118 tampung lingkungan air permukaan maupun lingkungan air tanah. Hal tersebut
sangat dipengaruhi oleh besarnya debit air larian run off dan debit air tanah. Semakin besar kedua debit tersebut dan semakin kecil kandungan beban cemaran
awal, maka akan semakin tinggi daya tampung lingkungan keairan.
5.2.2 Keadaan Pengelolaan Lumpur Tinja 5.2.2.1 Pewadahan Lumpur Tinja
Proses pewadahan lumpur tinja dari setiap rumah yang memiliki Tangki Septik dijelaskan pada Gambar 23.
Gambar 23 Bagan Proses Pewadahan Lumpur Tinja Setiap individu manusia diperkirakan menghasilkan kotoran tinja
sebanyak 100-400 gram setiap hari atau setara dengan 0.1-0.39 liter per hari. Namun, menurut Eawag Sandec, yang terkumpul di tangki septik adalah 40-
70 lkapthn. Di dalam kotoran tinja tersebut terdapat unsur- unsur yang dapat menimbulkan penyakit bakteri, telur cacing, virus dan unsur-unsur yang
mengandung pupuk N, P, K. Oleh karena itu, idealnya, kotoran tinja tersebut dialirkan ke dalam tangki
septik untuk diolah menjadi lumpur tinja faecal sludge yang stabil sehingga semua unsur penyakit yang terdapat didalamnya dapat dimatikan. Selain
mengolah lumpur tinja, tangki septik dapat berfungsi pula mengolah fraksi limbah cair yang mengalir bersama sama kotoran tinja sehingga daya cemarnya
dapat diturunkan 30 dari beban cemaran yang masuk. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 03-2398-2000, setiap tangki septik harus memiliki
ruang basah dan ruang lumpur tinja serta ruang ambang bebas. Ukuran standar tangki septik sesuai dengan jumlah KK pemakainya, dirangkum pada Tabel 33.
Karena tangki septik harus dikosongkan setiap 3 tiga tahun sekali, maka berdasarkan standar tersebut, volume lumpur tinja yang terkumpul untuk sistem
Sumur Resapan
Air Limbah hanya dari Kakus
Tangki Septik
a. Sistem Terpisah
Sumur Resapan
Air Limbah dari Kakus, Kamar Mandi, Tempat Cuci
Tangki Septik
b. Sistem Tercampur
119 tercampur dengan pemakai 1 satu KK adalah 1.2 + 0.45 = 1.95 m
3
. Berdasarkan survey yang dilakukan kepada pemakai, volume tangki septik rata-rata adalah
2.29 m
3
unit atau 1.17 kali standar yang berlaku. Hal itu mengindikasikan bahwa ukuran tangki septik yang dimiliki masyarakat bervariasi.
Tabel 33. Ukuran Standar Tangki Septik Berdasarkan Jumlah Pemakai
Ruang Basah m
3
Ruang Lumpur m
3
Ruang Bebas m
3
Volume Total m
3
Jumlah Pemakai
KK Sistem
A Sistem
B Sistem
A Sistem
B Sistem
A Sistem
B Sistem
A Sistem
B
1 2
3 4
5 6
7 8
9
1 1.2
0.45 0.40
2.10 2
0.40 2.4
0.90 0.90
0.30 0.60
1.60 3.90
3 0.60
3.6 1.35
1.35 0.50
0.90 2.45
5.80 4
0.80 4.8
1.80 1.80
0.60 1.20
3.20 7.80
5 1.00
6.0 2.60
2.25 0.90
1.40 4.50
9.60 10
2.00 12.0
5.25 4.50
1.50 2.90
8.70 19.40
Catatan: a. 1 KK = 5 Orang
b. Sistem A = Sistem Terpisah Hanya untuk buangan dari kakus c. Sistem B = Sistem Tercampur Untuk buangan dari kamar mandi, tempat cuci dan kakus
Kota Majalaya yang berpenduduk 141 467 jiwa pada tahun 2004, memiliki jumlah rumah sebanyak 35 472 unit. Dari jumlah tersebut, rumah yang
memiliki luas lahan terbatas 90 m
2
sehingga tidak memungkinkan membangun tangki septik individual, diperkirakan sebanyak 34 .
Jumlah rumah yang memiliki tangki septik tercatat sebanyak 8 868 unit 25 dan cubluk cespool sebanyak 4 434 unit 12.5 . Sisanya
sebanyak 22 170 unit rumah 62.5 membuang kotorannya ke sungai, kolam atau sawah.
Dari jumlah fasilitas sanitasi eksisting tersebut dan apabila volume setiap unit adalah 2.29 m
3
unit sistem tercampur, maka volume lumpur tinja yang harus dikuras maksimum sebesar 8 864 + 4 434 unit x 2.29 m
3
per unit x 75 volume tangki septik : 3 tahun pengurasan : 256 hari kerja per tahun = 29.74 m
3
per hari. Apabila diasumsikan bahwa distribusi usia tangki septik sama dengan
di kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT, dan apabila penyedotan lumpur tinja dilakukan secara teratur setiap 3 tiga tahun sekali, maka jumlah tangki
septik di Kota Majalaya yang siap dikuras diperhitungkan sebesar 3.81 x 8 868 + 4 434 = 507 unit.
120 Dengan demikian, maka volume lumpur tinja yang harus diangkut adalah
507 unit x 2.29 m
3
unit : 256 hari kerjatahun = 4.54 m
3
hari atau merupakan 20.27 dari total volume lumpur tinja yang harus diangkut dari daerah pelayanan
IPLT pada tahun 2005.
5.2.2.2 Pengangkutan Lumpur Tinja
Proses pengangkutan lumpur tinja dari setiap rumah yang memiliki tangki septik ke lokasi Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja IPLT dijelaskan pada
Gambar 24.
Gambar 24. Bagan Aliran Pengangkutan Lumpur Tinja dengan 3 Ritasihari Jumlah truk tinja yang diperlukan merupakan fungsi dari jumlah jam
kerja, jarak tempuh rata-rata dari lokasi tangki septik ke lokasi IPLT dan total waktu untuk persiapan dan pengurasan tangki septik, perjalanan truk tinja dan
pengosongannya di IPLT. Waktu persiapan dan pengurasan tangki septik dipengaruhi oleh jenis dan ukuran tangki septik yang dikuras individual atau
komunal dan akses truk tinja ke lokasi tangki septik. Apabila jalan akses ke lokasi rumah, ukurannya kecil gang atau lorong dan lokasi tangki septik
diletakkan di halaman belakang rumah, maka waktu persiapan sampai dengan selesainya pengosongan atau pengurasan tangki septik akan lebih lama bila
dibandingkan dengan rumah yang berada di tepi jalan dan lokasi tangki septik diletakkan di halaman depan rumah.
Garasi
Tangki Septik-6 Tangki Septik-5
Tangki Septik-3 Tangki Septik-4
IPLT
Worksh op
1
2 3
4 5
6 7
8 9
10
Truk Tinja
Tangki Septik-1
Tangki Septik-2
121 Lama waktu perjalanan truk tinja dari lokasi tangki septik ke lokasi IPLT
dipengaruhi oleh kondisi topografi, ukuran atau kelas jalan, kepadatan lalu lintas pada rute perjalanan truk tinja dan ukuran truk tinja yang digunakan.
Tangki septik di kota Majalaya, tersebar pada radius 3-10 km dari lokasi IPLT dan untuk mencapai IPLT tersebut harus melalui 3 tiga jenis kelas jalan
yaitu jalan kabupaten, jalan kecamatan dan jalan lingkungan. Sementara itu, ukuran truk tinja yang dioperasikan pada uji coba operasional IPLT adalah 3.5 m
3
sehingga dapat melayani 2 dua tangki septik untuk setiap kali angkut. Kondisi topografi di bagian pusat kota relatif datar, sedangkan jalan
keluar kota dan ke lokasi IPLT sepanjang 3 km berbukit. Keadaan lalu lintas di pusat kota relatif padat sedangkan jalan dari perbatasan kota menuju lokasi IPLT
relatif lengang. Berdasarkan pengamatan lapangan selama uji coba pengangkutan lumpur
tinja ke lokasi IPLT Cibeet Majalaya Garasi Truk Tinja terletak di Dinas Kebersihan di Kota Soreang, diperoleh hasil sebagai berikut:
•
Waktu persiapan rata-rata 15 menit
•
Lama pengurasanpengosongan tangki septik rata-rata selama 30 menit
•
Lama perjalanan pergi pulang truk tinja sampai radius rata-rata 15 km dapat ditempuh dalam waktu 1 jam dan 30 menit atau kecepatan rata-rata
perjalanan adalah 0.17 kmmenit atau 10 kmjam. Berdasarkan data tersebut, maka untuk melayani tangki septik Kota Majalaya
dengan jam kerja rata-rata 8 jamhari ritasinya adalah 4-6 rithari. Lumpur tinja yang harus diangkut ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja
IPLT merupakan fungsi dari jumlah tangki septik, volume truk tinja yang dioperasikan, frekuensi atau ritasi truk tinja per hari dan kemampuan IPLT
mengolah lumpur tinja dalam satu hari. Selain itu, keteraturan jadwal pengangkutan juga mempengaruhi pasokan lumpur tinja ke IPLT. Semakin
terjadwal pengangkutan lumpur tinja ke IPLT, semakin teratur pasokan lumpur tinja ke IPLT. Semakin teratur pasokan lumpur tinja ke IPLT, semakin terjamin
kelangsungan operasionalisasi IPLT. Oleh karena itu, kesepakatan pelanggan untuk dilayani secara terjadwal dengan membayar tarif bulanan, dapat menjamin
keteraturan pasokan lumpur tinja dan keberlanjutanoperasionalisasi IPLT.
122 Pada tahun 2005, volume lumpur tinja yang harus diangkut dari daerah
pelayanan IPLT adalah sebesar 22.4 m
3
hari, tetapi volume lumpur tinja yang terangkut adalah sebesar 17.51 m
3
hari. Hal itu berarti bahwa sebanyak 4.89 m
3
hari atau 1 784.85m
3
tahun lumpur tinja tidak terangkut. Hal itu juga mengindikasikan bahwa efisiensi pengangkutan lumpur tinja eksisting adalah
78.17. Apabila efisiensi ini bisa lebih ditingkatkan, maka volume lumpur tinja yang dibuang langsung kemedia lingkungan dapat diperkecil sehingga daya
tampung lingkungan dapat diperbesar.
5.2.2.3 Pengolahan Lumpur Tinja
Komponen komponen sistem dan proses pengolahan lumpur tinja di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja IPLT Cibeet Majalaya, dijelaskan pada
Gambar 25.
Sebagaimana yang tertera pada Gambar 24, komponen-komponen utama
IPLT Cibeet Majalaya terdiri dari i kolam anaerobik, ii kolam fakultatif, iii kolam maturasi, dan iv bak pengering lumpur.
Gambar 25. Bagan Proses Pengolahan Lumpur Tinja di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja IPLT
Sungai
Pakan Ikan
Unggas Aliran Air
Aliran Air Aliran Lumpur
c. Kolam Fakultatif b. Bak An-Aerobik
b. Bak An-Aerobik a. Truk Tinja
c. Kolam Fakultatif
e. Bak Pengering Lumpur
KOB: 89,63 mgl KOK: 211,97 mgl
TSS: 110 mgl
d. Kolam Maturasi pembilas
INLET
KOB :
365,1 mgl KOK
: 1183,93 mgl
TSS :
1971,20 mgl
OUTLET
KOB :
42,7 mgl KOK
: 101,38 mgl
TSS :
22 mgl KOB:101,65 mgl
KOK:297,24 mgl TSS: 534 mgl
KOB:101,65 mgl KOK:297,24 mgl
TSS: 534 mgl
123 Sebagaimana tertera pada Tabel 34, Kolam anaerobik memenuhi 3 tiga
dari 5 lima kriteria yang disyaratkan yaitu beban permukaan, rasio panjang dan lebar kolam dan kedalaman kolam. Kolam fakultatif memenuhi 2 dua dari 5
lima kriteria yang disyaratkan, sedangkan kolam maturasi memenuhi 4 empat dari 5 lima kriteria yang disyaratkan. Hal tersebut memberi indikasi bahwa hasil
pengolahan lumpur tinja tidak akan mencapai hasil yang optimal karena kinerja setiap komponen akan mempengaruhi kinerja komponen lainnya.
Sebagaimana tampak pada Gambar 25, truk tinja yang berfungsi membawa baku lumpur tinja dari tangki septik, mengosongkan isinya langsung ke bak
pertama yang disebut bak anaerob. Bak anaerobik tersebut, berfungsi memisahkan fraksi padat dengan fraksi
cairan lumpur tinja dan sekaligus menurunkan beban cemaran organik. Oleh karena itu, ukuran bak ini harus memenuhi syarat volume maupun luas
permukaan. Tabel 34. Kriteria Evaluasi Kesesuaian IPLT Dengan Kriteria Perencanaan
No Uraian
Kolam Anaerobik
Kolam Fakultatif
Kolam Maturasi
1 2
3 4
5
A Data Fisik
1 Jumlah Unit 4
2 1
2 Panjang kolam m 7
25 20
3 Lebar kolam m 3.5
20 10
4 Kedalaman kolam m 3.0
1.5 1.5
5 Luas permukaan kolam m2 24.5
500 200
6 Volume kolam m3 73.5
750 300
7 BOD
5
atau KOB mgl 365
101.65 89.63
8 COD atau KOK mgl 118.93
217.24 211.97
B Aspek yang dinilai
1 Beban Permukaan Kg BODHa.hari 3724.49
50.83 100 – 424
112.04 100 – 424
2 Beban BOD Volumetrik g BODm3.hari 496.6
500 – 800 7.26
40 – 60 7.47
40 – 60 3 Waktu Detensi hari
11.76 20 -50
60 5 – 30
12 5 – 20
4 Rasio PanjangLebar 2
2-4 : 1 1.25
2-4 : 1 2
2-4 : 1 5 Kedalaman m
3,0 1.8-2.5
1,5 1.2-1.8
1,5 0.8-1.2
Catatan: angka pada tanda kurung adalah kriteria perencanaan Metcalf Eddy.1974
Pada kolam anaerob terjadi proses pemisahan partikel padatan dari cairan, secara gravitasi. Penurunan beban cemaran organik yang biasa diukur dari
124 kandungan BOD Biological Oxygen Demand atau KOB Kebutuhan Oksigen
Biologis pada kolam anaerobik dapat mencapai kisaran 50–70. Kolam anaerobik juga menguraikan materi organik yang terkandung dalam lumpur tinja.
Setiap kolam anaerob dilengkapi dengan sebuah valve penguras lumpur berdiameter 250 mm, yang akan mengeluarkan endapan lumpur dari kolam
anaerob dan mengalirkannya langsung ke bak pengering lumpur. Sedangkan fraksi cairan lumpur tinja dialirkan melalui pipa peluap menuju ke kolam
fakultatif, untuk kemudian didalam kolam ini terjadi proses penurunan BOD atau KOB sebesar 70 – 90 , serta penguraian materi organik yang masih terkandung
dala m efluent dari kolam anaerob. Kolam fakultatif berfungsi mengolah fraksi cairan yang telah dipisahkan
di bak anaerobik dan masih mengandung cemaran organik serta menangkap sisa lumpur tinja yang belum terendapkan di bak anaerobik. Efluent dari kolam ini
dialirkan ke dalam kolam maturasi atau kolam pembilas. Kolam maturasi menerima efluent dari kolam fakultatif melalui pipa
bawah tanah. Di dalam kolam ini diharapkan terjadi eliminasi bakteri coli serta bakteri patogen. Efluent dari kolam maturasi yang tela h aman bagi lingkungan,
dialirkan ke saluran drainase untuk dibuang ke sungai terdekat. Oleh karena itu, sesuai namanya kolam-kolam pembilas, berfungsi melakukan pembersihan akhir
dari air yang telah diolah di kolam fakultatif. Bak pengering lumpur, berfungsi menstabilkan dan mengeringkan lumpur
kental yang berasal dari bak anaerobik maupun kolam fakultatif. Setiap bak pengering lumpur dibagi menjadi 4 kompartemen, sehingga terdapat 8 delapan
buah kompartemen pengering lumpur. Masing- masing kompartemen dilengkapi dengan sebuah penstok untuk
memasukkan lumpur dari bak anaerob. Bak pengering lumpur dilengkapi dengan sistem drainase yang dipasang di dasar bak pengering untuk menangkap dan
mengalirkan fraksi air yang terpisahkan dari fraksi padatnya. Pipa tersebut berupa pipa PVC yang berlubang- lubang untuk mengalirkan air yang berasal dari dalam
lumpur ke kolam maturasi untuk diolah kembali bersama sama efluen dari kolam fakultatif. Dengan bantuan sinar matahari, pada cuaca yang cerah, lumpur akan
mengering dalam 15 hari dan kadar kelembaban akan berkurang sebanyak + 60 –
125 70.
Hasil pengamatan terhadap kinerja operasional IPLT Cibeet terhadap perubahan kualitas influent dan efluent bak anaerobik, kolam fakultatif dan
kolam maturasi Tabel 35 menyimpulkan bahwa efisiensi penurunan beban cemaran organik di kolam fakultatif dan kolam maturasi sangat rendah kurang
dari 70. Tabel 35. Evaluasi Kinerja Pengolahan IPLT Cibeet
No Parameter Yang dinilai
Influent Efluent
Efisiensi
1 2
3 4
5
A Bak Anaerob
1 KOB mgl 365.1
101.65 72.16 60
2 KOK mgl 1183.93
297.24 74.89 60
3 Partikel Tersuspensi mgl 1971.20
534 72.91 50-70
B Kolam Fakultatif
1 KOB mgl 101.65
89.63 11.82 70
2 KOK mgl 297.24
211.97 28.69 70
3 Partikel Tersuspensi mgl 534
110 79.4 50-80
C Kolam Maturasi
1 KOB mgl 89.63
42.7 52.36 70
2 KOK mgl 211.97
101.38 52.17 70
3 Partikel Tersuspensi mgl 110
22 80 20-40
Catatan: angka didalam tanda kurung adalah standar yang berlaku Metcalf Eddy.1974
5.2.3 Pemanfaatan Produk Pengolahan Lumpur Tinja
Produk IPLT adalah lumpur kering dan efluent. Lumpur kering dapat digunakan sebagai pupuk organik, sedangkan efluent dari kolam
fakultatif yang mengandung N,P,K dapat digunakan untuk mengairi tanaman air. Namun, pada saat dilakukan survey ke lokasi, IPLT Cibeet dalam
keadaan tidak beroperasi.
5.2.4 Biaya Operasi Pemeliharaan Sistem IPLT
Perhitungan biaya operasi pemeliharaan sistem IPLT dilakukan dengan asumsi dan pendekatan pendekatan berikut ini:
a. Pengoperasian IPLT minimum dilakukan oleh 7 tujuh orang dimana 4
empat orang sebagai pekerja kasar, 2 dua orang sebagai pemelihara
126 lingkungan dan 2 dua orang sebagai operator atau pemelihara
lingkungan instalasi dan administrator. b.
Pekerja kasar jika bekerja satu hari penuh upahnya diperhitungkan sebesar Rp 80 000 per hari. Namun bila bekerja setengah hari upahnya
diperhitungkan sebesar Rp 50 000. c.
Biaya 2 dua orang pemelihara lingkungan dan kebersihan instalasi diperhitungkan sebesar Rp 20 000 x 2 orang x 14 hari kerja =
Rp 560 000 . d.
Biaya 2 dua orang pemelihara lingkungan instalasi atau operator dan pencatatan administrasi diperhitungkan sebesar Rp 20 000 x 2
orang x 26 hari kerja = Rp 1 040 000. e.
Dengan demikian total upah untuk pekerja kasar diperhitungkan sebesar Rp 1 600 000 per bulan.
f. Alokasi biaya listrik untuk penerangan diperhitungkan sebesar
Rp 300 000 per bulan. g.
Kebutuhan satpam untuk shift malam dan siang diperkirakan 2 dua orang, yaitu i shift malam untuk pengamanan fisik asset instalasi IPLT,
dan ii shift siang merangkap penerima truk tinja, dengan gaji minimal sebesar Rp 650 000 sehingga biayanya diperhitungkan sebesar 2 orang x
Rp 650 000 = Rp 1 300 000. h.
Selain itu, diperlukan pula 1 satu orang penanggung jawab dengan gaji minimal sebesar Rp 1 150 000bulan.
i. Biaya operasional untuk 1 unit truk tinja per hari diperhitungkan sebesar
Rp 156 000 frekuensi antara 3 rit untuk radius jarak 10 – 15 Km dan 4 rit untuk radius 5 sd 10 Km yang terdiri dari i Upah supir
8 jam kerja Rp 30 000 per hari, ii upah 3 orang kenek 8 jam kerja Rp 22 000 per hari = Rp 66 000, iii Bahan bakar BBM untuk
pergi sebesar Rp 40 000 ditambah untuk pulang sebesar Rp 20 000 = Rp 60 000 garasi mobil truk tinja di Dinas PU Kebersihan di
Soreang.
127 j.
Alokasi biaya untuk 5 unit truk tinja diperhitungkan sebesar Rp 780 000 per hari dan jika dalam 1 bulan setiap truk dicadangkan beroperasi selama
15 hari kerja , maka total biaya menjadi Rp 11 700 000. k.
Biaya bahan bakar untuk pengurasan IPLT dialokasikan sebesar Rp 50 000 per bulan, dengan menggunakan motor pesedot berkapasitas
2PK unt uk menghilangkan lumpur dan sampah di kolam anaerob setelah setiap dua kali cairannya dialirkan ke kolam fakultatif.
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka total biaya operasi dan pemeliharaan sistem IPLT diperhitungkan sebesar Rp 1 600 000
+ Rp 1 300 000 + Rp. 300 000 + Rp 1 150 000 + Rp 1 700 000 + Rp 50 000 = Rp 16 100 000,- per bulan. Bila diasumsikan bahwa IPLT beroperasi penuh
selama 30 tiga puluh hari per bulan, maka volume lumpur tinja yang diolah adalah 750 m
3
bulan, sehingga biaya operasi sistem IPLT per m
3
adalah Rp 11 100 000750 m
3
= Rp 21 467m
3
dibulatkan menjadi Rp 21 500m
3
. Penerimaan operasional IPLT bisa bisa diperoleh dari retribusi yang
dibayar oleh konsumen dan nilai tambah dari penjualan pupuk organik yang dihasilkan, dengan asumsi dan perhitungan berikut ini.
a. Retribusi yang dibayar konsumen diperhitungkan sebesar Rp 3 500 per
kepala keluarga per bulan untuk masyarakat dengan kisaran pendapatan antara Rp 500 000 sd Rp 750 000 nilai ini diasumsikan yang paling
mungkin berdasarkan pembanding retribusi sampah dimana kemampuan masyarakat membayar tarif retribusi di bawah Rp 5 000bulan adalah
masyarakat dengan kisaran pendapatan Rp 500 000 sd Rp 750 000 bulan. b.
IPLT dengan kapasitas 25 m
3
hari diperhitungkan mampu melayani 8 384 unit pelanggan dengan volume tangki septik rata rata sebesar 2.29 m
3
unit dan masa pengurasan 3 tiga tahun.
c. Dengan jumlah pelanggan sebanyak 8 384 kepala keluarga tersebut, maka
potensi penerimaan retribusi diperhitungkan sebesar 8 384 x Rp 3 500 per bulan = Rp 29 344 000bulan.
d. Dari lumpur tinja yang sudah kering dihasilkan pupuk organik sebesar
1 satu ton per bak pengering per bulan atau total produksi pupuk
128 dari IPLT adalah 8 ton pupuk keringbulan atau setara dengan
320 karung 1 karung=25 kg. e.
Apabila harga pupuk kering tersebut diperhitungkan seharga Rp 10 000karung, maka potensi penerimaan dari penjualan pupuk organik
tersebut adalah sebesar 320 karung x Rp 10 000karung = Rp 3 200 000bulan.
f. Dengan demikian, maka potensi penerimaan operasional IPLT
adalah Rp 29 344 000 + Rp 3 200 000 – Rp 16 100 000 = Rp 16 444 000 per bulan atau Rp 657 760 m
3
lumpur tinja yang diangkut dan diolah.
5.3 Model Ekosanita IPLT
Model EkoSanita-IPLT yang dikembangkan, dibagi ke dalam 5 lima sub model yaitu i sub model bangkitan dan pewadahan lumpur tinja untuk
memperkirakan bangkitan lumpur tinja, ii sub model pengangkutan dan pengolahan lumpur tinja untuk memperkirakan keberlanjutan operasional IPLT
dan iii sub model kinerja Instalasi pengolahan lumpur tinja IPLT untuk memperkirakan hasil pengolahan lumpur tinja, iv sub model daya tampung
lingkungan kota lingkungan keairan, untuk memperkirakan kemampuan lingkungan menerima limbah cair maupun lumpur tinja yang masuk ke dalamnya
dan v sub model biaya operasional pengelolaan sistem IPLT untuk memperkirakan biaya pengoperasian sistem. Struktur model EkoSanita-IPLT
disajikan pada Lampiran-4.
5.3.1 Sub Model Bangkitan dan Pewadahan Lumpur Tinja
Langkah pertama pemodelan adalah dengan menetapkan seluruh parameter yang berpengaruh terhadap bangkitan lumpur tinja di suatu
kawasan perkotaan dan simulasinya menggunakan level stock yang telah ditetapkan tersebut Li and Simono vic 2001, Simonovic and Lanhai 2003.
Simulasi bangkitan lumpur tinja akan menggunakan 5 lima level atau tangki yang menggambarkan i tampungan limbah rumah tangga di kawasan
permukiman perkotaan, ii tampungan limbah rumah tangga di semua tangki septik yang ada di kawasan permukiman perkotaan, iii tampungan limbah
129 rumah tangga di badan air permukaan, iv tampungan efluent tangki septik di
saluran drainase, v tampungan efluent tangki septik di bidang resapan. Tampungan limbah rumah tangga menggambarkan banyaknya sisa air rumah
tangga yang terbuang setelah dipakai mandi, cuci, membersihkan kotoran di WC, menyiram tanaman bunga atau bahkan bekas air cuci mobil. Air rumah tangga
tersebut dipengaruhi oleh konsumsi air rumah tangga per kapita, jumlah penduduk dan fraksi limbah cair yang terbuang. Tampungan limbah rumah
tangga di tangki septik menggambarkan banyaknya limbah rumah tangga yang dialirkan dan ditampung di tangki septik yang terdapat di kawasan permukiman
perkotaan.
Tampungan limbah rumah tangga di saluran drainase menggambarkan banyaknya limbah yang telah diolah di tangki septik tetapi karena tidak
dilengkapi dengan bidang resapan maka hasil olahan tersebut ditampung di sistem drainase kemudian dialirkan kembali ke badan air permukaan. Tampungan
limbah rumah tangga di badan air permukaan menggambarkan banyaknya limbah rumah tangga di badan air yang berasal dari limbah rumah tangga kawasan
permukiman yang tidak diolah di tangki septik dan hasil olahan tangki septik yang tidak dapat masuk ke tangki bidang resapan. Tampungan limbah rumah
tangga di bidang resapan menggambarkan banyaknya hasil olahan tangki septik yang tersimpan sementara di bidang resapan sebelum mengalir masuk ke dalam
air tanah setelah disaring secara biologis. Berdasarkan analisis tersebut, maka konsumsi air rumah tangga menjadi
faktor penting yang mempengaruhi akumulasi limbah rumah tangga dan lumpur tinja yang dibangkitkan. Aliran limbah rumah tangga ke badan air dan ke tangki
septik mengikuti pola umum perubahan konsumsi air rumah tangga pada periode perencanaan yang ditinjau.
Cakupan pelayanan pengelolaan limbah rumah tangga menjadi faktor lainnya yang dapat mempengaruhi tampungan limbah rumah tangga di badan air
permukaan. Banyaknya air limbah rumah tangga di badan air memberi gambaran potensi pencemaran air limbah rumah tangga.
130
5.3.2 Sub Model Pengangkutan dan Pengolahan Lumpur Tinja
Pada sub model pengangkutan lumpur tinja, terdapat 5 lima level tangki yang menggambarkan i volume lumpur tinja yang diangkut dari
kawasan permukiman perkotaan, ii volume lumpur tinja yang diolah di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja, iii volume lumpur tinja di media lingkungan hidup,
iv volume lumpur tinja fraksi padatan di bak pengering lumpur sludge drying bed, dan v volume lumpur tinja fraksi cairan di kolam maturasi.
Volume lumpur tinja yang diangkut menggambarkan banyaknya lumpur tinja yang sudah saatnya dikeluarkan dari tangki septik di bagian kawasan
permukiman tertentu, kemudian diangkut ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja. Volume lumpur tinja di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja menggambarkan
banyaknya lumpur tinja yang diolah sebelum hasilnya dimanfaatkan kembali oleh pengelolanya. Volume lumpur tinja di media lingkungan menggambarkan
banyaknya lumpur tinja di media lingkungan yang belum diolah terlebih dahulu sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Volume lumpur tinja fraksi padatan
di bak pengering lumpur menggambarkan banyaknya lumpur kering yang dapat dimanfaatkan kembali menjadi pupuk kompos. Volume lumpur tinja fraksi
cairan di kolam maturasi menggambarkan banyaknya air hasil olahan IPLT yang siap digunakan sebagai air irigasi dan menghasilkan pakan unggas maupun
pakan ikan. Oleh karena itu, banyaknya lumpur tinja yang diangkut menjadi faktor yang mempengaruhi pola operasionalisasi IPLT dan pola peningkatan
pencemaran lumpur tinja terhadap lingkungan keairan. Dengan demikian operasionalisasi IPLT tergantung kepada banyaknya lumpur tinja yang diangkut
dan diolah di IPLT.
5.3.3 Sub Model Kinerja Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja IPLT
Pada sub model pengolahan lumpur tinja, digambarkan sisa beban cemaran setelah diolah di ketiga unit pengolahan lumpur tinja bak ana erobik,
kolam fakultatif dan kolam maturasi. Selain itu, terdapat pula satu tampungan yang menggambarkan beban cemaran KOB maksimum yang masih dapat
diterima atau ditampung oleh perairan penerima efluent hasil olahan. Daya tampung badan air penerima hasil olahan IPLT merupakan selisih antara beban
131 cemaran yang diijinkan dengan beban cemaran badan air di hilir IPLT setelah
menerima tambahan beban cemaran yang terkandung didalam air hasil olahan IPLT. Apabila nilainya positif atau mengalami perbaikan bila dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya, maka ada indikasi bahwa badan air masih mampu menerima tambahan bahan cemaran dari luar. Apabila selisih beban cemaran
yang diijinkan membesar, mengidikasikan bahwa efluent hasil olahan IPLT lebih
baik daripada kualitas badan air penerimanya. 5.3.4 Sub Model Daya Tampung lingkungan kota Lingkungan Keairan
Pada sub model daya tampung lingkungan keairan digambarkan kemampuan badan air menerima beban cemaran yang masuk atau dimasukkan ke
dalammya. Beban cemaran tersebut berasal dari i limbah rumah tangga yang dibuang ke perairan, ii efluent tangki septik yang dialirkan ke saluran drainase
kota, dan iii lumpur tinja yang dibuang ke media lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu. Pada sub model ini terdapat 4 empat tampungan yang
menggambarkan banyaknya limbah rumah tangga dari ketiga kategori tersebut dan beban cemaran awal yang secara alami sudah terdapat pada aliran air. Selain
itu, terdapat pula satu tampungan yang menggambarkan beban cemaran KOB maksimum yang masih dapat diterima atau ditampung oleh perairan penerima air
limbah yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Indeks daya tampung lingkungan keairan di bagian hilir kota adalah rasio antara KOB air limbah yang
masuk ke perairan dengan KOB maksimum yang diijinkan.
5.3.5 Sub Model Biaya Operasional Pengelolaan Sistem IPLT
Pada sub model labarugi operasional system IPLT, dikaji mengenai keuntungan laba atau kerugian pengelolaan sistem. Pada sub model ini terdapat
2 satu stok atau level yang menggambarkan banyaknya keuntungan atau kerugian yang terkait dengan pengoperasian sistem pengelolaan lumpur tinja dan
potensi tabungan investasi. Namun, banyaknya keuntungan atau kerugian tersebut dipengaruhi oleh parameter-parameter penerimaan retribusi pelayanan
jasa penyedotan dan pengangkutan serta pengolahan lumpur tinja di IPLT, pengeluaran biaya pengangkutan, pengeluaran biaya pengolahan dan penyusutan
aset sistem.
132
5.3.6 Uji Model EkoSanita-IPLT
Model merupakan penyederhanaan dari sistem atau dari keadaan sebenarnya sedemikian sehingga dapat digunakan untuk merumuskan
upaya- upaya yang dapat dilakukan dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Persoalan yang ingin dipecahkan adalah bagaimana bentuk atau
pola pelestarian lingkungan berbasis pengelolaan air limbah rumah tangga yang sesuai untuk kota kecil dan kota sedang, yang selain dapat
meningkatkan kualitas lingkungan permukiman kota, juga dapat mendukung kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Lebih spesifik
lagi bagaimana pola operasionalisasi pengelolaan bangkitan lumpur tinja dan pengangkutannya ke IPLT dapat memelihara sumber air baku air minum
penduduk dari pencema ran tinja. Model yang dikembangkan, diuji terlebih dahulu untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai
dengankinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat syarat ilmiah Muhammadi dkk, 2001. Uji model selain dilakukan untuk melihat
penyimpangan antara output simulasi secara statistik juga dilakukan uji kestabilan kestabilan strukturnya dan konsistensi dimensinya. Uji statistik
dilakukan terhadap penyimpangan antara nilai rata rata simulasi terhadap aktual atau absolute means error AME, penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap
aktual atau absolute variation error AVE dan saringan Karman atau Karman filter KF yaitu untuk melihat kesesuaian antara simulasi terhadap aktual. Hasil
uji model tersebut dirangkum pada Tabel 36. Tabel 36 Hasil Uji Variabel Model EkoSanita IPLT
No Uji Model
AME AVE
KF
1 2
3 4
5
1 Model Penduduk Majalaya
0.0148 0.238
0.394 2
Model Penduduk Dp IPLT 0.0020
0.227 0.009
3 Model penduduk Kab Bandung
0.0003 0.021
0.413 Batas Yang diijinkan
0.500 0.500
= 0.500
Perumusan upaya pemecahan persoalan yang dihadapi dilakukan melalui simulasi terhadap model yang dikembangkan. Simulasi pertama
dilakukan terhadap sub mode pewadahan lumpur tinja. Tujuannya adalah untuk mempelajari perilaku model dengan menggunakan data eksisting penduduk kota
133 Majalaya maupun penduduk kota kecamatan lain yang berada di dalam daerah
pelayanan IPLT. Gambar 26 menjelaskan perilaku i model pertumbuhan penduduk, ii
model bangkitan limbah rumah tangga, iii model limbah rumah tangga yang berada di tangki septik dan iv model limbah rumah tangga di badan air untuk
kota Majalaya.
Gambar 26. Perilaku Model Bangkitan Limbah Kota Majalaya Gambar 27 menjelaskan perilaku i model bangkitan limbah rumah
tangga, ii limbah rumah tangga yang yang memasuki badan air dan iii model limbah rumah tangga yang dialirkan ke tangki septik berdasarkan hasil simulasi
dengan menggunakan data pendukuk di 4 empat kecamatan di daerah pelayanan IPLT.
Tampak pada Gambar 26 dan Gambar 27 tersebut bahwa perilaku model penduduk kota Majalaya dan kota kecamatan di daerah pelayanan IPLT relatif
sama yaitu tumbuh secara linier dengan pertumbuhan yang relatif kecil. Perilaku
Grafik Perilaku Limbah Rumah Tangga LRT
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LRT
1 Q_LRT
2
2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005 50,000
100,000 150,000
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
Gra fik Pe rila k u Lim ba h Rum a h T a ngga k e T a ngk i Se pt ik LRT _T S
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LRT_TS
1 Q_LRT_TS
2
2,000 2,002
2,005 10,000
20,000 30,000
40,000
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
Grafik Perilaku Limbah Rumah Tangga di Badan Air LRT-BA
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LRT_BA
1 Q_LRT_BA
2 2,000
2,002 2,005
50,000 100,000
150,000 200,000
250,000 300,000
1 2 1
2 1 2
1 2
1 2
1
2
Gra fik Pe rila k u Pe nduduk
Tahun
Penduduk Jiwa POP_t
1
Dp_Lyn
2
POP_Lyn
3
2,000 2,002
2,005 50,000
100,000
1
2 3
1
2 3
1
2 3
1
2 3
1
2 3
1
2 3
Jumlah Penduduk
Penduduk Dilayani
134 bangkitan limbah rumah tangga dan air limbah yang memasuki tangki septik,
juga relatif sama dengan slope kemiringan yang lebih tajam bila dibandingkan dengan perilaku model penduduk. Perilaku model limbah rumah tangga yang
memasuki badan air menunjukkan pertumbuhan yang mendekati eksponensial. Hal itu berarti bahwa kedua simulasi tersebut, menghasilkan pola perilaku model
yang sama untuk masing- masing tampungan level. Namun, perbedaannya terletak pada banyaknya limbah rumah tangga pada masing- masing tampungan
level. Hal itu mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah penduduk tidak mempengaruhi model
masing- masing parameter, tetapi mempengaruhi banyaknya tampungan level yang dihasilkan.
Gambar 27. Perilaku Model Bangkitan Limbah Kota Kecamatan Di Daerah Pelayanan IPLT
Uji model selanjutnya dilakukan terhadap sub model pengangkutan dan pengolahan lumpur tinja. Model pertumbuhan penduduk kota Majalaya dan
Gra fik Pe rila k u Lim ba h Rum a h T a ngga LRT
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LRT
1 Q_LRT
2
2,000 2,002
2,005 100,000
200,000 300,000
400,000 500,000
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
Gra fik Pe rila k u Lim ba h Rum a h T a ngga di Ba da n Air LRT -BA
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LRT_BA
1 Q_LRT_BA
2
2,000 2,002
2,005 200,000
400,000 600,000
1 2 1
2 1 2
1 2
1 2
1
2
Gra fik Pe rila k u Lim ba h Rum a h T a ngga k e T a ngk i Se pt ik
LRT _T S
Tahun
Flow m3hari dan Level m3
V_LRT_TS 1
Q_LRT_TS 2
2,000 2,002
2,005 50,000
100,000
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
Gra fik Pe rila k u Pe nduduk
Tahun
Penduduk Jiwa POP_t
1
Dp_Lyn
2
POP_Lyn
3
2,000 2,002
2,005 100,000
200,000 300,000
400,000
1
2 3
1
2 3
1
2 3
1
2 3
1
2 3
1
2 3
Penduduk Dilayani Jumlah Penduduk
135 model penduduk kota kecamatan di daerah pelayanan IPLT 4 kecamatan
diaplikasikan terhadap model pengangkutan lumpur tinja. Sebagaimana tampak pada Gamar 28, pola perilaku model bangkitan
lumpur tinja dengan popa perilaku transportasinya relatif sama yaitu memiliki slope kemiringan yang relatif tajam. Sementara itu, pola perilaku model
pengolahan lumpur tinja di IPLT berbentuk sigmoid ya itu tumbuh cepat pada tahun tahun pertama, kemudian menurun ketika mendekati batas kapasitasnya
yaitu 25 m3hari.
Gambar 28. Perilaku Model Pengangkutan Lumpur Tinja Kota Majalaya Perilaku model lumpur tinja yang memasuki media lingkungan hidup
dipengaruhi oleh kemampuan IPLT mengolah lumpur tinja yang dibangkitkan dan diangkut oleh armada penangkutnya. Ketika kapasitas IPLT belum
terlampaui, maka lumpur tinja yann memasuki media lingkungan hidup relatif
Grafik Perilaku Bangkitan Lum pur T inja LT
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LT
1 Q_LT
2 2,000
2,002 2,005
10,000 20,000
30,000
1 2 1
2 1
2 1
2 1
2 1
2
Gra fik Pe rila k u T ra nsport a si Lum pur T inja LT _T R
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LT_TR
1 Q_LT_TR
2 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005
5 10
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
Gra fik Pe rila k u Lum pur T inja Diola h LT -OL
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LT_OL
1 Q_LT_OL
2
2,000 2,002
2,005 5
10 15
20
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1
2
Gra fik Pe rila k u Lum pur T inja di Lingk unga n LT -Lingk
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 LT_Lnk
1 Q_LT_Lnk
2
2,0002,0012,0022,0032,0042,005 3
6
1 2 1 2
1 2 1
2 1
2 1
2
136 sangat kecil, bahkan tidak ada. Namun, ketika kapasitan IPLT mendekati
maksimum, maka lumpur tinja yang memasuki media lingkungan cenderung maningkat.
Simulasi berikutnya menggunakan data penduduk kota kecamatan yang berada didaerah pelayanan IPLT yaitu 4 empat kecamatan. Hasilnya disajikan
pada Gambar 29.
Gambar 29. Perilaku Model Pengangkutan Lumpur Tinja Kota Kecamatan Di Daerah Pelayanan IPLT
Pola perilaku model bangkitan lumpur tinja pada Gambar 29 tersebut relatif sama dengan yang diperoleh sebelumnya. Perbedaannya terletak pada nilai
tampungan level yang mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Pola perilaku model transportasi lumpur juga relatif sama dengan
simulasi sebelumnya. Demikian pula halnya dengan pola perilaku pengola han lumpur tinja di IPLT yang berbentuk sigmoid yaitu pertumbuhan cepat pada awal
Gra fik Pe rila k u Ba ngk it a n Lum pur T inja LT
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LT
1 Q_LT
2 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005
10,000 20,000
30,000 40,000
50,000 1
2 1
2 1
2 1
2 1
2 1
2
Gra fik Pe rila k u T ra nsport a si Lum pur T inja LT _T R
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LT_TR
1 Q_LT_TR
2 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005
10 20
30 40
1 2
1 2
1 2
1 2 1
2 1
2
Gra fik Pe rila k u Lum pur T inja Diola h LT -OL
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LT_OL
1 Q_LT_OL
2 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005
5 10
15 20
25
1 2
1 2
1 2 1
2 1
2 1
2
Gra fik Pe rila k u Lum pur T inja di Lingk unga n LT -Lingk
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 LT_Lnk
1 Q_LT_Lnk
2 2,000 2,001 2,002 2,003 2,004 2,005
10 20
30 40
50
1 2 1 2
1 2 1
2 1
2 1
2
137 operasinya, tetapi kemudian menurun ketika mendekapi kapasitas maksimalnya.
Konsekuensinya, volume lumpur tinja di lingkungan hidup meningkat tajam ketika IPLT tidak mampu la gi mengolah lumpur yang diangkut.
5.3.7 Simulasi Model EkoSanita-IPLT
Model yang dikembangkan akan digunakan untuk merumuskan kebijakan dan strategi dalam rangka memperbaiki sistem pengelolaan limbah yang ada,
tetapi dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat membayar tarif jasa penyedotan dan pengangkutan serta pengolahan lumpur tinja. Perumusan
kebijakan dilakukan melalui simulasi untuk mengetahui pengaruh perubahan variabel kebijakan terhadap variabel keputusan.
Dari hasil analisis kondisi eksisting dapat diindikasikan bahwa variabel- variabel kebijakan yang dikaji pengaruhnya terhadap variabel keputusan. Hasil
indikasi variabel kebijakan dirangkum pada Tabel 37. Tabel 37. Matrik Data untuk Rancangan Simulasi Kebijakan
Rancangan Simulasi No
Variabel Simulasi Satuan
Keadaan Eksisting
A B
C D
1 2
3 4
5 6
7
1 Cakupan Pelayanan
20 35
50 60
80 2
Efisiensi pengangkutan 40
60 80
100 100
3 Kapasitas IPLT
M3hari 25
100 100
150 150
4 Konsumsi Air
Lorhr 252.6
227 215
202 200
5 Daerah Pelayanan IPLT
Kecamatan 1
4 4
6 6
6 Efisiensi On site
30 60
75 85
97,5 Catatan: A=Pesimis, B=Moderat, C=Optimis, D=Ideal
Cakupan pelayanan ideal untuk daerah perkotaan yang sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal SPM adalah 80 penduduk Kimpraswil, 2001
Berdasarkan variabel kebijakan yang tertera pada Tabel 37 tersebut, rancangan simulasinya adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan cakupan pelayanan sanitasi, menggambarkan upaya untuk
meningkatkan akses penduduk terhadap fasilitas sanitasi telah diperbaiki improved. Peningkatan cakupan pelayanan sanitasi diperhitungkan dari
20 referensi eksisting, 35 daerah pelayanan IPLT, 50 Kabupaten Bandung dan 60 target nasional dan Global.
b. Peningkatan efisiensi pengangkutan lumpur tinja, menggambarkan
perubahan pola pasif atau menunggu pesanan dan tidak terjadwal, menjadi terjadwal sehingga pasokan lumpur tinja ke IPLT dapat dilakukan secara
138 teratur. Penjadwalan tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan
efisiensi pengangkutan lumpur tinja sampai mencapai 100. Secara rata rata bila pengangkutan lumpur tinja tidak dilakukan secara terjadwal, maka
efisiensinya berkisar antara 40 sampai dengan 78. c.
Peningkatan kapasitas IPLT, mengambarkan upaya untuk memelihara sistem setempat on-site sehingga dapat berfungsi optimal mengolah air
limbah rumah tangga yang dialirkan kedalamnya. d.
Peningkatan efisiensi sistem setempat on-site, menggambarkan upaya untuk menurunkan beban cemaran yang masuk ke perairan penerimanya.
e. Perluasan daerah pelayanan IPLT, menggambarkan upaya untuk
mengantisipasi meningkatnya pencemaran yang berasal dari daerah yang belum dilayani IPLT.
f. Pengendalian konsumsi air rumah tangga, menggambarkan upaya untuk
mengantisipasi kemungkinan berubahnya pola perilaku masyarakat dalam menggunakan air setelah terjadi perbaikan kualitas air sumur.
g. Kombinasi Kebijakan, menggambarkan kombinasi variabel- variabel
simulasi yang ditetapkan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan skenario terbaik dan dapat diaplikasikan dilapangan.
Perubahan tarif jasa sanitasi yang mencakup jasa penyedotan, pengangkutan dan pengolahan lumpur tinja dikaji pengaruhnya terhadap kelangsungan
operasionalisasi sistem IPLT. Biaya yang harus dibayar pelanggan adalah biaya pengoperasian dan pemeliharaan sistem IPLT. Asumsi tarif yang digunakan
adalah Rp 1 500.- per KK per bulan sampai dengan Rp 3 500.- per KK per bulan yang diperhitungkan dari hasil survey kesanggupan membayar.
Adapun variabel keputusan yang digunakan sebagai dasar dalam menilai kelayakan pelaksanaan kebijakan adalah sebagai berikut:
a. Banyaknya volume air limbah rumah tangga yang dialirkan ke badan air
penerimanya sungai, rawa, kolam dan media keairan lainnya dan berpotensi menimbulkan pencemaran baru.
b. Kemampuan lingkungan keairan untuk menerima cemaran yang masuk
kedalamnya dengan memperhatikan batas kemampuan yang ada.
139
c. Tambahan jumlah penduduk yang memperoleh akses ke fasilitas sanitasi
yang telah diperbaiki improved yang diambil dari keuntungan operasional
sistem IPLT untuk memperbaiki fasilitas yang ada.
Peningkatan teknologi, aspek insentif untuk perkuatan kemampuan kelembagaan daerah dan kelembagaan sosial masyarakat serta peningkatan kemauan
masyarakat willingness untuk membayar tarif bulanan termasuk membantu memasarkan penggunaan produk IPLT, seperti pupuk dan pakan ikan, menjadi
bagian dari kebijakan yang akan dikembangkan.
5.3.7.1 Perbandingan Model Eksisting dengan Model Ideal
Model eksisting dibangun berdasarkan data keadaan eksisting pengelolaan sistem IPLT yang dilakukan saat ini, sedangkan model ideal merupakan
perbaikan dari keadaan eksisting yang mencakup i cakupan pelayanan yang sama dengan yang menjadi target nasional maupun MDG 2015 yaitu 60, ii
jumlah fasilitas tangki septik sama besar dengan fasilitas bidang resapan, dan iii pengangkutan lumpur tinja dilakukan secara terjadwal.
Perbedaan kondisi ideal dengan kondisi eksisting dinilai pengaruhnya terhadap pelestarian fungsi lingkungan hidup yang dalam hal ini adalah i
volume limbah di badan air, ii daya tampung lingkungan keairan penerima air limbah rumah tangga, dan iii retribusi pelayanan jasa penyedotan lumpur tinja
per pelanggan Tabel 38. Tabel 38 Perbandingan kinerja Model Eksisting dan Model Ideal
No Unsur yang dinilai
Satuan Model
Eksisting Model Ideal
Perbedaan Keterangan
1 2
3 4
5 6
7
1 Limbah di Badan Air
m
3
2 414 409 51 800
-2362609 Berkurang
2 Daya Tampung
lingkungan kota Kghari
-1 518 449 60715
+1457734 Meningkat
3 Indeks Daya Tampung
Lingkungan Kota Tanpa
Satuan 0.58
17.41 +16.83
Meningkat 4
Retribusi per pelanggan
Rpbulan 10 035
1 763 -8 322
Menurun Catatan: Cakupan Pelayanan 80, Effisiensi pengankutan lumpur tinja 100, Kapasitas IPLT 150
m3hari, Daerah pelayanan 6 kota kecamatan, Efisiensi pengolahan sistem setempat on-site 97.5 dan Konsumsi air rumah tangga 200 literoranghari
Dengan menggunakan model ideal maka volume limbah di badan air dapat diturunkan sehingga daya tampung lingkungan kota dapat ditngkatkan,
140 sedangkan retribusi per pelanggan dapat diturunkan. Hal ini mengindikasikan
bahwa perbaikan sistem dapat meningkatkan kualitas lingkungan kota atau meningkatkan pelestarian lingkungan kota.
5.3.7.2 Dampak Peningkatan Cakupan Pelayanan
Simulasi untuk mengkaji dampak peningkatan cakupan pelayanan atau akses penduduk ke fasilitas sanitasi menggunakan 4 empat skenario simulasi
yaitu i pelayanan tetap 20, ii peningkatan pelayanan dari 20 menjadi 35 rata-rata daerah pelayanan IPLT, iii peningkatan dari 35 menjadi 50 rata
rata kabupaten Bandung, dan iv peningkatan dari 50 menjadi 60 rata rata nasional dan MDG 2015. Hasil simulasi peningkatan cakupan pelayanan
disajikan pada Gambar 30.
Gambar 30 Dampak Peningkatan Cakupan Pelayanan Tampak pada gambar tersebut bahwa beban cemaran air limbah di badan
air cenderung menurun sejalan dengan peningkatan cakupan pelayanan. Penurunan beban cemaran air limbah tersebut juga sejalan dengan peningkatan
Gra fik Pe rila k u Da ya T a m pung Lingk unga n K ot a Dt l-K ot a
Tahun
Flow Kgi dan Level kg Dtl_Kota
1 Q_Dtl_IPLT
2 V_KOB_Kota
3 Q_KOB_Kota
4 2,000 2,005 2,010 2,015
-1,500,000 -1,000,000
-500,000 500,000
1 2 3 4 1 2 3 4
1 2
3 4
1 2
3
Grafik Perilaku Daya Tampung Lingkungan Kota Dtl-Kota
Tahun
Flow Kgi dan Level kg Dtl_Kota
1 Q_Dtl_IPLT
2 V_KOB_Kota
3 Q_KOB_Kota
4 2,000 2,005 2,010 2,015
-1,000,000 -500,000
500,000 1 2 3 4 1 2
3 4 1
2 3
4
1 3
Gra fik Pe rila k u Da ya T a m pung Lingk unga n K ot a Dt l-K ot a
Tahun
Flow Kgi dan Level kg Dtl_Kota
1 Q_Dtl_IPLT
2 V_KOB_Kota
3 Q_KOB_Kota
4 2,000 2,005 2,010 2,015
-1,000,000 -500,000
500,000 1 2 3 4 1 2
3 4 1
2 3
4
1 3
Grafik Perilaku Daya Tampung Lingkungan Kota Dtl-Kota
Tahun
Flow Kgi dan Level kg Dtl_Kota
1 Q_Dtl_IPLT
2 V_KOB_Kota
3 Q_KOB_Kota
4 2,000
2,005 2,010
2,015 -500,000
-250,000 250,000
500,000
1 2 3 41 2 3 4 1
2 3
4
1 2
20 35
50 60
Cemaran 279 208
Daya Tampung 13,6 Cemaran 210 880
Daya Tampung 19,7
Cemaran 142 551 Cemaran 96 999
Daya Tampung 28,8 Daya Tampung 37,9
141 daya tampung lingkungan kota. Selain itu, sebagaimana tertera pada Tabel 39,
retribusi per pelanggan yang diperlukan untuk mengurangi kebutuhan biaya operasional juga menurun sejalan dengan peningkatan cakupan pelayanan.
Tabel 39. Hasil Simulasi Peningkatan Cakupan Pelayanan
Cakupan Pelayanan No
Unsur yang dinilai Satuan
20 35
50 60
1 2
3 4
5 6
7
1 Limbah di Badan Air
m 2 414 409
1 848 718 1 283 066
905 952 2
Daya Tampung Lingkungan Kota
Kghari -1 518 496
-1 152 994 - 787 492
-543 824 3
Indeks Daya Tampung Lingkungan kota
Tanpa satuan
13.6 19.7
28.8 37.9
4 Retribusi per pelanggan
Rupiah 10 005
5 764 4 051
3 385
5.3.7.3 Dampak Peningkatan Efisiensi Pengangkutan Lumpur Tinja
Simulasi untuk mengkaji dampak peningkatan effisiensi pengangkutan lumpur tinja menggunakan 4 empat skenario yaitu i efisiensi 40, ii
efisiensi 60, iii efisiensi 80 dan iv efisiensi 100. Hasil simulasi peningkatan efisiensi pengangkutan lumpur tinja disajikan pada Tabel 40 dan
Gambar 31. Tabel 40. Hasil Simulasi Peningkatan Efisiensi Angkutan Tinja
Efisiensi Angkutan Tinja No
Unsur yang dinilai Satuan
40 60
80 100
1 2
3 4
5 6
7
1 Limbah di Badan Air
m3 1 848 738
1 848 036 1 847 453
1 846 736 2
Lumpur Tinja di Lingkungan
M3 219.19
339.43 465.64
583.09 3
Daya Tampung Lingkungan Kota
Kghari -1 152 994
-1 157 127 -1 162 305
-1 166 198 4
Indeks Daya Tampung Lingkungan Kota
Tanpa satuan
24.86 24.95
25.06 25.14
5 Retribusi per pelanggan
Rupiah 5 746
8 047 9 926
12 324 Catatan: Cakupan Pelayanan pada simulasi ini adalah 35, dan IPLT belum ditingkatkan
kapasitasnya
Sebagaimana tertera pada Tabel 40 dan Gambar 31 tersebut peningkatan efisiensi pengangkutan lumpur tinja berdampak pada peningkatan retribusi per
pelanggan dari Rp 5 746 efisiensi 40 menjadi Rp 12 324 efisiensi 100 atau peningkatan Rp 109.63 untuk setiap persen peningkatan efisiensi pengangkutan
lumpur tinja. Namun, sebagaimana tertera pada Tabel 40, peningkatan efisiensi
142 pengangkutan lumpur tinja telah bedampak pada peningkatan volume lumpur
tinja di lingkungan.
Gambar 31 Dampak Peningkatan Efisiensi Pengangkutan Lumpur Tinja Hal tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan efisiensi pengangkutan lumpur
perlu disertasi dengan peningkatan kapasitas Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja IPLT. Walaupun demikian, peningkatan lumpur tinja dilingkungan, relatif
belum berpengaruh pada volume limbah di badan air, demikian pula terhadap daya tampung lingkungan kota.
5.3.7.4 Dampak Peningkatan Kapasitas IPLT
Simulasi untuk mengkaji dampak peningkatan kapasitas IPLT terdiri dari 4 empat skenario yaitu i kapasitas tetap sebesar 25 m3hari, ii kapasitas 50
m3hari, iii kapasitas 100 m3hari dan iv kapasitas 150 m3hari. Sebagaimana tertera pada Tabel 41 peningkatan kapasitas IPLT dari 25
m3hari menjadi 150 m3hari berdampak positif pada peningkatan daya tampung lingkungan yaitu sebesar 0.04 skala indeks per peningkatan satu paket IPLT.
Gra fik Pe rila k u Re t ribusi J a sa Pe nye dot a n Lum pur T inja
Tahun
Retribusi RpKKbln Vs Pelanggan KK
Q_Ret 1
Plgn 2
Retribusi 3
2,000 2,005
2,010 2,015
5,000 10,000
15,000
1 2
3 1
2 3
1 2
3 1
2 3
Gra fik Pe rila k u Re t ribusi J a sa Pe nye dot a n Lum pur T inja
Tahun
Retribusi RpKKbln Vs Pelanggan KK
Q_Ret 1
Plgn 2
Retribusi 3
2,000 2,005
2,010 2,015
5,000 10,000
15,000
1 2
3 1
2 3
1 2
3 1
2
3
Gra fik Pe rila k u Re t ribusi J a sa Pe nye dot a n Lum pur T inja
Tahun
Retribusi RpKKbln Vs Pelanggan KK
Q_Ret 1
Plgn 2
Retribusi 3
2,000 2,005
2,010 2,015
5,000 10,000
15,000
1 2
3 1
2 3
1 2
3 1
2
3
Gra fik Pe rila k u Re t ribusi J a sa Pe nye dot a n Lum pur T inja
Tahun
Retribusi RpKKbln Vs Pelanggan KK
Q_Ret 1
Plgn 2
Retribusi 3
2,000 2,005
2,010 2,015
5,000 10,000
15,000
1 2
3 1
2 3
1 2
3 1
2 3
40 60
80 100
Pelanggan 16 879
Retribusi 5 746 Pelanggan 16 915
Retribusi 8 047
Pelanggan 16 945
Retribusi 9 926 Pelanggan 16 984
Retribusi 12 384
143 Tabel 41. Hasil Simulasi Peningkatan Kapasitas IPLT
Kapasitas IPLT m3hari No
Unsur yang dinilai Satuan
25 50
100 150
1 2
3 4
5 6
7
1 Limbah di Badan Air
m3 1 846 736
1 846 377 1 845 880
1 845 641 2
Lumpur Tinja di Lingkungan M3
583.09 561.20
511.16 464.56
3 Daya Tampung Lingkungan Kota
Kghari -1 166 138
-1 162 865 -1 157 391
-1 153 901 4
Indeks Daya Tampung Lngkungan Tanpa
satuan 24.87
24.94 25.06
25.13 5
Retribusi per pelanggan Rupiah
12 234 13 657
16 128 17 956
Catatan: Cakupan pelayanan pada simulasi ini adalah 35 dengan Efisiensi pengangkutan Lumpur tinja sebesar 100.
Selain itu, sebagaimana tampak pada Gambar 32 peninkatan kapasitas IPLT dapat memperpanjang pelayanan pengolahan lumpur tinja sampai sekitar
tahun 2008. Oleh karena itu, sesudah tahun 2008 kapasitas IPLT perlu diperbesar lagi untukmengantisipasi peningkatan jumlah penduduk yang dilayani sejalan
dengan perluasan daerah pelayanan.
Gambar 32 Dampak Peningkatan Kapasitas IPLT
Gra fik Pe rila k u Lum pur T inja Diola h LT -OL
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LT_OL
1 Q_LT_OL
2 2,000
2,005 2,010
2,015 10
20 30
1 2
1
2 1
2 1
2
Gra fik Pe rila k u Lum pur T inja Diola h LT -OL
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LT_OL
1 Q_LT_OL
2 2,000
2,005 2,010
2,015 10
20 30
40 50
1 2
1
2 1
2 1
2
Gra fik Pe rila k u Lum pur T inja Diola h LT -OL
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LT_OL
1 Q_LT_OL
2 2,000
2,005 2,010
2,015 50
100 150
1 2 1
2 1
2 1
2
Gra fik Pe rila k u Lum pur T inja Diola h LT -OL
Tahun
Flow m3hari dan Level m3 V_LT_OL
1 Q_LT_OL
2 2,000
2,005 2,010
2,015 50
100
1 2
1 2
1
2 1
2
4 x 25 m3hari 6 x 25 m3hari
2 x 25 m3hari 1 x 25 m3hari
144
5.3.7.5 Dampak Peningkatan Efisiensi Sistem Setempat On-site
Simulasi untuk mengkaji dampak peningkatan efisiensi sistem setempat on-site menggunakan 4 empat skenario yaitu i efisiensi tetap sebesar 30,
ii efisiensi 60, iii efisiensi 75 dan iv efisiensi 97,5. Pada simulasi ini, menggunakan cakupan pelayanan 35, efisiensi pengangkutan lumpur tinja
100 dan kapasitas IPLT sebesar 150 m3hari. Hasil simulasi peningkatan efisiensi sistem setempat disajikan pada Gambar 33.
Gambar 33 Dampak Peningkatan Efisiensi Sistem Setempat On-site Peningkatan efisiensi pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan
perbaikan teknologi pengolahan misalnya penambahan multi sekat pada tangki septik atau penambahan unit pengolah baru misalnya lahan basah terkonstruksi
atau buatan constructed wetland atau bidang resapan yang ditanami tumbuh tumbuhan vegetated leachfill. Alternatif lainnya adalah memanfaatkan rawa-
Gra fik Pe rila k u Da ya T a m pung Lingk unga n K ot a Dt l-K ot a
Tahun
Flow Kgi dan Level kg Dtl_Kota
1 Q_Dtl_IPLT
2 V_KOB_Kota
3 Q_KOB_Kota
4 2,000 2,005 2,010 2,015
-200,000 -100,000
100,000 1 2 3 4 1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3
Gra fik Pe rila k u Da ya T a m pung Lingk unga n K ot a Dt l-K ot a
Tahun
Flow Kgi dan Level kg Dtl_Kota
1 Q_Dtl_IPLT
2 V_KOB_Kota
3 Q_KOB_Kota
4 2,000
2,005 2,010
2,015 20,000
40,000 60,000
1 2 3 4
1 2
3 4
1 2
3
4 1
2 3
4
Gra fik Pe rila k u Da ya T a m pung Lingk unga n K ot a Dt l-K ot a
Tahun
Flow Kgi dan Level kg Dtl_Kota
1 Q_Dtl_IPLT
2 V_KOB_Kota
3 Q_KOB_Kota
4 2,000
2,005 2,010
2,015 50,000
100,000 150,000
1 2 3 4 1
2 3 4
1 2
3 4
1
2 4
Gra fik Pe rila k u Da ya T a m pung Lingk unga n K ot a Dt l-K ot a
Tahun
Flow Kgi dan Level kg Dtl_Kota
1 Q_Dtl_IPLT
2 V_KOB_Kota
3 Q_KOB_Kota
4 2,000
2,005 2,010 2,015
50,000 100,000
150,000 200,000
1 2 3 4 1
2 3 4 1
2 3 4 1
2 3
60 75
97.5 90