M. Al-Amin Nur PENGGUNAAN INSTRUMEN TINDAK PIDANA

76

5. Tantangan Penegakan Korupsi Kehutanan yang Ditangani KPK

Meskipun sejumlah langkah penindakan yang dilakukan oleh KPK perlu mendapatkan apresiasi, namun perkara korupsi kehutanan yang ditangani KPK tersebut belum dapat dikatakan sudah tuntas. Setidaknya ada beberapa alasan untuk menunjukkan belum optimalnya kerja KPK di sektor korupsi kehutanan. Pertama, KPK belum menuntaskan semua pihak yang diduga terlibat dalam perkara korupsi kehutanan. Kedua, KPK belum memproses kejahatan korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Dan ketiga, KPK belum dapat memulihkan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh korupsi. Terkait hal yang pertama, Penanganan Perkara KPK ternyata belum menuntaskan semua pelaku yang diduga kuat terlibat. Tidak utuhnya proses penanganan inilah yang kemudian melemahkan efek jera terhadap proses penegakan hukum korupsi kehutanan. Dalam bidang penindakan KPK, terdapat sejumlah pihak yang diduga kuat terlibat dalam perkara korupsi kehutanan tersebut namun saat ini masih berstatus sebagai saksi atau belum ditetapkan sebagai tersangka. 128 Terkait dengan pidana korporasi memang dalam Pasal 1 ayat 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi menyebutkan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Jadi secara hukum, korporasi bisa diproses karena praktik korupsi yang dilakukan oleh pengurusnya. Menjadi pertanyaan besar, apa pentingnya menjerat korporasi? Harus dipahami, bahwa ketika ada individu-individu tertentu diproses secara hukum, namun “rumah” tempat kejahatan tersebut diproduksi tidak diproses secara hukum atau paling tidak turut dibersihkan, maka kejahatan yang sama akan berpotensi terus diulang. Proses penegakan hukum pidana seharusnya tidak hanya dilakukan terhadap uang yang dihasilkan proceeds of crime dari kejahatan korupsi kehutanan. Tetapi terhadap alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan korupsi kehutanan tersebut, yaitu korporasinya. Korporasi merupakan salah satu instrumen kejahatan dari pelaku yang memiliki kekuasaan secara social dan ekonomi. Korporasi pula yang menjadi benteng terkuat penghambat penegakan hukum. Dengan dukungan dana dan kekuasaan dari korporasi, sebuah proses penegakan hukum dapat menjadi sangat mahal dan rumit. Korupsi yang dibelakangi korporasi seringkali tidak hanya bersifat endemik tetapi juga bersifat sistemik regulatory capture. 129 128 Sebagai contoh dalam kasus Anggoro Widjojo bos PT Masaro, juga MS Kaban, mantan Menteri Kehutanan. Dalam perkara Proyek SKRT, Kaban dinilai memberikan persetujuan dan menandatangani penunjukan langsung kepada PT Masaro. Kaban juga diduga mengetahui adanya proses suap dari PT Masaro kepada bawahannya di Kementrian Kehutanan namun melakukan pembiaran dan tidak melaporkan kepada penegak hukum. Dari sejumlah nama yang diduga terlibat hanya Wandojo Siswanto, dan Putranevo yang telah diadili di Pengadilan Tipikor dan mendekam di penjara. Keduanya dinilai terbukti menerima melakukan korupsi. Selain dalam perkara Proyek SKRT, nama MS Kaban juga disebut dan diduga menerima uang dalam perkara proses persidangan perkara suap alih fungsi lahan dan proyek di kementraian Kehutanan yang menjerat Al Amin Nasution, anggota Dewan dari Komisi Kehutanan DPR . Perkara lainnya yang juga dinilai belum tuntas adalah perkara korupsi terkait Penerbitan IUPHHK-HT pada sejumlah perusahaan bidang kehutanan di Riau yang dinilai bermasalah. Perkara ini baru menjerat level Bupati dan mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau, padahal dalam catatan Koalisi Anti Mafia Kehutanan menunjukkan kuatnya keterlibatan dari Gubernur Riau, Rusli Zainal dan Korporasi khususnya perusahaan yang diduga menikmati keuntungan dari izin-izin yang bermasalah tersebut. 129 Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Simon 2000 terhadap penegakan hukum yang dilakukan oleh Environmental Protection Agency EPA mencatat bahwa, EPA lebih banyak menghabiskan uang dan waktunya untuk mencegah korporasi melakukan regulatory capture ketimbang proses hukum terhadap kejahatannya. D. Simon, 2000. Corporate Environmental Crimes and Social Inequality:New Directions for Environmental Justice Research. American Behavioral Scientist. Halaman 633 –645