Illegal logging dan Pelanggaran Administrasi Kehutanan

145 Surat bernomor S.613Menhut-II2006, tertanggal 27 September 2006 tersebut membalas surat Hotman Paris bernomor 04330388.01HPP 21 September 2006. Isi surat tersebut menyebutkan berdasarkan Pasal 86 dan 91 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, maka penebangan yang dilakukan di luar RKT merupakan pelanggaran administrasi, maka dikenai sanksi administrasi dan denda. Surat yang salah kaprah dan tidak mempertimbangkan hukum secara lengkap ini tentunya akan sangat menghambat advokasi pemberantasan illegal logging dan korupsi. Sangat kontradiktif dengan posisi M.S. Kabaan sebagai Menteri Kehutanan yang seharusnya berkontribusi terhadap perlindungan Hutan, bukan sebaliknya, berpihak pada pembalak liar. Dengan demikian, penegasan Majelis Kasasi Mahkamah Agung, bahwa Perbuatan Adelin Lis meskipun dapat dijerat dengan sanksi administratif, tetapi tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidana, sepanjang unsur-unsur pidana dalam aturan yang didakwakan terpenuhi. Harapanya, bagian ini dijadikan salah satu yurisprudensi yang dipertahankan dan diterapkan pada kasus-kasu serupa di bidang Kehutanan. Di sisi lain, celah hukum pada Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 80 dapat diperbaiki melalui pertimbangan Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung ini.

7.2. Penerapan Asas Lex Specialis derogat Legi Generale vs Concursus Idealis

Sampai putusan Kasasi Adelin Lis disampaikan pada publik, persoalan asas Lex Spesialis derogat Legi Generale menjadi perdebatan berkepanjangan, terutama antara Undang-Undang Kehutanan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini merupakan salah satu poin yang paling menarik perhatian Majelis Eksaminasi Publik kasus Adelin dalam persidangan demi persidangan yang dilakukan. Karena Hakim PN. Medan pun, meskipun dengan rancu dan tidak tepat, menggunakan dalil Lex Specialis-nya UU Kehutanan sebagai salah satu dasar pemberian vonis bebas terhadap Adelin Lis.Sebelum membahas lebih jauh penerapan asas ini, pada prinsipnya diuraikan, bahwa sifat Lex Specialis sesungguhnya terdiri atas dua jenis. Pertama Lex Specialis logic, seperti diatur pada Pasal 63 ayat 2 KUHPidana. Dan, Kedua Lex specialis systematic. Dalam konstruksi Putusan PN. Medan, yang diperdebatkan lebih pada Lex Specialis logic, yakni aturan yang bersifat khusus merupakan aturan yang mengatur hal tambahan selain aturan umum. Dengan kata lain, bidang pengaturan, substansi yang diatur dan tujuan yang ingin dicapai dari pengaturan tersebut haruslah sama antara aturan yang bersifat umum dan aturan yang bersifat khusus. Atau, aturan yang bersifat khusus sesungguhnya memiliki muatan aturan umum ditambah aturan yang menjadi kekhususan, bisa berupa aturan tambahan atau penyimpangan dari aturan umum.Memperhatikan kriteria Lex specialis logic diatas, wajar jika Majelis Eksaminasi Publik yang juga mantan Hakim Agung menegaskan bahwa UU Kehutanan tidak bersifat khusus dibanding UU Korupsi. Kedua UU tersebut mengatur materi yang sangat berbeda, tujuan yang sangat berbeda, dan bahkan masing-masing merupakan aturan khusus terhadap aturan umum KUHPidana. Selain itu, penggunaan dalil Lex Specialis UU Kehutanan untuk melarikan pertanggungjawaban terdakwa pada wilayah Hukum Administratif juga tidak tepat. Karena Pasal 63 ayat 2 KUHPidana yang menjadi dasar hukum positif penerapan asas Lex Specialis derogat legi generale dalam Hukum Pidana hanya berlaku untuk dua atau lebih aturan Pidana. Dengan kata lain, tidak dapat diterapkan dalam kasus Adelin Lis, di mana terdapat satu aturan Pidana Pidana Korupsi dan satu aturan administratif UU Kehutanan dan peraturan pelaksana seperti PP 24 tahun 2000 yang digunakan M.S. Kaban sebagai dasar penjatuhan sanksi administratif. 146 Namun, Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung tampaknya tidak mempertimbangkan poin krusial ini. Tetapi lebih memposisikan UU Korupsi dan UU Kehutanan merupakan dua aturan yang dapat menjerat satu perbuatan pidana perbarengan aturan. Artinya, hakim menggunakan Pasal 63 ayat 1 KUHPidana dalam pertimbangan tersebut, atau kerap dikenal dengan concursus idealis. Pasal 63 ayat 1 KUHPidana mengatur bahwa, “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanyalah salah satu dari aturan tersebut, yang ancaman pidana pokoknya terberat.Ada dua hal yang dapat dipahami dari Pasal 63 ayat 1 KUHPidana tersebut, yaitu: 1. Menggunakan sistem absorbsi, yakni: hanya mengenakan satu aturan pidana 2. Yang dikenakan adalah aturan pidana dengan ancaman hukuman terberat Mencermati Dakwaan Kesatu dan Kedua Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan Pasal 2 ayat 1 UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KESATU dan Pasal 50 ayat 2 jo Pasal 78 ayat 1 dan ayat 14 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, jika hakim menerapkan Concursus Idealis, maka yang akan dikenakan terhadap terdakwa tentu saja adalah Dakwaan KESATU dengan ancaman sanksi maksimal seumur hidup atau 20 tahun. Sedangkan, ancaman sanksi maksimal untuk dakwaan KEDUA hanyalah 10 tahun, atau jika dilakukan atas nama Badan Hukum dapat ditambah sepertiga, yakni 13 tahun. Atas dasar itulah, Majelis Hakim menjatuhkan vonis pidana penjara 10 tahun pada Adelin Lis karena melakukan Korupsi dan Pembalakan Liar.

7.3. Kaitan dengan Money Laundering

Tidak adanya dakwaan JPU, yang berakibat pada tidak adanta putusan Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa terdakwa Adelin Lis Direksi PT. KNDI diduga atau patutdiduga telah melakukan tindakan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan melalui kegiatan Money Launderingcukup mengherankan. Ada beberapa asumsi mengapa tidak digunakan ketentuan tersebut dalam kasus ini pertama, adanya kebingungan dan ketakutan dalam penggunaan pasal-pasal pencucian uang karena beberapa ketentuan yang belum dipahami oleh aparat penegak hukum, kedua ada motif khusus agar kasus ini sengaja dilemahkan penegakannya. Berdasarkan Pasal 3 UUTPPU apabila dikaitkan dengan Pasal 2 UUTPPU dapatdikonstruksikan bahwa “harta kekayaan” yang “diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan” merupakan unsur suatu hasil tindak pidana. Pada definisi perbuatan pencucian uang direduksi dengan adanya kata “yang diketahuinya atau patut diduganya”.Jadi hasil tindak pidana yang merupakan unsur suatu Money Laundering, dikonstruksi dengan menambah kata “yang diketahuinya atau patut diduganya”. Penjelasan Pasal 3 UUTPPU secara jelas dapat ditafsirkan bahwa hasil tindak pidana adalah, minimal sudah menunjukkan adanya indikasi bukti permulaan atas terjadinya tindak pidana. Dengan kata lain dari penjelasan pasal tersebut jelas tersirat bahwa Predicate Crimes sebagai core crime dari Tindak Pidana Pencucian Uang tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup dengan adanya bukti permulaan yang cukup. Hal inilah yang menjadi dasar pemberantasan TPPU oleh penyidik Polri untuk melakukan penyelidikan atas indikasi pencucian uang yang diperoleh dari core crimesdengan melalui audit trail.