Analisis Pemangku Kepentingan Stakeholders Analysis

dengan mengikuti pembelajaran yang berkelanjutan dan terstruktur yang dapat membantu dalam mengadaptasi pendekatan pengelolaan mereka. 2.4.4 Beberapa KonsepTeori untuk Mengembangkan Kolaborasi 2.4.4.1 Konsep Partisipasi Sebagian ahli mendefinisikan partisipasi sebagai keikutsertaan masyarakat, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan terbentuk sebagai akibat dari terjalinnya interaksi sosial antar individu atau kelompok masyarakat yang lain Wardoyo et al. 2000. Mubyarto 1984 mengartikan partisipasi sebagai suatu bentuk kesediaan membantu berhasilnya setiap kegiatan, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap individu tanpa mengorbankan diri sendiri. Lebih jauh, Slamet 2003 memaknai partisipasi masyarakat sebagai wujud keikutsertaan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Jadi, bukan hanya menyumbangkan input ke dalam pembangunan, namun lebih jauh ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Oakley 1991 menjelaskan bahwa partisipasi sebagai fasilitas atau perbaikan sistem atau sebagai suatu proses yang dimaksudkan untuk memberi penguatan pada kemampuan masyarakat desa agar mereka berinisiatif terlibat secara langsung dalam pembangunan. Cernea 1985 menekankan bahwa partisipasi berimplikasi pada pemberdayaan masyarakat lokal untuk menggerakkan kemampuan mereka sebagai aktor-aktor sosial dan bukan sebagai subjek yang pasif, pengelola sumber daya, pembuat keputusan dan mengontrol aktivitas yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kemudian Borrini-Feyerabend 1996 mengemukakan bahwa partisipasi yang efektif di dalam pengelolaan sumber daya alam dapat dipandang sebagai suatu kondisi yang dengan kondisi tersebut kearifan lokal, keterampilan, dan sumber daya lainnya dimobilisasi dan dimanfaatkan secara totalitas. Untuk mencapai partisipasi dalam pengembangan kapasitas, maka pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi prioritas. Partisipasi dapat didefinisikan sebagai proses dimana para pemilik kepentingan stakeholder mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumberdaya yang berdampak pada mereka Bank Dunia 1995 dalam Gaventa et al. 2001. Partisipasi juga dapat dinyatakan sebagai suatu upaya terorganisasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumberdaya dan lembaga pengatur dalam keadaan sosial tertentu oleh pelbagai kelompok dan gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan dari fungsi pengawasan semacam itu Stiefel dan Wolfe dalam Gaventa et al. 2001. Ada tiga teori yang digunakan dalam menganalisis partisipasi yaitu democratic theory, social mobilization theory and social exchange theory Howell et al. 1987. Dibangun pada abad ke-18 oleh para filusuf yang mendalami masalah politik. Asumsi dasar dari democratic theory menyebutkan bahwa semua anggota komunitas harus memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan keprihatinan mereka terhadap isu publik yang berdampak terhadap mereka. Untuk mendapatkan hak tersebut mereka harus terlibat dan kesempatan untuk terlibat harus disediakan oleh pihak otoritas Pateman 1970 dalam Howell et al. 1987. Asumsi dasar dari teori partisipasi publik ke-2, social mobilization theory, ialah masyarakat yang terlibat dalam organisasi atau aktivitas kemasyarakatan cenderung lebih memiliki informasi atau kepedulian terhadap permasalahan publik Olsen 1982 dalam Howell et al. 1987. Teori ini menyarankan bahwa suatu program pembangunan akan mendapat dukungan dari masyarakat jika melibatkan organisasi masyarakat yang sudah ada. Teori partisipasi publik yang terakhir, social exchange theory, menyebutkan bahwa masyarakat biasanya terlibat dalam aktivitas sosial untuk mendapatkan manfaat Homans 1961 Blau 1964 dalam Howell et al. 1987. Argumen ini dibuat dengan asumsi jika suatu kegiatan tidak memberikan manfaat yang jelas maka masyarakat sangat kecil kemungkinannya untuk berpartisipasi, kecuali adanya pengaruh loyalitas atau kepedulian terhadap persoalan publik Howell et al. 1987. Teori ini menyaran tiga faktor penting yang perlu ditetapkan atau dibangun untuk memulai partisipasi. Ketiga faktor ini ialah meminimisasi ongkos, memaksimalkan penghargaan, dan membangun rasa sailing percaya antara para pihak yang terlibat Howell et al. 1987.

2.4.4.2 Konsep Negosiasi

Pendekatan negoisasi dalam co-management adalah kata kunci untuk mencapai kesepakatan. Sebagaimana yang ditunjukkan sebelumnya, Borrini- Feyerabend et al. 2000 mendefinisikan co-management sebagai suatu situasi dimana dua atau lebih stakeholder bernegosiasi, menetapkan dan menjamin diantara mereka sendiri suatu pembagian yang adil mengenai fungsi manajemen, kepemilikan dan tanggung jawab untuk suatu teritori tertentu, wilayah atau seperangkat sumber daya alam. Leeuwis 2000 menjelaskan bahwa proses negosiasi merupakan suatu strategi untuk penyelesaian konflik. Lebih jauh lagi Leeuwis 2000 membagi proses negosiasi kedalam dua kategori. Pertama, distributif: berbagai stakeholders berpegang pada persepsi dan posisi mereka sendiri, dan pada dasarnya menggunakan negosiasi untuk membagi sumber daya, keuntungan salah satu pihak merupakan kerugian bagi pihak lain. Kedua, integratif: stakeholder mengembangkan suatu definisi dan persepsi masalah yang baru dan sering kali lebih luas yang berubah berdasarkan proses pembelajaran kolektif yang kreatif dan berujung pada win-win solution atau pemecahan yang menguntungkan semua pihak. Menurut Fisher 1995 ada tiga hal yang harus dipenuhi sebelum negosiasi dapat dilaksanakan yakni: 1 keragaman kepentingan: konflik kepentingan kemungkinan timbul dimana saja ketika masyarakat berjuang untuk perubahan yang berarti; 2 saling ketergantungan: stakeholder harus merasa saling bergantung satu dengan lainnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Suatu pendekatan negosiasi menjadi mustahil jika stakeholder kunci tidak percaya kalau mereka saling membutuhkan dalam rangka pencapaian kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak; 3 kemampuan komunikasi: stakeholder yang terkait harus mampu berkomunikasi satu dengan lainnya.

2.4.4.3 Konsep Property Right

Bromley 1991 mendefinisikan hak properti sebagai kapasitas untuk menyatakan kolektifitas yang mendukung klaim seseorang akan suatu manfaat. Konsep properti sejauh ini hanya didefinisikan dalam istilah ekonomi yang terkait dengan kondisi yang diperlukan untuk berfungsinya pasar secara efisien seperti objek fisik yaitu tempat tinggal, lahan atau properti lainnya. Terkait dengan konsep ini, properti bukan suatu obyek, tetapi suatu hubungan sosial yang membatasi hak-hak pemilik properti yang terkait dengan keuntungan. Sebagai hubungan sosial, properti akan menghubungkan antara orang yang satu dengan lainnya yang terkait dengan lahan dan sumber daya lainnya. Oleh karena itu, hubungan properti adalah pengaturan kontrak yang terkonstruksi secara sosial diantara sekelompok orang yang terkait dengan nilai obyek dan lingkungan mereka Bromley 1998. Agrawal dan Ostrom 1999 menggambarkan hak properti sebagai otoritas yang dapat dilaksanakan untuk mengambil aksi tertentu pada domain spesifik, dengan demikian hak properti dapat dianggap sebagai institusi atau peraturan institusi untuk membuat individu-individu menginternalisasi eksternalitas produksi mereka atau membangun dan memfasilitasi penggunaan dan pertukaran sumber daya dan komoditas dalam suatu masyarakat. Salah satu posisi teoritis mengenai hak properti adalah kalau mereka mengembangkan untuk internalisasi- ekternalitas ketika perolehan internalisasi menjadi lebih besar daripada biaya internalisasi Baland dan Platteau 1996. Institusi seperti itu berguna untuk meregulasi interaksi perilaku dan sosial terkait dengan obyek yang memiliki nilai, karena institusi ini adalah suatu bentuk hambatan dan perizinan yang memberi kemampuan kepada individu untuk mengaplikasikannya dalam situasi ketika nilai obyek tertentu adalah jarang, diskriminasi yang konsisten, dapat diprediksi dan diterima secara sosial Challen 2000. Demsetz 1967 menyatakan bahwa fungsi utama hak properti adalah memandu insentif dalam rangka menyadari internalisasi-eksternalisasi yang lebih besar. Terkait dengan sumber daya alam, hak properti memainkan peranan dalam menentukan pola kesamaan dan ketidaksamaan akses, dan juga kreasi insentif untuk keseluruhan manajemen dan perbaikan yang berkelanjutan. Meinzen-Dick dan Knox 1999 membuat ringkasan mengenai pentingnya hak properti sebagai berikut: ketetapan insentif untuk manajemen, menyediakan otorisasi yang diperlukan dan mengontrol sumber daya, dan memperkuat aksi kolektif. Agrawal dan Ostrom 1999 menyatakan ada lima macam hak propeti yang relevan terhadap eksploitasi sumber daya alam: 1 hak akses terhadap sumber daya, 2 hak mengeluarkan atau memperoleh produk sumber daya, 3 hak untuk mengelola sumber daya, 4 hak untuk pengecualian terhadap yang lain, dan 5 hak untuk mengalihkan hak kepada orang lain. Eggertsson 1990 juga