realitas faktual. Pembangunan kehutanan yang secara konseptual ditujukan untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik memang dapat dicapai, namun
pencapaian tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Secara ekonomis, meskipun pertumbuhan ekonomi yang tercermin
dari peningkatan investasi dan penerimaan devisa mengalami peningkatan pesat, namun dalam proses redistribusinya ternyata justru hanya dinikmati sebagian kecil
kalangan. Sementara mayoritas masyarakat yang berada pada posisi hirerarki menengah ke bawah tidak memperoleh manfaat sepadan. Padahal bagi masyarakat
tertentu yang selama ini tinggal di dalam dan sekitar hutan umumnya mereka mempunyai hubungan emosional dengan hutan, terlebih lagi hutan sudah menjadi
bagian dari kehidupan bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga sosial budaya masyarakat secara kolektif.
5.2.5.2 Keberagaman Kepedulian Para Pihak
Berbagai diskusi, pemberitaan dan hasil penelitian menunjukkan bahwa persoalan gambut sudah mulai gencar dibicarakan orang lebih dari satu dekade
terakhir. Meningkatnya perhatian terhadap gambut terjadi ketika dunia mulai menyadari bahwa sumberdaya alam ini tidak hanya sekedar berfungsi sebagai
pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budi daya, dan sumber energi; tetapi juga memiliki peran yang lebih besar sebagai
pengendali perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia.
Jauh sebelum itu, konvensi internasional tentang lahan basah yang disepakati di Ramsar Iran pada tahun 1971 merupakan awal kepedulian
masyarakat secara internasional terhadap fungsi dan manfaat lahan basah. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia menunjukkan komitmennya pada
pelestarian lahan basah dengan meratifikasi konvensi tersebut melalui Kepres No. 48 tahun 1991 tanggal 19 Oktober 1991. Sebagai bagian dari ratifikasi tersebut
Indonesia kemudian menetapkan Taman Nasional Berbak dan Taman Nasional Danau Sentarum sebagai Situs Ramsar, membentuk Komite Nasional Pengelolaan
Ekosistem Lahan Basah pada tahun 1994, dan menyusun dokumen strategi nasional ”The National Strategy and Action Plan for Wetlands Management” pada
tahun 1996. Selanjutnya, karena Strategi Nasional tahun 1996 dianggap tidak
lengkap dan memerlukan revisi untuk menghasilkan sebuah strategi baru yang sesuai dengan pola pengelolaan sumberdaya alam nasional terkini dan mencakup
isu baru yang tengah berkembang, maka disusun Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Basah Indonesia pada tahun 2004. Strategi tersebut kemudian
diikuti dengan penyusunan Strategi dan Rencana Tindak Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan pada tahun 2006.
Terlepas dari ramainya pembicaraan tentang gambut dan kepedulian masyarakat internasional terhadap fungsi dan manfaat lahan basah, situasi di
lapangan menunjukkan adanya keberagaman kepedulian para pihak terhadap pengelolaan Semenanjung Kampar. Situasi ini sebetulnya sangat realistis
mengingat banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap SDA Semenanjung Kampar. Keragaman pemangku kepentingan inilah yang melahirkan keragaman
perspektif jangka waktu, juga sekaligus mencerminkan keragaman persepsi terhadap pengelolaan sumber daya alam Semenanjung Kampar itu sendiri.
Pada satu sisi, keberagaman persepsi ini dapat dipahami sebagai hal yang lumrah. Di sisi lain, keberagaman ini memunculkan persoalan baru dalam
pengelolaan. Keberagaman persepsi disertai dengan perbedaan pemahaman mengenai lahan gambut mempengaruhi kepedulian para pihak. Keberagaman
kepedulian ini secara tidak langsung menghambat upaya untuk mewujudkan pengelolaan Semenanjung Kampar secara berkelanjutan karena berdampak pada
dukungan. Sementara kita tahu bahwa
d
ukungan para pihak adalah hal mutlak dalam pengembangan dan pelaksanaan hukum dan kebijakan pengelolaan lahan
gambut. Sebaliknya, dukungan para pihak hanya dapat diperoleh jika para pihak memahami isu pengelolaan lahan gambut termasuk memahami nilai dan fungsi
lahan gambut itu sendiri. Secara umum, KLH 2004 mengemukakan kegiatan-kegiatan pelatihan
dan peningkatan kepedulian yang dilakukan oleh berbagai kalangan pemerintah, lembaga pendidikan, LSM hingga saat ini belum memadai untuk memotivasi
para pihak dan pemerintah dalam mengelola lahan basah berdasarkan nilai dan fungsinya secara ekologis, sosial, maupun ekonomis. Diperlukan upaya yang lebih
sistematis dan harmonis antara semua institusi agar berhasil menjadikan nilai dan fungsi lahan basah sebagai bagian pertimbangan utama dalam pengelolaan suatu
kawasan oleh masyarakat dan pemerintah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa masih minimnya kepedulian pengambil kebijakan mengenai nilai dan fungsi yang
dimiliki oleh lahan basah menyebabkan alokasi pembiayaan pemerintah untuk pengelolaan lahan basah belum memadai dibandingkan luasan dan kekompleksan
permasalahan lahan basah itu sendiri.
5.2.5.3 Lemahnya Tata Hak Masyarakat Lokal
Seperti halnya wilayah lain di Indonesia, di Semenanjung Kampar pun tidak lepas dari persoalan tata hak masyarakat lokal, baik pengakuan atas akses
maupun kontrol masyarakat. Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Semenanjung Kampar diperkirakan berjumlah 27.000 jiwa TBI 2010a.
Mereka ini tersebar di 26 desa 14 desa berada di Kabupaten Siak dan 12 desa berada di Kabupaten Pelalawan. Beberapa desa dan pemukiman berbatasan
langsung dengan kawasan hutan Semenanjung Kampar. Beberapa desa lainnya walaupun tidak secara fisik pemukimannya berbatasan langsung dengan hutan
Semenanjung Kampar, namun aktivitas masyarakatnya secara intensif melakukan kegiatan bercocok tanam atau mengambil hasil hutan dari Semenanjung Kampar.
Kawasan Semenanjung Kampar merupakan sumber ekonomi untuk bertani. Tasik danau dan sungainya merupakan sumber mata pencaharian
nelayan, sumber air minum, sumber air bersih, mandi, cuci dan kebutuhan sehari- hari. Selain itu masyarakat yang berada di Kecamatan Meranti dan Kecamatan
Kuala Kampar juga memanfaatkan hasil hutan non kayu damar, rotan dan madu sialang; obat-obat tradisional; areal berburu bagi masyarakat suku akit; dan
sebagai sumber bahan papanperumahan JIKALAHARI 2009, 2010. Dalam wawancara dengan beberapa aktivis LSM di Riau, mereka
memandang walaupun masyarakat tidak memiliki sertifikat tanah secara tertulis namun masyarakat asli memahami bentuk tradisional pengelolaan yang
diwariskan secara turun temurun. Sayangnya tidak ada bentuk pengakuan yang tegas yang diberikan pemerintah terhadap praktek-praktek kearifan tradisional
masyarakat, tidak seperti pengakuan hak yang diberikan kepada korporasi yang dituangkan secara sangat tegas.
Muncul anggapan bahwa pemerintah dengan sengaja menistakan keberadaan masyarakat di sekitar wilayah hutan. Dengan kata lain ketika