Modal Sosial Terikat Bonding Social Capital

masyarakat yang dalam sejarahnya telah menguasai dan mengelola hutan jauh sebelum masuknya perusahaan ke wilayah mereka dan kemudian berkeinginan untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan maka terlebih dahulu harus memohon izin kepada „pemilik’ barunya – perusahaan. P erilaku seperti ini telah memicu terjadinya konflik antar masyarakat dengan perusahaan. K onflik di sektor kehutanan antara warga tempatan dan perusahaan akhir-akhir ini semakin tinggi di Riau, termasuk juga di Semenanjung Kampar. Kedua belah pihak merasa memiliki dasar klaim atas kepemilikan atau pengusahaan tanah yang mereka sengketakan. Analisis Scale Up menyimpulkan konflik dipicu oleh ketidakjelasan hak antara klaim tradisional masyarakat lokaltempatanadat berupa tanah adatulayatturun-temurun dengan kawasan yang menjadi domain Negara baik berupa kawasan hutan berupa hutan produksi, lindung, konservasi maupun non hutan yang diperuntukkan bagi pengembangan sektor perkebunan yang rata-rata dipercayakan hak kelolanya kepada swasta, termasuk juga disebabkan oleh adanya proses pembatasan akses masyarakat akibat ditetapkannya kawasan menjadi kawasan lindung maupun konservasi yang tanpa melalui pertimbangan keberlangsungan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan masyarakat sekitarnya. Kondisi inilah yang kemudian memicu terjadi konflik tumpang tindih klaim hak yang akhirnya banyak berujung pada kekerasan dan berkepanjangan secara terus- menerus. Scale Up 2009 dalam laporan tahunannya mengidentifikasi gejala pergeseran eskalasi konflik. Khusus di sektor kehutanan konflik didominasi antara perusahaan Hutan Tanaman Industri HTI dengan masyarakat yaitu sebesar 62,9; konflik di kawasan konservasi 33,3; konflik antar perusahaan 3,4 dan konflik antar masyarakat 0,4. Dari dua industri raksasa Hutan Tanaman Industri yang ada di Riau konflik terbanyak terjadi pada Group APRIL yang merupakan induk dari PT.RAPP dan mitranya yaitu sebesar 88 dari total konflik pada HTI, sedangkan Group APP yang membawahi PT Arara Abadi dan mitranya sebesar 12. Adanya kasus di beberapa desa di Semenanung Kampar menjadikan isu akses dan kontrol masyarakat diangkat oleh beberapa LSM di Riau. Dengan adanya perusahaan-perusahaan HPH, HTI atau perkebunan, akses masyarakat ke daerah yang sebelumnya merupakan lahan sumber penghidupan mereka menjadi terbatasi. Dalam beberapa kasus, akses masyarakat bahkan ditutup sama sekali. Praktek penistaan seperti ini telah mendorong sustainable subsidize dari rakyat terhadap perusahaankorporasi dan mendorong perluasan konsesi jauh menembus hutan alam dan hutan adat serta penyitaan lebih lanjut tanah-tanah rakyat. Isu akses masyarakat menjadi suatu fokus yang penting karena banyak fakta yang mengarah pada tidak terperhatikannya kepentingan masyarakat dalam pengelolaan lahan dan sumberdaya alam lain di wilayah yang dulunya adalah lahan penghidupan masyarakat. Rendahnya akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi seolah menjadi pembenar praktek pengelolaan sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa mengakomodir praktek kearifan masyarakat. LSM-LSM melihat sudah terlalu banyak konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan dan selalu masyarakat yang dikalahkan. Masyarakat harus menanggung permasalahan tersebut. Mereka harus menjadi pihak yang paling banyak menanggung kerugian dan bencana, padahal paling sedikit menerima keuntungan. Dalam kasus konflik antara PT RAPP dengan masyarakat Teluk Meranti, LSM lingkungan di Riau menilai tindakan PT RAPP merupakan tindakan pelanggaran ham hak azasi manusia, karena: Menguasai lahan masyarakat tanpa persetujuanizin. Menyebabkan ancaman yang serius bagi keberlanjutan sumber penghidupan masyarakat. Menyebabkan generasi masa depan masyarakat Teluk Meranti terancam tidak memiliki cadangan lahan perluasan untuk perkebunan, tanaman pangan, sumber kayu, non kayu, ikan dan lain-lain. Berangkat dari rasa ketidakadilan inilah maka LSM di Riau mendorong agar ada pengakuan hak masyarakat untuk mengakses dan mengontrol pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya alam harus memberikan penghormatan terhadap praktek-praktek kearifan masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan berkenaan dengan hal-hal yang akan membawa dampak pada hak-hak mereka. Selama ini kawasan hutan di Semenanjung Kampar memegang peranan penting bagi masyarakat khususnya sebagai kawasan kelola sosial. Masyarakat masih melakukan aktifitas perburuan, pemungutan hasil hutan non kayu, penangkapan ikan dan perladangan di dalam dan sekitar hutan. Perubahan lanskap hutan menjadi peruntukkan lain akan memberikan dampak berupa hilangnya kawasan kelola sosial masyarakat tempatan. Sayangnya skema pembangunan kehutanan termasuk konservasi selama ini terkesan dipaksakan kepada masyarakat tanpa proses konsultasi, partisipasi atau perundingan. Tidak adanya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman industri di wilayah Semenanjung Kampar telah melukai rasa keadilan bagi masyarakat. Meski relatif baru, FPIC harusnya mulai dilihat sebagai hal penting bagi masyarakat dalam berhubungan dengan pihak selain negara yang ingin mengontrol, atau mendapatkan akses, terhadap tanah dan sumber daya alam mereka, baik atas nama pembangunan maupun konservasi. Penghormatan terhadap hak-hak masyarakat atas FPIC dapat menjadi alat penting dalam mencapai kelestarian sosial dan lingkungan. Dengan menghormati hak masyarakat, dan khususnya hak atas FPIC, suatu badan konservasi atau perusahaan hanya akan hadir di wilayah masyarakat bila telah ada saling sepakat tentang cara-cara pengelolaan wilayah itu yang didasarkan atas pengakuan atas hak masyarakat untuk memiliki dan memegang kontrol atas tanah dan wilayah tersebut. FPIC berarti bahwa komunitas atau masyarakat seharusnya diwakili oleh lembaga-lembaga yang mereka pilih sendiri. Sebagai sebuah proses, FPIC memungkinkan masyarakat menjalankan hak-hak fundamentalnya untuk menyatakan apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan dilaksanakan di ruang kehidupan masyarakat dan berpotensi berdampak kepada tanah, kawasan, sumberdaya dan perikehidupan masyarakat. FPIC memiliki empat elemen yaitu free, prior, informed dan consent. Elemen free, bermakna bahwa masyarakat memberikan persetujuan atau memutuskan untuk tidak menyetujui sebuah rencana aktivitas, proyek atau kebijakan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Masyarakat bebas dari tekanan, ancaman untuk berpendapat; masyarakat tidak