Modal Sosial Menjembatani Bridging Social Capital

Selama ini kawasan hutan di Semenanjung Kampar memegang peranan penting bagi masyarakat khususnya sebagai kawasan kelola sosial. Masyarakat masih melakukan aktifitas perburuan, pemungutan hasil hutan non kayu, penangkapan ikan dan perladangan di dalam dan sekitar hutan. Perubahan lanskap hutan menjadi peruntukkan lain akan memberikan dampak berupa hilangnya kawasan kelola sosial masyarakat tempatan. Sayangnya skema pembangunan kehutanan termasuk konservasi selama ini terkesan dipaksakan kepada masyarakat tanpa proses konsultasi, partisipasi atau perundingan. Tidak adanya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman industri di wilayah Semenanjung Kampar telah melukai rasa keadilan bagi masyarakat. Meski relatif baru, FPIC harusnya mulai dilihat sebagai hal penting bagi masyarakat dalam berhubungan dengan pihak selain negara yang ingin mengontrol, atau mendapatkan akses, terhadap tanah dan sumber daya alam mereka, baik atas nama pembangunan maupun konservasi. Penghormatan terhadap hak-hak masyarakat atas FPIC dapat menjadi alat penting dalam mencapai kelestarian sosial dan lingkungan. Dengan menghormati hak masyarakat, dan khususnya hak atas FPIC, suatu badan konservasi atau perusahaan hanya akan hadir di wilayah masyarakat bila telah ada saling sepakat tentang cara-cara pengelolaan wilayah itu yang didasarkan atas pengakuan atas hak masyarakat untuk memiliki dan memegang kontrol atas tanah dan wilayah tersebut. FPIC berarti bahwa komunitas atau masyarakat seharusnya diwakili oleh lembaga-lembaga yang mereka pilih sendiri. Sebagai sebuah proses, FPIC memungkinkan masyarakat menjalankan hak-hak fundamentalnya untuk menyatakan apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan dilaksanakan di ruang kehidupan masyarakat dan berpotensi berdampak kepada tanah, kawasan, sumberdaya dan perikehidupan masyarakat. FPIC memiliki empat elemen yaitu free, prior, informed dan consent. Elemen free, bermakna bahwa masyarakat memberikan persetujuan atau memutuskan untuk tidak menyetujui sebuah rencana aktivitas, proyek atau kebijakan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Masyarakat bebas dari tekanan, ancaman untuk berpendapat; masyarakat tidak dalam tekanan waktu dan tempat untuk bernegosiasi; dan masyarakat juga bebas memilih siapa saja yang harus mewakili mereka. Sementara itu, elemen prior bermakna bahwa perolehan persetujuan itu dilakukan sebelum kebijakan atau kegiatan itu dilakukan. Kendati demikian, dalam keadaan memaksa dapat juga persetujuan masyarakat diperoleh saat kegiatan sedang berlangsung. Terakhir elemen informed bermakna bahwa sebelum proses pemberian persetujuan, masyarakat harus benar-benar mendapat informasi yang utuh dalam bahasa dan bentuk yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Informasi seharusnya disampaikan oleh personel yang memahami konteks budaya setempat dan memasukan aspek pengembangan kapasitas masyarakat lokal. Informasi seharusnya lengkap dan objektif termasuk potensi dampak sosial, politik, budaya dan lingkungan hidup dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai baik keuntungan-keuntungan potensial atau juga resiko-resiko potensial yang akan diterima oleh masyarakat sebelum persetujuan diberikan. 5.3 Kebijakan Pengelolaan 5.3.1 Kebijakan dan kelembagaan Kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan hutan gambut Semenanjung Kampar tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumber daya alam secara umum. Hutan gambut merupakan bagian dari sumber daya alam, dengan demikian kebijakan dan hukumnya pun pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hukum pengelolaan sumber daya alam. Masih sangat sedikit peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pengelolaan hutan gambut. Pada Tabel 16 dapat dilihat beberapa peraturan yang secara langsung ataupun tak langsung terkait dengan isu-isu gambut di dalamnya. Adapun aspek- aspek pengaturan masing-masing peraturan perundang-undangan secara ringkas dideskripsikan pada Lampiran 2. Tabel 10. Peraturan terkait pengelolaan hutan gambut NO. LANDASAN HUKUM PERIHAL Sumber Hukum 1. UU Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 dan ayat 4 Undang-Undang NO. LANDASAN HUKUM PERIHAL 2. UU No. 5 Tahun 1990 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya 3. UU No. 5 Tahun 1994 Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati United Nations Convention on Biological DiversityCBD 4. UU No. 6 Tahun 1994 Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim United Nations Framewok Convention on Climate Change 5. UU No. 41 Tahun 1999 Kehutanan 6. UU No. 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air 7. UU No. 17 Tahun 2004 Ratifikasi Protokol Kyoto 8. UU No. 18 Tahun 2004 Perkebunan 9. UU No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah 10. UU No. 26 Tahun 2007 Penataan Ruang 11. UU No. 32 Tahun 2009 Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah 12. PP No. 27 Tahun 1991 Rawa 13. PP No. 4 Tahun 2001 Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. 14. PP No. 44 Tahun 2004 Perencanaan Hutan 15. PP No. 45 Tahun 2004 Perlindungan Hutan 16. PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan 17. PP No. 38 Tahun 2007 Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota 18. PP No. 26 Tahun 2008 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 19. PP No. 42 Tahun 2008 Pengelolaan Sumber Daya Air 20. PP No. 43 Tahun 2008 Air Tanah 21. PP No. 10 Tahun 2010 Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan 22. PP No. 28 Tahun 2011 Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 23. PP No. 38 Tahun 2011 Sungai 24. PP No. 27 Tahun 2012 Izin Lingkungan 25. PP No. 37 Tahun 2012 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden 26. Keppres No. 32 Tahun 1990 Pengelolaan Kawasan Lindung 27. Inpres No. 10 Tahun 2011 Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Lain-lain 28. SK Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2000 Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah 29. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 Mekanisme Pencegahan Pencemaran danatau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan danatau Lahan 30. PermenLH No. 13 Tahun 2010 Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup 31. PermenLH No. P.9 Tahun 2011 Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis Di luar semua kebijakan di atas, saat ini pemerintah masih menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah RPP Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup pada Ekosistem Gambut. Dalam Bab Ketentuan Umum RPP ini diuraikan mengenai pengertian pengendalian kerusakan ekosistem gambut, pencegahan kerusakan gambut, penanggulangan kerusakan ekosistem gambut, pemulihan kerusakan ekosistem gambut, gambut, ekosistem gambut, kesatuan hidrologis gambut, kesatuan hidrologis gambut lintas provinsi, kesatuan hidrologis gambut lintas kabupatenkota, karakteristik gambut, kubah gambut, kawasan lindung ekosistem gambut, kawasan budidaya gambut, inventarisasi karakteristik gambut, inventarisasi kesatuan hidrologis gambut, pemetaan, penetapan fungsi kawasan gambut, pemanfaatan ekosistem gambut, kerusakan ekosistem gambut, kriteria baku kerusakan ekosistem gambut, dan tabat atau bangunan pengendali air. Secara eksplisit dalam RPP ini disebutkan bahwa RPP ini bertujuan untuk mengendalikan kerusakan lingkungan hidup pada ekosistem gambut agar dapat dimanfaatkan secara lestari sesuai dengan fungsinya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Pasal 2. Pengendalian kerusakan ekosistem gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupatenkota, dan penanggung jawab usaha danatau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawabnya Pasal 3. Adapun lingkup RPP ini meliputi: a penetapan kriteria baku kerusakan ekosistem gambut; dan b pengendalian kerusakan ekosistem gambut Pasal 4. Penetapan kriteria baku kerusakan ekosistem gambut dalam RPP ini dilakukan melalui: a inventarisasi keberadaan ekosistem gambut; b penetapan fungsi ekosistem gambut; dan c penetapan kondisi kawasan ekosistem gambut. Sedangkan Pengendalian kerusakan ekosistem gambut meliputi: a pencegahan kerusakan ekosistem gambut; b penanggulangan kerusakan ekosistem gambut; dan c pemulihan kerusakan ekosistem gambut. Di samping itu, dalam RPP ini diatur juga mengenai peran serta masyarakat, pembinaan dan pengawasan, serta pembiayaan dan ketentuan peralihan. Berbagai ketentuan peraturan di atas belum memberi ketegasan dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah, dalam pengelolaan lahan gambut. Situasi seperti ini masih ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman diantara para pemangku kepentingan, kurangnya tenaga perencana, serta kurangnya koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan dalam rangka menjalankan perencanaan dan kegiatan-kegiatan pembangunan di lahan gambut sehingga timbul tumpang tindih kepentingan yang menjurus kepada rusakhilangnya lahan gambut. Mengingat situasi di atas, dalam pengelolaan lahan gambut hendaknya mempertimbangkan tiga hal mendasar Depdagri 2006, yaitu: 1 Kerjasama antar lembaga. Kerangka kelembagaan yang ada sekarang baik di tingkat pusat maupun daerah harus dapat bekerja bersama untuk meningkatkan komitmen pada pengembangan lahan gambut secara berkelanjutan. Setiap lembaga diharapkan dapat mengembangkan partisipasi dalam pengelolaan lahan gambut melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat, desentralisasi, dan pengembangan sistem manajemen. Kerjasama antar lembaga dalam pengelolaan lahan gambut dibangun dan ditumbuhkan melalui kerjasama yang sinergis dan saling menguatkan, dengan tetap memberikan kemandirian unit kerja dalam mengelola sektorbidang masing-masing. Kerjasama ini diharapkan dapat menumbuhkan pembagian peran masing-masing lembaga agar dapat mencegah terjadinya duplikasi program atau bahkan terjadinya perebutan peran antar lembaga. 2 Pendekatan tata ruang. Sebagai dasar pendekatan untuk pengembangan kebijakan dan kegiatan pengelolaan lahan gambut adalah pendekatan tata ruang. Dalam Undang- undang Tata Ruang pasal 1 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Undang-undang ini juga telah menetapkan adanya kawasan lindung dan kawasan budidaya. 3 Pendekatan berbasis ekosistem Lahan gambut harus dipahami sebagai suatu wilayah yang batas sistemnya ditentukan oleh aspek fungsional. Dengan batasan fungsional tersebut,