Ideologi Membentuk Habitus IDEOLOGI SEBAGAI MODAL PERJUANGAN
159
berhubungan dengan nilai dan cara bertindak dipengaruhi oleh latarbelakang kulturalnya. Habitus dibawa dan dibentuk agen dalam momen praktik ketika menemui masalah dalam
kehidupan. Habitus bekerja di bawah ketidaksadaran agen karena habitus menyatu dalam nilai-nilai yang dianut oleh agen bahkan dalam gerak-gerik tubuh agen, seperti cara
berjalan, meludah, cara makan maupun cara berbicara.
1
Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia.
Habitus yang seperti apa yang telah terbangun dalam masyarakat Batak sehingga mereka masih mempraktikkan adat dan tradisi yang begitu kuat? Habitus bagi orang
Batak terbentuk berdasarkan adat dan tradisi yang dipraktikkan dalam sistem hubungan kekerabatan. Setiap aktivitas dalam adat dan tradisi akan menghasilkan pembelajaran
kultural. Di sana akan tercipta kebiasaan yang menghasilkan suatu ajaran yang kemudian menjadi norma, nilai dan adat aturan yang kemudian menjelma dalam tata aturan adat
uhum paradaton. Orang Batak sebagai agen bergerak dalam suatu pengalaman kultural yang tidak dapat dielakkan karena orang Batak hidup di dalamnya. Kebiasaan, dan
pengulangan dalam praktik adat dan tradisi membuat mereka tidak dapat mengelak dan tidak dapat mengabaikan bahwa sebagai orang Batak harus berkecimpung di dalamnya.
Kristalisasi dari kebiasaan yang selalu diulang untuk dilakukan itulah kemudian yang menghasilkan salah satu sistem nilai dan aturan dalam hubungan kekerabatan orang
Batak yang diformulasikan sebagai falsafah atau ideologi hamoraon, hagabeon, hasangapon. Dalam pengalaman hidup orang Batak ketiga unsur ideologi tersebut
menjadi tujuan yang selalu ingin dicapai melalui arena perjuangan. Ideologi tesebut ternyata menjadi modal yang sangat mendasar yang dipegang oleh orang Batak sehingga
1
Mutahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu, Sebuah Gerakan Melawan Dominasi, Yogyakarta, Kreasi Wacana. p.63.
160
meskpun modal ekonomi menjadi kelemahannya, namun modal ideologi ternyata dapat menjadi pendorong utama dalam mewujudkan cita-cita mereka.
Untuk mengetahui pandangan responden terhadap ideologi maka beberapa pertanyaan telah diajukan mengenai pentingnya ideologi 3H bagi orang Batak. Ketika
diajukan pertanyaan dalam wawancara mendalam kepada perorangan dan kepada kelompok diskusi FGD Focus Group Discussion, pada umumnya responden menjawab
bahwa ideologi 3H tersebut masih sangat penting. Salah satu jawaban reponden yang dikutip yang disampaikan oleh Hotran Simarmata: “Penting, karena ini merupakan target.
Karena bisa dijadikan sebagai dasar, pondasi, sebagai ‘UUD’ bagi orang Batak”. Masih kuatnya ideologi 3H dipegang oleh orang Batak menjadikan mereka seoah-olah tidak
pernah patah semangat untuk melanjutkan perjuangan mereka, meskipun modal utama ekonomi menjadi persoalan, namun tetap dapat bertahan berjuang dengan adanya
dorongan modal ideologi ini. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, pergulatannya berada di sekitar arena
pendidikan di sekolah dan dunia kerja di perantauan. Meskipun di arena pendidikan lebih sering sulit mencapainya, mengingat modal ekonomi yang sangat membatasinya.
Sedangkan di arena dunia kerja, lebih menjanjikan dengan menggantungkan diri pada keberuntungan, dengan harapan mudah-mudahan mendapatkan perkerjaan di perantauan.
Di arena dunia kerja, seandainya pun mendapatkan pekerjaan, tetap masih menjadi masalah karena umumnya keterbatasan keahlian yang dimiliki calon pekerja bahkan
sering tidak memenuhi persyaratan di dunia kerja profesional. Dua arena pertarungan yang sangat sulit ini menjadi harapan orang Batak sebagai batu loncatan yang walaupun
sebenarnya mereka sendiri tidak dapat membayangkan akan seperti apa hasilnya. Namun,
161
semangat dan dorongan habitus yang telah tertanam dalam diri orang Batak inilah yang membuat mereka tidak akan patah semangat dalam usaha untuk meraihnya.
Bermula dari semangat ideologi, “Anakkonhi do hamoraon di au” Anakku adalah kekayaan bagiku, memotivasi banyak keluarga Batak Toba untuk terjun ke arena
perjuangan di bidang pendidikan untuk kemajuan anak-anak mereka. Meskipun banyak di antara mereka tidak memiliki modal finansial yang memadai. Usaha keras orangtua
tidak akan pernah patah meskipun untuk mencapai cita-cita yang tinggi untuk menyekolahkan anak-anak mereka, perlu dukungan finansial yang tidak sedikit.
Semangat perjuangan itulah yang terus menerus didengungkan dalam setiap aktivitas adat orang Batak Toba.
Lagu Anakkonhi do Hamoraon di Au
2
, terus berkumandang di hati orang Batak, tidak pernah absen dinyanyikan baik dalam acara formal maupun non-formal adat,
dalam acara punguan marga persekutuan marga, terlebih menjelang malam, di lapo tuak kedai tuak yang sehari-harinya dijadikan ‘rumah pertemuan’ bagi warga.
Anak seolah-olah ingin dijadikan seperti ‘batu permata’ yang berharga yang terus menerus harus diasah sehingga semakin lama semakin menunjukkan kemilaunya.
Meskipun susah payah cara mengasahnya, namun tetap akan dicari cara untuk mewujudkannya. Bila arena pendidikan tidak menjamin sebagai jalur pencapaian
kemajuan bagi anak-anak mereka karena keterbatasan finansial maka perjuangan orangtua dan anak belumlah berakhir. Masih ada kemungkinan lain yang dapat ditempuh
dengan jalan pergi merantau meninggalkan kampung halaman untuk mendapatkan
2
Lihat penjelasan lagu pada BAB III, Sub 4.4.1. Lagu no. 11. p.150
162
pekerjaan. Dorongan ini diperkuat oleh pandangan Bungaran Antonius Simanjuntak, Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan yang mengatakan bahwa: “Migrasi
orang Batak keluar dari kampung halamannya didorong oleh pandangan yang melekat pada konsep hamoraon, hagabeon, hasangapon
3
sebagai tujuan dan cita-cita orang Batak yang harus diperjuangkan.
Kepemilikan modal budaya berperan dalam pembentukan perbedaan status sosial yang terjadi dalam masyarakat systems of distinction. Dalam pandangan Bourdieu,
seseorang ingin menunjukkan dirinya sebagai yang tergolong dalam kelas sosial tertentu secara langsung maupun tidak akan ditentukan oleh seberapa banyak modal kultural yang
dimilikinya. Hal yang sama dapat diterapkan pada pencapaian orang Batak Toba untuk berjuang meraih status sosial melalui pendidikan. Melalui pendidikan tinggi yang ingin
diraih adalah modal sosial yang berdampak pada capaian cita-cita Anakkon hi do hamoraon di au, bukan sebagai kekayaan materi tetapi sebagai kekayaan kultural yang
membentuk perbedaan status sosial dalam masyarakat Batak. Status sosial seperti kedudukan terhormat yang termasuk bagian dari ideologi hasangapon kehormatan-
kemuliaan jelas-jelas menjadi bagian dari perjuangan orang Batak Toba.