3. Penginjil utusan Rheinische Missionsgesellschaft.

63 dan fauna, adat istiadat dan kawasan Danau Toba. Hasil penelitiannya dikemudian hari ia terbitkan menjadi karangan tentang suku Batak. Dari situasi yang ia alami di tanah Batak, Junghuhn memberi saran kepada pemerintah kolonial untuk mengirimkan zending Kristen guna membendung pengaruh Islam yang semakin kuat di bagian Utara Pulau Sumatera. Keterangan tersebut kemudian sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab Nederlandsche Bijbelgenootschap di Belanda, akhirnya mereka berinisiatif untuk mengirimkan seorang ahli bahasa bernama H. Neubronner van der Tuuk untuk meneliti lebih jauh mengenai bahasa Batak dan merencanakan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak Toba. 34 Kemudian Van der Tuuk menerima tugas itu dan merencanakan melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa Batak. Kalau utusan zending yang lain belum pernah berhasil sampai ke Danau Toba, maka Van der Tuuklah orang Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Danau Toba 1850 dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Dari hasil pertemuan Van der Tuuk dengan orang Batak, ia mendapat gambaran dan kemudian memberi saran kepada lembaga zending untuk mengutus para penginjil ke tanah Batak, langsung ke daerah pedalaman. 35 Kemudian pada tahun 1857, pekabar Injil G. Van Asselt, diuts oleh jemaat kecil di Ermelo, Belanda ke wilayah Tapanuli Selatan. Di sana ia berhasil mendekati beberapa pemuda dan sekaligus diberi pengajaran Kristiani. Pada 2 April 1861 Van Asselt 34 Ibid.p. 308. 35 B. Napitupulu, B. 2008. Almanak HKBP, Pematang Siantar: Unit Usaha Percetakan HKBP. p. 442-443. 64 membaptiskan dua orang Kristen Pertama di Tapanuli Selatan atas nama: Jakobus Tampubolon and Simon Siregar. 36 Pada tahun yang sama, pada 7 Oktober 1861, di Sipirok diadakan rapat empat pendeta yang diikuti oleh dua pendeta Jerman, yaitu: Pdt. Heine dan Pdt. Klemmer dan dua pendeta Belanda, yaitu: Pdt. Betz dan Pdt. Van Asselt. Untuk kelanjutan missi, mereka memutuskan untuk menyerahkan penanganan penginjilan kepada Rheinische Missionsgesellschaft. 37 Tanggal rapat empat pendeta tersebut menjadi sangat penting bagi catatan sejarah gereja di tanah Batak karena dihubungkan dengan hari penetapan Misi Batak dan menjadi hari berdirinya HKBP. Secara tidak disengaja, dan dianggap bermakna mistis, empat nama penginjil tersebut, yang dimulai dari HKBVP, Heine, K lemmer, Betz, P Van Asselt, dengan catatan huruf V bagi orang Batak biasa diucapkan P, sama dengan nama organisasi gereja yang didirikan yaitu: HKBP Huria Kristen Batak Protestan. Sejak terjadinya perang Padri dan terjadinya pengaruh kekuasaan Islam yang semakin kuat di Tapanuli Selatan, maka sudah barang tentu akan mempengaruhi kenyamanan misi zending di wilayah tersebut. Maka Herman Neubronner van der Tuuk sudah mengambil kesimpulan bahwa sangat berbahaya kedudukan missi zending kalau bertahan di wilayah tersebut, oleh karena itu ia menasihatkan supaya personel zending yang masih ada di Angkola dan Mandailing harus segera ditarik, karena banyak warga 36 Aritonang, Jan Sihar and Steenbrink, Karel Ed. 2008. A History of Christianity in Indonesia, Leiden • Boston, Brill, p. 534. 37 Napitupulu, B. 2008. Almanak HKBP, Pematang Siantar: Unit Usaha Percetakan HKBP. p. 442-443. 65 di sana sudah masuk menjadi Islam. Mereka harus pindah ke daerah yang masih dianggap jauh dari sentuhan pihak luar dan belum terpengaruh oleh agama-agama lain. Kemudian misi berikut yang dilakukan oleh Ludwig Ingwer Nommensen 1834- 1918 adalah missi yang paling berhasil untuk membawa perubahan bagi orang Batak Toba. Nommensen lahir 6 Februari 1834 di Danish, Nordstrand, Jerman. Ia adalah seorang pemuda yang berasal dari latarbelakang keluarga yang sangat miskin. Sebagai pemuda ia harus mencari pekerjaan untuk bisa menopang hidupnya dan keluarganya. Namun karena Nommensen sakit dalam suatu kecelakaan, ia belum dapat memenuhi tanggungjawabnya untuk mencari nafkah. Dalam proses penyembuhan ia justru berjanji kalau sembuh ingin mengabdikan hidupnya dalam misi penginjilan. Lalu kemudian setelah benar-benar sembuh ia mencoba pergi ke Barmen, ke kantor pusat Rheinish Mission untuk mewujudkan impiannya. Pada awalnya ia mendapat pekerjaan sebagai part-timer dan selanjutnya diterima kuliah di Missionsseminar Mission Seminary dengan program 4 tahun bidang pendidikan teologi dan misionaris. Kemudian pada Oktober 1861 ia menyelesaikan pendidikannya dan ditahbiskan menjadi Pendeta Misionaris. 38 Sesuai dengan yang ia janjikan ingin mengabdikan hidupnya di bidang penginjilan, maka Nommensen mendapat tawaran untuk menjadi penginjil yang benar- benar jauh dari lingkungannya, dan mungkin sangat bertolakbelakang dari kebiasaan budayanya. Ia menerima tawaran itu, dan mau berpetualang meninggalkan negerinya, menuju negeri yang sama sekali tidak tau dan asing baginya, itulah tanah Batak. 38 Aritonang, Jan Sihar and Steenbrink, Karel Ed. 2008. A History of Christianity in Indonesia, Leiden • Boston, Brill, p. 536. 66 Pada 1 November 1861 Nommensen berangkat dari kota Barmen menuju Netherlands. 39 Ia diutus oleh badan Misi Rheinische Missionsgesellschaft. Di sana ia membicarakan strategi dengan pemimpin jemaat Ermelo dan Neubronner van der Tuuk bagaimana strategi mendekati wilayah yang masih sulit dijangkau pihak luar. Pada 24 Desember ia bertolak dari Amsterdam menuju Sumatera, ia tiba di Padang 16 Mei 1862. Dari Padang ia mengambil kapal menuju Barus, dan di sana ia tinggal untuk mempelajari bahasa Melayu dan bahasa Batak. Pada akhir tahun 1862 ia pindah ke Sipirok, karena Barus adalah pesisir yang berpenduduk campuran sehingga kurang nyaman untuk dijadikan sebagai pusat missi Batak. Akhir tahun 1863 Nommensen beranjak dari Sipirok menuju lembah Silindung, setelah mendapat izin dari penguasa Belanda. 40 Di Silindung Nommensen menyiapkan diri dan memulai pekerjaan memperkenalakan Injil kepada orang Batak. Sejak 1864, 41 ia sudah berada di daerah Silindung, tinggal di salah satu desa. Di tempat tersebut ia didorong untuk mendirikan Desa Kristen, termasuk membangun sekolah dan gereja. Kemudian ia memberi nama desa tersebut Huta Dame yang artinya Desa Damai, di Pearaja Tarutung kini menjadi kantor pusat HKBP. 42 Usaha Misionaris di bidang kesehatan, pendidikan, dan penanganan narapidana dan budak mendapat apresiasi dari tokoh masyarakat Batak yang demokratis. Nilai sosial 39 Ibid. 40 Ibid, p. 537. 41 Napitupulu, B. 2008. Almanak HKBP, Pematang Siantar: Unit Usaha Percetakan HKBP. p.442-443. 42 Ibid. Napitupulu, B. 2008, p. 442-443. 67 yang dipraktikkan para Misionaris mendapat tanggapan positif dan juga diapresiasi oleh tokoh masyarakat. Sebagai seorang tokoh pemuda yang cerdas dari Pearaja, Raja Pontas Lumbantobing sangat tertarik dengan ajaran baru, mengenai kekristenan. Ia merasa bahwa agama yang di bawah kepemimpinan dinasti Sisingamangaraja telah berakhir. Ia kemudian memberi diri untuk dibaptis oleh Nommensen pada tanggal 27 Agustus 1865. 43 Kemudian, dalam menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing orang Batak pertama yang dibaptis untuk mengantarnya ke berbagai tempat di tanah Batak. Namun Tobing menyampaikan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Pada awalnya Nommensen tidak diterima dengan baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena menerima orang asing yang tidak memelihara adat dan tradisi. Namun akhirnya orang Batak dapat menerima Nommensen karena dalam tindakannya ia selalu ramah dan lemah lembut, sehingga lama-kelamaan membuat orang yang ditemuinya merasa enggan dan malu berbuat yang tidak pantas terhadapnya.

6. Adat Batak Toba

“Ompunta naparj olo martungkot sialagundi, Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihuton ni na parpudi”. Nenekmoyang kita memakai tongkat kayu sialagundi, Adat yang telah dimulai yang terdahulu, diikuti yang terkemudian. Adat adalah habitus yang sudah melekat dalam diri aktor yang terbentuk dalam suatu proses yang sangat panjang dan dapat bertahan lama. Adat dipahami sebagai sistem dan 43 Aritonang, Jan Sihar and Steenbrink, Karel Ed. 2008. A History of Christianity in Indonesia, Leiden • Boston, Brill, p. 538. 68 norma, yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat pada umumnya. Apa yang dikemukakan dalam teori Bourdieu mengenai habitus dapat dipakai untuk menjelaskan sistem dan norma yang ada dalam budaya Batak. Karena di dalam adat ada pengetahuan yang memuat sistem, keyakinan dan nilai, yang dapat beroperasi dalam relasi kultural sehari-hari. Habitus dalam konsep Bourdieu yang dijelaskan oleh Arizal Mutahir, sebagai berikut: “Habitus merupakan seperangkat pengetahuan, yakni berkenaan dengan cara bagaimana agen memahami dunia, kepercayaan, dan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tersebut selalu dibentuk oleh habitus daripada hanya sebatas direkam dalam memori seseorang secara pasif.” 44 Dengan terkristalisasinya habitus dalam adat Batak, dan mengingat pentingnya adat dalam masyarakat Batak, maka dengan itu pula para pelaku adat melestarikannya melalui bentuk pepatah yang dikutip di bagian awal tulisan ini. R.P.Tampubolon sebagai praktisi adat Batak Toba mengatakan bahwa adat adalah sebagai norma agama yang memelihara hubungan antara dewa-dewa dan umat manusia demikian juga antara nenek moyang dan keturunannya: “adat is religious norm that looks after the relationship between the gods and the human beings as well as between ancestors and their descendants”. 45 Sedangkan Teolog, Pedersen berpendapat: adat is a system established by the ancestors for their protection against each other as well as for preserving the equilibrium of the supernatural powers around them. 46 Tujuan adat 44 Mutahir, Arizal, 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu, Bantul Kreasi Wacana, p. 63. 45 Purba, Mauly. 2005. “Results of Contact Between the Toba batak People, German Missionaries, and Duth Government Officials: Musical and Social Change”. Etnomusikologi, Vol. 1, No. 2, Medan, USU. p. 108. 46 Ibid.