Masalah dalam Pencucian Uang di Sektor Kehutanan

117 Melihat bahwa KPK baru pada tahun 2012, menggunakan pasal pencucianuang tersebut – yaitu pada perkara Nazarudin. Bisadiambil catatan bahwa ada masalah dalam prosespenanganan korupsi oleh KPK yang seharusnya bisaberjalan lebih progresif ketimbang penegak hukumyang lain.Kondisi tersebut menyebabkan minimnya perkara-perkarakejahatan kehutanan yang dijerat dengantindak pidana pencucian uang dan berhasil diproseshingga ke tahap pengadilan. Hingga saat ini tercatat hanya ada 2 satu perkara kejahatan kehutanan yang dijerat dengan tindak pidana pencucian uang dan juga korupsi yang berhasil diproses ke Pengadilan yaitu perkara yang melibatkan terdakwa Marthen Renouw, mantan perwira Polisi di Polda Papua dan perkara Labora Sitorus dalam tindak pidana kehutanan, penyimpanan BBM dan pencucian uang. Sayangnya terdakwa Marthen Renouw dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang serta dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Jayapura. Sedangkan terdakwa Labora Sitorus, akhirnya berhasil menggunakan pasal pencucian uang di tingkat Mahkamah Agung. Belum optimalnya kemampuan Penyedia Jasa Keuangan PJK dalam melakukan identifikasi transaksi keuangan terkait dengan tindak pidana kehutanan dinyatakan oleh Ketua Kelompok Hukum Direktorat Hukum dan Regulasi pada PPATK, Riono Budi Santoso, ia mengatakan bahwa PPATK kesulitan dalam menemukan transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan kejahatan kehutanan. Hal ini terjadi karena kebanyakan pelaku kejahatan kehutanan seperti pembalakan liar dan alih fungsi hutan ilegal adalah pengusaha. Jadi transaksi yang pelaku kejahatan kehutanan lakukan terlihat wajar oleh dunia perbankan atau Penyedia Jasa Keuangan karena dianggap sebagai bagian dari usaha. 185 Dengan kondisi demikian jika pemberantasan pencucian uang di sektor Kehutanan dibatasi hanya dengan predicate crime tindak pidana bidang Kehutanan saja, maka dapat disimpulkan, upaya pemberantasan pencucian uang di sektor ini gagal, dan kecil kemungkinan terjadi perubahan yang signifikan ke depan jika tidak dilakukan perbaikan strategi oleh PPATK terhadap PJK, Kementrian Kehutanan, lembaga barang dan jasa, dan lainnya. Masalah Kedua adalah Terbatasnya Pihak Pelapor dan Peran Serta Masyarakat dalam UU Pencucian Uang. Dalam Pasal 17 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan tentang siapa saja yang digolongkan sebagai Pihak Pelapor. Mengacu pada regulasitersebut maka secara garis besar pihak pelapordalam pencucian uang dapat digolongkan dalam dua kategori.Kategori Pertama yaitu penyedia jasa keuanganyang terdiri dari: bank; perusahaan pembiayaan;perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;dana pensiun lembaga keuangan; perusahaan efek;manajer investasi; kustodian; wali amanat; perposansebagai penyedia jasa giro; pedagang valuta asing;penyelenggara alat pembayaran menggunakankartu;penyelenggara e-money danatau e-wallet; koperasiyang melakukan kegiatan simpanpinjam; pegadaian;perusahaan yang bergerak di bidang perdaganganberjangka komoditi; atau penyelenggara kegiatanusaha pengiriman uang.Kategori pihak pelapor kedua adalah penyedia barangdanatau jasa lain, yang terdiri dari: perusahaanpropertiagen properti; pedagang kendaraanbermotor; pedagang permata dan perhiasanlogammulia; pedagang barang seni dan antik; atau balailelang. Terbatasnya Pihak Pelapor dalam tindak pidanapencucian uang, dapat menyebabkan masyarakatmaupun instansi di sektor kehutanan menjadiragu untuk pro aktif memberikan informasi ataumelaporkan kepada PPATK ataupun penegak hukumapabila ditemukan adanya 185 Disampaikan dalam Media Brefing “ Mendorong efektifitas Pemberantasan Korupsi dan Pencucian Uang di sektor Kehutanan”, yangdiselenggarakan ICW, di Jakarta, 14 Maret 2012. 118 dugaan pencucian uangdi sektor kehutanan. Meski hal ini dapat disiasatidengan Pasal 44 UU Pencucian Uang, yangmenyebutkan bahwa dalam rangka melaksanakanfungsi analisis atau pemeriksaan laporan daninformasi PPATK dapat meminta informasi kepadainstansi atau pihak terkait. Namun untuk optimalisasipemberantasan pencucian uang maka sebaiknya tidakperlu ada pembatasan mengenai Pihak Pelapor. Selain Pihak Pelapor, peran serta masyarakat dalampemberantasan pencucian uang juga memilikiketerbatasan. Berbeda dengan UU Tindak PidanaKorupsi, peran serta masyarakat diatur terbatas dalamUU Pencucian Uang.Berdasarkan Pasal 44 UU Pencucian Uang, padaintinya menyebutkan masyarakat dapat memberikanlaporan danatau informasi dari mengenai adanyadugaan tindak pidana Pencucian Uang. Namunhingga saat ini pihak PPATK tidak memberikanpanduan atau format pelaporan dugaan pencucianuang yang dapat dilakukan oleh masyarakat sertamenyediakan link khusus maupun mengajakmasyarakat untuk melaporkan dugaan pencucianuang dalam website resmi PPATK Kondisi ini berbeda dengan peran serta masyarakatsebagaimana diatur dalam UU Tipikor. 186 Bahkan dalam UU Tipikor juga diatur ketetuanmengenai Pemerintah dapat memberikanpenghargaan kepada anggota masyarakat yangtelah berjasa membantu upaya pencegahan,pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidanakorupsi. Ketiga, bahwa Penanganan tindak pidana pencucian uang –termasuk dari sector kehutanan- tergantung dari kemauan dan kerja keras Penyidik.Hal mendasar yang paling membedakan antaraUU No. 8 tahun 2010 dengan UU Pencucian Uangsebelumnya UU No. 15 tahun 2002 sebagaimanadiubah dengan UU No. 25 tahun 2003 adalahtentang “Penyidik tindak pidana asal predicatecrimes ”.Sebelumnya, monopoli kewenangan penyidikanpencucian uang berada di tangan penyidikKepolisian, akan tetapi melalui proses revisi yangmelelahkan di DPR, kemudian dikenal istilah“Penyidik tindak pidana asal”, yaitu: lima institusipenegak hukum sesuai dengan kewenangan asalinyauntuk menangani pidana tertentu, yaitu: Polri,Kejaksaan, KPK, Badan Narkotika Nasional BNN,Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat JenderalBea dan Cukai pada Kementrian Keuangan Republik Indonesia. 187 PPATK sendiri tidak memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan perkara pencucian uang. Upaya PPATK menambah kewenangannya dibidang penindakan ditolak oleh DPR dalam proses revisi UU Pencucian Uang yang kemudian disahkan menjadi UU No. 8 Tahun 2010. Kondisi ini berdampak pada ditangani atau tidaknya LHA yang disampaikan oleh PPATK- termasuk LHA dibidang kehutanan, tergantung dari kemauan atau kerja keras para “Penyidik tindak pidana asal”tersebut. Namun demikian berdasarkan Pasal 44 UUNo.8 Tahun 2010, PPATK dapat secara pro aktifmelakukan sejumlah tindakan antara lain:merekomendasikan kepada instansi penegak 186 Berdasarkan Pasal 41 UU Tipikor, Peran serta masyarakat serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, diwujudkan dalam bentuk: • hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; • hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; • hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; • hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari; • hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 187 Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 119 hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik danatau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementaraseluruh atau sebagian Transaksi yang diketahuiatau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;meminta informasi perkembangan penyelidikan danpenyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang; danmeneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepadapenyidik.Untuk mendorong penindakan tindak pidanapencucian uang dan korupsi dibidang kehutanan jugaperlu dilakukan secara lebih extra mengingat sector kehutanan tidak masuk dalam rencana aksi ataustrategi nasional bidang pemberantasan korupsi yangdiusulkan oleh pemerintah. 120

BAB V KASUS ADELIN LIS

Pemberantasan Kejahatan Kehutanan Tanpa Instrumen Anti Pencucian Uang

1. Pengantar

Adelin Lis lahir di Medan, 15 Agustus 1967; umur 47 tahun adalah putra dari Acak Lis, pemilik PT. Mujur Timber, perusahaan pengolah kayu gelondongan menjadi tripleks serta kayu lapis plywood di Sibolga. Sepeninggal Acak, perusahaan diwariskan ke empat putranya, termasuk Adelin. Keluarga Lis mengembangkan bisnis dengan mendapatkan sejumlah Hak Pengusahaan Hutan HPH di Provinsi Sumatera Utara, salah satunya adalah PT. Keang Nam Development Indonesia KNDI yang memiliki HPH seluas 58.590 hektare sejak 1998 dengan masa berlaku 55 tahun. Penguasaan sektor hulu dan hilir ini menjadikan usaha keluarga Lis sebagai raja perkayuan Sumatera dan menjadi penggerak utama ekonomi Kota Sibolga. Keluarga ini juga memasuki bisnis perkebunan dan perhotelan. Namun, bisnis perkayuanlah yang menjerumuskan Adelin Lis akibat tuduhan perambahan hutan di luar wilayah haknya. 188 Adelin Lis adalah Direktur Keuangan PT KNDI dan Direktur Utama di PT Rimba Mujur Mahkota, suatu perusahaan perkebunan. Ia terkena kasus pembalakan liar yang dituduhkan ke PT KNDI. Setelah sempat kabur, ia tertangkap di Beijing pada bulan September 2006, setelah sebelumnya dilakukan pencarian oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Saat itu namanya sudah santer sebagai cukong perkayuan, baik legal maupun ilegal. Namanya benar-benar mencuat setelah Pengadilan Negeri Medan membebaskannya dari segala tuduhan pembalakan liar. Akibat keputusan ini dan sejumlah kejanggalan yang menyertainya, hakim serta jaksa yang menanganinya harus diperiksa oleh atasan masing-masing dan menimbulkan polemik luas di baik media massa maupun penegakan hukum. Adelin Lis didakwa oleh JPU di Pengadilan Negeri Medan dengan dakwaan melakukan tindakan atau turut serta [bersama dengan Ir. Oscar Sipayung Direktur Utama PT Keam Nam, Washington Pane Direktur Produksi dan Perencanaan PT. Keam Nam, Ir H. Sucipto L. Tobing dan Ir Budi Ismoyo] dalam tindakan korupsi. Sebagai direktur keuangan PT. Keam Nam Development Indonesia, Adelin Lis diduga mengetahui praktik yang dilakukan oleh perusahaannya dalam kegiatan mengusahakan hutan di kawasan Hutan Sungai Singkuang - Sungai Natal Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. PT Keam Nam Development Indonesia [Keam Nam] ini adalah pemilik ijin HPHIUPHHK seluas 58.590 ha di kawasan hutan Sungai Singkuang - Sungai Natal, Kabupaten Mandailing Natal yang sudah diusahakannya sejak tahun 1974. 189 Dalam persidangan JPU mendakwa terdakwa dengan dakwaan berlapiskombinasi. Dalam dakwaan pertama, terdakwa didakwa dengan peraturan tentang korupsi, sementara dalam dakwaan kedua, didakwa dengan aturan tentang kehutanan. Perbuatan korupsi yang disangkakan kepada terdakwa dalam dakwaan pertama [primer] adalah terdakwa 188 http:id.wikipedia.orgwikiAdelin_Lis 189 http:www.cifor.orgilea_refinaindicatorscasesdecisionAdelin_Lis.htm 121 memerintahkan kepada karyawan PT. Keam Nam untuk melakukan penebangan kayu di luar RKT [Rencana Kerja Tahunan] yang telah disahkan. Penebangan di luar blok RKT yang telah disahkan itu dilakukan antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2006. Penebangan di luar blok RKT itu bertentangan dengan peraturan tentang kehutanan yang berlaku, antara lain dengan Kepmenhutbun No. 805Kpts-II1999 [larangan melakukan penebangan di luar blok RKT yang disahkan, kewajiban membayar PSDHDR] serta SK Dirjen Pengusahaan Hutan No. 151KPTSIV-BPHH1999 [kewajiban membuat timber cruising, laporan produksi kayu bulat.]Hasil tebangan itu tidak sah itu tidak disertai pula dengan kewajiban membayar Provisi Sumber Daya Hutan [PSDH] dan Dana Reboisasi [DR] kepada negara, sehingga merugikan negara sebesar Rp 119.802.393.040 dan US 2.938.556,24.Dalam dakwaan pertama [primer] ini, JPU mengancam dengan Pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke- 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sementara dalam Dakwaan Pertama subsider, Adelin lis diduga telah menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya atau jabatannya [memerintahkan penebangan di luar blok RKT] dan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU No 31Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke- 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP.Dalam Dakwaan kedua [Primer], Adelin Lis diduga secara sengaja melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan, yakni dengan tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan dan tidak sesuai dengan azas kelestarian hutan. Karenanya terdakwa didakwa dengan Pasal 50 ayat 2 Jo. Pasal 78 ayat 1, ayat 14 UU Nomor 41 tahun 1999 Jo. UU Nomor 19 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU NO 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dalam Dakwaan kedua [subsider], terdakwa diduga dengan secara sengaja menebang pohon atau memanen atau meungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang yang diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat 3 Jo. Pasal 78 ayat 5, ayat 14 UU Nomor 41 tahun 1999 Jo. UU Nomor 19 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU NO 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Adelin lis juga dikenai dakwaan kedua [lebih subsider], yakni secara sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan yang diancam dengan pidana yang diatur dalam Pasal 50 ayat 3 huruf h Jo. Pasal 78 ayat 7, ayat 14 UU Nomor 41 tahun 1999 Jo. UU Nomor 19 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU NO 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Pasal 42 PP No 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dan terakhir, dalam dakwaan kedua [lebih subsider lagi], terdakwa diduga menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patur diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah yang perbuatan ini diancam dengan pidana yang terdapat dalam Pasal 50 ayat 3 huruf f Jo. Pasal 78 ayat 5, ayat 14 UU Nomor 41 tahun 1999 Jo. UU Nomor 19 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU NO 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dalam surat Tuntutan Pidananya, JPU meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan korupsi dan bersalah secara sengaja melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Tuntutan pidananya adalah 10 tahun