 3 Keamanan terjaga. a. Perbuatan Pencucian Uang sangat merugikan masyarakat dan negara. b. Perbuatan Pencucian Uang meningkatkan berbagai kejahatan lainnya. c. Perbuatan Pencucian Uang telah menjadi perhatian Internasional. Dari point-point tersebut konsideran diatas, berkaitan dengan permasalahanpembuktian Predicate Crimes , maka bentuk yang lebih sesuai dengan amanat konsiderans diatas adalah sudah terdapat bukti permulaan yang cukup. Tujuan utamanya adalah selain untuk menghukum terdakwa, juga membekukan rekening terdakwa dengan harapan memutus “aliran darah” dari para pelaku kejahatan tersebut, serta untuk menyelamatkan kerugian