Lemahnya Tata Hak Masyarakat Lokal
kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar, pengatur tata air hidrologi, habitat untuk keanekaragaman hayati yang unik, suplai bahan
pangan bagi manusia khususnya ikan air tawar dan produk alami lainnya, kayu, produk hutan bukan kayu misalnya rotan dan madu dan sebagainya. Namun
demikian, seringkali peran tersebut terabaikan karena ketidakpaduan bahkan konflik antara kebijakan-kebijakan yang ada saat ini.
Kondisi hutan rawa gambut Semenanjung Kampar seperti hutan dan lahan gambut lainnya di Indonesia saat ini sedang mengalami tekanan yang semakin
berat, terutama oleh kegiatan-kegiatan ekploitasi hutan dan pembukaan lahan secara intensif dan luas, untuk memenuhi keperluan industri misal HTI maupun
bagi peningkatan produksi pangan misal perkebunan sawit. Kegiatan-kegiatan tersebut secara langsung atau tidak langsung berujung kepada degradasi ekosistem
lahan gambut. Degradasi ini ditimbulkan akibat persiapan lahan yang masih menggunakan sistem bakar, dibangunnya paritsaluran untuk sarana drainase,
serta transportasi produk hutan dan non hutan yang menyebabkan air gambut terkuras sehingga gambut menjadi kering dan mudah terbakar atau mengalami
subsiden. WWF 2005 mengidentifikasi berbagai dampak negatif yang diakibatkan
berbagai aktivitas di Semenanjung Kampar, yaitu kebakaran hutan dan lahan, kerusakan ekosistem hutan, pemanasan global, dan penurunan keanekaragaman
hayati. Dengan demikian tutupan hutan alam Semenanjung Kampar dengan kondisi yang jauh lebih baik dibanding kawasan lainnya di Provinsi Riau serta
peranan yang sangat penting bagi masyarakat maupun bagi perlindungan biodiversitas yang terdapat di dalamnya membutuhkan perhatian dari semua pihak
baik pemerintah, swasta, NGO maupun masyarakat untuk penyelamatannya. Kelestarian hutan rawa gambut Semenanjung Kampar seharusnya menjadi
pemahaman umum yang diterima oleh semua kalangan dan harus diwujudkan dalam setiap praktek pengelolaan hutan. Prinsipnya, SDA Semenanjung Kampar
harus mampu memberikan manfaat yang minimal sama, baik manfaat ekonomi, fungsi ekologi maupun sosial kepada publik secara lintas generasi. Karenanya,
setiap bentuk pengelolaan dan pemanfaatan atas SDA yang ada harus senantiasa bertumpu pada prinsip kelestarian fungsinya.
Beberapa upaya telah dan sedang dilakukan oleh para pihak untuk mewujudkan pengelolaan Semenanjung Kampar yang lebih berkelanjutan.
Diantara upaya tersebut adalah: 1 Mendorong peningkatan status Semenanjung Kampar.
Pada tahun 2005, LSM-LSM yang tergabung dalam Jikalahari
mengusulkan kawasan Semenanjung Kampar untuk dijadikan kawasan taman nasional karena Semenanjung Kampar memenuhi kriteria penetapan kawasan
taman nasional. Penunjukan Semenanjung Kampar menjadi taman nasional dinilai sebagai suatu solusi agar kawasan hutan alam yang bernilai penting ini
dapat tetap lestari. Disamping memudahkan pengelolaan karena di kelola di bawah satu unit balai taman nasional secara khusus, meningkatkan jaminan
kelestarian fungsinya, juga menjamin adanya peluang pemerintah daerah dan masyarakat untuk mendapatkan manfaat ekonomi pada zona tertentu sesuai
peraturan yang berlaku. Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Bupati Siak juga telah mengusulkan
perluasan dan perubahan fungsi Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar dan Danau Pulau Bawah menjadi Taman Nasional Zamrud. Secara resmi Bupati
Siak telah mengajukan permohonan tentang usulan tersebut kepada Menteri Kehutanan. Permohonan diajukan sebanyak dua kali melalui surat bernomor
660set10052001 dan nomor 364Dishut2052005 tanggal 9 Juni 2005. Upaya dari Pemerintah Kabupaten Siak mendapat dukungan dari WWF Riau.
WWF bahkan merekomendasikan agar upaya ini diikuti oleh kabupaten lain untuk seluruh kawasan Semenanjung Kampar.
Tahun 2006, WWF mengajukan proposal kepada Menteri Kehutanan untuk penambahan luas kawasan konservasi dari yang sudah ada sebelumnya.
Sesuai dengan lokasi Danau Pulau Besar dan tiga kawasan konservasi lainnya yang merupakan satu kesatuan ekosistem yang meliputi kabupaten lain, maka
akan lebih baik jika seluruh hamparan ini dapat dijadikan kawasan konservasi. Dalam proposalnya, WWF merekomendasikan agar mendukung proposal
Jikalahari untuk menata ulang kawasan hutan rawa gambut Semenanjung Kampar dan beberapa kawasan konservasi yang telah ada sebagai satu taman
nasional baru yaitu Taman Nasional Kuala Kampar seluas 456.696,5 ha.
Namun hingga penelitian ini dilakukan, upaya yang dilakukan oleh Jikalahari, Pemerintah Kabupaten Siak, dan WWF tersebut belum mendapat jawaban dari
Menteri Kehutanan. 2 Mendorong pengelolaan kolaboratif
Ide pengelolaan bersama kolaboratif sudah digagas oleh LSM lingkungan di Riau yang dimotori Jikalahari dan WWF Riau sejak tahun 2005.
Selanjutnya berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan ide besar ini. Diantara upaya awal yang dilakukan adalah:
Workshop pertama para pihak pengelolaan Semenanjung Kampar guna membahas strategi bagi perlindungan semenanjung pada bulan April 2007
yang diselenggarakan oleh Jikalahari dan WWF. Penandatanganan MoU tentang perlindungan Semenanjung Kampar oleh
Jikalahari, Bupati Siak dan Bupati Pelalawan dalam pertemuan UNFCCC 13 di Bali pada bulan Desember 2007.
Workshop kedua tentang Pengelolaan Kampar guna membahas opsi-opsi pengelolaan bersama Semenanjung Kampar pada bulan Agustus 2008
yang diadakan oleh Jikalahari. Workshop ketiga pengelolaan Kampar mengembangkan Rencana Strategis
Pengelolaan Kampar pada bulan Mei 2009. Pembahasan Rencana Strategis Pengelolaan Kampar pada bulan Juni 2009.
Dalam pertemuan ini Jikalahari dan pemegang konsesi di Semenanjung Kampar APP, APRIL, dan perusahaan-perusahaan lainnya setuju untuk
sementara menghentikan konversi hutan hingga Pemerintah mengkaji isu- isu lingkungan.
Dari serangkaian upaya yang dilakukan, terbangun konsep pengelolaan bersama ekosistem hutan rawa gambut Semenanjung Kampar secara terpadu
menggunakan pendekatan multi sektor dan multi-stakeholders. Melalui pengelolaan bersama diharapkan dapat meningkatkan manfaat bagi
masyarakat, pemerintah, swasta, serta para pihak lainnya. Tujuan yang ingin dicapai dari pengelolaan bersama ini adalah:
1. Menjamin perlindungan kawasan hutan rawa gambut Semenanjung Kampar sebagai pusat laboratorium alam dan sebagai pengontrol sistem
hidrologi kawasan. 2. Mengoptimalkan kawasan non hutan untuk fungsi produksi dengan
meningkatkan daya dukung sistem tata air kawasan sehingga diperoleh manfaat sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
3. Menjamin distribusi
manfaat kawasan
secara berkeadilan
dan berkelanjutan yang dikelola oleh badan pengelola.
4. Menjamin keselamatan ruang hidup masyarakat adat termasuk masyarakat tempatan di sekitar kawasan hutan gambut Semenanjung Kamapar dalam
pemenuhan kebutuhan dasar hak sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan untuk membantu upaya konservasi hutan gambut Semenanjung Kampar.
Tahun 2009, setelah tercapai persetujuan antara Jikalahari dan pemegang konsesi di Semenanjung Kampar APP, APRIL, dan perusahaan-perusahaan
lainnya untuk sementara menghentikan konversi hutan hingga Pemerintah mengkaji isu-isu lingkungan, ide pengelolaan bersama ini justru dibenturkan
pada kondisi yang menjadikannya seolah-olah jalan di tempat. Pada tahun yang sama, RAPP mengantongi izin konsesi baru di etate Teluk Meranti dan
Tasik B elat, yang kemudian melahirkan konsep “Kampar Ring”. Perhatian
LSM pun serta merta bergeser dan menyempit ke areal “Kampar Ring” karena
adanya ketidakpercayaan terhadap perusahaan dalam hal ini RAPP yang dinilai terlalu sering menyalahi atau melanggar komitmen yang dibuatnya.
Tahun 2010, ide pengelolaan kolaboratif kembali diangkat oleh TBI. Dalam laporan hasil penilaian menyeluruh Nilai Konservasi Tinggi
Semenanjung Kampar, TBI menyimpulkan bahwa pengelolaan kolaboratif Semenanjung Kampar merupakan keharusan mengingat kawasan tersebut
merupakan kesatuan ekosistem hutan gambut. Atas dasar itu TBI merekomendasikan kepada pemerintah untuk menetapkan kebijakan
pengelolaan Semenanjung Kampar secara kolaboratif dengan opsi kelembagaan membangun Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH Model
Kolaboratif. KPH inilah yang diharapkan akan mengemban mandat khusus pengelolaan
kolaboratif Semenanjung
Kampar. Dukungan
untuk
pembangunan KPH juga disampaikan oleh FORETIKA Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Kehutanan. Pada tahun yang sama, Menteri Kehutanan
menetapkan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP Model Tasik Besar Serkap.
Perkembangan selanjutnya, tepatnya awal 2011, ide pengelolaan bersama kolaborasi kembali dikawal oleh Jikalahari dengan bantuan pendanaan dari
program TFCA Tropical Forest Conservation Act. Dengan bantuan pendanaan TFCA, Nopember 2011 digelar workshop pembentukan
kelembagaan multi pihak Semenanjung Kampar yang melahirkan kesepakatan Forum Multipihak Semenanjung Kampar sebagai nama organisasinya. Forum
Multipihak Semenanjung Kampar merupakan wadah bersama bagi yang berkepentingan untuk melakukan kerjasama sehingga memberikan manfaat
yang berkelanjutan. Posisi forum ini tidak mengambil alih fungsi, melainkan mendukung pengelolaan yang dilakukan oleh KPHP Tasik Besar Serkap.
3 Penerapan Eco-Hydro Buffer EHB
Saat ini PT RAPP merupakan satu-satunya perusahaan kehutanan di Semenanjung Kampar yang dinilai telah menerapkan water management
dengan relatif baik. Perusahaan raksasa ini telah menyusun dan menerapkan suatu konsep yang disebut eco-hydro buffer EHB dalam satu dekade terakhir
untuk menjamin pengaruh minimum terhadap daerah konservasi. Dalam prakteknya, zona EHB dibedakan atas daerah miring slope area dan daerah
datar flat area. Areal miring didefinisikan dimana jarak antar kontur 0,5 m kurang dari 1 : 3.000. Daerah datar adalah jika jarak antar kontur 0,5 m
lebih besar dari 1,5 km 1 : 3.000. Dalam SOP PT RAPP, EHB di areal miring lebarnya dirancang 1.200 m, sedangkan untuk daerah datar 1.600 m.
Secara umum konsep pengelolaan hutan lestari di lahan gambut dengan EHB yang diterapkan PT RAPP dilustrasikan pada Gambar 20. Konsep EHB
pada areal miring digambarkan seperti pada Gambar 21, sedangkan untuk areal datar seperti pada Gambar 22.