Masalah Lainnya Permasalahan Penegakan hukum Kejahatan Kehutanan dengan

62 Pemerintah, Pengusaha dan Masyarakat. Masing- masing dari ketiga ”Oknum” tersebut mempunyai kepentingan yang sama, yaitu adanya ”keuntungan” yang dapat memberikan ”kesejahteraan bagi kehidupan pribadi dan keluarganya”. 92 Keterkaita n ketiga “Aktor” tersebut makin terlihat ketika kasus illegal logging makin banyak terungkap, tentunya dengan fungsi dan perannya masing-masing yaitu:  Pejabat Pemerintah dan pejabat penegak hukum, memberikan fasilitas sesuai dengan kewenangannya agar perbuatan atau praktik Illegal Loging dapat berjalan lancar.  Pengusaha sebagai pelaku utama meminta fasilitas dengan memberikan imbalan uang yang memadai.  Masyarakat yang serba kekurangan dan kesadaran hukum yang rendah dimanfaatkan oleh pengusaha untuk ikut serta dalam praktik ini. Kaitan tersebut makin terlihat jelas sebagaimana yang terungkap dari hasil penelitian tim LIPI pada tahun 2005 yang menegaskan kerapnya tejadi usaha pencurian kayu termasuk Illegal Loging oleh Pengusaha di daerah perbatasan. Alasan maraknya pencurian kayu adalah:  Harga bersaing untuk pasar kayu bantalan atau olahan di Tawau sangat tinggi sekitar dua kali lipat dibanding harga lokal di Nunukan dan Tarakan.  Pengawasan oleh aparatur pemerintah sangat lemah dan dapat dinegosiasi dengan damai sehingga pengapalan kayu ke Tawau relatif terjamin.  Pemerintah Pusat dan Daerah Nunukan tidak memperoleh pendapatan memadai dari adanya aktivitas perdagangan kayu yang sangat potensial ini.  Rusaknya ekosistem hutan di kawasan perbatasan karena penjarahan kayu oleh aktor pengusaha kayu Illegal yang menyuruh masyarakat lokal untuk menebang kayu baik di hutan lindung maupun hutan produktif.  Para pelaku atau aktor lain banyak yang tidak menerapkan konsep Sustainable Forest Management dalam pengelolaan hutan karena lemahnya penegakan hukum di lapangan. Masalah lain dalam penegakan hukum illegal logging adalah proses penuntutan menyangkut barang bukti, selama ini barang bukti yang digunakan untuk kejahatan kehutanan seperti truk bukan milik pelaku atau terdakwa dalam kasus illegal logging sehingga barang bukti tersebut sulit dirampas untuk negara sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Problem klasik lainnya dalam penanganan kasus illegal logging wilayah juga karena ketiadaan peta kawasan konsesi perusahaan.Perusahaan tidak pernah memberikan peta kawasan tersebut pada pihakpenyidik. Hal ini menyebabkan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap perusahaan menjadi terkendala. Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan khususnya menyangkut perusahaan dan areal tebang, menjadi persoalan tersendiri. Keterbatasan personil dan juga kemampuan membaca peta sehingga monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan perusahaan tidak diketahui menjadi penghambat dalam pemberantasan illegal logging. 92 Lihat Fadli Menurut Hamongpranoto, Saroso: 2008, Dalam seminar sehari di bidang kehutanan bahwa 63 64

BAB III PENGGUNAAN INSTRUMEN TINDAK PIDANA

KORUPSI BAGI KEJAHATAN KEHUTANAN

1. Korupsi di Sektor Kehutanan

Salah satu persoalan yang mendasar dalam mengurangi kejahatan kehutanan yang mengakibatkan laju deforestasi adalah dengan menyelesaikan persoalan korupsi. Tingginya praktik korupsi di Indonesia menjadikan deforestasi berjalan dengan cepat dan jutaan hektar hutan ditebang habis, terutama secara illegal, untuk berbagai keperluan. Karena korupsi, tidak banyak pelaku yang berhasil diproses secara hukum atau mendapatkan sanksi. Kalau pun ada yang diposes secara hukum, itu hanya bagi para pelaku di lapangan, bukan pelaku utama. Sulitnya untuk memisahkan antara korupsi dengan kejahatan kehutanan karena korupsi seringkali menjadi prasyarat terjadinya kejahatan kehutanan. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan mencermati korelasi antara korupsi dengan melemahnya fungsi Negara dalam tata kelola maupun penegakan hukum. Dari sudut pandang yang lebih umum, korelasi antara buruknya tata kelola dengan korupsi sudah banyak dicatat dalam berbagai penelitian termasuk oleh Rose- Ackerman 1997 dan Buscaglia 1997 dengan menyatakan “widespread corruption is a symptom that the state is functioning poorly ”. 93 Mengikuti logika tersebut, pelemahan inilah yang kemudian menjadi insentif terjadinya kejahatan kehutanan secara luar biasa. Terutama mengingat penjelasan Milledge, Gelvas dan Ahrends 2007 dan dalam Soreide 2007 yang menyatakan bahwa setidaknya ada 8 delapan sendi korupsi dalam konteks pengelolaan hutan yang mengakibatkan hancurnya tata kelola kehutanan. 94 Mulai dari pembalakan liar yang didukung oleh aparat dan penegak hukum dan pejabat kehutanan sendiri, hingga soal regulasi dalam tata kelola kehutanan dibentuk secara koruptif hingga mendukung perusakan hutan. Ketika hal ini terjadi, hancurnya tata kelola pengurusan kehutanan dan penegakan hukum selama beberapa dekade terakhir-khususnya yang terkait investasi korupsi di dalamnyaakan termanifestasi dalam banyak hal, termasuk inefisiensi usaha, diskriminasi dan hambatan terhadap kompetisi, kronisme dan patrimonialisme, diskresi kekuasaan sekaligus kelemahan dan ketidakpastian hukum dalam pengurusan hutan dan kehutanan. 95 Perihal ini pun dicermati oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dalam Kajian Sistemik Planologi yang menilai bahwa terjadi ketidakpastian hukum dalam sistem perencanaan kehutanan yang membuat adanya ketidakpastian definisi kawasan hutan. Persoalan ini terangkum dalam lemahnya berbagai aturan perundang-undangan, termasuk UU No. 41 Tahun 1999, PP No. 44 Tahun 2004, Keputusan Menteri Kehutanan No. 32 Tahun 2001, dan 93 Lihat ICW, pemberantasan Kejahatan Kehutanan Setengah hati, hal 21, mengutip Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, Cambridge UK: Cambridge University Press, paper, 1999 dan Edgardo Buscaglia, Judicial Corruption in Developing Countries: Its Causes and Economic Consequences, UN ODCCP, Vienna, March 2001 94 Ibid, mengutip Simon A.H. Milledge Ised K. Gelvas Antje Ahrends, FORESTRY, GOVERNANCE AND NATIONAL DEVELOPMENT: LESSONS LEARNED FROM A LOGGING BOOM IN SOUTHERN TANZANIA, TRAFFIC EastSouthern Africa, 2007 95 ibid 65 Peraturan Menteri Kehutanan no. 50 tahun 2009. Situasi tersebut memungkinkan terjadinya perlakuan memihak yang dapat dimanfaatkan untuk meloloskan pelaku illegal logging dan illegal mining dari tuntutan hukum. Kemungkinan perlakuan memihak ini dapat juga terjadi dari ketidakjelasan kewenangan menentukan kawasan hutan antara pusat dan daerah terkait Rencana Tata Ruang Wilayah. 96 Laporan yang disusun Seneca Creek Associates pada tahun 2004 menunjukkan relasi yang kuatantara tingginya tingkat korupsi dengan tingkatdeforestasi. 97 Dengan membandingkan data dari indeks persepsi korupsi Transparency International dengan persentase supply kayu yang mencurigakan,Indonesia adalah negara dengan tingkat korupsitinggi dan supply kayu yang mencurigakan jugatinggi. Lebih dari 60 kayu yang dipasok olehIndonesia dicurigai berasal dari praktik illegal.Dengan Corruption Perception Index CPI untuk10 terbersih hingga 0 terkorup, Indonesia sejaktahun 2001 hingga 2010 selalu dibawah angka 3 ataumasih tergolong negara paling korup. Pada tahun2010 dengan CPI senilai 2,8, Indonesia berada di8.Indonesia menempati posisi 110 dari 178 jumlah negara. Kondisi ini tidakberubah jika dibandingkan pada tahun 2009. Padatahun 2011, meskipun tidak begitu signifikan namunterjadi peningkatan CPI Indonesia menjadi 3.0.Hasil peneliti dari CIFOR menyebutkan kebanyakannegara yang berpotensi mendapatkan dana darimekanisme kerja sama pengurangan emisi daripembalakan dan deforestasi REDD+ memilikireputasi buruk dalam pemberantasan korupsi. 98 Sembilan negara yang berpotensi mendapatkan pendanaan dari REDD+ memiliki skor Indeks Persepsi Korupsi IPK berdasarkan survey Transparency International 2010 di bawah 3,6. Kesembilan negara tersebut adalah Panama IPK 3,6, Zambia IPK 3,0, Indonesia IPK 2,8, Bolivia IPK 2,8, Vietnam IPK 2,7, Tanzania IPK 2,7, Paraguay IPK 2,2, Papua Niugini IPK 2,1, dan Kongo IPK 2,0. Dari laporan Seneca Creek Associates dan laporan Transparency International tersebut dengan sederhana bisa disimpulkan bahwa negara dengan tingkat korupsi yang tinggi seperti Indonesia berdampak pada pengelolaan industri hutan. Korupsi yang tinggi terkait dengan tingginya illegal logging sehingga diduga Indonesia merupakan sumber kayu yang mencurigakan, kayu-kayu yang didapat dari praktik illegal logging atau kayu yang didapat dari pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan. Tingginya tingkat korupsi akan berdampak pada lemahnya pengawasan sehingga kayu-kayu illegal dengan mudah diperdagangkan di pasar internasional. Human Rights Watch HRW sebuah lembaga Hak Asasi International dalam penelitiannya di Indonesia pada tahun 2009 lalu menyatakan bahwa dampak kejahatan kehutanan akibat illegal logging, korupsi dan buruknya manajemen terhadap Hak Asasi Manusia. Antara tahun 2003 hingga 2006, rata-rata hampir USD 2 miliar pertahun negara dirugikan karena kejahatan di sektor kehutanan tersebut. dinyatakan HRW: “The annual loss of some 2 billion in forestrevenue is especially significant when viewed inlight of these low spending and poor performancefigures. Indeed, the annual losses due to forestmismanagement, illegal logging, and corruption are actually greater than Indonesia’s totalnational budget for health Rp16.8 trillion or 1.8billion in 2008 ”. 99 96 Komisi Pemberantasan Korupsi, 3 Desember 2010. Paparan Hasil Kajian KPK tentang Kehutanan. Relasi Kejahatan Kehutanan dan Korupsi 97 Seneca Creek Associates, 2004. Illegal” Logging and Global Wood Markets: The Competitive Impacts on the U.S. Wood Products Industry. Maryland. Hal 8 98 Ibid 99 Human Rights Watch, Indonesia; “Wild Money”; The Human Rights Consequences of Illegal logging and Corruption in Indonesia’s Forestry Sector, New York: HRW, 2009. Hal. 55