1. Pentingnya Ideologi bagi Orang Batak
192
pragmatis perubahan yang diinginkan oleh orang Batak terjadi karena adanya kepatuhan kepada ajaran-ajaran ideologis yang ada pada budaya mereka.
Dalam wawancara yang ditujukan kepada kelompok diskusi FGD, ditemukan beberapa jawaban atas pertanyaan mengenai pentingnya ideologi dan maknanya: “Dari
mana Anda mengetahui tentang ideologi 3H?”. Salah satu jawaban yang dikutip dari Kaston Pakpahan:
56
“Kita tau dari orangtua kita dulu. Adat menjadi pengikat bagi kita, ada hula-hula, dongan tubu, dan boru. Diketahui dari nenek moyang yang sudah menciptakannya dan
diturunkan ke keturunannya. Ideologi menjadi prinsip bagi orang Batak. Karena ideologi 3 H adalah 3 cita-cita yang paling dicari orang Batak”.
Karena ideologi 3H ini menjadi bagian dan pusat perhatian dalam penelitian ini, maka juga ditanyakan mengenai maknanya. Apa makna ideologi 3H bagi Anda? Dari
jawaban yang diperoleh dari M. Siahaan:
57
“Maknanya bangga Kalau sudah dicapai adalah menjadi kebanggan. Prinsip yang perlu didapatkan. Ada target yang kita mau capai. Ada motivasi untuk bagaimana meraih tiga
hal itu. Walaupun mungkin tidak bisa dicapai secara utuh tiga-tiganya”.
‘Bangga’, yang dikatakan dalam jawaban M. Siahaan dapat diartikan sebagai pencapaian sampai tahap ketiga dari ideologi tersebut yaitu hasangapon kehormatan-
mulia. Bagi orang Batak belum mencapai hamoraon, belum dianggap sangap, dan belum mencapai hagabeon juga belum dianggap sangap, namun kalau sudah mencapai
hasangapon berarti ketiga-tiganya sudah tercapai. Maka kandungan yang ada dalam ideologi tersebut penting untuk diraih, untuk menunjukkan suatu keberhasilan dalam
56
Wawancara dilakukan di Wonosobo, 29 Maret 2014.
57
Wawancara dilakukan di Wonosobo, 29 Maret 2014.
193
memenuhi cita-cita yang diharapkan. Ketika hal ini dipertanyakan: Apa pentingnya ideologi 3H bagi Anda? Jawaban yang muncul dari responden Hotran Simarmata:
“ Penting, karena ini merupakan target. Karena bisa dijadikan sebagai dasar, pondasi,
sebagai ‘UUD’ bagi orang Batak”. Ketika ditanyakan pengaruhnya dalam kehidupan responden dengan pertanyaan: “Sampai sejauhmana ideologi 3H berpengaruh dalam
kehidupan Anda?” Maka jawaban yang terlontar dari M. Simanjuntak:
58
“Secara otomatis sangat berpengaruh, karena dijadikan sebagai target, jadi kita berusaha berjuang untuk anak-anak kita. Sangat penting. Secara manusiawi orang mencari hal
semacam ini”.
Bukan hanya untuk pribadi ideologi itu ditanyakan, tetapi juga ditanyakan kepada kepentingan secara kolektif, bagi orang Batak sendiri dengan pertanyaan: “Bagi orang
Batak, seberapa penting idelogi 3H menurut Anda?”. Dengan memperluas pemahaman dengan melibatkan orang Batak secara umum maka jawaban yang muncul dari Manosor
Pangaribuan:
59
“Penting, karena merupakan dorongan bagi orang Batak. Namanya hidup ada tujuan”. Sedangkan menurut Kardono Sinaga: “Hamoraon, hagabeon, hasangapon 3H sangat
penting. Jangan sampai nanti dikatakan sileban red: orang asing atau bukan orang Batak. Jadi bagi orang Batak sangat penting untuk menjalankannya dimanapun mereka
berada”.
Ketika pertanyaan yang sama ditanyakan kepada responden yang lain maka jawaban yang terlontar dari Mirando Damanik adalah sebagai beriut:
60
58
Wawancara dilakukan di Wonosobo, 30 Maret 2014.
59
Wawancara dilakukan di Wonosobo, 29 Maret 2014.
60
Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 7 Maret 2014.
194 “Impian orang Batak adalah supaya bisa mencapai hamoraon, hagabeon, hasangapon
3H. Manusia Batak itu senang dengan: kebanggaan, tugu, pesta, dan dihormati. Itulah sangap red: terhormat. Itulah yang dijalani sampai sekarang, yang diimpikan orang
Batak. Namun tetap memperhatikan bagaimana hal ini supaya tidak bertentangan dengan hal yang rohani”.
Kembali kepada persoalan utama pada ideologi, adapun cita-cita yang diperjuangkan oleh orang Batak semuanya bertujuan untuk kepentingan anak-anak
mereka. Karena anak bagi orang Batak adalah hal yang sangat berharga yang harus dijaga dan
diperjuangkan kemajuannya,
seperti yang
diutarakan oleh
Marulitua Simangunsong:
61
“Ideologi 3H adalah berisi doa dan cita-cita orang Batak, supaya Tuhan memberkati keturuannya dilukiskan dalam pantun: “Tubuan lak-lak tubuan singkoru, tubu sanggar
diparsopoan, tubu ma dihamu anak dohot boru, asa jagar diparngoluan” intinya red:
supaya lahir anak laki-laki dan perempuan agar pantas dalam kehidupan”. Dan diperkuat oleh: Dewi br Pangaribuan: “Karena bagi orangtua anak itu adalah jantung hati.
Oleh karena itu anak-anak harus dijaga, dan untuk kemajuan mereka harus dengan perjuangan”.
Modal utama yang dipegang orang Batak adalah mengenai pengetahuan yang di dapat dari ideologi 3H yang memberi gambaran dalam kehidupan orang Batak bahwa
cita-cita tersebut perlu diraih. Meskipun untuk memperolehnya diperlukan suatau usaha yang lebih keras lagi karena ternyata tidak mudah untuk mencapainya. Dalam usaha
pencapaian itulah orang Batak selalu berusaha, dengan menggunakan sistem solidaritas kebatakan, sehingga orang Batak begitu percaya pada dirinya bahwa ada orang Batak
lainnya yang akan bisa menolongnya ketika menghadapi suatu masalah. Praktik dan sistem kekeluargaan yang dibangun dalam komunitas orang Batak yang disebut dengan
61
Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 5 Maret 2014.
195
Punguan perkumpulan menjadikannya semakin yakin bahwa dimana-mana ada saudara, meskipun dalam kenyataannya belum tentu menemukannya di perantauan.
Permulaan gerakan perjuangan dimulai dari anak-anak yang ingin keluar dari zona ketidaknyamanan di kampung. Mereka berada pada permasalah hidup karena
kondisi modal ekonomi yang lemah dan lapangan pekerjaan yang kurang menjanjikan untuk meraih hamoraon. Sedangkan anak-anak yang beruntung, tinggal di arena yang
relatif aman karena mereka bisa disekolahkan ke mana saja karena modal ekonomi yang memungkinkan. Keluarga yang hidupnya pas-pasan harus berusaha dengan susah payah,
dengan berpegang pada prinsip ideologis mengatakan: hugogo pe mansari arian nang bodari laho parsikkolahon gellengki aku bekerja keras siang dan malam untuk
menyekolahkan anak-anakku. Bagi anak-anak yang tidak mampu, terpaksa melangkah lebih jauh meninggalkan kampung halaman mereka merantau dan mencari tempat yang
dalam bayangan mereka lebih menjanjikan. Pertarungan mereka mulai dengan modal keberanian, meskipun belum jelas tempat dan siapa yang akan dituju, namun mereka
tetap melangkah meninggalkan kampung halaman mereka. Rasa solidaritas kebatakan yang tinggi sering menguntungkan para perantau, dari
yang tidak kenal menjadi kenal, dari yang mengalami kesulitan dapat memberi jalan keluar. Orang Batak yang dikenal dengan ikatan kekeluargaan marga menjadi
pemersatu yang kuat dalam mewujudkan persaudaraan yang erat. Bagi orang Batak di manapun mereka berada dapat dipastikan akan selalu mencari orang Batak, baik yang
196
bukan satu marga terlebih lagi satu marga. Seperti yang diungkapkan Marulitua Simangunsong:
62
“Potensi orang Batak untuk saling tolong menolong sangat tinggi. Teman semarga, satu komunitas marga. Walaupun ngomongnya kasar, ada saja solusi yang ditawarkan apalagi
sama-sama di perantauan”.
Satu marga, meskipun belum dikenal sebelumnya otomatis dianggap menjadi saudaranya. Orang Batak sangat kuat memegang relasi sesama Batak yang ditunjukkan
dalam saling membantu dalam berbagai hal. Seperti pengalaman yang dituturkan oleh Doma Tumanggor:
63
”Ketika berangkat dari Siantar menuju Jambi tidak tau mau ke rumah siapa. Tapi di Jambi ketemu orang Batak dan ikut mereka. Karena di Jambi juga pekerjaan tidak jelas
sehingga terpaksa berangkat lagi ke Jakarta, dan di Jakarta juga tidak mendapat pekerjaan yang layak akhirnya memutuskan pergi ke Kalimantan. Di sana bermula dari pengalaman
pahit dan dengan pertolongan orang Batak akhirnya bisa bekerja di Pertamina”.
Hubungan tidak satu marga juga akan diakomodasi dalam perkumpulan marga yang ikatan kekeluargaannya selalu diatur dalam sistem kedudukan dan peran sebagai
hula-hula, dongan tubu atau boru. Artinya perkumpulan ini menjadi perkumpulan antar marga komunitas marga yang berbeda-beda. Penempatan diri seseorang pada marga
selalu dimulai dengan perkenalan untuk mengetahui posisinya dalam format dalihan natolu. Dalam cara berkenalan orang Batak yang akan ditanya pasti bukan nama tapi
marga. Nama bagi orang Batak adalah sebuah identitas dan kedudukan yang harus dihormati, sehingga tidak sembarangan untuk disebut. Marga adalah identitas umum yang
62
Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 5 Maret 2014.
63
Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 3 Maret 2014.
197
bebas disebut, dan menjadi panggilan identitas umum. Mengapa demikian, berikut ini akan dijelaskan dengan ilustrasi. Apabila seseorang yang bernama Togar Sihotang
berkenalan dengan Bistok Tinambunan, dengan menyebut nama Bistok misalnya, padahal setelah saling memperkenalkan marga ternyata Bistok Tinambunan adalah tulang
paman dari Togar Sihotang, maka yang terjadi adalah hal yang pantang, karena Togar, tidak boleh menyebut nama Bistok yang tenyata adalah tulangnya. Oleh karena itu orang
Batak dalam perkenalan tidak biasa memulai dengan nama, tapi dimulai dengan bertanya tentang marga. Jadi dalam contoh di atas dapat disimpulkan bahwa Bistok Tinambunan
sebagai tulang paman dari Togar Sihotang, karena Ibu dari Togar Sihotang adalah bermarga Tinambunan atau satu kelompok marga dalam Parna
64
yang sama dan satu nomor tingkat dengan Bistok Tinambunan. Karena Bistok Tinambunan adalah sebagai
tulang bagi Togar Sihotang, sehingga di dalam konsep dalihan natolu Bistok Tinambunan berada pada kedudukan terhortmat sebagai hula-hula dari keluarga Togar Sihotang,
sedangkan keluarga Togar Sihotang sebagai boru bagi keluarga Bistok Tinambunan. Solidaritas kebatakan dapat semakin meningkat di perantauan dengan banyaknya
pengalaman yang dilalui para perantau. Solidaritas itu semakin bertumbuh dan selalu ingin diimplementasikan dalam
segala aspek kehidupan orang Batak, dengan
mewujudkannya dengan saling membantu. Ada rasa kesamaan karena perantau itu tidak selalu bisa mendapatkan keberuntungan yang sama, ada yang beruntung dan ada yang
kurang beruntung. Apalagi ada perasaan yang sama dengan pengalaman keadaan di kampung yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga satu-satunya yang dapat
64
Parna: Pomparan ni Raja Nai Ambaton, yang di dalamnya tergabung lebih dari 52 marga dari seluruh suku Batak, dan kelompok marga yang terbanyak di komunitas orang Batak. Dan dalam aturan marga ini,
keturunan mereka tidak boleh saling mengawini.
198
dilakukan adalah pergi merantau. Keberanian untuk merantau karena didorong oleh motivasi yang ingin merubah situasi. Sehingga meskipun tujuan tidak jelas mau ke mana,
seorang perantau tetap memberanikan diri untuk berangkat meninggalkan kampung halamannya, seperti yang diutarakan dalam pengalaman Lukder Tumanggor berikut ini:
65
“Ada pesan yang saya ingat dari kampung kalau ke Jakarta pergilah ke terminal Pulogadung, karena di sana banyak orang Batak. Di terminal Pulogadung saya sapa
orang, horas Abang, langsung ditanya: “marga apa kau”, Tumanggor jawab saya, “dari mana kau”, Saya jawab: Parlilitan. “Sudah makan kau”, belum.“Kau tinggal di mana”,
enggak ada tidak tau, “sudah ikut aku”, kemana bang?”sudah ikut aja, ini Jakarta ini”. Lalu saya di bawa ke rumahnya dan tinggal di sana untuk beberapa saat”.
Dalam pengalaman Lukder Tumanggor, merasa seolah ada jaminan kalau pergi merantau pasti akan ada yang menolong. “Terminal Pulogadung”, sebagai sasaran
tempat, walaupun sebenarnya Lukder Tumanggor sendiri tidak tau di mana tempat tersebut. Orang yang akan menolong juga tidak jelas siapa, namun ada keyakinan dalam
hatinya bahwa di sana di Pulogadung ada orang Batak sebagai saudara yang akan menolong. Keberanian seperti ini hanya mungkin terjadi karena dilatarbelakangi suatu
keyakinan mengenai budaya kekerabatan yang sangat dijunjung tinggi orang Batak.