Dalihan Natolu ETNIK BATAK DAN SUKU BATAK TOBA SEBAGAI IDENTITAS

72 Gambar Dalihan Natolu 51 Gambar tiga tungku batu di atas adalah sebagai contoh nyata yang biasa dipergunakan oleh orang Batak di dapur untuk menempatkan alat memasak di atasnya. Dalihan biasanya dibuat dari batu yang agak empuk supaya mudah dibentuk, dan tahan api. Perapian yang ada di dapur dalam rumah, sebagai tempat memasak biasanya langsung di atas tanah, agak lebar untuk menjamin agar api tidak menjalar kemana-mana, karena perapian menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Meletakkan tungku di atas tanah, atau abu kayu yang sudah menumpuk, tentu harus tepat supaya alat memasak tidak miring. Kalau tiga tungku itu belum stabil maka diperlukan batu yang lebih kecil lagi sebagai ganjal sihal-sihal, supaya tiga tungku itu kokoh berdiri untuk menyangga beban alat memasak yang akan diletakkan di atasnya. Dapur bagi sebagaian orang Batak yang tinggal di sekitar pegunungan yang agak dingin, digunakan tidak hanya untuk kepentingan memasak, tetapi sekaligus sebagai tempat perapian, untuk menghangatkan badan karena udara cukup dingin. Sambil memasak, anggota keluarga biasanya mendekat ke perapian tempat tungku diletakkan, sambil berbincang-bincang sekedar melakukan 51 http:www.google.comimgres?imgurl=http:batakculture.files.wordpress.com201201dalihan- natolu1.jpg. 73 komunikasi keluarga. Kebiasaan ini dilakukan baik setelah pulang dari pekerjaan setelah matahari terbenam, dan di pagi hari dalam mempersiapkan sarapan pagi sebelum matahari terbit. Dengan begitu eratnya kehidupan orang Batak dengan perapian yang terbuat dari tiga tungku batu, sebagai penopang alat masak yang diletakkan di atasnya, dan kehidupan dapur sebagai ruang bercengkrama keluarga sambil memasak, maka lahirlah sebuah falsafah Batak yang sangat populer disebut sebagai Dalihan Natolu. Adapun dalihan natolu difungsikan sebagai falsafah menjadi sistem demokrasi dalam melakukan ritual adat dan dalam menyelesaikan suatu persoalan yang mungkin terjadi di dalam keluarga. Atau bahkan dapat disebut sebagai tatacara dalam melaksanakan musyawarah keluarga. Untuk menciptakan keseimbangan, maka diperlukan tiga unsur sebagai dalihan tungku musyawarah, yaitu: Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru. Ada hal yang menarik dalam membahas Dalihan na Tolu, dengan menggunakan pendekatan symbolic power Bourdieu. Menurut Bourdieu kekerasan simbolik dapat terjadi ketika ada dominasi dalam komunikasi yang tersembunyi. Penyampaian lemah lembut diterima tanpa sadar, tidak tampak namun ada maksud yang tidak disangka oleh si terdominasi. Pandangan Bourdieu mengenai kekerasan simbolik diterangkan lebih lanjut oleh Haryatmoko bahwa : “Dalam dominasi simbolis, terlihat cara bagaimana dominasi itu dipaksakan dan diderita sebagai kepatuhan, efek dari kekerasan simbolik, kekerasan halus, tak terasakan, tak dapat dilihat bahkan oleh korbannya sendiri”. 52 52 Haryatmoko, 2010. Dominasi Penuh Muslihat, Akar kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta, gramedia, p.13. 74 Bila disimak dengan hati-hati, maka sistem demokrasi yang dipraktikkan oleh orang Batak dalam Dalihan na Tolu, sebenarnya tidak lepas dari konsep kekerasan simbolik. Karena di dalam sistem tersebut terdapat dominasi, dan terdapat subordinasi kedudukan dan peran. Kedudukan sebagai hula-hula tidak pernah berada pada kedudukan yang rendah. Dan sebaliknya peran sebagai boru tidak pernah berada pada kedudukan yang lebih tinggi dalam sistem dalihan na tolu. Namun sebagai boru tidak merasa bahwa itu adalah sebagai dominasi, pihak boru menerima hal itu sebagai kepatuhan kepada hula- hula yang mempunyai kedudukan lebih tinggi, dan karena tindakan kekerasan itu sangat halus, sehingga tidak dirasakan sebagai bagian dari kekerasan simbolik. Dalam upacara ritual adat yang besar, tidak ada satupun dari tiga unsur hula- hula, dongan tubu, dan boru ini yang boleh absen. Pesta adat perkawinan misalnya tidak akan dapat berlangsung kalau satu dari tiga unsur ini tidak hadir. Sama seperti fungsi dalihan dalam fungsi memasak, yang menopang alat memasak yang diletakkan di atasnya yang paling ideal untuk menopang adalah tiga tungku tersebut. Dalam pelaksanan adat, tiga unsur, hula-hula, dongan tubu, dan boru harus bekerjasama dalam melangsungkan acara adat. Demikian pula dalam pengambilan keputusan tiga unsur ini harus didengar pendapatnya, yang kemudian akan disimpulkan dan diputuskan oleh pihak hula-hula. Dan satu hal yang sangat unik adalah mengenai peran dalam masing-masing kedudukan juga tidak boleh sama. Hula-hula kalau dilihat dari posisinya lebih tinggi dari dongan tubu sehingga posisi tempat duduknya dalam acara adat berada di tempat yang terhormat dari bagian rumah, tidak mungkin hula-hula dalam pesta adat duduk di dekat pintu atau di dapur, karena hula-hula adalah yang dihormati dan patut dilayani. Dongan tubu dalam 75 pesta perkawinan adalah sebagai tuan rumah, yang melaksanakan pesta adat. Dia mempunyai kedudukan sejajar dengan saudara semarganya. Tempat duduknya di rumah adalah persis berhadapan dengan hula-hula. Sedangkan Boru kedudukannya dalam pesta adat adalah paling rendah, tempat duduknya adalah di belakang pihak dongan tubu, dekat pintu atau di dapur karena Boru adalah yang akan melayani semua kebutuhan dalam pesta adat. Boru adalah pelayan yang akan menyikapkan segala keperluan dalam pesta adat, mulai dari memasak, menghidangkan makanan dan minuman, sampai membersihkan peralatan masak dan peralatan makan.

7. 1. Hula-hula

Adapun motto yang dihubungkan dengan hula-hula adalah: Somba marhula-hula yang artinya hormat sembah kepada hula-hula. Hula-hula dalam sistem kekerabatan dalam pesta perkawinan bagi orang Batak adalah pihak keluarga pemberi perempuan kakak- adik ayah perempuan dan keluarga satu marga. Hula-hula patut dihargai karena merekalah pihak yang memberikan putrinya untuk dipinang dan dijadikan istri oleh pihak laki-laki penerima perempuan. Untuk memberi hormat itulah pihak laki-laki yang meminang dan mempersunting putri dari hula-hula patut memberi hormat somba. Dalam hukum adat, yang tidak hormat sembah terhadap hula-hulanya akan disebut: “Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na” artinya, yang tidak menghormati hula-hulanya sama seperti makan ubi yang hampir busuk tiada rasa hambar. Ubi yang digambarkan di sini adalah termasuk makana pokok dan sumber hidup. Jadi kalau tidak hormat kepada hula-hula hidupnya akan menghadapi kesusahan di masa yang akan 76 datang dalam mencari nafkah dan hidupnya tidak akan sejahtera. Hula-hula juga patut dihormati karena mereka adalah sebagai sumber ‘berkat’ pasu-pasu. Dalam acara adat pihak boru selalu meminta berkat dari hula-hulanya. Oleh karena itu, dalam ajaran adat Batak, aturan ini masih dijalankan sampai sekarang. Sehubungan dengan hukum ini, apabila pihak laki-laki penerima perempuan tidak menghormati hula-hulanya pemberi perempuan, maka dia tidak akan diberkati. Apabila ingin tinggal di kampung hula-hula, maka keluarga ini akan mengalami kesulitan dan tidak akan mendapatkan dukungan dari pihak keluarga hula-hula dan seandainya ada sebidang tanah yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan tidak akan diberikan oleh pihak hula-hula-nya.

7. 2. Dongan Tubu

Adapun motto yang dihubungkan dengan dongan tubu adalah: “Manat mardongan tubu” yang artinya berhati-hati kepada saudara sekandung. Dongan tubu adalah keluarga ayah dan satu marga dengan pihak laki-laki penerima perempuan. Dongan tubu dikonsepkan sebagai saudara sekandung, karena masih ada hubungan pertalian darah meskipun urutannya sudah sangat jauh, sepanjang itu masih satu marga maka akan dianggp masih satu kandung dari keturunan dari satu marga. Sehingga dimanapun orang Batak berada dan bertemu, kalau berkenalan dengan sama marganya maka dengan otomatis mereka menganggap sebagai saudara, meskipun tidak pernah kenal, bahkan orangtuanyapun tidak saling mengenal, tetapi tetap harus mengaku seperti saudara sekandung dan yang tidak mengikuti aturan ini akan dikatakan: “Angka naso manat mardongan tubu, na