Persoalan Hukum di Sektor Kehutanan

57 c. Masih adanya multitafsir terhadap istilah-istilahterminologi dalam peraturan perundang- undangan bidang kehutanan dengan bidang terkait lainnya. d. Masih rendahnya integritas moral oknum aparat dalam penegak hukum. e. Lemahnya koordinasi antar penegak hukum belum saling memperkuat. f. Proses penyidikan, penuntutan dan vonis di pengadilan belum berhasil memberi dampak jera. g. Ketidakberhasilan penegakan hukum yang dilakukan, belum memberi “efek nyata” kepada masyarakat, mengakibatkan lemahnya daya dukung masyarakat terhadap kebijakan penegakan hukum. Beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pembalakan liar, di antaranya adalah 82 Praktik KKN di sektor kehutanan yang menyebabkan upaya penyelesaian pembalakan liar tidak jelas dan tidak terarah pada pelaku utama. Keterlibatan aktor intelektual pembalakan liar yang terlalu kuat untuk ditembus hukum karena keterkaitan dengan institusi pemerintah dan oknum pejabat sipil maupun militer. Kondisi sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat yang masih rendah sehingga cenderung melakukan pembalakan liar secara berkelompok dan menjadi tameng bagi pemilik modal. Keserakahan pemilik modal sehingga memilih jalan pintas untuk memperoleh keuntungan yang besar dengan memperalat masyarakat untuk melakukan pembalakan liar. Kurangnya komitmen bersama institusi penegak hukum dalam pemberantasan penebangan liar sehingga masing-masing cenderung menginterpretasikan peraturan dan perundang- undangan menurut kepentingan pribadi, kelompok dan institusi.

10.3. Permasalahan Norma Perundang-undangan

Beberapa permasalahan norma perundang-undangan dalam penegakan pidana Kehutanan, sebelum munculnya UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mencakup: 83  Tidak adanya definisi illegal logging yang memadai. Sebelum munculnya UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Undang-undang kehutanan tidak mendefinisikan arti kejahatan kehutanan. Hal ini menjadi masalah ketika aparat penegak hukum dan juga pihak Departemen Hukum mengartikan kejahatan kehutanan dalam arti sempit, yaitu penebangan pohon yang tidak legal atau tidak ada izin. Dengan pengertian itu, faktanya yang tertangkap adalah masyarakat sekitar hutan yang mencari kayu atau pelaku kelas teri. Padahal kenyataannya, hampir semua pelaku illegallogging kelas kakap melakukan kejahatannya berdasarkan ijin yang dikantongi atau mendapat ijin dari cara tidak legal atau penyuapan.  Tidak ada sanksi minimum. Karena tidak ada sanksi minimum dalam UUK, maka hukuman dari pengadilan bisa dikatakan sangat rendah. Dari hasil pengamatan ICW, cukong bebas sekitar 71,43, sedang sisanya dihukum dibawah 1 tahun 14,29 . Karena Regulasi yang 82 Conservationforest.blogspot.com200901kebijakan-dan-strategi-perlindungan.html 83 Indonesia Corruption Watch, 2009. Korupsidalam Pemberantasan Illegal logging; Analisi Kinerjadan Alternatif Kerangka Hukum. ICW, JAIL-PK, 11.11.11, Jakarta. Hal. 25-26 58 ada selama ini belum bisa memberikan efek jera kepada pelaku. Dan lemahnya ancaman pidana dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Atas dasar itu pula lahir Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan  Tidak menjangkau kejahatan lain. Praktik kejahatan kehutanan di Indonesia tidak hanya sekedar pelakunya menebang kemudian menjualnya. Namun kejahatan tersebut dilakukan sistematis, dan pemodal atau cukongnya tidak berada ditempat tapi menggunakan tangan orang lain hingga berlapis-lapis. Dengan pendekatan UU Kehutanan yang pendekatannya lebih pada locus delicti atau pelaku tertangkap tangan, jelas pelaku kakap tidak akan tertangkap. Selain itu, dalam proses perijinan penebangan hutan, seringkali ijin didapat dari praktik korupsi. Karena itu, UU Kehutanan harus diintegrasikan dengan Undang- undang lain khususnya UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang  Tidak menjangkau kejahatan korporasi. Kejahatan kejahatan kehutanan yang sistematis bisa dipastikan bukan hanya masalah orangperorangan semata, tetapi juga meruPakan kebijakan perusahaan. Namun, UU pidana yang terkait Kehutanan dan alih lingkungan tidak secara lengkap dan baik mengatur mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam perkara kejahatan sehingga upaya hukum terhadap pelaku dan pengembalian kerugian negara tidak dapat dioptimalkan. Dalam UU Minerba juga ditemukan beberapa masalah yang sama. Subjek hukum pidana dalam UU Minerba, yaitu manusia dan badan hukum. Di dalam UU tersebut selalu menyebut “setiap orang” sebagai subjek hukumnya yakni di Pasal 158, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 162, dan Pasal 165. Sedangkan pada Pasal 163 ayat 1 bisa ditelaah atau dapat dikatakan badan hukum merupakan subjek hukum dalam UU Mineba yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, yang sangat disayangkan dalam perumusan Pasal 163 yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum. ” Frasa yang bercetak tebal tersebut dapat mengandung arti bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158, 159,160,161 dan Pasal 165 yang termasuk dalam bab ini dapat dilakukan oleh badan Hukum. Padahal jelas dalam Penjelasan Pasal 165 bahwa “yang dimaksud dengan setiap orang adalah pejabat yang menerbitkan IUP,IPR, atau IUPK”. Dengan demikian ada Kontradiksi. Seharusnya dalam Pasal 163 langsung menyebut pasal-pasal yang dimaksudkan bukan menyebutkan “tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini”. Dengan adanya Pasal 163, mengisyaratkan bahwa badan hukum juga termasuk subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Seharusnya pula ada pasal yang mengatur bagaimana atau kapan korporasi itu dapat dipertanggungjawabkan pidana. Hal tersebut tentu pada gilirannya akan menghambat proses penegakan hukum.  Adanya norma Lex Imperfecta atau larangan tanpa sanksi. Undang-undang pidana di sektor kehutanan, terutama UUK ternyata mengandung norma tertentu, akan tetapi jika terjadi pelanggaran tidak disertai dengan sanksi pidana yang relevan. Seperti yang terdapat pada Pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 5 UU No. 41 tahun 1999. Hal ini tentu menjadi titik lemah regulasi Kehutanan, karena jika ada pihak yang melanggar, kemungkinan lepas dari jerat hukum sangat tinggi. Atau, setidaknya pertanggungjawaban pidana diarahkan pada sekedar sanksi administratif. Akan tetapi, jika menggunakan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, pelanggaran terhadap aturan ini, jika berimplikasi terhadap Kerugian Keuangan Negara, maka ia bisa dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU tindak