Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam
atau lebih pemangku kepentingan yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajagi dan bekerja melalui perbedaan-perbedaan untuk
bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama. Perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas
tuntutan kebutuhan akan pengelolaan sumber daya yang baru, lebih demokratis, lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola
pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian dan membangun kesepahaman, dukungan serta kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama. Komitmen suatu
kelompok untuk berkolaborasi tergantung pada persepsi bahwa kesepakatan diantara pemangku kepentingan akan memberikan hasil yang positif bagi
anggotanya Katherine et al. 2002 dalam Suporahardjo 2005. Empat asumsi dalam manajemen kolaboratif yang dikemukakan Fisher
1995 yaitu: 1 masyarakat memerlukan kontrol lokal yang terus meningkat atas penggunaan sumber daya dan pengambilan keputusan; 2 keterlibatan
stakeholders yang semakin besar akan menghasilkan taraf hidup yang lebih berkesinambungan; 3 pengakuan legitimasi atas keragaman yang berbeda-beda
dan 4 pembangunan dan konservasi tidak selalu bertentangan. Mengacu pada asumsi terakhir, manajemen kolaboratif mengakui nilai-nilai lingkungan dan
kebutuhan untuk menggunakan dan mengelola sumber daya untuk menjamin kesinambungan ekologis. Berkaitan dengan keyakinan ini, masih ada peluang
untuk menemukan cara mencapai tujuan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan hidup.
Tadjudin 2000 merumuskan tujuan-tujuan pengelolaan sumber daya hutan secara kolaboratif sebagai berikut:
1. Menyediakan instrumen-instrumen untuk mengenali pemangku kepentingan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan secara proporsional.
2. Meningkatkan potensi kerja sama antar pemangku kepentingan secara egaliter dengan memperhatikan prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dan prinsip
kelestarian lingkungan. 3. Menciptakan
mekanisme pemberdayaan
masyarakat agar
dapat mengaktualisasikan pengetahuan dan kearifan lokalnya secara baik dan
menyumbangkannya dalam wahana pengelolaan sumber daya hutan sehingga
diperoleh distribusi manfaat dan resiko yang adil antar pemangku kepentingan yang terlibat.
4. Menciptakan mekanisme pembelajaran dialogik untuk memperoleh rumusan tentang bentuk dan pola pengelolaan sumber daya hutan yang lestari.
5. Memperbaiki tindakan-tindakan perlindungan sumber daya hutan melalui mekanisme internalisasi hal-hal eksternal yang mengancam kelestarian sumber
daya hutan yang bersangkutan. 6. Menyediakan sistem pengelolaan yang membuka kesempatan selebar-lebarnya
bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan pengelolaannya.