Tipologi Korupsi Kehutanan PENGGUNAAN INSTRUMEN TINDAK PIDANA

68 Korupsi jenis ini juga dilakukan dengan melakukan penebangan tanpa persetujuan terlebih dahulu atau tanpa melalui proses Rencana Kerja Tahunan serta mengizinkan transportasi kayu-kayu illegal. Selama ini kayu hasil illegal logging dibawa melalui jalan darat atau sungai yang melintasi kota sehingga hampir semua orang mengetahuinya. Karena korupsi tadi, maka pengangkutan kayu-kayu itu tidak mendapat penindakan dari penegak hukum. Studi ICW menunjukkan bahwa korupsi Kehutanan berdasarkan tahapan Praktik korupsi terjadi dalam beberapa tahap pada rantai supply industri kayu, mulai tahap perizinan, penebangan, pengangkutan, pelelangan dan pada saat pembayaran pajak dan retribusi. 106 Tahap Perizinan. Sejumlah perkara korupsi dilakukan terkait dengan pemberian suap dan gratifikasi terahadap pejabat daerah maupun pejabat di Kementrian Kehutanan untuk mendapatkan izin konversi hutan. Suap diberikan tidak hanya dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk pemberian saham perusahaan. Bentuk korupsi lainnya dalam tahap ini adalah menjual izin usaha sawit kepada perusahaan asing yang membutuhkan lahan dalam jumlah luas. Praktik korupsi lainnya juga dilakukan dengan dalih alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit, tetapi setelah mendapatkan kayu, perkebunan sawit tidak kunjung ditanam. Praktik korupsi lainnya dalam tahap ini adalah pencurian kayu yang berlindung di balik izin pinjam pakai, tukar-menukar kawasan hutan untuk fasilitas umum, pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman dan transmigrasi. Pelepasan kawasan hutan juga dilakukan secara sistematis melalui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi RTWP. Tahap Penebangan. Praktik korupsi dilakukan dalam bentuk “pencucian” kayu, perusahaan kayu mendapatkan kayu-kayu illegal dan kemudian dijual kembali seakan-akan menjadi kayu yang legal. Demikian juga pembalakan di luar izin atau konsesi yang diberikan. Selain itu, ditemukan banyak perusahaan sawit membuka usaha perkebunan tanpa izin. Fakta ini dapat dilihat dari keterangan Menteri Kehutanan dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pada 11 Februari 2011 lalu yang menyatakan di Provinsi Kalimantan Tengah dari 352 perusahaan perkebunan sawit dengan luas setidaknya 4,6 juta ha, hanya 67 perusahaan kurang dari 20 yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan. 107 Diduga banyak praktik illegal logging melibatkan oknum aparat penegak hukum sehingga tidak ada penegakan hukum dengan sanksi yang menjerakan. Demikian juga petugas dari Kementrian Kehutanan di tingkat nasional atau petugas dari Dinas Kehutanan di tingkat lokal diduga terlibat dalam jaringan korupsi di sektor kehutanan. Dalam Tahap Pengangkutan, korupsi dilakukan dalam bentuk penerbitan dokumen resmi asli tapi palsu untuk kepentingan pengangkutan seperti Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan SKSHH. Demikian juga dalam pengangkutan kayu hasil tebangan baik melalui darat,sungai maupun laut praktik korupsi terjadi dalam bentuk suap kepada penegak hukum, militer dan pengawas dari Dinas Kehutanan. Investigasi yang dilakukan Majalah Tempo di Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat, menyebutkan untuk menjamin suatu pengiriman kayu illegal bebas dari campur tangan aparat, maka biaya yang harus dikeluarkan setidaknya adalah sebesar Rp. 125 juta yang merupakan uang suap bagi semua aparat penegak hukum dan kehutanan yang berkepentingan. 108 Contoh lain di Papua, hasil investigasi TELAPAK dan Environmental Investigation Agency EIA pada tahun 2005 lalu menyebutkan bahwa sindikat 106 ibid 107 Lihat Siaran Pers Satgas Pemberantasan Mafia Hukum: Penegakan Hukum Pada PelanggaranDi Kawasan Hutan Di Kalimantan Tengah, Jakarta 1 Februari 2011. http:www.satgas-pmh. go.id?q=node179 108 Pembalakan di Ketapang, Kalimantan Barat, Majalah Tempo edisi 7-13 April 2008 69 illegal logging telah membayar suap Rp. 1,8 miliar untuk dapat memastikan 1 satu kapal yang mengangkut kayu ilegal dari Papua dapat keluar dari perairan Indonesia menuju China. 109 Tahap Pelelangan Terutama bagi kayu yang berhasil disita oleh penegak hukum, justru bisa menjadi legalisasi kayu. Lelang bisa diatur dengan sedemikian rupa sehingga kayu illegal yang disita dengan dilelang kemudian menjadi kayu yang legal. Dalam perkara ini para cukong kayu berkolusi dengan oknum polisi dalam melakukan “penyisiran” untuk menyita kayu hasil pembalakan liar diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada pelaku di lokasi untuk ditangkap. Selanjutnya melaksanakan pelelangan kayu yang disandiwarakan sehingga mereka dapat membeli kembali kayu-kayu mereka dengan harga yang murah dan dengan dokumen yang sah pula. Badan Pemeriksa Keuangan BPK tahun 2009 menemukan uang hasil lelang kayu temuan pada Dinas Kehutanan Provinsi Riau yang belum disetor ke kas Negara sebesar Rp. 1,67 milyar. 110 Menhut mengeluarkan petunjuk pelelangan kayu sitaan, temuan, dan rampasan untuk mengurangi kerugian yang diperkirakan lebih dari Rp. 500 miliar akibat rendahnya harga ketiga jenis kayu tersebut yang terjadi pada saat lelang. 111 Tahap Pembayaran Retribusi dan Pajak. Bentuk korupsi tahap ini adalah sebuah perusahaan dengan sengaja tidak membayar iuran hasil hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada setiap kubik kayu legal terdapat 13 jenis pungutan, 112 yaitu: 1 Dana reboisasi, 2 Provisi sumber daya hutan PSDH, 3 iuran HPH, 4 dan jaminan kinerja, 5 pajak bumi dan bangunan, 6 levy and grant, 7 dana investasi pelestarian hutan, 8 dana koperasi, 9 dana kompensasi masyarakathak adat atau hak ulayat, 10 pembinaan masyarakat sekitar hutan, 11 BBNPKB atas alat-alat berat, 12 PPh atas Tenaga Kerja, PPh atas Badan dan PPh atas Jasa, dan 13 pungutan lainnya berdasarkan peraturan daerah. Sayangnya, dalam praktik seringkali terdapat praktik korupsi terhadap pungutan hasil hutan kayu tersebut. Dari sekian banyak pungutan tersebut, Dana Reboisasi adalah yang paling sering diselewengkan. Hasil audit Ernst Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 perkara korupsi dengan kerugian negara Rp. 15,025 triliun versi Masyarakat Transparansi Indonesia. 113 Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan BPK mengungkapkan Dana Reboisasi yang dikeluarkan pemerintah pada Tahun Anggaran TA 2004 sebesar Rp2,885 triliun tidak didukung bukti pertanggungjawaban. Untuk penerimaan daerah dari sektor kehutanan berasal dari retribusi dan pajak daerah yang merupakan pendapatan asli daerah serta dana bagi hasil sumber daya kehutanan. Jika dibandingkan kekayaan hutan yang hilang akibat pembukaan lahan perkebunan sawit ilegal seluas 1.1 juta Ha dari tahun 2006-2009, Pemda Kalimantan Tengah kehilangan potensi penerimaan sebesar Rp. 35.19 triliyun. Begitu pula halnya untuk Kalimantan Barat, dari lahan kebun sawit yang dibuka secara ilegal seluas 1.3 juta Ha, potensi pendapatan daerah yang hilang senilai Rp. 30.63 triliyun dari 2004-2009. Selain iuran hasil hutan, dari aspek penerimaan uang negara sejumlah perusahaan di sektor kehutanan dan perkebunan juga diduga melakukan penyelewenangan pajak. 114 109 Menjarah Papua, MaIaysia dan Cina Berjaya, http:www.eu-flegt.orgnewsroom_detai. php?pkid=493lang=en Demikian juga praktik korupsi oleh aparat yang tidak menyetor uang hasil lelang kayu ke kas negara 110 Surat BPK RI bernomor 29651092009 perihal temuan hasil pemeriksaan di bidang kehutanan 111 Negara Rugi Rp500 Miliar dari Lelang Kayu Sitaan, Kapanlagi.com, 1 Februari 2005 112 Rahmi Hidayati D. Et All. 2006. Pemberantasan illegal logging dan penyeludupan kayumenuju kelestarian hutan dan peningkatan kinerjasektor kehutanan”. Jakarta: Departemen Kehutanan PBB. Hal. 4 113 Lihat ICW, pemberantasan Kejaatan Kehutanan Setengah hati, hal 25 114 Perusahaan kayu PT Asian Agri Group diduga telah melakukan penggelapan pajak senilai Rp 1,3 triliun dan perkara pajak PT Permata Hijau Sawit PHS diperkirakan merugikan negara hingga Rp 1,6 triliun 70 Berdasarkan analisis terhadap bentuk-bentuk korupsi yang terjadi di bidang kehutanan, maka sedikitnya terdapat tiga bentuk korupsi yang secara langsung berkaitan dengan kerusakan hutan dan kerusakan lingkungan di Indonesia, yaitu: 1. Korupsi yang berkaitan dengan pemberian hak dan izin di bidang kehutanan; 2 Korupsi yang berkaitan dengan pengawasan kegiatan usaha kehutanan; dan 3 Korupsi yang berkaitan dengan pemberian hak dan izin serta pengawasan kegiatan usaha berskala besar di bidang kehutanan. Selain bentuk-bentuk korupsi yang berkaitan langsung dengan kerusakan hutan dan kerusakan lingkungan masih terdapat bentuk-bentuk lain korupsi di bidang kehutanan misalnya korupsi yang berkaitan dengan penggunaan anggaran belanja pemerintah di bidang kehutanan atau korupsi yang berkaitan dengan program-program pendanaan dari pemerintah untuk upaya-upaya konservasi hutan atau konservasi lingkungan. Awalnya, penerapan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai memberikan harapan, sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2014 telah digunakan dalam beberapa puluh kasus kehutanan

3. Penggunaan Undang-Undang Korupsi oleh Kepolisian, Kejaksaan dan

KPK, untuk Kejahatan Kehutanan UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mulai sering digunakan untuk menjerat kejahatan di sektor kehutanan. Di Indonesia, saat ini telah ada tiga institusi yang memiliki kewenangan penegakan hukum dalam menangani perkara korupsi yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Dari data penanganan perkara korupsi Kepolisian dalam kasus kehutanan selama tahun 2004 – 2008 tercatat 647 perkara dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum JPU, 73 perkara yang dihentikan penyidikannya SP3 dan sebanyak 1.037 perkara masih dalam proses penyelidikan atau penyidikan. Dari perkara korupsi yang disidik kepolisian terjadi kerugian Negara sedikitnya Rp. 9,83 triliun dan US. 3,1 juta. 115 Pada tahun 2009 dari 427 perkara Polri yang berhasil diselesaikan sebesar 204 perkara dengan nilai kerugian negara Rp. 455 miliar. Untuk tahun 2010 ada sebanyak 231 dari 277 perkara berhasil diselesaikan dan berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp. 339 miliar. 116 Sedangkan di tahun 2011, jajaran kepolisian mengklaim telah menyelamatkan uang negara dari kasus korupsi sebesar Rp. 113 miliar dari 750 kasus dugaan korupsi yang ditangani. 117 Menurut ICW data-data yang disampaikan pihak kepolisian tidak pernah dipublikasikan atau disampaikan secara lengkap kepada publik. Sehingga diragukan kualitas penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh Polri. Hal ini juga diperkuat dengan hasil pemantauan ICW terhadap penanganan perkara-perkara korupsi yang ditangani oleh Polri khususnya Mabes Polri dan Polda Metro Jaya selama kurun waktu 2003 –2012. Terdapat sedikitnya 20 perkara korupsi kelas “kakap” yang tidak jelas penanganannya atau “dipetieskan” meskipun pihak Kepolisian telah menetapkan sejumlah tersangka. 118 Meskipun dinilai banyak perkara yang tidak tuntas, namun dalam penanganan perkara korupsi di sektor kehutanan ada kinerja Kepolisian layak diapresiasi. Salah satu perkara yang cukup 115 Lihat ICW, pemberantasan Kejaatan Kehutanan Setengah hati, hal 43 116 Ibid 117 Ibid 118 ibid 71 fenomenal yang pernah ditangani pihak kepolisian adalah perkara yang melibatkan Adelin Lis Direktur Keuangan Umum PT. Keang Nam Development Indonesia. Namun pasca penanganan perkara Adelin Lis, kinerja kepolisian melemah secara drastis, khususnya paska Kapolri Sutanto digantikan Bambang Hendarso Danuri. Bahkan di Era Bambang Hendarso Danuri, salah satu perkara besar yang ditangani pihak kepolisian yang kemudian di-SP3 adalah Perkara 14 perusahaan di Riau yang diduga terlibat dalam praktik kejahatan kehutanan. Padahal perkara 14 perusahaan di Riau tersebut berkaitan dengan perkara yang menjerat beberapa kepala daerah di Riau. 119 Di luar perkara diatas, pada tahun 2011hingga Juli 2012 ini tidak ada satupun perkara kejahatan kehutanan yang diijerat dengan menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi. Kalaupun terdapat perkara kehutanan, umumnya akan langsung ditangani ke bagian Tipiter Tindak Pidana Tertentu. 120 Kondisi serupa juga terjadi diwilayah-wilayah lainnya seperti di Kepolisian Daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.Berdasarkan data ICW hingga 2012 belum ada satupun perkara korupsi kehutanan yang ditangani di dua provinsi tersebut. Umumnya perkara-perkara kejahatan yang berdimensi kehutanan langsung dijerat dengan UU Kehutanan dan ditangani dibagian kriminal umum. 121 Kinerja Kejaksaan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia juga dinilai belum optimal seperti yang diharapkan. Data Kejaksaan Agung RI menyebutkan sejak tahun 2004- 2008 sebanyak 3.641 perkara korupsi telah disidik oleh Kejaksaan.6 Kejaksaan Agung menyatakan pada tahun 2009 ada 1533 perkara korupsi masuk ke penyidikan dan uang negara yang diselamatkan mencapai Rp4,8 triliun. Sedangkan pada tahun 2010 menyebutkan Kejaksaan berhasil menangani perkara korupsi sebanyak 2.296 perkara dan menyelamatkan potensi kerugian negara sebesar Rp 4,5 triliun. Terakhir ditahun 2011, Kejaksaan mengklaim telah menyelamatkan uang Negara sebanyak Rp198 miliar, dan kasus yang masuk dalam penyidikan sebanyak 1.729. Sementara yang masuk tahap penuntutan sebanyak 1.499 kasus. 122 Khusus dalam sektor kehutanan, tidak jauh berbeda dengan Kepolisian, dalam beberapa tahun terakhirkinerja jajaran Kejaksaan dalam menangani kejahatan kehutanan dengan pendekatan Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi dari aspek kualitas dan kuantitas masih dinilai belum memuaskan. Padahal dapat dikatakan Kejaksaanlah yang merupakan pionir dalam penanganan perkara korupsi di sektor kehutanan. Beberapa perkara korupsi kehutanan yang menonjol yang pernah ditangani oleh kejaksaan adalah perkara penggunaan kawasan hutan secara tidak sah untuk perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 hektar yang merugikan negara Rp. 84 miliar melibatkan Pengusaha DL Sitorus. Kejaksaan bersama dengan Kepolisian juga memproses pengusaha Adelin Lis yang tersangkut perkara pemungutan hasil 119 Mereka di antaranya Bupati Pelelawan Tengku Azmun Jaafar, SH yang divonis bersalah karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 UU No.3199 jo. UU No. 202002, dengan pidana penjara 11 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta rupiah. Tidak hanya itu, Azmun juga diputuskan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 12.367.780.600,00, karena akibat perbuatannya negara dirugikan sebanyak Rp 1,2 triliun. Selain Tengku Azmun Jafar, ada juga Bupati Siak yang juga menerbitkan izin untuk 14 perusahaan dimaksud yakni Bupati Siak, Arwin AS. Lalu yang bersangkutan divonis bersalah juga oleh Pengadilan Tipikor Pekanbaru Riau selama 4 tahun penjara. Namun justru perkara yang menjerat 14 perusahaan tersebut di SP3 oleh Kepolisian. Dari 14 perusahaan terdapat 13 perusahaan perkayuan di Riau yang berada di bawah kepemilikian dua pabrik pulp dan kertas yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper Raja Garuda MasAPRIL dan PT Indah Kiat Pulp and Paper Sinar Mas GroupsAPP. 120 Menurut keterangan Direktur Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri, Brigjend Noer Ali, 121 Ibid hal 44 122 Ibid hal 44