Umum INSTRUMEN ANTI-PENCUCIAN UANG UNTUK
86
maju telah mencemaskan berkembangnya tindak pidana pencucian uang terlebih lagi pada saat itu ketentuantentang kerahasiaan bank sangat melindungi dan sulit ditembus.Berdasarkan
pemikiran tersebut, maka negara yang tergabung dalam G-7 membentuk badan yangdisebut FATF The Financial Action Task Force,sebuah badan antarpemerintah yang bertujuan
mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk memberantas pencucian uang.
Lahirnya UUTPPU didasari suatu pemikiran bahwa tindak pidana pencucian uang sangat erat kaitannya dengan dana-dana yang sangat besar jumlahnya. Sementara itu, dana-dana tersebut
disembunyikan dan disamarkan melalui jasa-jasakeuangan, seperti jasa perbankan, asuransi, pasar modal dan instrumen lain dalamlalu-lintas keuangan. Praktik ini secara tidak langsung
akan membahayakan dan mempengaruhi, bahkan merusak stabilitas perekonomian nasional.
145
Pencucian uang adalah suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang didapat dari hasil suatu tindak pidana, yang
biasanya dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatanlingkungan hidup dan tindak
pidana lainnya dengan tujuan untuk menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal- usul uang yang berasal dari hasil tindak pidanatersebut. Sehingga harta kekayaan tersebut baik
yang berupa uang maupun barang dapat digunakan seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang illegal.
Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan tindakan-tindakan tersebut dengan maksud adalah untuk memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari
kejahatan yang menghasilan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari sebagai suatu kejahatan yang berdimensi Internasional merupakan hal baru dibanyak negara termasuk
Indonesia. Karena besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, maka negara-negara di dunia dan organisasi Internasional merasa tergugah dan
termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang.Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang
Money Laundering baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu
sendiri. Di dalam praktik Money Laundering ini diketahui bahwa banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku Money Laundering sering melakukan
“steril investment”, misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih
rendah. Sampai dengan saat ini tahun 2014, Indonesia sudah melakukan 3 tiga kali perubahan
Undang-Undang terkait dengan Tindak Pidana Pencucian Uang. Awalnya UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang menjadi UU anti pencucian uang pertama
kali. Tahun berikutnya UU ini diubah menjadi UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hampir
tujuh tahun setelah pemberlakuan UU No.25 tahun 2003, seiring dengan praktik Money Laundering juga semakin berkembang, maka perubahan UU Money Laundering pun kembali
dilakukan. Pada 2010, lahirlah UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berlaku sampai dengan saat ini.
145
Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering, Loc.cit , , hal. 1.
87
Indonesia mengenal dua rezim UU Pencucian Uang, yaitu: 1.
Undang-undang No. 15 tahun 2002 kemudian diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang berlaku sejak 17 April 2002 sampai
dengan 22 Oktober 2010; dan 2.
Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
146
berlaku sejak 22 Oktober 2010 sampai sekarang. Dalam UU TPPU terdapat 25 tindak pidana asal dan ditambah kejahatan lain-lain yang
ancaman hukuman pidananya 4 tahun atau lebih sebagai tindak pidana yang menjadi sumber kekayaan dalam melakukan suatu tindak pidana pencucian uang. Selain itu, dalam UU pertama
tentang TPPU dibentuk pula suatu lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang bernama Pusat Pelaporan
dan Analisa Transaksi Keuangan PPATK. PPATK memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti
pencucian uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. Namun tujuan besar yang ingin dibangun dalam hal ini pembangunan rezim antipencucian
uang belumlah berjalan dengan maksimal. Implementasinya belumlah maksimal dalam arti pasal-pasal yang terkandung di dalamnya masih belum dapat digunakan dengan maksimal
untuk menguak kasus-kasus tindak pidana pencucian uang. Dalam penerapan Undang-undang ini, tindak pidana asal yang cukup populer di mata masyarakat adalah tindak pidana korupsi
tipikor. Untuk pencucian uang dengan tindak pidana asalnya adalah kasus tipikor, berdasarkan data
dari Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dari tahun 2003 sejak dibentuknya Komisi ini sampai dengan tahun 2011 sama sekali tidak terdapat kasus yang jenisnya adalah Tindak
Pidana Pencucian Uang. Baru pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 Maret barulah mulai penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang yang tindak pidana asalnya adalah kejahatan
korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu sebanyak 12 perkara.
147
Di tingkat kejahatan kehutanan hal tersebut justru kurang menggembirakan.Sampai saat inibaru dua
kasus yang pernah dilakukan, yakni dalam kasus Marthen Renow dan Kasus Labora. Semangat pemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dimulai pada tahun
1988, ketika United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara, dan Indonesia
menjadi salah kemudian satu negara anggota yang meratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran
Gelap Narkotika dan Psikotropika.Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7 yang akhirnya melahirkan FATF on Money Laundering yang bertujuan
mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan
bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug
146
UU No. 8 tahun 2010 disahkan 22 Oktober 2010. Sejak saat itu UU No. 15 tahun 2002 yang diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku.
147
Lihat “Tabulasi Data Penanganan Korupsi oleh KPK Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2004- 2014”,http:acch.kpk.go.idstatistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-jenis-perkara.
88
Convention agar negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi Money Laundering.
Pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-
negara industri, di mana bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Oleh sebab
itu, Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 310PBI2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 521PBI2003. Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 310PBI2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan
Nasabah namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi Money Laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan di mana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk
penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang NegaraPanitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana,
atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan
mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan. Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF
sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktik pencucian uang.
Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat kerjasama
internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulan-usulan untuk
perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang.
Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories NCCTs pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic
Cooperation and Development OECD dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi
pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hukum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan Money Laundering,
belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktik Money Laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang
mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk
mengatasi praktik Money Laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam
setelah FATF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang menangani Money Laundering, kemudian Presiden
mengutus beberapa Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus Money Laundering.
Pada tanggal 17 April 2002 kemudian diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Pertama tentang Money Laundering di Indonesia
89
melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang Money Laundering.
Pada tahun berikutnya, disahkan juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini menunjukkan semangat anti pencucian uang menuju ke arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam
pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan
sanksi pidana danatau sanksi administratif. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002, menambahkan beberapa ketentuan tentang tindak pidana asal core crime dari predicate crimes yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka, dan lebih menekankan
peranan PPATK untuk berkerja secara intensif dalammenanggulangi Tindak Pidana Pencucian Uang TPPU. Tindakan pemerintah Republik Indonesia untuk menanggulangi dan keluar dari
daftar hitam black list negara-negara tempat tumbuh suburnya kegiatan pencucian uang, yang dilakukan melalui beberapa upaya-upaya sudah menampakkan hasilnya, dengan dinyatakannya
bahwa Indonesia telah keluar dari daftar hitam tersebut
148
. Perubahan-perubahan di dalam UUTPPU melalui UU No. 25 Tahun 2003 apabila dicermati,
terlihat masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan, walaupun pada dasarnya UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak PidanaPencucian Uang UUTPPU telah memberikan landasan
berpijak yang cukup kuat bagi penegak hukum untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana pencucian uang money laundring. Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal,
antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya
pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan
kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, maka diundangkanlah UU No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai beleid baru untuk mengakomodasinya. Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain:
149
1 Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang;
2 Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;
3 Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;
4 Pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa;
5 Perluasan pihak pelapor;
148
Sutanto, Peran Polri untuk Meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU , Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, Medan: Kepala Kepolisian Negara Rep ublik Indonesia, tanggal 15 September
2005, hal. 6
149
Bagian Pembukaan dari Penjelasan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
90
6 Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang danatau jasa lainnya;
7 Penataan mengenai pengawasan kepatuhan;
8 Pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi;
9 Perluasan kewenangan direktorat jenderal bea dan cukai terhadap pembawaan uang
tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean; 10
Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang;
11 Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan ppatk;
12 Penataan kembali kelembagaan PPATK;
13 Penambahan kewenangan ppatk, termasuk kewenangan untuk menghentikan
sementara transaksi; 14
Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan 15
Pengaturan mengenai penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana.