Sulitnya Penegakan Hukum Pidana kehutanan

54 1 Simon Sulaiman dan Danang Suhargo Direktur PT Jutha Daya Perkasa, Simon Sulaiman, ditangkap karena menebang kayu merbau di areal Kopermas Mawaif, Desa Nengke, Kabupaten Sarmi, Papua. Dalam aksinya, Simon dibantu Danang Suhargo, pimpinan cabang PT Jutha Daya Perkasa Jayapura, Lai Hua Teng, serta Wong Ing Wu. Dua nama terakhir ini sampai kini masih buron. Di pengadilan, jaksa menuntut Simon tujuh tahun penjara dan Danang enam tahun penjara serta keduanya membayar denda Rp 1 miliar. Pada 26 September 2005, majelis hakim Pengadilan Negeri Jayapura yang terdiri dari F.X. Soegiartho, S. Radiantoro, dan Denny D. Sumadi memvonis bebas keduanya. Alasannya, mereka mengantongi izin penebangan. 2 Jansen Maarisit dan Sureng Anak Gani Jansen dan Sureng ditangkap aparat Polisi Air dan Udara Polairud Polda Papua di perairan Pulau Yamna pada 25 Februari 2005. Polisi menemukan barang bukti berupa gelondongan kayu 80 batang tanpa dokumen. Menurut aparat, log itu diangkut Sureng dengan tongkang dari PT Wapoga Mutiara Industri di Biak untuk dipindahkan ke kapal tongkang yang dikemudikan Jansen. Saat kayu itu sedang dipindahkan ke tongkang Jansen, aparat tiba- tiba muncul dan membekuk keduanya Jaksa menuntut keduanya tujuh tahun penjara. Tapi majelis hakim yang terdiri dari F.X. Soegiartho, Majedi Hendi Siswara, dan Denny D. Sumadi, memberikan vonis bebas pada 27 September 2005 3 Andi Selle Paralangi Ketua Koperasi Masyarakat Yasra Bayan, Jayapura, ini ditangkap polisi pada 17 Maret 2005 dengan tuduhan menyelundupkan kayu merbau 860 batang. Kala itu kayu tersebut tengah diangkut kapal MV Fitria Perdana dengan tujuan Surabaya. Polisi Air dan Udara menangkap Fitria saat berada di perairan Biak. Andi ternyata memalsukan dokumen kayu. Jumlah kayu ternyata 896 batang dengan volume 3.580,86 meter kubik, bukan 850 batang dengan volume 2.775,86 meter kubik seperti di dokumen Di Pengadilan Negeri Jayapura, jaksa menuntut Andi empat tahun penjara dan denda Rp 100. Tapi majelis hakim yang diketuai F.X. Soegiartho beserta dua anggotanya, Majedi H. Siswara dan Denny D. Sumadi, pada 30 Agustus 2005 memvonis bebas Andi. Alasan hakim: perbedaan itu terjadi karena ada kayu yang terlalu panjang sehingga harus dipotong 55 4 Prasetyo Gow alias Asong Cukong kayu dari Ketapang, Kalimantan Barat, ini dibekuk saat polisi memeriksa kapal KM Layan Bermakna dan KM JEVI yang memuat sekitar 1.000 meter kubik kayu. Ketika itu, 17 September 2004, kedua kapal itu tengah berada di tempat penampungan kayu Lalang Lestari di Kabupaten Ketapang Ketika polisi menanyakan dokumen kayu tersebut, pemiliknya, Prasetyo Gow alias Asong, gelagapan. Ia tak bisa menunjukkan dokumen surat keterangan hasil sahnya hutan SKHSH dengan alasan dokumen itu sedang diproses di Dinas Kehutanan Ketapang. Polisi pun menjebloskan Asong ke tahanan, dan jaksa lantas menuntutnya empat tahun penjara. Pada 17 Oktober 2005, majelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak yang diketuai I Made Ariwangsa membebaskan Asong dari tuntutan jaksa. Pria bermata sipit ini pun melenggang dan menerusk an ”bisnis” kayunya. Sumber: Membalak Tapi Bebas, Abdul Manan, Cunding Levi Papua, Harry Daya Pontianak, Majalah Tempo, Edisi. 38XXXV13 – 19 November 2006 Sebagai contoh lainnya adalah di Kalimantan Tengah, dalam dua tahun 2010-2012 bahkan terlihat penurunan perkara illegal logging yang ditangani Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah Polda Kalteng. Sebelumnya pada tahun 2010 tercatat ada 204 perkara pembalakan liar yang ditangani Polda Kalteng hingga P21 berkas lengkap untuk diserahkan ke kejaksaan. Namun pada tahun berikutnya, yaitu tahun 2011 hanya ada 117 perkara yang sampai P21. Bahkan untuk tahun 2012, berdasarkan catatan di Polda Kalteng hingga April 2012 sudah ada 46 perkara dan baru 12 yang sampai status P21. 76 Selama ini Polda Kalteng rutin melakukan operasi Illegal logging yang disebut ‘Operasi Wanalaga’. Operasi tersebut merupakan operasi kewilayahan yang ditangani langsung oleh biro Operasional Polda Kalteng. Selain operasi Wanalaga juga ada operasi pemberantasan illegal logging yang dilakukan sepanjang tahun.Namun demikian meski banyak operasi yang sudah dilakukan dan sudah berhasil mengungkap ribuan perkara, memproses banyak tersangka serta menyita barang bukti jutaan batang kayu, namun banyak kalangan menilai proses penyidikan, penuntutan dan vonis di pengadilan belum berhasil memberi dampak jera.Menteri, Kapolri dan Presiden sendiri menyatakan tidak puas terhadap proses hukum yang berjalan, khususnya ketika proses di pengadilan. Situasi di pengadilan juga sama. Kekecewaan banyak pihak terhadap proses di pengadilan dalam perkara kejahatan kehutanan khususnya illegal logging bukan tidak beralasan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari pencatatan dan analisis putusan yang dilakukan ICW terhadap perkara Illegal logging yang diadili oleh Pengadilan dari tahun 2005-2008. Dari 205 terdakwa yang terpantau, sekitar 66,83 diantaranya divonis bebas, atau 137 orang; Vonis dibawah 1 tahun dijatuhkan terhadap 44 orang 21,46; vonis 1-2 tahun terhadap 14 orang 6,83, dan diatas 2 tahun sebanyak 10 orang 4,88. 77 76 Opcit hal 34 77 Ibid hal 36 56 Sebagai contoh lain adalah pelaku Kejahatan Kehutanan dalam Studi Kasus Provinsi KalimantanTengah. Laporan Hasil Penelitian Save Our Borneo, Juli 2012,menunjukkan bahwa pelaku kejahatan kehutanan yang posisinya kelas menengah keatas middle upper level hanya 58 orang 28,29. 78 Artinya, sebagian besar pelaku yang berhasil dijerat dalam penegakan hukum pemberantasan illegal logging dari tahun 2005 – 2008hanya menyentuh aktor yang berada di level menegah kebawah, tepatnya 71,71. Lebih dari itu, Putusan hakim untuk 58 tersangka yang merupakan aktor kelas menegah keatas pun dominan dikategorikan tidak berpihak pada pemberantasan illegal logging, yakni sekitar 85,71, yang terdiri dari: Vonis Bebas 71,43 dan Vonis dibawah 1 tahun 14,29. 79 Di tingkatan Mahkamah Agung, hasil yang serupa tergambar dari perkara illegal logging yang ditangani. Sekitar 82,76 perkara yang ditangani MA ternyata hanya melibatkan petani, operator lapangan dan supir sebagai tersangka. Sedangkan Direktur Utama, Komisaris dan pemilik sawmill hanya sejumlah 17,24. Hasil pantauan ICW tidak jauh berbeda dengan data resmi penanganan perkara tindak pidana kehutanan yang dilansir oleh Mahkamah Agung MA. Sejak tahun 2008- 2011, MA menangani 306 perkara kejahatan kehutanan yang diadili ditingkat kasasi. 80 Dari jumlah tersebut mayoritas atau sebanyak 144 perkara dihukum dengan pidana 1 hingga 2 tahun penjara. Sebanyak 67 perkara divonis dengan hukuman dibawah 1 tahun penjara. Pelaku yang divonis bebas sebanyak 60 perkara. Pemberian efek jera terhadap pelaku dinilai minim karena tidak ada satupun yang dijatuhi hukuman diatas sepuluh tahun penjara.

10.2. Persoalan Hukum di Sektor Kehutanan

Fakta-fakta tersebut setidaknya dapat menunjukkan bahwa sektor Peradilan tidak cukup berpihak pada pemberantasan kejahatan kehutanan termasuk di dalamnya praktik illegal logging. Selain itu kegagalan pemberantasan kejahatan kehutanan disebabkan oleh disorientasi penegakan hukum yang tidak berhasil menjerat aktor utama. Penyebab lainnya adalah lemahnya UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU sektoral lainnya sebagai salah satu instrumen yang digunakan penegak hukum dalam pemberantasan kejahatan kehutanan. Kementrian Kehutanan secara komprehensif menyebutkan sedikitnya ada 8 delapan kendala dalam penanganan tindak pidana kehutanan, antara lain 81 Lemahnya kelembagaan, mengakibatkan hutan cenderung menjadi properti bersama, atau tidak menjadi properti siapa-siapa. Implikasinya terjadi ekploitasi berlebihan, maraknya pembalakan liar dan perdagangan liar, pembakaran hutan, perambahan dan pertambangan liar tidak ada lagi : Rekruitmen Polhut, Pemangku kawasan. Di samping itu ada pula berbagai kelemahan lainnya, yakni: a. Sistem yustisi yang ada saat ini belum menjadi alat yang efektif mengatasi kejahatan pembalakan liar dan perdagangan liar, karena kedua kejahatan tersebut menjadi trans- boundary crime yang melibatkan negara lain. b. Adanya kelemahan pada sistem yustisi yang memungkinkan illegal logger dan IT lepas dari jeratan hukum, atau celah-celah dalam perangkat hukum. 78 Ibid 79 ibid 80 ibid 81 Ibid 57 c. Masih adanya multitafsir terhadap istilah-istilahterminologi dalam peraturan perundang- undangan bidang kehutanan dengan bidang terkait lainnya. d. Masih rendahnya integritas moral oknum aparat dalam penegak hukum. e. Lemahnya koordinasi antar penegak hukum belum saling memperkuat. f. Proses penyidikan, penuntutan dan vonis di pengadilan belum berhasil memberi dampak jera. g. Ketidakberhasilan penegakan hukum yang dilakukan, belum memberi “efek nyata” kepada masyarakat, mengakibatkan lemahnya daya dukung masyarakat terhadap kebijakan penegakan hukum. Beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pembalakan liar, di antaranya adalah 82 Praktik KKN di sektor kehutanan yang menyebabkan upaya penyelesaian pembalakan liar tidak jelas dan tidak terarah pada pelaku utama. Keterlibatan aktor intelektual pembalakan liar yang terlalu kuat untuk ditembus hukum karena keterkaitan dengan institusi pemerintah dan oknum pejabat sipil maupun militer. Kondisi sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat yang masih rendah sehingga cenderung melakukan pembalakan liar secara berkelompok dan menjadi tameng bagi pemilik modal. Keserakahan pemilik modal sehingga memilih jalan pintas untuk memperoleh keuntungan yang besar dengan memperalat masyarakat untuk melakukan pembalakan liar. Kurangnya komitmen bersama institusi penegak hukum dalam pemberantasan penebangan liar sehingga masing-masing cenderung menginterpretasikan peraturan dan perundang- undangan menurut kepentingan pribadi, kelompok dan institusi.

10.3. Permasalahan Norma Perundang-undangan

Beberapa permasalahan norma perundang-undangan dalam penegakan pidana Kehutanan, sebelum munculnya UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mencakup: 83  Tidak adanya definisi illegal logging yang memadai. Sebelum munculnya UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Undang-undang kehutanan tidak mendefinisikan arti kejahatan kehutanan. Hal ini menjadi masalah ketika aparat penegak hukum dan juga pihak Departemen Hukum mengartikan kejahatan kehutanan dalam arti sempit, yaitu penebangan pohon yang tidak legal atau tidak ada izin. Dengan pengertian itu, faktanya yang tertangkap adalah masyarakat sekitar hutan yang mencari kayu atau pelaku kelas teri. Padahal kenyataannya, hampir semua pelaku illegallogging kelas kakap melakukan kejahatannya berdasarkan ijin yang dikantongi atau mendapat ijin dari cara tidak legal atau penyuapan.  Tidak ada sanksi minimum. Karena tidak ada sanksi minimum dalam UUK, maka hukuman dari pengadilan bisa dikatakan sangat rendah. Dari hasil pengamatan ICW, cukong bebas sekitar 71,43, sedang sisanya dihukum dibawah 1 tahun 14,29 . Karena Regulasi yang 82 Conservationforest.blogspot.com200901kebijakan-dan-strategi-perlindungan.html 83 Indonesia Corruption Watch, 2009. Korupsidalam Pemberantasan Illegal logging; Analisi Kinerjadan Alternatif Kerangka Hukum. ICW, JAIL-PK, 11.11.11, Jakarta. Hal. 25-26