for proses kebijakan, dan pengetahuan tentang about proses kebijakan. Secara kontinum, proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan terdiri atas tiga
variasi yaitu analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, serta analisis untuk kebijakan. Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan yaitu
analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat dan isi kebijakan yang merupakan deskripsi tentang
kebijakan tertentu dan hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Monitoring dan evaluasi kebijakan berfokus pada pengkajian kinerja kebijakan dengan
mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Analisis untuk kebijakan mencakup informasi untuk kebijakan
dan advokasi terhadap kebijakan. Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua
perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Jay Forrester dalam Dunn 2003, bahwa
persoalannya tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah pada pemilihan diantara berbagai alternatif yang
ada. Oleh karena itu, perlu dikaji terlebih dahulu setiap alternatif yang akan menjadi prioritas dalam pengembilan kebijakan.
Dalam rangka merumuskan kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan di wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka
diperlukan arahan dan kebijakan secara terpadu. Hal ini disebabkan tingginya keterkaitan antar sektor yang ada di wilayah pesisir tersebut. Oleh karena itu,
dalam sebuah kebijakan pembangunan kelautan, harus memperhatikan empat aspek utama yaitu: 1 aspek teknis dan ekologis, 2 aspek sosial ekonomi-
budaya, 3 aspek politis dan 4 aspek hukum dan kelembagaan Indrawani, 2000.
2.11. Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Dalam rangka merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan kelautan, maka kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri
melainkan merupakan paket kebijakan yang komponen-komponennya saling melengkapi dan menunjang. Todaro 1997 menyatakan bahwa suatu kebijakan
yang sifatnya komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga unsur fundamental, yaitu; Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang
dirancang secara khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan atas harga-harga relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih
terjaminnya harga-harga pasar. Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap
distribusi pendapatan, distribusi aset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh pendidikan serta penghasilan pekerjaan yang lebih merata. Ketiga, adanya satu
atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk memodifikasi ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi melalui
pajak progresif. Menurut Kusumastanto 2003, agar bidang kelautan menjadi sektor
unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Dalam
rangka mengarahkan pembangunan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan ocean development policy sebagai bagian dari ocean
policy yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan yang
bersifat publik. Penciptaan kebijakan ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan institutional arrangement yang lingkupnya mencakup dua
lembaga dalam suatu sistem pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif. Kebijakan kelautan dan perikanan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi
politik yang nantinya menjadi tanggung-jawab bersama. Kebijakan pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan
DKP yang sekarang mengalami perubahan nomenklatur menjadi kementerian melalui Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, merupakan suatu keputusan
ekonomi politik dari perubahan mendasar di tingkat kebijakan nasional. Keputusan politik ini diharapkan tidak hanya sampai pada pembentukan
kementerian saja, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara dalam menjadikan bidang kelautan sebagai mainstream
pembangunan bangsa Kusumastanto, 2003. Otonomi daerah sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang kewenangan
mengatur daerah dengan batasan pengelolaan wilayah laut provinsi dalam batasan 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah
perairan kepulauan, pemerintah kabupatenkota mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sementara UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, pada prinsipnya pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam
termasuk sumberdaya laut dan pesisir. Daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang besar terutama pesisir dan
kelautan seharusnya memiliki kesempatan dalam memanfaatkan seoptimal mungkin potensi tersebut untuk pembangunan. Permasalahan utama yang
dihadapi jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi adalah akan berdampak pada timbulnya efek negatif terhadap kondisi
ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan ocean policy adalah kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam
mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat social welfare
Kusumastanto 2003. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus mempertimbangkan berbagai aspek
antara lain aspek ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga dapat bermanfaat secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya yang optimal disatu sisi dapat menyokong
pembangunan ekonomi dan di sisi lain bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan sustainaibility sehingga akan mencapai kesejateraan.
Keterkaitan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan berbagai kegiatan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, membutuhkan suatu model pengembangan wilayah pesisir yang sibernitik sebab bertindak berdasarkan analisis tajam untuk mencapai
tujuan, holistik karena konteks ini melibatkan semua pihak yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat serta stakeholder dengan mempertimbangkan potensi
yang dimiliki untuk pengembangan pesisir dan potensi bencana yang dapat terjadi Ruswandi, 2009.
Ecological Sustainability
2.12. Konsep Pembangunan Berkelanjutan