Pidana Korupsi sebagai predicate crime
100
Di Indonesia, sebelum UU No. 8 tahun 2010 disahkan, tidak terdapat kesan yang kuat bahwa korupsi dan pencucian uang adalah kejahatan yang harus dilihat sebagai relasi saling
mempengaruhi bahkan simboisis satu dengan lainnya. Hal mendasar yang paling membedakan antara UU No. 8 tahun 2010 dengan UU Pencucian Uang sebelumnya UU No. 15 tahun
2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 adalah tentang “Penyidik tindak pidana asal predicate crimes
”. Sebelumnya, monopoli kewenangan penyidikan pencucian uang beada di tangan penyidik Kepolisian, akan tetapi melalui proses revisi yang melelahkan
di DPR, kemudian dikenal istilah “Penyidik tindak pidana asal”, yaitu: lima institusi penegak hukum sesuai dengan kewenangan asalinya untuk menangani pidana tertentu, yaitu: Polri,
Kejaksaan, KPK, Badan Narkotika Nasional BNN, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
162
Pada tahapan pemeriksaan di Pengadilan, khusus untuk kompetensi absolute memeriksa dan memutus perkara korupsi dan pencucian uang, Indonesia telah memiliki UU No. 46 tahun
2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tipikor. Pada Pasal 6 UU Pengadilan Tipikor tersebut disebutkan, Pengadilan berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus:
Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi,
danatau Tindak pidana lain yang secara tegas di undang-undang disebut sebagai tindak pidana
korupsi. Dua regulasi penting yang telah menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia untuk
melakukan pemberantasan korupsi tentu dapat menjadi dasar yang kuat untuk memerangi kejahatan korupsi dan pencucian uang sebagai kejahatan yang berhubungan secara simbiotik.
Sebuah contoh kasus yang melibatkan pejabat tinggi dan kamuflase aliran dana lintas negara di Vanuatu pada 1992 menarik dicermati. Cyclone Betsy mengakibatkan bahaya dan kerusakan
yang luas di Vanuatu. Karena itu, pemerintahan Prancis memberikan 30.000 untuk kepentingan recovery atau penanggulangan resiko. Saat itu, perdana menteri Carlot Korman
membuka akun “Carlot Maxime Commite Secours Cyclone Besty” di Bangue d’Hawa’i. Untuk menambah dana dalam akun tersebut, sang perdana menteri meminta para duta besar
kehormatan di luar negeri untuk mengirimkan dana agar jabatan mereka dapat dipertahankan. Surat tersebut disebarkan dalam via fax dengan tulisan tangan yang berisikan
perintah pada pihak yang dituju agar memberikan kontribusi melalui transfer pada perusahaan di Hongkong, Shanghai, Singapura, dan Malaysia. Surat tersebut bahkan berisikan
ancaman “if receive negative answer form others I will personally as PM and Minister for Foreign Affairs cancel their nomination as Vanuatu Government Reps in sic overseas.
”
163
Contoh diatas menunjukkan beberapa hal. Pertama, bentuk korupsi yang dilakukan oleh pejabat Negara yang dalam hukum Indonesia dikategorikan sebagai Pemerasan seperti diatur
di Pasal 12 huruf e UU Tindak Pidana Korupsi. Kedua, terlihat upaya untuk mengelabui aliran dana melalui sejumlah akun dan perusahaan di luar negeri yang berada dalam pengawasan si
pejabat.
162
Penjelasan Pasal 74 Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
163
David, Op.Cit. Hal. 24
101
Penempatan dan pengaburan, dan penerimaan dana yang berasal dari korupsi seperti inilah yang menjadi ruang lingkup tindak pidana pencucian uang. Di Indonesia, penggunaan rekening
keluarga, supir, dan bawahan menjadi salah satu modus yang mengemuka dari sejumlah kasus yang ada.
Seperti telah dijelaskan di atas, Korupsi dan Pencucian Uang adalah sebuah simbiosis yang saling mempengaruhi, sekaligus saling menguatkan satu dan lainnya. Melakukan
pemberantasan korupsi saja tanpa perspektif pencucian uang akan membuat upaya pemberantasan korupsi tidak maksimal, dan sebaliknya. Dalam konteks kejahatan di sektor
Kehutanan, yang tidak hanya diatur dalam rezim UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, isu pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat strategis. Apalagi, sejak awal UU
Pemberantasan Korupsi memang diterapkan pada sejumlah kasus kejahatan di sektor kehutanan karena kelemahan UU Kehutanan. Sejumlah contoh kasus dan relasi antara
korupsi dan pencucian uang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dari tulisan ini. Korupsi sebagai salah satu tindak pidana asal predicate crime dalam pencucian uang diatur
padal Pasal 2 ayat 1 huruf a UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencucian Uang. Akan tetapi, tentu saja bukan hanya korupsi yang terkait dengan kejahatan kehutanan, melainkan mengacu
pada keseluruhan dari tujuh jenis korupsi yang diatur pada UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Khusus untuk sektor kehutanan, penggabungan tiga rezim tindak pidana Korupsi, Kehutanan dan Pencucian Uang sebagai sebuah strategi dalam penegakan hukum, diperkirakan akan
lebih memberikan kontribusi pada penyelematan hutan dan sekaligus asset recovery terhadap kejahatan di sektor kehutanan yang telah terjadi. Karena, dalam perkembangannya,
pengrusakan hutan dalam skala besar tidaklah disebabkan oleh penebangan liar beberapa orang di sebuah kawasan hutan, melainkan perbuatan yang seolah-olah sah secara hukum,
akan tetapi sesungguhnya melanggar hukum. Kondisi seperti ini terjadi karena terdapat ruang yang begitu besar bagi aparatur Negara
untuk menerbitkan konsesi di kawasan hutan, baik terkait dengan pembukaan lahan perkebunan sawit, pertambangan, ataupun pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya secara
illegal. Berdasarkan sejumlah kasus korupsi kehutanan yang telah diproses oleh penegak hukum, terlihat tipologi penyalahgunaan kewenangan pejabat publik dalam administrasi
kehutanan. Akibatnya, dengan konsesi illegal yang dipengaruhi oleh suap atau keuntungan lain yang tak sewajarnya undue advantage yang diterima oleh penyelengara Negara, eskalasi
kerusakan hutan menjadi sangat cepat. Contoh kasus yang dapat membuktikan hipotesa ini adalah kasus Suwarna Abdul Fatah yang sebagai Gubernur Kalimantan Timur menerbitkan
izin pemanfaatan kayu IPK untuk perkebunan sawit, dengan tujuan semata untuk memperoleh kayu. Perusahaan Surya Dumai Group mendapatkan rekomendasi dari
Gubernur seluas 147.000 Hektar untuk perkebunan sawit. Kemudian diketahui, pembukaan perkebunan sawit hanyalah kamuflase untuk tujuan yang sebenarnya, yaitu mengambil kayu
dari kawasan hutan tersebut. Bahkan, kemudian Gubernur meminta Dirjen PHP Departemen Kehutanan dan Perkebunan untuk mempercepat program perkebunan sawit sejuta hektar di
Kalimantan. Dari kasus ini negara dirugikan Rp. 346,82 miliar. Dari kasus tersebut, kami ingin menunjukkan bahwa potensi kerusakan hutan akibat korupsi
dan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur negara mempunyai daya rusak yang sangat tinggi dengan nilai kerugian yang besar. Angka kerugian keuangan negara dalam putusan kasus
Suwarna tersebut seharusnya bisa menjadi lebih besar jika terbuka kemungkinan pada
102
regulasi kita agar pengadilan memerintahkan terpidana membayar sejumlah uang untuk biaya perbaikan lingkungan yang telah rusak.
Dalam konteks pencucian uang, besar dan luasnya skala kerusakan sekaligus keuntungan yang didapatkan pihak-pihak yang melakukan kejahatan korupsi di sektor kehutanan menjadi
sebuah nilai strategis. PPATK diharapkan mampu menyusun ulang strategi untuk menghadapi simbosis tiga kejahatan ini, yaitu: Korupsi, Kehutanan dan Pencucian Uang.
Khusus untuk keterbatasan kompetensi absolute di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang hanya dapat memproses pencucian uang dengan predicate crime korupsi menjadi salah satu
kendala serius. Hal ini akan menemui masalah ketika sebuah kejahatan yang terdiri dari serangkaian perbuatan ternyata melanggar aturan pidana Kehutanan, Lingkungan Hidup,
korupsi dan pencucian uang, pada pengadilan mana perkara tersebut dapat diperiksa dan diputus? UU No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi secara jelas
membatasi tindak pidana yang dapat diproses disana, yakni hanya pencucian uang yang berasal dari korupsi. Pada pengadilan umum pun, kasus ini tidak dapat diproses, karena kasus
korupsi hanya bisa disidangkan di Pengadilan Tipikor. Jika kasus dipisah dan diadili di dua pengadilan berbeda, tentu hal ini tidak sepenuhnya sesuai dengan asas peradilan cepat dan
murah. Bahkan terdapat potensi adanya ketidakpastian hukum jika nantinya kasus-kasus tersebut diputus berbeda dan saling bertentangan.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan secara serius untuk melakukan penelitian lebih dalam dan mengubah aturan hukum yang ada agar lebih efektif dan terintegrasi memerangi
kejahatan di sektor kehutanan. Perubahan dapat dilakukan melalui legislative review, yakni revisi UU oleh Presiden bersama DPR, atau melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.
Dengan dimensi korupsi yang kuat, sebuah perkara yang saling terkait pidana kehutanan, lingkungan atau pidana lain dan pencucian uang, maka seharusnya hal itu dapat disidangkan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang mempunyai ciri khas kejahatan ganda. Hal ini
ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai
predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawfulactivity, yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian uang.
Tujuan utama pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offenceagar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan,
jadi bukanuntuk tujuan menyembunyikan saja, tapi mengubah performance atau asal-usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan
kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas bahwa berbagai kejahatan keuangan interprise crimes hampir pasti akan dilakukan pencucian uang atau paling tidak harus sesegera mungkin
dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari penuntutan petugas.
Dari kekhasan jenis kejahatan ini telah melahirkan berbagai definisi tentang pencucian uang, yang ternyata tidak ada satupun yang bersifat universal serta komprehensif. Hal ini nampak
dalam pernyataan:
164
“There is no universal or comprehensive definition of Money Laundering. Prosecutors and criminal intelligence agencies, businesspersons and companies, developed and
164
David A.Chaikin, “Money Laundering: An Investigatory Perspective”, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, Spring, 1991, hal. 468-469
103
developing countries-each has its own definition based on different priories and perspectives. In general, legal definitions for the purpose of persecution are narrower than definitions for intelligence
purposes.” Dari berbagai definisi yang dibuat masing-masing negara bukan berartiberbeda sama sekali
tetapi terdapat standar minimumnya berkaitan dengan kriteria kejahatan ini, dan terutama untuk kepentingan dilakukannya mutual legal assistance.Artinya bahwa masing-masing negara
boleh saja tidak menyeragamkan definisi, namun paling tidak terdapat standar yang harus diatur yaitu berkaitan dengan adanya unsur-unsur intend, maksud atau sengaja, a financial
transaction, proceed of crime, knowledge or reason toknowdan proceed of crime or unlawful activity. Dari sifatnyayang merupakan kejahatan ekonomi, maka dipikirkan bahwa praktik pencucian
uangsebagian besar menggunakan sarana lembaga keuangan, maka harus dilakukan upayaagar lembaga ini tidak digunakan untuk pencucian uang.
Selain itu upaya pemberantasan melalui ketentuan lembaga keuangan dipandang sebagai suatu strategi dini sebagai penangkapan pelaku dan penyitaan hasil kejahatan dalam kaitannya dengan
upaya preventif. Namun demikian karena sifatnya yang merupakan kejahatan tetap harus dilakukan upaya represif, maka ditawarkan suatu pemikiran pemberantasan dengan
pendekatan dua jalur yang disebut sebagai twin track against Money Laundering.
165
“A twin track policy has gradually evolved in the fight against moneylaundering, consisting of preventive approach,
founded in banking law and repressive approach founded in criminal law. To portray the distinction between the preventive and the repressive approach to Money Laundering as a dichotomy between
criminal and financial law is, however, an over simplification.”Berkaitan dengan pemberantasan pencucian uang maka kedua pendekatantersebut hanya dibedakan tetapi tidak dipisahkan,
bahkan dinyatakan antara pendekatan hukum pidana dan hukum ekonomi merupakan suatu keterpaduan. Diawali dengan pendekatan preventif yang diletakkan pada lembaga keuangan
nampaknya upaya pemberantasan melalui bidang ini dipandang sebagai strategi dini dan yang paling signifikan. Misalnya, pada tahap placement lembaga keuangan bank dimanfaatkan
dengan cara yang sederhana sampai yang rumit menggunakan wire transfer ataupun munculnya PayableThrough Accounts PTAs.
Dari rumusannya kejahatan pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan dalam dua kriteria,yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 3 dan 6 dan Tindak Pidana yang berkaitan
dengan Pencucian Uang Pasal 8 dan 9. Dalam Pasal 3: 1 dinyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; b. mentransfer harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan kepenyedia jasa keuangan yang lain baik atas nama sendiri maupun
atas nama pihak lain; c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya maupun
atas nama pihak lain; d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri maupun atas
nama pihak lain; e. menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya maupun atas nama pihak lain; f. membawa keluar negeri
165
Guy StessensMoney Laundering: A New International Law Enforcement Model, Cambridge University Press, 31 Agt 20 hal. 108
104
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; ataug. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjarapaling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun
dan denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling banyak Rp. 15.milyar.
Unsur obyektif actus reus dari Pasal 3 sangat luas dan karena merupakan inti delik, maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan, mentransfer,
membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaanyang diketahui
atau patut diduga berasal dari kejahatan. Sedangkan unsure subyektifnya mens rea yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta
kekayaan berasal dari hasilkejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.
Pasal 6 ayat 1 Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah ; e. sumbangan; f. penitipan; atau g. penukaran, harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan
paling banyak Rp. 15 milyar.
Unsur obyektif Pasal 6 adalah menerima atau menguasai: penempatan,pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaanyang diketahui atau
patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Sedangkan unsuresubyektif atau mens rea nya adalah mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana.
Dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan pencucian uang, yaitu: Pasal 8: Penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyempaikan laporan kepada
PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 1 dipidanadengan pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar. Pasal 13 ayat 1 yang ditunjuk oleh Pasal 8
adalah sebagai berikut: Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb: a. transaksi keuangan mencurigakan; b.
transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dilakukan dalam satu kali
transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja. Pasal 9: Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta atau lebih atau mata uang
asing yang nilainya setara yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara R.I. dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 300 juta.