Suku Batak Toba ETNIK BATAK DAN SUKU BATAK TOBA SEBAGAI IDENTITAS
54
berbagai latarbelakang suku. Medan menjadi ibukota provinsi Sumatera Utara sampai sekarang, yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Kota
Medan juga menjadi kota tujuan dari semua suku-suku Batak yang hidup di pedalaman dan di sekitar Danau Toba. Pada bagian pesisir Timur merupakan wilayah provinsi
Sumatera Utara yang paling pesat perkembangannya karena memiliki infrastruktur yang relatif lebih maju daripada wilayah pesisir Barat dan Tengah. Dan wilayah pesisir Timur
ini juga merupakan wilayah yang relatif paling padat penduduknya dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya.
Bila dicermati lebih jauh mengenai penduduk kota Medan tidak hanya menjadi tujuan etnis Batak saja tetapi juga menjadi kota tujuan dari suku bangsa yang lain seperti:
suku Melayu, suku Nias, suku Aceh, suku Jawa. Lebih jauh lagi terjadinya emigrasi etnik Tionghoa dan etnik India. Pada 1863, pedagang tembakau dari Jawa Kuypers dan
Nienhuys datang ke Sumatera Timur.
16
Mereka mendapat hak konsesi tanah di Martubung dari Sultan Mahmud Deli untuk menanam tembakau Deli yang berkualitas
sangat baik, harum dan sangat cocok dipakai sebagai pembalut cerutu. Kemudian Nienhuys berhasil memperoleh kontrak tanah di Tg. Sepassai dari Sultan Deli untuk
jangka waktu 99 tahun. Dengan mempekerjakan kuli Cina dari Penang dan Tamil dari India. Kemudian P.W. Janssen, Clemen, Nienhuys dan Cremer membentuk maskapai
tembakau disebut: N.V. Deli Maatschappij Deli Maskapai yang kemudian menguasai hampir seluruh tanah perkebunan tembakau di wilayah kerajaan Deli. Dan pada 1875
16
Basarsyah II, Tuanku Lukman Sinar, Orang India di Sumatera Utara, Artikel dalam Seminar Nasional
Kebudayaan dan Sejarah Etnis India Tamil di Sumatera Utara”, tanggal 28 Mei 2009, di Universitas
Negeri Medan.
55
Maskapai Perkebunan Belanda mendatangkan kuli dari Jawa Bagelen yang biayanya murah dan dapat diperlakukan sebagai setengah budak.
17
Daerah pesisir Timur dan Barat Sumatera Utara pada umumnya didiami oleh suku Melayu dan suku Mandailing yang mayoritas beragama Islam. Sementara di bagian
Tengah daerah pegunungan banyak terdapat suku-suku Batak yang sebagian besar beragama Kristen, termasuk suku Nias yang menempati kepulauan di bagian Barat Pulau
Sumatera. Meskipun terjadi urbanisasi cukup besar ke kota Medan, namun suku Batak Toba
tetap mendominasi tempat tinggal di wilayah pedalaman dan di sekitar Danau Toba. Sampai pada tahun 1998 sebelum terjadi pemekaran, Sumatera Utara hanya memiliki 19
Kabupaten dan Kota. Setelah terjadi pemekaran pada tahun 1999, Sumatera Utara dimekarkan menjadi 33 Kabupaten dan Kota. Secara geografis ada 4 kabupaten yang
didominasi suku Batak Toba, yaitu: Kabupaten Toba Samosir, ibukota Balige, 10 Kecamatan; Kabupaten Samosir, ibukota Pangururan pemekaran dari Kab. Toba
Samosir 2003, 9 Kecamatan; Kabupaten Tapanuli Utara, ibukota Tarutung, 23 Kecamatan; dan Kabupaten Humbang Hasundutan, ibukota Doloksanggul pemekaran
dari Kab. Tapanuli Utara 2003, 10 Kecamatan.
18
Interaksi penduduk desa dan kota membuat perubahan dan modernisasi sangat cepat terjadi di lingkungan suku Batak Toba. Seperti yang pernah disaksikan Edward M.
17
Ibid.
18
BPS Sumatera Utara, 2011, http:sumut.bps.go.id?qw=stasekns=01.
56
Bruner, seorang antropolog Amerika pada tahun 1957 dan 1958 di Lintong ni Huta, salah satu desa di Balige.
19
Bruner menyaksikan perubahan dan kemajuan dalan kehidupan masyarakat desa namun hal-hal yang berhubungan dengan praktik tradisi dan adat masih
sangat kuat dipertahankan. Ada perbedaan pola pikir antara mereka yang hidup di kota dan desa yang sangat bertolakbelakang. Kota yang dihubungkan dengan modernisasi,
sedangkan desa yang sarat dengan kehidupan tradisional. Status sosial orang Batak yang berurbanisasi ke kota Medan mengalami perubahan yang sangat luar biasa, karena
mereka bisa bekerja di kantor, menjadi pejabat, atau bekerja di dunia bisnis. Sedangkan mereka yang tinggal di desa tidak terlepas dari pekerjaan di bidang pertanian, perkebunan
dan peternakan yang kalau dibanding kemajuan di kota cukup jauh perbedaannya. Namun ada hal yang menarik untuk disimak berhubungan dengan tradisi dan adat. Orang Batak
yang tinggal di dua tempat yang berbeda di kota dan desa dalam melaksanakan upacara adat tetap dengan pola-pola dan aturan yang sama. Misalnya dalam status dalam konsep
Dalihan Natolu, peran hula-hula, dongan tubu, dan boru tetap sama. Kepemilikan status seseorang melalui latarbelakang pedidikan, kedudukan, dan
pekerjaan di kota tidak dapat merendahkan orang-orang yang tinggal di desa, yang tidak memiliki latarbelakang tersebut. Dalam menjalankan praktik tradisi dan adat semua
harus tunduk pada aturan yang sudah ada dalam tradisi dan adat, artinya seseorang yang sudah tinggal dan bekerja di kota besar tidak selalu berada pada tempat yang
tinggi dan pihak yang harus dihormati, sebaliknya seorang petani miskin di desa di
19
Bruner, Edward M. Urbanization and Ethnic Identity in North Sumatra. Authors: Reviewed works: Source: American Anthropologist, New Series, Vol. 63, No. 3 Jun., 1961, p. 508-521 Published by:
Blackwell Publishing on behalf of the American Anthropological Association Stable URL: http:www.jstor.orgstable667725.
57
hadapan tradisi dan adat akan dapat berada pada kedudukan yang lebih tinggi dan terhormat dari pada seseorang yang tinggal di kota. Hal ini dapat terjadi karena ada
aturan adat yang sangat kuat, yang dianut dalam sistem demokrasi orang Batak yang dikenal dengan sebutan: Dalihan Natolu.
20
Tiga unsur hula-hula, dongan sabutuha, boru yang saling terkait di dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba yang diatur
dalam dalihan natolu akan mengikat semua orang Batak Toba dengan latarbelakang status sosial masing-masing untuk saling hormat dan saling menghargai.