Umum INSTRUMEN ANTI-PENCUCIAN UANG UNTUK

86 maju telah mencemaskan berkembangnya tindak pidana pencucian uang terlebih lagi pada saat itu ketentuantentang kerahasiaan bank sangat melindungi dan sulit ditembus.Berdasarkan pemikiran tersebut, maka negara yang tergabung dalam G-7 membentuk badan yangdisebut FATF The Financial Action Task Force,sebuah badan antarpemerintah yang bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk memberantas pencucian uang. Lahirnya UUTPPU didasari suatu pemikiran bahwa tindak pidana pencucian uang sangat erat kaitannya dengan dana-dana yang sangat besar jumlahnya. Sementara itu, dana-dana tersebut disembunyikan dan disamarkan melalui jasa-jasakeuangan, seperti jasa perbankan, asuransi, pasar modal dan instrumen lain dalamlalu-lintas keuangan. Praktik ini secara tidak langsung akan membahayakan dan mempengaruhi, bahkan merusak stabilitas perekonomian nasional. 145 Pencucian uang adalah suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang didapat dari hasil suatu tindak pidana, yang biasanya dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatanlingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan untuk menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal- usul uang yang berasal dari hasil tindak pidanatersebut. Sehingga harta kekayaan tersebut baik yang berupa uang maupun barang dapat digunakan seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan tindakan-tindakan tersebut dengan maksud adalah untuk memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari sebagai suatu kejahatan yang berdimensi Internasional merupakan hal baru dibanyak negara termasuk Indonesia. Karena besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, maka negara-negara di dunia dan organisasi Internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang.Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang Money Laundering baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktik Money Laundering ini diketahui bahwa banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku Money Laundering sering melakukan “steril investment”, misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih rendah. Sampai dengan saat ini tahun 2014, Indonesia sudah melakukan 3 tiga kali perubahan Undang-Undang terkait dengan Tindak Pidana Pencucian Uang. Awalnya UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang menjadi UU anti pencucian uang pertama kali. Tahun berikutnya UU ini diubah menjadi UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hampir tujuh tahun setelah pemberlakuan UU No.25 tahun 2003, seiring dengan praktik Money Laundering juga semakin berkembang, maka perubahan UU Money Laundering pun kembali dilakukan. Pada 2010, lahirlah UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berlaku sampai dengan saat ini. 145 Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering, Loc.cit , , hal. 1. 87 Indonesia mengenal dua rezim UU Pencucian Uang, yaitu: 1. Undang-undang No. 15 tahun 2002 kemudian diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang berlaku sejak 17 April 2002 sampai dengan 22 Oktober 2010; dan 2. Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 146 berlaku sejak 22 Oktober 2010 sampai sekarang. Dalam UU TPPU terdapat 25 tindak pidana asal dan ditambah kejahatan lain-lain yang ancaman hukuman pidananya 4 tahun atau lebih sebagai tindak pidana yang menjadi sumber kekayaan dalam melakukan suatu tindak pidana pencucian uang. Selain itu, dalam UU pertama tentang TPPU dibentuk pula suatu lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan PPATK. PPATK memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. Namun tujuan besar yang ingin dibangun dalam hal ini pembangunan rezim antipencucian uang belumlah berjalan dengan maksimal. Implementasinya belumlah maksimal dalam arti pasal-pasal yang terkandung di dalamnya masih belum dapat digunakan dengan maksimal untuk menguak kasus-kasus tindak pidana pencucian uang. Dalam penerapan Undang-undang ini, tindak pidana asal yang cukup populer di mata masyarakat adalah tindak pidana korupsi tipikor. Untuk pencucian uang dengan tindak pidana asalnya adalah kasus tipikor, berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dari tahun 2003 sejak dibentuknya Komisi ini sampai dengan tahun 2011 sama sekali tidak terdapat kasus yang jenisnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang. Baru pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 Maret barulah mulai penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang yang tindak pidana asalnya adalah kejahatan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu sebanyak 12 perkara. 147 Di tingkat kejahatan kehutanan hal tersebut justru kurang menggembirakan.Sampai saat inibaru dua kasus yang pernah dilakukan, yakni dalam kasus Marthen Renow dan Kasus Labora. Semangat pemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dimulai pada tahun 1988, ketika United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara, dan Indonesia menjadi salah kemudian satu negara anggota yang meratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7 yang akhirnya melahirkan FATF on Money Laundering yang bertujuan mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug 146 UU No. 8 tahun 2010 disahkan 22 Oktober 2010. Sejak saat itu UU No. 15 tahun 2002 yang diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku. 147 Lihat “Tabulasi Data Penanganan Korupsi oleh KPK Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2004- 2014”,http:acch.kpk.go.idstatistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-jenis-perkara. 88 Convention agar negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi Money Laundering. Pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara- negara industri, di mana bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Oleh sebab itu, Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 310PBI2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 521PBI2003. Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 310PBI2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi Money Laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan di mana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang NegaraPanitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan. Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktik pencucian uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang. Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories NCCTs pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development OECD dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hukum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan Money Laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktik Money Laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktik Money Laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FATF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang menangani Money Laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus Money Laundering. Pada tanggal 17 April 2002 kemudian diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Pertama tentang Money Laundering di Indonesia 89 melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang Money Laundering. Pada tahun berikutnya, disahkan juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini menunjukkan semangat anti pencucian uang menuju ke arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana danatau sanksi administratif. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, menambahkan beberapa ketentuan tentang tindak pidana asal core crime dari predicate crimes yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka, dan lebih menekankan peranan PPATK untuk berkerja secara intensif dalammenanggulangi Tindak Pidana Pencucian Uang TPPU. Tindakan pemerintah Republik Indonesia untuk menanggulangi dan keluar dari daftar hitam black list negara-negara tempat tumbuh suburnya kegiatan pencucian uang, yang dilakukan melalui beberapa upaya-upaya sudah menampakkan hasilnya, dengan dinyatakannya bahwa Indonesia telah keluar dari daftar hitam tersebut 148 . Perubahan-perubahan di dalam UUTPPU melalui UU No. 25 Tahun 2003 apabila dicermati, terlihat masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan, walaupun pada dasarnya UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak PidanaPencucian Uang UUTPPU telah memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi penegak hukum untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana pencucian uang money laundring. Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, maka diundangkanlah UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai beleid baru untuk mengakomodasinya. Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain: 149 1 Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang; 2 Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang; 3 Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif; 4 Pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa; 5 Perluasan pihak pelapor; 148 Sutanto, Peran Polri untuk Meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU , Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, Medan: Kepala Kepolisian Negara Rep ublik Indonesia, tanggal 15 September 2005, hal. 6 149 Bagian Pembukaan dari Penjelasan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 90 6 Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang danatau jasa lainnya; 7 Penataan mengenai pengawasan kepatuhan; 8 Pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi; 9 Perluasan kewenangan direktorat jenderal bea dan cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean; 10 Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang; 11 Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan ppatk; 12 Penataan kembali kelembagaan PPATK; 13 Penambahan kewenangan ppatk, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi; 14 Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan 15 Pengaturan mengenai penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

2. Ruang Lingkup Tindak Pencucian Uang

Dalam berbagai literature pengertian pencucian uang adalah sebuah kejahatan yang melibatkan upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil sebuah kejahatan. Pada UU No. 8 tahun 2010 yang berlaku saat ini, ketentuan pidana tentang Pencucian Uang tersebut diatur pada tiga pasal, yaitu: Pasal 3 Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah. Pasal 4 Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. Pasal 5 i. Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah Karena prinsip dari pencucian uang adalah upaya memotong mata rantai kejahatan yang paling lemah namun yang paling penting bagi pelaku kejahatan. Maka Pendekatan yang 91 dilakukan adalah follow the money, yang tidak terlepas dari paradigma bahwa hasil kejahatan proceeds of crime adalah life blood of the crime atau darah yang menghidupi kejahatan itu sendiri. 150 Dengan menggunakan paradigma baru ini pemberantasan kejahatan lebih difokuskan pada pengejaran hasil kejahatan melalui metode deteksi dan penelusuran aliran dana follow the money. Pendekatan ini di banyak negara diakui lebih menjanjikan keberhasilannya ketimbang mengejar pelaku kejahatan yang biasanya memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan. 151 Pada tindak pidana pencucian uang dikenal tiga fase utama sebagai proses pencucian uang hasil kejahatan, yaitu: penempatan Placement; pelapisan Layering dan penggabungan Integration. 152 Pemahaman terhadap tiga fase ini penting untuk mengerti bagaimana pencucian uang di sektor kehutanan dilakukan. ‘Placement’ adalah sebuah tindakan di mana dana yang diperoleh dari hasil kejahatanditempatkan atau disimpan dalam sistem keuangan, pada umumnya di dalam sistemperbankan. Dalam proses placement terdapat pergerakan fisik uang.Pada tahap placement di sektor kehutanan, uang hasil kejahatan ditempatkan dalam sistem keuangan, ditukar dalam bentuk valas, atau dibelanjakan untuk barang-barang yang sama sekali tidak terkait dengan asal-usul dana tersebut. Contoh placement terkait dengan kejahatan kehutanan:Uang tunai atau check hasil dari illegal logging atau korupsi disimpan di dalam rekeningdi sebuah bank di sebuah kabupaten.Uang tunai atau check hasil illegal logging atau korupsi digunakan untuk membayar polisasuransi jiwa. Proses placement merupakan fase paling awal dari kejahatan pencucian uang. Fase ini akan diteruskan dengan layering, yaitu ketika dana yang telah ditempatkan kemudian dialihkan baik di dalam ataupun luar negeri melalui mekanisme yang rumit dan dapat menggunakan pelayanan di secrecy jusrisdiction seperti Cayman Island, British Virgin Island, Jearsey, Macao atau wilayah lainnya yang menganut kerahasiaan perbankan secara ketat sekaligus memiliki aturan pajak yang sangat rendah. 150 Tim Penyusun PPATK dan Setjen DPR-RI, Memorie van Toelichting; Pembahasan Rancangan Undang undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak PIdana Pencucian Uang BUKU SATU Jakarta: PPATK, 2011. Hlm. 80 151 Sebagai ilustrasi, dari 2903 Laporan Transaksi KeuanganMencurigakan LKTM yang dikelola PPATK, ditemukan 28 LKTM terkait dengan illegal logging. Sementara itu khusus analisis transaksi keuangan mencurigakan yang terkait illegal logging, PPATK telah menyampaikan 14 hasil analisis yang terkait dengan berbagai pihak, yaitu oknum pejabat, oknum aparat dan perusahaanpengusaha kayu. Berdasarkan hasil analisis yang telah disampaikan kepada Polri dapat diketahui bahwa selain pengusaha lokal, beberapa pelaku illegal logging berasal dari Malaysia. Dalam melakukan kegiatannya mereka menggunakan identitas beberapa WNI untuk membuka rekening di Bank dan menjadi pengurus perusahaan. Selanjutnya kontrol atas rekening dan perusahaan diduga dilakukan oleh orang asing tersebut. Dari data-data yang kita miliki, pelaku illegal logging melakukan kegiatan usaha antara lain di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua, selanjutnya sebagian kayu illegal tersebut di ekspor ke Malaysia dan Singapura. Di Papua, para pelaku illegal logging bekerjasama dengan beberapa koperasi setempat dalam melakukan penebangan kayu. Untuk memperlancar kegiatan bisnisnya, pelaku illegal logging diduga secara rutin menyetorkan uang suap dalam jumlah besar ke rekening oknum pejabat dan oknum aparat terkait. Diamping itu Dengan bergabungnya PPATK ke dalam jejering intelijen keuangan di bawah bendera EGMONT GROUP, maka proses asssets tracing dan pelacakan transaksi keuangan di belahan dunia bukan lagi menjadi persoalan bagi Indonesia. Hal ini tentunya akan membantu proses assets recovery dari hasil kejahatan yang dilakukan di Indonesia oleh para pelakunya. Dalam kaitan pemberantasan illegal logging hal ini tentunya merupakan intensif yang sangat besar artinya. Sehingga harapkan agar para pelaku illegal logging yang ditangkap bukan lagi mereka yang berperan sebagai operator lapangan atau kelompok-kelompok figuran melainkan diharapkan bisa menyentuh para aktor intelektual yang selama ini bersembunyi dibalik transaksi-transaksi haram. 152 Bambang Setiono Menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian UangMenjerat Aktor Intelektual Illegal logging Pusat Riset Kehutanan Internasional CIFOR