128 dari IPLT adalah 8 ton pupuk keringbulan atau setara dengan
320 karung 1 karung=25 kg. e.
Apabila harga pupuk kering tersebut diperhitungkan seharga Rp 10 000karung, maka potensi penerimaan dari penjualan pupuk organik
tersebut adalah sebesar 320 karung x Rp 10 000karung = Rp 3 200 000bulan.
f. Dengan demikian, maka potensi penerimaan operasional IPLT
adalah Rp 29 344 000 + Rp 3 200 000 – Rp 16 100 000 = Rp 16 444 000 per bulan atau Rp 657 760 m
3
lumpur tinja yang diangkut dan diolah.
5.3 Model Ekosanita IPLT
Model EkoSanita-IPLT yang dikembangkan, dibagi ke dalam 5 lima sub model yaitu i sub model bangkitan dan pewadahan lumpur tinja untuk
memperkirakan bangkitan lumpur tinja, ii sub model pengangkutan dan pengolahan lumpur tinja untuk memperkirakan keberlanjutan operasional IPLT
dan iii sub model kinerja Instalasi pengolahan lumpur tinja IPLT untuk memperkirakan hasil pengolahan lumpur tinja, iv sub model daya tampung
lingkungan kota lingkungan keairan, untuk memperkirakan kemampuan lingkungan menerima limbah cair maupun lumpur tinja yang masuk ke dalamnya
dan v sub model biaya operasional pengelolaan sistem IPLT untuk memperkirakan biaya pengoperasian sistem. Struktur model EkoSanita-IPLT
disajikan pada Lampiran-4.
5.3.1 Sub Model Bangkitan dan Pewadahan Lumpur Tinja
Langkah pertama pemodelan adalah dengan menetapkan seluruh parameter yang berpengaruh terhadap bangkitan lumpur tinja di suatu
kawasan perkotaan dan simulasinya menggunakan level stock yang telah ditetapkan tersebut Li and Simono vic 2001, Simonovic and Lanhai 2003.
Simulasi bangkitan lumpur tinja akan menggunakan 5 lima level atau tangki yang menggambarkan i tampungan limbah rumah tangga di kawasan
permukiman perkotaan, ii tampungan limbah rumah tangga di semua tangki septik yang ada di kawasan permukiman perkotaan, iii tampungan limbah
129 rumah tangga di badan air permukaan, iv tampungan efluent tangki septik di
saluran drainase, v tampungan efluent tangki septik di bidang resapan. Tampungan limbah rumah tangga menggambarkan banyaknya sisa air rumah
tangga yang terbuang setelah dipakai mandi, cuci, membersihkan kotoran di WC, menyiram tanaman bunga atau bahkan bekas air cuci mobil. Air rumah tangga
tersebut dipengaruhi oleh konsumsi air rumah tangga per kapita, jumlah penduduk dan fraksi limbah cair yang terbuang. Tampungan limbah rumah
tangga di tangki septik menggambarkan banyaknya limbah rumah tangga yang dialirkan dan ditampung di tangki septik yang terdapat di kawasan permukiman
perkotaan.
Tampungan limbah rumah tangga di saluran drainase menggambarkan banyaknya limbah yang telah diolah di tangki septik tetapi karena tidak
dilengkapi dengan bidang resapan maka hasil olahan tersebut ditampung di sistem drainase kemudian dialirkan kembali ke badan air permukaan. Tampungan
limbah rumah tangga di badan air permukaan menggambarkan banyaknya limbah rumah tangga di badan air yang berasal dari limbah rumah tangga kawasan
permukiman yang tidak diolah di tangki septik dan hasil olahan tangki septik yang tidak dapat masuk ke tangki bidang resapan. Tampungan limbah rumah
tangga di bidang resapan menggambarkan banyaknya hasil olahan tangki septik yang tersimpan sementara di bidang resapan sebelum mengalir masuk ke dalam
air tanah setelah disaring secara biologis. Berdasarkan analisis tersebut, maka konsumsi air rumah tangga menjadi
faktor penting yang mempengaruhi akumulasi limbah rumah tangga dan lumpur tinja yang dibangkitkan. Aliran limbah rumah tangga ke badan air dan ke tangki
septik mengikuti pola umum perubahan konsumsi air rumah tangga pada periode perencanaan yang ditinjau.
Cakupan pelayanan pengelolaan limbah rumah tangga menjadi faktor lainnya yang dapat mempengaruhi tampungan limbah rumah tangga di badan air
permukaan. Banyaknya air limbah rumah tangga di badan air memberi gambaran potensi pencemaran air limbah rumah tangga.
130
5.3.2 Sub Model Pengangkutan dan Pengolahan Lumpur Tinja