2. Keterpurukan Modal Ekonomi IDEOLOGI SEBAGAI MODAL PERJUANGAN

176 Secara khusus lagu Tapanuli Peta Kemiskinan menceritakan tentang kemiskinan daerah Tapanuli Utara, yang dikisahkan dalam teks lagu dalam kisah nyata tahun 80-an dan 90-an. Saat itu pula, Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar periode 1988- 1998, telah menggagas sebuah slogan yang terkenal dengan: MARTABE Marsipature Hutana Be. 24 Melalui latarbelakang kondisi Tapanuli Utara, Jack Marpaung ikut menyemarakkan slogan Gubernur tersebut dengan menciptakan lagu berjudul: Tapanuli Peta Kemiskinan. 25 Ketika dilakukan wawancara dan diskusi pada kelompok FGD, responden memberi penjelasan berdasarkan pengalaman ketika mereka masih berada di Tapanuli Utara. Di antara responden yang menceritakan tentang pengalamannya adalah Kaston Pakpahan: 26 “Mengenai Tapanuli Peta Kemiskinan, pada tahuan 90-an pertengahan sudah diteliti bahwa Tapanuli Peta Kemiskinan. Suatu hal yang dianjurkan oleh orang tua supaya anak- anaknya pergi sekolah. Dari Tapanuli Utara mereka pergi sekolah ke Medan, Jakarta, Bandung. Jadi uang dari Tapanuli begitu deras keluar. Untuk keperluan sekolah anak- anak mereka, terpaksa menjual apa yang mereka miliki seperti jual beras, jual sawah, jual kerbau, apapun dijual. Dan mengenai capaian sekolah paling sedikit lulus SMA”. Harapan orangtua kalau sudah lulus dari sekolah, supaya anaknya bisa bekerja dan menjadi orang sukses. Keberhasilan seharusnya memberi dampak kesejahteraan, seperti yang dicita-citakan dalam ideologi hamoraon, namun yang terjadi adalah ketidakpedulian terhadap kampung halamannya. Kemarahan seolah terjadi ketika orangtuanya mengetahui bahwa anaknya sudah sukses dalam pekerjaan, kaya mora dan terpandang sangap. Hal yang disesalkan orangtua dalam kisah lagunya adalah mengapa 24 MARTABE Marsipature hutana be: Artinya membangun kampung masing-masing. 25 Lihat penjelasan lagu pada BAB III, Sub 4.1.1. Lagu no. 4. p.135. 26 Wawancara dilakukan di Wonosobo, 29 Maret 2014. 177 perantau justru melupakan Bona Pasogit tanah asal. Ada keengganan perantau yang sukses untuk pulang, digambarkan seolah-olah tidak peduli dengan kampung halamannya. Hal ini juga ditanyakan kepada responden. Salah satu tanggapan yang dilontarkan oleh Hotran Simarmata, sebagai berikut: 27 “Banyak orang Batak yang sukses diperantauan, bisa membangun rumah sampai 3 tingkat, tapi kalau di kampungnya belum tentu dia membangun satu tingkat saja. Banyak yang sudah sarjana-sarjana. Karena banyak sarjana maka melalui lagu ini seharusnya mereka mempraktikkan di kampung ilmu yang sudah didapat itu. Seharusnya ilmu yang mereka dapatkan dipakai dalam pengembangan di berbagai sektor seperti pariwisata”. Dalam teks lagu terdapat permintaan kepada orang Batak yang berada di perantauan supaya mereka kembali ke kampung, dan supaya mereka membangun daerah yang sudah sangat tertinggal dari kota-kota lainnya. Dalam teks lagu dikatakan Mulak ma ho bangsokki, Bangso Batak bangsokki, bangso na jogi, pulanglah bangsaku, bangsaku yang gagah berani. Kata mulak pulang yang dipakai dalam teks lagu mengindikasikan supaya mereka yang sudah sukses di perantauan memperhatikan kampung halaman yang berada pada status miskin. Sumbangan selain uang, ilmu dan pemikiran sangat dibutuhkan untuk merealisasikan ide pembangunan. Melibatkan perantau untuk membangun dianggap merupakan potensi tersendiri dalam menggerakkan pembangunan di daerah. Sehingga dua model himbauan lewat slogan pemerintah Sumatera Utara dan seniman musik dirasa sangat tepat dan cukup menginspirasi. Himbauan dan ajakan sangat pantas disuarakan, namun bagaimana 27 Wawancara dilakukan di Wonosobo, 29 Maret 2014. 178 tanggapan orang Batak itu sendiri sangat tergantung pada kepekaan masing-masing. Seperti tanggapan yang dilontarkan responden Mirando Damanik berikut ini: 28 “Orang Batak hanya membangun kampungnya ketika dia membangun tugu untuk bapaknya, dan untuk dirinya. Kalau dia sudah sukses. Kalau disuruh membangun daerahnya, agak sulit. Jadi Jack Marpaung hebat juga bisa mencetuskan lagu ini, karena merupakan kritikan kepada semua orang Batak”. Selain tanggapan sinis terhadap perantau, juga tidak seluruhnya benar bahwa perantau tidak peduli kampung halamannya. Sesuatu yang positif sudah mulai terlihat, ketika semakin banyak orang Batak yang ada diperantauan semakin peduli terhadap kampung halamannya, dengan berusaha membangun dengan cara dan kemampuannya masing-masing. Sehubungan dengan isi lagu, juga ditanyakan kepada responden lain mengenai: “Bagimana tanggapan Anda terhadap syair dan lagu yang mengisahkan tentang kemiskinan? Tanggapan dari responden lain seperti yang diutarakan oleh Lukder Tumanggor berikut ini: 29 “Tapi kita lihat segi positifnya. Datanglah surat dari kampung, isinya mau bikin ‘tambak’ tugu. Kiriman cukup besar tapi kurang bermanfaat karena digunakan untuk membangun kuburan tugu. Meskipun ada juga untuk keperluan membangun desa, untuk menyalurkan air bersih. Ada juga orang Hutagodung yang sukses diperantauan yang membangun daerahnya dengan membangun jembatan yang cukup mahal biayanya. Juga daerah Solok pedalaman di Tapanuli Utara sudah bisa dilalui mobil karena perantau sudah berkontribusi untuk membangun jalan dan jembatan. Jadi lagu Tapanuli Peta Kemiskinan ini sudah memotret kenyataan yang sesungguhnya di Tapanuli”. Isi lagu Gotap sikkola 30 , itulah ratapan seorang anak. Si Anak menyadari bahwa itu adalah bagian dari kemiskinan, apalagi ayahnya tidak bisa berkontribusi lagi karena 28 Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 7 Maret 2014. 29 Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 5 Maret 2014. 30 Lihat penjelasan lagu pada BAB III, Sub 4.1.2. Lagu no. 5. p.137. 179 sudah pergi meninggalkan mereka untuk selamanya. Perjuangan seorang Ibu untuk anaknya ternyata pada akhirnya tetap tidak bisa mencapai cita-citanya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Padahal Ibuanya sudah berusaha keras, bekerja sampai menahan panas matahari sebagai pedagang kecil parengge-rengge di kaki lima. Ketika peristiwa dalam lagu ini ditanyakan kepada responden dengan pertanyaan: “Bagaimana tanggapan Anda terhadap syair dan lagu yang berisikan tentang anak yang putus sekolah”. Maka jawaban yang disampaikan oleh Manosor Pangaribuan sebagai berikut: 31 “Ini lagu kisah anak yang berniat untuk sekolah namun orangtua tidak mampu membiayai. Kita tau penghasilan di kampung umumnya dari pertanian, sehingga dukungan ekonomi tidak mencukupi. Apalagi kalau kita perhatikan bahwa junmlah anggota keluarga di kampung bisa 4 sampai 6 orang atau bahkan lebih. Sementara penghasilan ibu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, apalagi sampai menyekolahkan anak-anaknya”. Sebagai orangtua tetap berusaha bekerja keras dengan caranya sendiri untuk bisa mendapatkan hasil pangomoan. Orangtua tetap berjuang meskipun menghadapi kenyataan pahit. Ketika hal ini ditanyakan kepada responden yang lain maka Marulitua Simangunsong menanggapi sebagai berikut: 32 “Tinggi hasrat dan keinginan orangtua, supaya anak lebih baik ilmunya, ekonominya, pengetahuan dari pada dirinya orangtua. Tapi melihat kenyataan, bekerja sebagai pedagang kecil dari pagi sampai sore, usaha tersebut masih belum dapat mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi”. Kemiskinan itulah yang menjadi momok, karena ternyata harapannya untuk bekerja mendapatkan penghasilan belum terwujud di perantauan. Si Anak merintih, pengalaman pahit menimpanya karena begitu susah berjuang dalam hidup. Namun dalam 31 Wawancara dilakukan di Wonosobo, 29 Maret 2014. 32 Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 5 Maret 2014. 180 kesedihan tersebut, si anak tetap mohon doa dan penyertaan secara rohani dari Ibunya semoga selalu menyertainya di perantauan. Ketika ditanyakan tanggapan responden tentang isi lagu Tangis do Au 33 , satu penuturan yang menarik dari responden dalam bahasa Batak dari seorang Ibu N. br Ambarita melalui pengalamannya merantau. 34 “Hita mangaranto, naing ma majuhon orangtua do. Molo au dang putus asa, lehononku do hiburan tu orangtuakku. Nasibmu doi Omak, nasibmu doi Bapa, berjuang do au dipangarantoan on asa boi ahu hasea, alai boha ma bahenon, alai unang putus asa ho Omak, sabar ma ho, molo hasea au Omak sai na bahenonku do na denggan tuho. Kita yang merantau, bertujuan untuk memajukan orangtua. Kalau aku tidak putus asa, aku akan menghibur orangtuaku, mengatakan: itu nasibmu Ibu, nasibmu Ayah, aku sudah berjuang di perantauan supaya bisa berhasil, tapi apa mau dikata, tetapi jangan putus asa Ibu, sabarlah, kalau aku sudah sukses aku akan melakukan yang terbaik red: memberi sesuatu untukmu” Lagu kesedihan, namun berisi pemikiran yang sangat positif, di dalam ketidakmampuan anak masih bisa berfikir hal yang positif. Memiliki harapan dan masa depan yang menjanjikan, dengan penyertaan dukungan doa orangtuanya. 3. 3. Arena Pertarungan di Perantauan Bourdieu mendefinisikan arena sebagai arena pertempuran dan juga arena perjuangan, karena di arena tersebut agen dapat memperebutkan modal. Atau dengan pengertian yang lebih sederhana bahwa: “Arena adalah suatu arena sosial yang di dalamnya perjuangan atau manuver terjadi untuk memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas”. 35 33 Lihat penjelasan lagu pada BAB III, Sub 4.1.3. Lagu no. 6. p.139. 34 Wawancara dilakukan di Wonosobo, 28 Maret 2014. 35 Jenkins, Richard.1992. Pierre Bourdieu Routledge, London, ditejemahkan oleh Nurhadi. 2010. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana Offset, Yogyakarta. p. 124. 181 Pertanyaan yang diajukan berhubungan dengan apa motivasi dan tujuan responden dalam perjuangan? Masing-masing responden yang diwawancarai menginginkan suatu perubahan, karena mereka mengakui kehidupan di kampung cukup sulit miskin, sehingga sangat susah mendapatkan kehidupan yang lebih layak kalau hanya tinggal di kampung. Itulah sebabnya mereka berargumentasi mengapa banyak di antara orang Batak pergi merantau hanya karena terpaksa dan dengan modal ‘nekat’, dan kadang-kadang uang yang dibawa pun hanya pas-pasan untuk ongkos. Seperti yang dikisahkan Doma Tumanggor berikut ini: 36 “Merantau itu perlu, karena kondisi daerah sendiri yang tidak memungkinkan untuk bekerja, karena kalau tidak begitu ya tidak mungkin ada perubahan. Karena keterbatasan lapangan pekerjaan di kampung, apalagi kalau semua keluarga tinggal di kampung maka tidak bisa hidup. Seperti saya dulu setelah lulus SMA, dengan modal nekat merantau tahun 72. Naik kendaraan umum dari Siantar ke Jambi yang saya tempuh selama 7 hari 7 malam, dan tidak tau siapa yang dituju”. Banyak perantau biasanya belum memiliki tujuan yang pasti kemana dan ke alamat siapa mereka harus pergi. Yang ada di pikiran mereka adalah pergi. Sehingga orangtua pun sering hanya melontarkan tujuan kota asal sebut saja, seperti yang dialami oleh M. Siahaan. 37 “Kita semua merasakan peristwa ini, tanpa tujuan yang jelas. Tahun 78 saya merantau. Orangtua bertanya kepada saya apakah saya mau lanjut sekolah atau merantau. Tapi sebagai anak sulung, saya putuskan justru mau merantau. Saya sarjana ekonomi, lalu pergi merantau. Pertama di kapal Tangker mulai dari Belawan, Malaysia, sampai ke Singapura. Dulu rencana kalau punya uang ada keinginan melanjutkan kuliah pendeta tapi karena kurang mampu tidak jadi sekolah. Tidak lama kerja di kapal tanker lalu pengangguran. Karena tidak ada kerjaan lalu saya memutuskan merantau ke Pulau Jawa”. 36 Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 3 Maret 2014. 37 Wawancara dilakukan di Wonosobo, 29 Maret 2014.