11
penggunaan energi bahan bakar fosil, kegiatan manusia dalam alih-guna-lahan dan kehutanan adalah faktor yang sangat mempengaruhi perubahan iklim tersebut. Hal ini kemudian
dibicarakan lebih jauh pada Conference of the Party COP Protokol Kyoto ke-11 di Montreal tahun 2005 yang salah satunya menghasilkan Keputusan 16CMP.1 tentang Land use, land-use
change and forestry LULUCF serta COP16CMP 6 di Cancun, Mexico tahun 2010 yang menghasilkan Cancun Agreement. Saat ini dengan segala catatan kritis, Indonesia pun telah
menyusun Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim RAN-PI dan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca RAN-GRK.
Menurut data Second National Communication SNC Kementrian Lingkungan Hidup RI 2009, kontribusi emisi dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan land-use change and
forestryLUCF di luar kebakaran hutan adalah sebesar 47 dari total emisi nasional 1,36 Gton CO 2e. Jika kebakaran gambut dimasukkan, maka kontribusi LUCF menjadi 60. Hingga saat
ini ada beberapa kegiatan yang dilakukan dalam kerangka mitigasi di sektor kehutanan tersebut, baik aforestasi, reforestasi, revegetasi, dan mencegah laju deforestasi lebih jauh.
Salah satu penyebab masih tingginya deforestasi di Indonesia adalah penggunaan hutan secara tidak sah dan perubahan peruntukan kawasan hutan yang lahir dari hubungan koruptif antara
penyelenggara Negara dengan pihak swasta. Hutan alam dibuka untuk lahan perkebunan sawit, pohon ditebang, kayu diambil untuk kepentingan industri dan hal lainnya dilakukan
dengan cara menyuap pejabat publik. Selain itu, tingginya permintaaan kayu dari dunia bisnis juga menjadi salah satu faktor penyebab, karena ketersediaan kayu yang sah tidak mencukupi
kebutuhan dunia bisnis tersebut INTERPOL dan World Bank dalam CHAINSAW PROJECT menggunakan data OECD bahwa
permintaan kayu untuk industri diperkirakan akan meningkat menjadi 70 sampai tahun 2020.
2
Bahkan Indonesia dikategorikan the most affected by illegal logging dalam region south- east asia. Dinyatakan:
“In Southeast Asia, illegal logging is often perpetuated or facilitated by military groups and corrupt government officials. Both are able to exert a high level of control over
access to natural resources and have a strong presence throughout the whole process of illegal logging and timber trafficking. They exert influence on granting of forest concessions, harvesting and
transporting of the logs, and processing and timber trade. Opportunities for corruption multiply and initiatives of good governance and capacity building are annulled. The illegal activities of these
groups include the use of local villagers as cheap forced labour, the levy of unofficial fees from trucks passing by check points, and the protection of their business through acts of violence or
intimidation against local commu
nities.”
3
Dibanding dengan total produksi industri terkait kayu, Savcor Indufor Oy 2004; Seneca Creek Associates and Wood Resources International 2004; FAO 2005; dan European Forest Institute
2005 membuat estimasi illegal logging di sejumlah negara sebagai berikut:
4
Tabel 2: Estimasi Illegal logging sejumlah Negara
2
OECD Environmental Outlook 2001, Organization for Economic Cooperation and Development, Paris, 2001
3
Interpol and The World Bank, “Chainsaw Project an Interpol; Perspective on Law Enforcement in Illegal logging”,
2008. Hlm. 7
4
Ibid. hlm. 6
12
Terkait dengan pembukaan lahan dan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi perkebunan, berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup WALHI Indonesia, sampai
tahun 2012 ditemukan data luas perkebunan sawit tahun 2010 di Indonesia mencapai 7,3 juta hektar yang tersebar di 17 provinsi. Kawasan tersebut meliputi kepulauan Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Kemudian, di tahun 2012 luas perkebunan sawit tercatat meningkat dari 7,3 juta hektar menjadi 9,1 juta hektar. Ekspansi perkebunan sawit
diperkirakan akan meningkat secara signifikan pasca kebijakan pencadangan lahan seluas 22 juta hektar dan penerbitan Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2012. Ekspansi perkebunan
sawit akan meluas hingga 30 juta hektar ke kawasan hutan di 23 provinsi di Indonesia.
5
Sejumlah penelitian telah mengungkapkan tingginya kerugian akibat tindakan illegal di sektor Kehutanan. Human Rights Watch HRW dalam publikasinya
“Wild Money” tahun 2009 mengungkapkan perkiraan kerugian yang diderita Indonesia setiap tahunnya akibat illegal
logging mencapai 2 miliar USD. Pada tahun 2008 kerugian yang dihitung adalah sekitar Rp16,8 triliun atau USD 1.8 billion.
6
Menurut penelitian HRW, kerugian disebabkan oleh buruknya manajemen hutan yang dapat mencakup prosedur penggunaan dan perubahan kawasan hutan,
kejahatan illegal logging dan korupsi. Dari data CIFOR penebangan liar mencapai 60-80 dari 60-70 juta m
3
yang dikonsumsi oleh industri kayu domestik. Dari data CIFOR dapat diketahui pula bahwa angka ekspor
5
Abetnego Tarigan, 2013. Laju Deforestasi oleh Perkebunan Sawit dan Kebijakan yang Memicunya. Paper sebagai konsultan pada penelitian yang dilakukan bersama Indonesia Corruption Watch
6
Human Rights Watch, Indonesia; “Wild Money”; The Human Rights Consequences of Illegal logging and Corruption
in Indonesia’s Forestry Sector, New York: HRW, 2009. Hal. 55
13
industri kehutanan mencapai USD 5 miliar per tahun di mana ditengarai 70 berasal dari illegal logging. Selanjutnya tingkat penebangan hutan di Indonesia mencapai 1,6 juta ha per
tahunnya di mana illegal logging mencapai 30-50 juta m
3
tahun, sehingga tiap detik satu meter kubik kayu dicuri di Indonesia.
1.1. Perkembangan Penegakan Hukum di Sektor Alih Hutan
Kegiatan-kegiatan ilegal di atas hutan, misalnya melalui tindakan pembalakan liar atau pembakaran hutan, terjadi karena beragam motif. Apakah itu untuk mendapatkan manfaat
dari kayu yang diperoleh atau mendapatkan lahan untuk kegiatan lain seperti perkebunan atau pertambangan. Tujuan akhirnya tentu adalah mendapatkan keuntungan finansial melalui
cara-cara ilegal. Kerugian yang timbul dari praktik-praktik tersebut sangat besar, baik kerugian terhadap lingkungan hidup, sosial karena timbulnya konflik lahan, maupun kerugian
terhadap keuangan negara antara lain karena hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak.
Penegak hukum dapat berperan melawan kejahatan kehuatanan serta mencegah laju deforestasi yang begitu cepat tersebut. Indonesia juga memiliki sejumlah Undang-undang dan
peraturan hukum lainnya yang mengatur sektor Kehutanan. terutama UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Regulasi ini awalnya dapat digunakan untuk mempidana para pelaku yang
melakukan pengrusakan hutan. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan berbagai bentuk kejahatan di bidang kehutanan. Pasal 50 dan 78 undang-undang tersebut
menjelaskan setidaknya terdapat 12 tindakan yang dapat diancam dengan sanksi pidana baik berupa pidana penjara maupun denda. Namun, dalam praktiknya undang-undang Kehutanan
dinilai memiliki sejumlah keterbatasan. Di samping itu muncul pula masalah di sektor penegakan hukumnya.
Masalah yang terus berulang adalah terdapat
kecenderungan untuk ‘menjaring ikan kecil’ daripada pelaku utama, kurangnya transparansi atas metode dan standar yang digunakan.
Peran pengadilan juga menghadapi tantangan, mengingat para pengkritik menyoroti kelemahan sistematik pada sistem hukum, memperpanjang keterlambatan dalam
mengamankan tuntutan dan kecenderungan para penegak hukum untuk mendekati kejahatan hutan sebagai suatu pelanggaran administrasi.
7
Walaupun beberapa data menunjukkan peningkatan performa pengadilan, masih terdapat keraguan mengenai sampai sejauhmana
benar-benar terdapat peningkatan dalam penegakan hukum, mengingat hanya sedikit kasus yang dibawa ke pengadilan. Oleh karena itulah maka adanya kecenderungan hambatan-
hambatan jika pendekatan penegakan hukum di sektor Kehutanan hanya menggunakan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Selain itu pula kejahatan-kejahatan tersebut umumnya terjadi karena adanya praktik kolutif antara pelaku dengan oknum-oknum pemerintahan, khususnya yang memiliki kewenangan di
bidang perizinan atau pengawasanpenegakan hukum. Pendeknya, kejahatan di sektor kehutanan dan sumber daya alam merupakan kejahatan lintas sektor. Oleh karena itu,
diperlukan pendekatan multi rezim hukum multidoor untuk menghilangkan insentif bagi terjadinya kejahatan, memastikan pelaku dapat terjerat dan memperoleh hukuman yang
7
Lihat, Pembelajaran bagi REDD+ dari Berbagai Tindakan untuk Mengendalikan Pembalakan Liar di Indonesia, United Nations Office on Drugs and Crime dan Center for International Forestry Research, 2011, hal 6
14
setimpal serta memulihkan kerugian ekologis dan ekonomis yang timbul dari kejahatan tersebut
Pendekatan multidoor kemudian muncul sebagai cara baru yang mengupayakan penggunaan berbagai UU yang paling mungkin digunakan sesuai denganprinsip-prinsip hukum pidana yang
berlaku.
8
Dengan alat penegakan yang baru dengan menggunakan instrumen Undang undang Anti Korupsi dan Anti Pencucian Uang yang dianggap akan menawarkan cara yang lebih
efektif untuk menangkap pelaku yang lebih utama yang tidak secara langsung terkait dengan tindakan kejahatan di level lapangan. Oleh karena itu, penekanannya telah bergeser dari
konsep melacak kayu bulatnya menjadi melacak aliran uangnya.
9
Pendekatan multidoor juga secara khusus dibentuk untuk menjadikan korporasi sebagai tersangkaterdakwa selain pelaku individual atau pelaku lapangan. Degan menggunakan
Tindak Pidana Pencucian Uang TPPU selain tindak pidana asal misalnyakorupsi, perpajakan, kehutanan, pertambangan, tata ruang, dan perkebunan bertujuanmengembalikan kerugian
negara asset recovery dari aset-aset yang berada di dalam maupun di luar negeri;Memanfaatkan ketentuan yang mengatur kerusakan lingkungan hidup dan tindak
pidanakorporasi sesuai dengan Undang
—undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan danPengelolaan Lingkungan Hidup UU PPLH. Hal tersebut bertujuan agar
Pasal 119 UU PPLH yangmemungkinkan pidana tambahan, antara lain berupa perampasan keuntungan, perbaikanakibat tindak pidana, dapat digunakan.Dalam rangka mengoptimalkan
mengembalikan kerugian negara asset recovery, mendorongpemanfaatan pasal-pasal yang mengatur tentang pembuktian terbalik oleh penyidik danpenuntut umum.
Manfaat pendekatan ini mencakup: Menghindari lolosnya pelaku kakap kejahatan di bidang kehutanan karenaterbatasnya jangkauan suatu peraturan perundangan.Membuat jera para
pelaku tindak pidana khususnya pelaku yangmenjadi otak dari suatu kejahatan yang terorganisir, sehingga mampumenimbulkan dampak pencegahan dan mempunyai daya
tangkalbagi yang lainnya. Mendorong pertanggungjawaban yang lebih komprehensif termasukpertanggungjawaban koorporasi, pengembalian kerugian negara danpemulihan
lingkungan sehingga menimbulkan efek jera.Memudahkan proses kejasama internasional khususnya dalam pengejaran aset, tersangka dan kerja sama pidana lainnya.Memaksimalkan
proses pengembalian kerugian negara termasuk darisektor pajak.
10
Ada beberapa kriteria dalam penerapan multiodoor ini, yakni pertama, jika Terdapat indikasi penyimpangan dalam proses pemberian izin. Misalnya pemberian izin usaha perkebunan tanpa
AMDAL. Upaya Pengelolaan Lingkungan Upaya Pemantauan Lingkungan UKL-UPLdanatau Izin Lingkungan. Terdapat indikasi usaha dan atau kegiatan dilakukan di luar izin atau tanpa
izin. Misal: Perusahaan tambang melakukan kegiatan pertambangan di luar konsesi izin usaha pertambangannya. Terdapat indikasi tindak pidana dilakukan di daerah dengan fungsi
konservasi danatau fungsi lindung danatau berada padalahan gambut dalam atau terdapat pembakaran lahankawasan. Misalnya perusahaan perkebunan melakukan pembakaran lahan
di atas wilayah gambut dalam. Terdapat indikasi hilangnya potensi penerimaan negara danataukerugian pada pendapatan negara. Misalnya perusahaan melakukan land clearing tanpa
8
Lihat fact sheet stgas Kesiapan Lemebagaan REDD+ hal 1 ,
9
Lihat, Pembelajaran bagi REDD+ dari Berbagai Tindakan untuk Mengendalikan Pembalakan Liar di Indonesia, United Nations Office on Drugs and Crime dan Center for International Forestry Research, 2011, hal 6
10
Ibid hal 2