Permasalahan Norma Perundang-undangan Permasalahan Penegakan hukum Kejahatan Kehutanan dengan

58 ada selama ini belum bisa memberikan efek jera kepada pelaku. Dan lemahnya ancaman pidana dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Atas dasar itu pula lahir Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan  Tidak menjangkau kejahatan lain. Praktik kejahatan kehutanan di Indonesia tidak hanya sekedar pelakunya menebang kemudian menjualnya. Namun kejahatan tersebut dilakukan sistematis, dan pemodal atau cukongnya tidak berada ditempat tapi menggunakan tangan orang lain hingga berlapis-lapis. Dengan pendekatan UU Kehutanan yang pendekatannya lebih pada locus delicti atau pelaku tertangkap tangan, jelas pelaku kakap tidak akan tertangkap. Selain itu, dalam proses perijinan penebangan hutan, seringkali ijin didapat dari praktik korupsi. Karena itu, UU Kehutanan harus diintegrasikan dengan Undang- undang lain khususnya UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang  Tidak menjangkau kejahatan korporasi. Kejahatan kejahatan kehutanan yang sistematis bisa dipastikan bukan hanya masalah orangperorangan semata, tetapi juga meruPakan kebijakan perusahaan. Namun, UU pidana yang terkait Kehutanan dan alih lingkungan tidak secara lengkap dan baik mengatur mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam perkara kejahatan sehingga upaya hukum terhadap pelaku dan pengembalian kerugian negara tidak dapat dioptimalkan. Dalam UU Minerba juga ditemukan beberapa masalah yang sama. Subjek hukum pidana dalam UU Minerba, yaitu manusia dan badan hukum. Di dalam UU tersebut selalu menyebut “setiap orang” sebagai subjek hukumnya yakni di Pasal 158, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 162, dan Pasal 165. Sedangkan pada Pasal 163 ayat 1 bisa ditelaah atau dapat dikatakan badan hukum merupakan subjek hukum dalam UU Mineba yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, yang sangat disayangkan dalam perumusan Pasal 163 yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum. ” Frasa yang bercetak tebal tersebut dapat mengandung arti bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158, 159,160,161 dan Pasal 165 yang termasuk dalam bab ini dapat dilakukan oleh badan Hukum. Padahal jelas dalam Penjelasan Pasal 165 bahwa “yang dimaksud dengan setiap orang adalah pejabat yang menerbitkan IUP,IPR, atau IUPK”. Dengan demikian ada Kontradiksi. Seharusnya dalam Pasal 163 langsung menyebut pasal-pasal yang dimaksudkan bukan menyebutkan “tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini”. Dengan adanya Pasal 163, mengisyaratkan bahwa badan hukum juga termasuk subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Seharusnya pula ada pasal yang mengatur bagaimana atau kapan korporasi itu dapat dipertanggungjawabkan pidana. Hal tersebut tentu pada gilirannya akan menghambat proses penegakan hukum.  Adanya norma Lex Imperfecta atau larangan tanpa sanksi. Undang-undang pidana di sektor kehutanan, terutama UUK ternyata mengandung norma tertentu, akan tetapi jika terjadi pelanggaran tidak disertai dengan sanksi pidana yang relevan. Seperti yang terdapat pada Pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 5 UU No. 41 tahun 1999. Hal ini tentu menjadi titik lemah regulasi Kehutanan, karena jika ada pihak yang melanggar, kemungkinan lepas dari jerat hukum sangat tinggi. Atau, setidaknya pertanggungjawaban pidana diarahkan pada sekedar sanksi administratif. Akan tetapi, jika menggunakan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, pelanggaran terhadap aturan ini, jika berimplikasi terhadap Kerugian Keuangan Negara, maka ia bisa dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU tindak 59 pidana Korupsi Karena, pelanggaran tersebut dimasukkan dalam unsur melawan hukum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  Lebih banyak menggunakan Sanksi Administratif. Beberapa perkara kejahatan kehutanan masuk dalam sanksi administratif. Pengaturan tindak pidana kehutanan hanya dimuat dalam Pasal 78 UU Kehutanan. Selain yang termasuk dalam Pasal 78, maka hal itu dikategorikan sebagai pelanggaran administratif berdasarkan Pasal 80 ayat 2. 84 Center for International Forestry Research CIFOR juga menekankan beberapa poin yang relatif sama dengan enam kelemahan penggunaan UU Kehutanan diatas. Beberapa diantaranya; pelaku yang bisa dipidana hanya yang tertangkap tangan, pelaku banyak yang bebas atau mendapat hukuman ringan, tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, sedikitnya penggantian terhadap kerugian negara akibat penyitaan hasil kejahatan yang belum signifikan, dan pejabat yang terlibat serta pihak yang menyuap pejabat dan pensucian uang hasil kejahatan tidak tersentuh. 85  Pengaturan pidana denda yang tidak memadai. Misalnya dalam UU Minerba ada aturan mengenai pidana denda yang sangat tinggi terhadap manusia maupun badan hukum namun hal ini justru tidak disertai dengan aturan tentang bagaimana pidana tersebut dilaksanakan dan alternatif pidana pengganti bila denda tersebut tidak dipenuhi. Dengan tidak diaturnya bagaimana pidana itu dilaksanakan, maka akan berpengaruh pada aktif atau tidaknya pidana denda yang diancamkan. Hal ini tentu akan mengandung konsekuensi yuridis antara lain: Pidana denda yang tinggi tidak banyak manfaatnya apabila tidak disertai dengan aturan bagaimana pidana tersebut dapat dilaksanakan. 86 84 Masalah pada Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Sejatinya undang-undang tersebut digunakan sebagai instrument dalam penegakan hukum illegal logging dengan mengacu pada Pasal 78. Penerapan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disisi lain menimbulkan masalah hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 80 ayat 2 menyatakan: Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif. Karena banyak perbuatan yang tidak diatur dalam ketentuan pidana pasal 78, maka para pembalak liar seringkali menggunakan celah ini, atau sengaja melakukan pelanggaran yang termasuk dalam kategori pelanggaran administratif. Misalnya saja, dalam pasal 78, pelaku penebangan hutan tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana penjara dan denda. Tapi bagaimana bila pemegang izin melakukan penebangan hutan dengan sengaja di luar RKT, melakukan penebangan tidak dengan sistem tebang pilih atau menebang tapi tidak menanam kembali. Dalam praktik, hal tersebut banyak dilakukan dan menjadi modus pembalakan liar. 85 Ibid 86 Karena UU Minerba tidak mengatur secara rinci maka mengacu pada Pasal 103 KUHP, maka ketentuan dalam Pasal 30 KUHP berlaku pula bagi pelaksanaan pidana denda yang menentukan apabila pidana denda tidak dibayar diganti dengan pidana denda kurungan pengganti paling sedikit 1 satu hari dan paling lama 6 enam bulan dan paling lama 8 bulan bila ada pemberatan. Untuk itu dipandang perlu ditampilkan bunyi KUHP Pasal 30, dibawah ini: Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen, Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan cetak tebal, penLamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan cetak tebal, pen.Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian; jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh dua sen atau kurungan, di hitung satu hari; jika lebih dari lima rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di hitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52. Maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan. Dengan demikian terang, berlakunya ketentuan Pasal 30 terhadap pengaturan pidana denda dalam UU Minerba mengakibatkan alternatif pidana yang dimungkinkan bila denda tidak dibayar adalah hanya kurungan pengganti denda atau yang biasa disingkat KPD. Konkritnya,pidana denda dalam Pasal 158, 159, 160 ayat 2, 161, 162 60  Masalah Tumpang Tindih Pengaturan. Tumpang tindih kewenangan dalam regulasi hutan juga jadi masalah serius, sebagai contoh, tumpang tindihnya kewenangan antara pusat dan daerah. Salah satu penyebab illegal logging adalah tarik-menarik kepentingan di balik kewenangan itu. Jika daerah menggunakan Otsus otonomi khusus, sedangkan pemerintah memakai Undang-Undang Kehutanan. Demikian pula masalah perijinan pemanfaatan hasil hutan yang kurang memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat dan masyarakat tempatan sehingga peran masyarakat dalam pengelolaan hutan kurang terlibat secara aktif. Permasalahan lain terlihat juga pada UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, permasalahan vertikal mengenai kewenangan antara pemerintah daerah dan pusat menjadi masalah tersendiri. 87 Disisi penegakan hukum, tumpang tindih juga terjadi, dan belum ada persamaan persepsi sehingga penegakan hukum tidak berjalan efektif. 88 Secara umum kendala dalam penegakan hukum illegal logging penebangan dan penyeludupan kayu, adalah banyaknya instansi dalam mata rantai pemberantasan illegal logging yang berjumlah 18 instansi. Jadi situasi yang terjadi antar aparat penegakan hukum belum ke arah satu persepsi,bahkan maksimal Rp 10.000.000.000 sepuluh milyar rupiah dan Pasal 160 ayat 1 maksimal denda Rp 200.000.000 dua ratus juta rupiah dapat diganti dengan pidana kurungan pengganti KPD maksimal 6 bulan minimal 1 hari dan paling lama 8 bulan bila ada pemberatan. Tentu pelaku akan lebih memilih KPD ketimbang membayar pidana denda yang begitu besar. Ini dapat menjadi faktor kriminogen. Bagaimana tidak, pelaku akan lebih memilih menyimpan keuntungan hasil tindak pidanaya dengan memilih KPD daripada memilih membayarkan denda yang begitu besar. Pidana denda yang tinggi ditambah adanya pemberatan pidana denda dalam Pasal 163 ayat 1 bagi korporasi tidak akan ada artinya bila tidak disertai dengan aturan pelaksanaan pidana denda pidana penggantinya. Karena ketentuan dalam KUHP Pasal 30 tidak dapat diberlakukan kepada korporasi karena memang ketentuan tersebut hanya berlaku bagi manusia ,“tidak mungkin korporasi dijatuhkan pidana kurungan pengganti berupa pidana kurungan pengganti denda KPD maksimal 6 bulan minimal 1 hari atau paling lama 8 bulan bila ada pemberatan. Urian-uraian tersebut paling tidak memberikan pencerahan bahwa dengan tidak lengkapnya pengaturan sistem sanksi pidana denda yang terdapat di dalam UU Minerba maka hal ini semakin menunjukan kembali bahwa yang disajikan kepada aparat penegak hukum dalam operasionalisasi hukum pidana pada tahap pemberian pidana dan pelaksanaan pidana hanyalah seperangkat sarana yang tidak utuhlengkap incomplete or partial set of tools. Dengan tidak diaturnya bagaimana pidana denda itu dilaksanakan maka akan berpengaruh pada efektif atau tidaknya pidana denda yang diancamkan. Karena itu suatu sistem sanksi pidana menyeluruh harus pula mencakup kebijakan-kebijakan yang dapat diharapkan menjamin terlaksananya sanksi pidana itu dengan tidak diaturnya bagaimana pidana denda itu dilaksanakan dan alternatif pidana yang dapat dijalankan bila pidana denda tidak dapat dilaksanakan. Bila tidak diatur maka tentu akan berlaku ketentuan KUHP Pasal 30 yang dalam keberlakuannya pun hanya menjangkau “orang” karena tidak berlaku bagi badan hukum tidak mungkin korporasi dijatuhkan pidana kurungan pengganti berupa pidana kurungan pengganti KPD maksimal 6 bulan minimal 1 hari atau paling lama 8 bulan bila ada pemberatan serta dapat menjadi faktor kriminogen pelakuorang akan memilih menyimpan keuntungan hasil tindak pidanaya dan meilih KPD daripada memilih membayarkan denda yang begitu besar. 87 Lihat Fadli. Moh. NochPermasalahan Penegakan Hukum Kejahatan Kehutanan Illegal logging di Kalimantan Timur.http:fadlimohnoch.blogspot.com201102permasalahan-penegakan-hukum-kejahatan.html 88 Mispersepsi APH Ganggu Penegakan Hukum Kehutanan, Beda pandangan dan beda tafsir terjadi di lapangan Hukum online.http:www.hukumonline.comberitabacalt5328447911367sulitnya-menjerat-kejahatan- korporasi-di-sektor-kehutanan. 61 saling berkompetisi. Dengan kata lain, ada sekat-sekat antara polisipenyidik, jaksa, dan hakim dalam menangani kasus kehutanan. 89 Saat ini sering terjadi saling lempar kewenangan dalam penanganan illegal logging. Kalaupun suatu kasus diputuskan dibawa ke pengadilan, belum tentu aparat penegak hukum APH satu visi. Oleh karena jamak terjadi Kejaksaan beberapa kali mengembalikan berkas penyidikan Polri. Belum lagi kriteria ahli yang bisa dihadirkan dalam penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan perkara kehutanan. perbedaan persepsi polisi dan jaksa acapkali menganggu proses penegakan hukum lingkungan bolak- balik berkas penyidikan kasus kehutanan menganggu proses penegakan hukum dan melemahkan proses penegakan hukum.Sementara instansi teknis kehutanan selalu menyatakan bahwa kewenangan penegakan hukum hanya ada di Kepolisian dan Kejaksaan 90

10.4. Masalah korupsi

Korupsi di sektor kehutanan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah dengan tidak melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan, pemberian ijin yang tidak sesuai dengan kondisi aktual kawasan, kolusi dalam pemberian jatah tebang tahunan, menerima upeti dari penebang kayu tak berijin, hingga melakukan pembiaran terhadap pengrusakan hutan. Korupsi yang telah diterima sebagai sebuah budaya di berbagai tingkat masyarakat akhirnya telah menutup kepentingan kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan hutan saat ini. Hal ini juga diperparah dengan tidak terjadinya penegakan hukum di sektor kehutanan.

10.5. Masalah Lainnya

Besarnya kontribusi sektor kehutanan dan industri turunannya dalam menopang perekonomian merupakan salah satu faktor pendukung maraknya illegal logging. Hal ini sekaligus menjadi masalah tersendiri dalam hal penegakan hukum kasus illegal logging. Kontribusi sektor kehutanan sebagai penopang perekonomian ini bukan hanya dilihat dari sisi masyarakat sebagai pelaku, tetapi dilihat juga oleh daerah sebagai potensi penyumbang Pendapatan Asli Daerah PAD. melalui perusahaan yang mengantongi Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu IUPHHK yang pada kenyataannya banyak perusahaan melanggar ijin tersebut. 91 Permasalahan penegakan hukum illegal loging terletak pada tiga aktor yang saling terkait dan merupakan ”Team Work” yang cukup handal dalam praktik Illegal Loging, yaitu Pejabat 89 Sebagai contoh Putusan MK Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45PUU-IX2011 juga dipandang ikut menambah rumit penegakan hukum kehutanan. Putusan mengenai UU No. 41 Tahun 1999 ini mengabulkan permohonan Bupati Gunung Mas dan Bupati Kapuas. Putusan ini berkaitan dengan penunjukan kawasan hutan. Setelah putusan ini, aparat penegak hukum malah berbeda pendapat di lapangan. Ada hakim yang menolak dakwaan jaksa karena kawasan hutan sifatnya masih penunjukan. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah menghapus frasa ‘ditunjuk dan atau’ dalam pasal 1 angka 3 UU Kehutanan. Lihat Fadli. Moh. Noch. 90 ibid 91 Lihat Fadli. Moh. NochPermasalahan Penegakan Hukum Kejahatan Kehutanan Illegal logging di Kalimantan Timur. Web; http:fadlimohnoch.blogspot.com201102permasalahan-penegakan-hukum-kejahatan.html. Dari hasil identifikasi yang dilakukan di Kalimantan Timur yang dilakukan di tiga tempat Balikpapan, Samarinda dan Berau khususnya pada Instansi Kepolisian Daerah Kalimantan Timur POLDA KALTIM, Kejaksan Tinggi Kalimantan Timur, Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Polres Berau, Kejaksaan Negeri Berau, Pengadilan Negeri Berau, Dinas Kehutanan Kabupaten Berau dan NGO yang ada di Kalimantan Timur 62 Pemerintah, Pengusaha dan Masyarakat. Masing- masing dari ketiga ”Oknum” tersebut mempunyai kepentingan yang sama, yaitu adanya ”keuntungan” yang dapat memberikan ”kesejahteraan bagi kehidupan pribadi dan keluarganya”. 92 Keterkaita n ketiga “Aktor” tersebut makin terlihat ketika kasus illegal logging makin banyak terungkap, tentunya dengan fungsi dan perannya masing-masing yaitu:  Pejabat Pemerintah dan pejabat penegak hukum, memberikan fasilitas sesuai dengan kewenangannya agar perbuatan atau praktik Illegal Loging dapat berjalan lancar.  Pengusaha sebagai pelaku utama meminta fasilitas dengan memberikan imbalan uang yang memadai.  Masyarakat yang serba kekurangan dan kesadaran hukum yang rendah dimanfaatkan oleh pengusaha untuk ikut serta dalam praktik ini. Kaitan tersebut makin terlihat jelas sebagaimana yang terungkap dari hasil penelitian tim LIPI pada tahun 2005 yang menegaskan kerapnya tejadi usaha pencurian kayu termasuk Illegal Loging oleh Pengusaha di daerah perbatasan. Alasan maraknya pencurian kayu adalah:  Harga bersaing untuk pasar kayu bantalan atau olahan di Tawau sangat tinggi sekitar dua kali lipat dibanding harga lokal di Nunukan dan Tarakan.  Pengawasan oleh aparatur pemerintah sangat lemah dan dapat dinegosiasi dengan damai sehingga pengapalan kayu ke Tawau relatif terjamin.  Pemerintah Pusat dan Daerah Nunukan tidak memperoleh pendapatan memadai dari adanya aktivitas perdagangan kayu yang sangat potensial ini.  Rusaknya ekosistem hutan di kawasan perbatasan karena penjarahan kayu oleh aktor pengusaha kayu Illegal yang menyuruh masyarakat lokal untuk menebang kayu baik di hutan lindung maupun hutan produktif.  Para pelaku atau aktor lain banyak yang tidak menerapkan konsep Sustainable Forest Management dalam pengelolaan hutan karena lemahnya penegakan hukum di lapangan. Masalah lain dalam penegakan hukum illegal logging adalah proses penuntutan menyangkut barang bukti, selama ini barang bukti yang digunakan untuk kejahatan kehutanan seperti truk bukan milik pelaku atau terdakwa dalam kasus illegal logging sehingga barang bukti tersebut sulit dirampas untuk negara sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Problem klasik lainnya dalam penanganan kasus illegal logging wilayah juga karena ketiadaan peta kawasan konsesi perusahaan.Perusahaan tidak pernah memberikan peta kawasan tersebut pada pihakpenyidik. Hal ini menyebabkan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap perusahaan menjadi terkendala. Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan khususnya menyangkut perusahaan dan areal tebang, menjadi persoalan tersendiri. Keterbatasan personil dan juga kemampuan membaca peta sehingga monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan perusahaan tidak diketahui menjadi penghambat dalam pemberantasan illegal logging. 92 Lihat Fadli Menurut Hamongpranoto, Saroso: 2008, Dalam seminar sehari di bidang kehutanan bahwa