Arena Pertarungan di Perantauan
                                                                                181
Pertanyaan yang diajukan berhubungan dengan apa motivasi dan tujuan responden dalam perjuangan?
Masing-masing  responden  yang  diwawancarai  menginginkan  suatu perubahan,  karena  mereka  mengakui  kehidupan  di  kampung  cukup  sulit  miskin,
sehingga  sangat  susah  mendapatkan  kehidupan  yang  lebih  layak  kalau  hanya  tinggal  di kampung. Itulah sebabnya mereka berargumentasi mengapa banyak di antara orang Batak
pergi  merantau  hanya  karena  terpaksa  dan  dengan  modal  ‘nekat’,  dan  kadang-kadang uang  yang  dibawa  pun  hanya  pas-pasan  untuk  ongkos.    Seperti  yang  dikisahkan  Doma
Tumanggor berikut ini:
36
“Merantau  itu  perlu,  karena  kondisi  daerah  sendiri  yang  tidak  memungkinkan  untuk bekerja, karena kalau tidak begitu ya tidak mungkin ada perubahan. Karena keterbatasan
lapangan pekerjaan di kampung, apalagi kalau semua keluarga tinggal di kampung maka tidak  bisa  hidup.  Seperti  saya  dulu  setelah  lulus  SMA,  dengan  modal  nekat  merantau
tahun 72. Naik kendaraan umum dari Siantar ke Jambi yang saya tempuh selama 7 hari 7 malam, dan tidak tau siapa yang dituju”.
Banyak  perantau  biasanya  belum  memiliki  tujuan  yang  pasti  kemana  dan  ke alamat  siapa  mereka  harus pergi.  Yang  ada  di  pikiran  mereka  adalah  pergi.  Sehingga
orangtua pun sering hanya melontarkan tujuan kota asal sebut saja, seperti yang dialami oleh M. Siahaan.
37
“Kita semua merasakan peristwa ini, tanpa tujuan yang jelas.  Tahun 78 saya merantau. Orangtua  bertanya  kepada  saya  apakah  saya  mau  lanjut  sekolah  atau  merantau.  Tapi
sebagai  anak  sulung,  saya    putuskan  justru  mau  merantau.  Saya  sarjana  ekonomi,  lalu pergi  merantau.  Pertama  di  kapal  Tangker  mulai  dari  Belawan,  Malaysia,  sampai  ke
Singapura.  Dulu rencana  kalau  punya  uang  ada  keinginan  melanjutkan  kuliah  pendeta tapi  karena  kurang  mampu  tidak  jadi  sekolah.  Tidak  lama  kerja  di  kapal  tanker  lalu
pengangguran. Karena tidak ada kerjaan lalu saya memutuskan merantau ke Pulau Jawa”.
36
Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 3 Maret 2014.
37
Wawancara dilakukan di Wonosobo, 29 Maret 2014.
182
Ketika  ditanyakan  tanggapan  mengenai  merantau  kepada  seorang responden  wanita jawaban yang dilontarkan oleh N. br Ambarita dalam bahasa Batak sebagai berikut:
38
“Halak  Batak  do  nabarani  mangaranto,  soadong  pe  sikkolana,  barani  do  mangaranto, nekat. Di huta ni halak, nang pe soadong modalna, aha pe diulahon, jadi marmodalhon
dugul-dugul  ni  pat”. Orang  Batak  adalah  orang  yang  berani  merantau,  walaupun  tidak ada sekolahnya, berani merantau, nekat, di perantauan walaupun tidak punya modal, apa
pun dikerjakan, jadi bermodalkan dengkul.
Sehubungan  dengan  tujuan,  ke  kota  mana  mereka  akan  pergi  merantau  maka responden  menjawab  ke  kota-kota  seperti:  Jakarta,  Bandung,  Yogyakarta,  Wonosobo,
dan sampai ke Samarinda Kalimantan Timur.  Dalam pengalaman mereka pada tempat yang  dituju  selalu  dengan  ketidakpastian  karena  ternyata  mereka  justru  terpaksa
berpindah-pindah  tempat  dan  berganti-ganti  pekerjaan  sampai  akhirnya  menemukan tempat yang paling sesuai dengan harapan mereka. Pada saat diwawancarai mereka telah
merasa nyaman tinggal di kota-kota yang mereka tinggali sekarang ini, yaitu di DIY dan Jawa Tengah.
Untuk merantau bagi orang Batak, biasanya ada berbagai cara yang ditempuh, ada dengan inisiatif sendiri untuk pergi dan ada juga karena disuruh keluarganya yang sudah
di perantauan untuk datang, seperti yang dituturkan oleh Lukder Tumanggor berikut ini:
39
“Dengan  melihat  kondisi  di  kampung,  keluarga  yang  berhasil  diperantauan  justru menarik  keluarganya  untuk  merantau.  Perantau  tidak  mau  pulang  karena  mereka  tau
bahwa  tidak  ada pekerjaan yang  sesuai  dengan  kemampuan  mereka  karena  tidak  ada lapangan pekerjaan.  Karena  kalau pulang  ke  kampung  paling-paling  hanya  bisa  bertani.
38
Wawancara dilakukan di Wonosobo, 28 Maret 2014.
39
Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 5 Maret 2014.
183 Biasanya hanya orang Batak yang sudah pensiun yang memilih untuk pulang dan mati di
tempat asalnya”.
Dalam  lagu  dikisahkan  bahwa  sekolah, adalah  hal  yang  tidak  mungkin  lagi ditempuh  oleh  si  anak,  karena persoalan  ekonomi  keluarga.
Berdiam  juga  bukanlah pilihan yang baik, karena akan tidak terjadi perubahan. Satu-satunya jalan yang mungkin
ditempuh selain  sekolah adalah  merantau,  karena  orangtua  tidak  sanggup  lagi  untuk memperjuangkan anaknya untuk sekolah. Ketika ditanyakan kepada responden mengenai
isi lagu ini Putus Sikkola
40
dengan pertanyaaan: “Bagaimana tanggapan Anda terhadap syair  dan lagu  yang  berisikan  tentang anak  yang  putus  sekolah?”. Lalu  tanggapan  atas
pertanyaan tersebut direspon oleh responden Dewi Pangaribuan sebagai berikut:
41
“Kita  percaya  itulah  nasib  kita.  Putus sekolah    bukan  karena  anak  tidak  mampu,  putus sekolah karena  biaya.  Tuhan sudah  memberi  kita  kemampuan.  Masalahnya  adalah
kembali  kepada  masalah  kemiskinan,  masalah  ekonomi.  Sehingga  sulit  mencapainya. Tuntutan filosofi itu bagus, dan banyak lagu berisi perjuangan mati-matian untuk orang
Batak”.
Orangtua masih mempunyai harapan untuk anaknya bisa bekerja, selain sekolah. Ada  peluang  lain  yang masih  mungkin ditempuh sebagai  jalan  yang  terakhir dengan
merantau. Ketika isi lagu ditelisi secara bersama-sama dalam diskusi dan wawancara dan pertanyaan, “Bagaimana tanggapan Anda terhadap syair dan lagu yang berisikan tentang
anak  yang  putus  sekolah?”, ditanyakan  kepada  responden  maka  jawaban  spontan  yang dilontarkan oleh Doma Tumanggor adalah:
42
40
Lihat penjelasan lagu pada BAB III, Sub 4.2.1. Lagu no. 7. p.142.
41
Wawancara dilakukan: Yogyakarta-Amerikan dengan menggunakan Skype, 2 Februari 2014.
42
Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 3 Maret 2014.
184 “Ya,  saya  juga  termasuk  di  sini  karena  orangtua  tidak  mampu,  keterbatasan ekonomi
orangtua.  Mendengar  ini  ya saya  juga  sedih.  Kita  sangat  suka  mendengar  lagu  ini. Sebagai dorongan bagi kita untuk maju. Jadi keterbatasan yang ada mendorong kita untuk
lebih maju dari kampung”.
Pengalaman  pahit yang  dialami oleh  seorang  anak  yang  sudah  berada diperantauan. Tidak bisa berbuat apa-apa karena pekerjaan tidak ada, pada kondisi seperti
itulah  si  anak  mengingat  ibunya. Keadaan  keluarga dalam  cerita pada  lagu  ini yang sedang  mengalami ekonomi  yang  sulit,  dan mengalami  pahitnya  hidup.  Pengalaman ini
telah  dirasakan sejak anaknya  diberangkatkan keluarga. Sehubungan  dengan  hal  ini, pertanyaan  yang  dilontarkan  kepada  responden  masih  disekitar  lagu  yang  sedih  dan  isi
teks lagu yang mengharukan: “Bagaimana tanggapan Anda terhadap syair dan lagu Anak Parjalang
43
yang mengisahkan tentang Perantau yang kurang berhasil? Adapun jawaban yang dilontarkan oleh Dewi Pangaribuan sebagai berikut:
44
“Lagunya  menceritakan kesedihan. Tidak  berhasil  karena  tidak  sekolah.  Pengetahuan bisa memberi kepercayaan, bisa mandiri, kalau tidak punya pengetahuan maka tidak bisa
didapatkan.  Bagaimanan  dia  bisa  makan, dan bekerja.  Kembali  kepada  filosofi orang Batak, harus pergi sekolah, karena sekolah bisa sebagai sarana transformasi. Yang jelas,
saya juga seorang  Ibu,  mengingat keponakan-keponakan saya  yang tidak bisa mencapai cita-ciata mereka. Saya sebagai Ibu pasti sedih karena harapan saya, mereka bisa sukses”.
Di balik  semua itu, di  dalam  lagu  diceritakan, ada kebesaran  hati  si  Anak untuk menghibur  diri dan  meyakinkan  Ibunya,  supaya  Ibunya  sabar,  artinya  setia  menunggu
sampai anaknya mendapat pekerjaan. Si Anak tetap meminta dukungan doa dari Ibunya, dan  sekaligus  meminta maaf  atas  keadaan yang  dihadapi.  Si  Anak tetap berkeyakinan
suatu  ketika  nanti  dapat memenuhi  harapan Ibunya,  berhasil  di perantauan  dan  dapat mengirimkan sesuatu uang kepada Ibunya.
43
Lihat penjelasan lagu pada BAB III, Sub 4.2.2. Lagu no. 8. p.143.
44
Wawancara dilakukan: Yogyakarta-Amerikan dengan menggunakan Skype, 2 Februari 2014.
185
Motivasi  seseorang  merantau sangat  mungkin berbeda-beda,  namun  kebanyakan orang Batak yang merantau ke luar Pulau Sumatra adalah untuk mencari pekerjaan, dan
sering terdengar kata-kata mereka merantau untuk merubah keadaan. Orang di kampung biasanya tau Jakarta berdasarkan cerita, bahkan mungkin belum pernah ke sana, sehingga
kalau  bicara  merantau  langsung  mengingat Jakarta  yang diyakini  menjanjikan  banyak pekerjaan, seperti penuturan Lukder Tumanggor berikut ini:
45
“Saya lulusan SMA Parlilitan, habis itu saya disuruh orangtua merantau ke Jakarta: ”Kau pergi  kalau  mati  matilah  di  situ”  katanya.  Lalu  pada  suatu  hari orangtua  mengundang
Pendeta untuk  memberi nasihat  kepada  saya,  karena  saya  sudah  lulus  SMA. Pendeta memberi  saran: “kalau kau kuliah  orangtua tidak  sanggup,  berjuanglah,  karena di  pulau
Jawa masih banyak peluang, Irian Jaya masih ada peluang” katanya. Lalu akhirnya saya putuskan  untuk  merantau.  Saya  berangkat menuju  Jakarta  naik  bus  ALS  Antar Lintas
Sumatera, di Jakarta penumpang turun, turun dari ALS sudah mau nangis saya. Semua orang turun saya mau ke mana, gelisah mau kemana”.
Dan  ketika  responden  ditanya  mengenai  pendapatnya  tentang:  “Bagaimana tanggapan  Anda  terhadap  syair  dan  lagu Anak Parjalang yang  mengisahkan  tentang
Perantau  yang  kurang  berhasil?”. Maka  jawaban  yang  terlontar dari  responden Hotran Simarmata adalah:
46
“Kisah di lagu ini adalah seorang perantau yang berusaha mati-matian dalam menghadapi kesulitan hidup parir do yang begitu pedih. Selama berjuang belum dapat apa-apa. Di
perantauan si  anak  berusaha  keras  bagaimana  supaya  mendapatkan  pekerjaan,  tetapi gagal  dan  gagal  lagi. Tujuannya  adalah  supaya  ada penghasilan.  Karena  bagi  orangtua
tujuannya  supaya  berhasi,  karena  itu disuruh  merantau. Meskipun  dia  belum  berhasil selalu memberi kabar kepada orangtuanya, menceritakan keadaannya yang susah. Jadi ini
anak baik, meskipun ia punya keterbatasan karena tidak sekolah, tapi dia tidak putus asa dan berusaha untuk bekerja”.
45
Wawancara dilakukan di Yogyakarta, 5 Maret 2014.
46
Wawancara dilakukan di Wonosobo, 29 Maret 2014.
186
Sebaliknya bagi anak yang sudah berhasil di perantauan maka akan ada pertanda dengan  mengirimkan  uang kepada  orangtuanya  sebagai  bukti  bahwa  si  anak  sudah
mempunyai  penghasilan di  perantauan. Pengalaman  yang  seperti  ini  yang  pernah diketahui responden, seperti yang diceritakan oleh Abidan Tinambunan:
47
“Keberhasilan  anak parjalang perantau  biasanya  juga  akan  mudah  diketahui  karena kalau  ada  kiriman  dari  anaknya  maka  biasanya  tetangga  juga  cepat  tau.  Apalagi  zaman
dulu  mengirim  surat  juga  memakan  waktu  yang  cukup lama,  sehingga  kalau  ada  surat yang dikirim dari anak perantau maka biasanya keluarga berkumpul untuk mendengarkan
apa  beritanya. Apalagi ada  kiriman  wessel  maka  dengan  cepat  diketahui  bahwa  anak perantau  mengirim  uang”. Sedangkan  dalam  lagu yang ditanyakan, bahwa si Perantau
belum  bisa  mengirim  sesuatu. Sehingga  itulah yang menjadi kisah dalam  lagu  ini,  dan menjadi  tangisan  si  anak yang  belum  bisa  membuktikan keberhasilannya  dengan  cara
mengirimkan sedikit uang kepada orangtuanya di kampung”.