3. Modal capital Simbolik PENDAHULUAN

27 dan modal simbolik yang diperoleh secara fisik maupun ekonomi rumah mewah, kantor di kawasan elit, dan mobil mewah. 23 Bagi Bourdieu, setiap individu memiliki posisi dalam ruang sosial yang multi dimensional, ia tidak dikategorikan oleh keanggotaan dalam kelas sosial, tetapi dengan setiap jenis modal yang dia peroleh melalui hubungan sosial. Ia mendefinisikan modal sosial sebagai kumpulan dari sumber daya potensial dan atau aktual yang dikaitkan dengan kepemilikan suatu jaringan kerja pada waktu tertentu dari hubungan pokok terlembaga dari saling kenal dan saling mengakui. Keanggotaan dalam kelompok memberi kemudahan bagi anggotanya dengan memberi dukungan dari modal yang dimiliki secara kolektif. Modal sosial dibuat dari kewajiban sosial atau koneksi dan dapat dipertukarkan convertible, pada kondisi tertentu, menjadi modal ekonomi. Bourdieu menyatakan bahwa muatan modal sosial yang dimiliki seseorang tergantung dari ukuran jaringan koneksi-koneksi yang dapat dia mobilisasi dan muatan modal ekonomi, kultural, dan simbolik yang dimiliki oleh orang yang menjadi koneksinya. Maka dengan demikian, modal sosial menurut Bourdieu disusun ulang menjadi dua unsur: pertama, hubungan sosial, yang memungkinkan individu untuk mengklaim sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki secara kolektif, dan, kedua, kuantitas dan kualitas dari sumberdaya-sumberdaya tersebut. Bourdieu memandang modal sosial sebagai investasi dari kelas dominan untuk menjaga dan mereproduksi solidaritas kelompok dan memelihara posisi dominan kelompok. 23 Ibid. p. 69. 28 Modal kultural dapat eksis pada tiga keadaan: terkandung pembawaan dari pikiran dan badan, terungkap secara objektif benda-benda kultural, dan terlembaga kualifikasi pendidikan. Beberapa modal kultural dinilai lebih tinggi daripada yang lainnya, dan setiap orang membawa kerangka disposisi yang berbeda-beda habitus ke lapangan field interaksi. Ruang sosial adalah lapangan bagi kekuatan dan usaha antara agen–agen yang memiliki cara dan tujuan yang berbeda. Lapangan ini dicirikan oleh ‘aturan permainan’, yang eksplisit maupun yang teratur secara sistemik. Karena lapangan ini dinamis, nilai–nilai yang membentuk modal kultural dan modal sosial juga dinamis dan arbitrer dapat dipertukarkan. 24

7. 4. Kekerasan Simbolik

Modal simbolik dimiliki agen ketika ia memiliki prestise, kehormatan, dan atensi. Modal simbolik ini bisa menjadi krusial dan berubah menjadi kekerasan simbolik ketika agen menggunakan kekuasaannya terhadap agen yang lebih lemah. Kekerasan simbolik dapat terjadi ketika ada dominasi dalam komunikasi yang tersembunyi. Penyampaian lemah lembut diterima tanpa sadar, tidak tampak namun ada maksud yang tidak disangka oleh si terdominasi. 25 Kekerasan simbolik ini sering terjadi tanpa disadari oleh pihak yang terdominasi. Hal yang sama bisa terjadi kepada siapa saja, contohnya 24 Dika, Sandra L. and Kusum Singh. 2002. “Applications of social capital in educational literature: a critical synthesis. Journal of Educational Research”. London: SAGE Publication. 25 Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta, Gramedia. p. 127-128. 29 dominasi orangtua terhadap anak-anaknya yang menunjukkan bagaimanan kekuasaan yang dimiliki oleh orangtua sehingga anak-anak hanya dapat tunduk dan menerima saja apa yang menjadi tuntutan orangtuanya.

7. 5. Ideologi

Adapun Hagabeon, hamoraon, hasangapon 3H akan dilihat sebagai ideologi pragmatis yang dibedakan dari ideologi doktriner. Karena di dalam ideologi doktriner terkandung ajaran-ajaran yang dirumuskan secara sistematis, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah seperti pada ideologi komunisme. 26 Sedangkan pendekatan yang akan digunakan adalah ideologi yang pragmatis, yaitu mengenai ajaran-ajaran yang terkandung di dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, namun dirumuskan secara umum hanya prinsip-prinsipnya saja dan disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Ideologi 3H yang berwujud dalam nilai dan cita-cita bagi orang Batak Toba, diyakini berisi kebenaran dan dipraktikkan dalam kehidupan ritual budaya dalam upacara adat. Itu adalah sebuah kekuatan yang dapat digunakan untuk menggerakkan agen untuk mewujudkan cita-citanya dalam meraih kemajuan. 26 Surbakti, Ramlan. Artikel Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara. p.3.