2. Makna Modal Simbolik bagi Orang Batak
199
sebagai, Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru. Meskipun setiap orang Batak, dalam sistem adat mempunyai hak dan kedudukan yang sama derajatnya, namun pada posisi dan
situasi tertentu, seseorang tidak dapat menentukan tempat dan kedudukannya secara bebas dalam pelaksanaan ritual adat. Karena dengan aturan adat, dalam pesta pernikahan
misalnya, seseorang sudah ditentukan posisinya dan tempat duduknya parhundul. Tidak sama dengan ilustrasi yang sering dipakai dalam teori Bourdieu dalam mendapatkan
modal kultural dalam pilihan seseorang terhadap jenis musik. Seseorang telah masuk dalam struktur masyarakat yang dicerminkan berdasarkan pilihan apakah akan memilih,
musik klasik, tradisional, jazz, musik rock, country, keroncong, dangdut. Meskipun semua orang mempunyai kedudukan dan hak yang sama untuk menentukan pilihannya
terhadap jenis musik namun pilihan tersebut sering dihubungkan pada posisi seseorang dalam tatanan sosial. Kalangan mana yang memilih musik klasik, jazz, dan dangdut.
Sebenarnya bebas untuk dipertukarkan tapi status sosial mempengaruhi pertimbangan seseorang dalam menentukan pilihannya.
Berbeda dengan penempatan posisi seseorang dan kedudukan seseorang dalam adat Batak. Tidak ada kaitannya dengan selera, dan bukan karena latarbelakang
pendidikan, dan tidak juga karena kekuasaan. Seseorang berada pada posisi Hula-hula, Dongan tubu, atau Boru, adalah ditentukan dalam status seseorang tersebut dalam kaitan
dengan ritual yang sedang dijalankan, dan hubungan apa dengan yang sedang melangsungkan acara tersebut, dan lebih unik lagi bahwa kedudukan-kedudukan tersebut
sangat mungkin dipertukarkan pada acara yang berbeda.
200
Bila diperhatikan jenis modal yang dibicarakan dalam konsep Bourdieu, maka modal simbolik symbolic capital tersebut berupa prestise, status, otoritas, dan legitimasi
yang terakumulasi dan membentuk modal simbolik yang menjadi pusat utama dalam kekuasaan simbolik. Kepemilikan modal simbolik akan dapat menciptakan kesenjangan
karena dapat dipahami sebagai sistem relasi kekuasaan dan relasi nalar antar kelompok atau kelas, sehingga dapat menciptakan lahirnya kekerasan simbolik. Kecenderungan ini
ditemukan oleh Bourdieu dalam penelitiannya di kalangan orang Aljazair, Jenkins:157. Modal simbolik yang digambarkan dalam pemikiran Bourdieu dapat dijadikan untuk
mengkaji relasi tiga strata kedudukan dalam sistem dalihan natolu yang disebut sebagai hula-hula, dongan tubu, boru.
Dalam adat Batak otoritas hula-hula adalah yang paling tinggi. Karena hula-hula selalu pada posisi kedudukan yang terhormat, wibawa yang tinggi, dan yang harus
dihormati, bahkan disembah disomba. Dalam pelaksanaannya aturan tersebut tidak pernah dipersoalkan, karena sudah menjadi sistem aturan dan nilai yang diterima sebagai
kebenaran. Dalam posisi tertentu bila teori Bourdieu mengenai modal simbolik diperhatikan maka akan sangat terasa pemaksaan kekuasaan atau sangat terasa hubungan
dominasi dan subordinasi yang membuat kedudukan tidak setara. Kalau teori yang sama diterapkan pada sistem demokrasi orang Batak, maka selintas terasa sama peran
seseorang yang memiliki modal simbolik yang lebih dihormati, dijunjung tinggi karena kedudukannya menjadi hula-hula sebagai kedudukan dan otoritas tertinggi dalam sistem
pelaksanaan adat.
201
Sebagai ilustrasi akan dijelaskan seperti berikut ini: Sebagai contoh dalam Upacara Pernikahan antar marga Simbolon pihak perempuan dengan Pangaribuan
pihak laki-laki. Modal simbolik secara otomatis diperoleh dalam satu marga keluarga Simbolon ketika mereka memberikan anak perempuan mereka dijadikan istri oleh satu
marga yang berbeda keluarga Pangaribuan, pada saat itulah pihak keluarga Simbolon menjadi Hula-hula dari keluarga Pangaribuan dan keluarga Pangaribuan menjadi Boru
dari keluarga Simbolon. Lalu, bagaimana teori ini diterapkan dalam sistem dalihan natolu? Artinya, bahwa dalam setiap acara adat yang sifatnya kecil atau pun besar, acara
keluarga di rumah atau dalam pesta besar seperti pernikahan, pihak keluarga Pangaribuan sebagai boru akan selalu berada pada posisi ‘subordinasi’, mereka harus melayani
keluarga Simbolon dari menyiapkan hidangan makanan, sampai menyiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam pesta. Kedudukan hula-hula dan boru tidak boleh dipertukarkan
dalam pesta ini, misalnya pihak Simbolon yang melayani pihak Pangaribuan, dan ini temasuk dalam kategori pantang dilakukan.