diabaikan. Hasil perhitungan tersebut diperoleh dari data tahun 2002-2007 saat manajemen pengelolaan air yang diterapkan belum baik.
Hasil monitoring subsiden gambut yang dilakukan dari 2007-2010 oleh Bagian Manajemen Air PT RAPP maupun hasil pengamatan oleh Tim Studi TBI,
menunjukkan bahwa subsiden gambut yang terjadi rata-rata sekitar 3,0-3,7 cmtahun di lahan pertanaman HTI dan sekitar 1,9-2,3 cmtahun di lahan
konservasi. Dengan menggunakan bobot isi 0,09 gcm
3
dan kadar karbon 50,65 , maka pelepasan karbon adalah sekitar 15 tonhatahun atau setara dengan 55,3
ton CO
2
Hatahun. Perubahan laju subsiden gambut di tahun-tahun belakangan tampaknya terkait dengan makin baiknya pengelolaan air yang dilakukan oleh
Bagian Manajemen Air PT RAPP. Pada awal pembukaan HTI sekitar tahun 2000 kedalaman airtanah tidak dikendalikan secara baik dan kedalaman airtanah
mencapai 1,2 m. Namun sejak tahun 2007, muka air di saluran drainase dipertahankan setinggi mungkin sehingga kedalaman airtanah di HTI
dipertahankan pada selang 50-80 cm sesuai dengan umur tanaman.
5.1.6.3 Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati
Berbagai literatur menyebutkan bahwa hutan hujan tropis rawa gambut di Indonesia termasuk salah satu ekosistem terkaya di dunia terkait dengan
keanekaragaman kehidupan liarnya. Namun demikian, hutan yang unik ini mengalami ancaman serius akibat pembukaan lahan untuk diambil kayunya,
perkebunan, pertambangan, pemukiman dan kegiatan lain. Sejumlah satwa langka, seperti buaya senyulong Tomistoma schlegelii, biuku Callagur
borneoensis dan harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, menjadikan lahan gambut sebagai tempat hidup dan berlindung. Hutan rawa gambut juga merupakan
daerah pengasuhan, daerah pemijahan dan pembesaran atau tempat mencari ikan dari berbagai biota air, seperti ikan, udang, kepiting, moluska, dan invertebrata
lainnya. Pada ekosistem hutan rawa gambut juga ditemukan banyak jenis pohon bernilai ekonomi seperti ramin Gonystylus sp., meranti Shorea sp., durian
Durio sp., kempas Koompassia malaccensis, punak Tetrameristra glabra, balam Palaquium sp., jelutung Dyera sp. dan lain-lain.
Ancaman yang paling utama hilangnya lahan gambut adalah perubahan ekosistem lahan gambut akibat kegiatan penebangan kayu ramin Gonystylus
bancanus, jelutung Dyera lowii, nyatoh Palaquium spp., bintangur Callophyllum spp., dan jenis komersial lainnya, konversi lahan untuk pertanian,
perikanan dan penggunaan lainnya serta adanya kebakaran hutan baik secara alami maupun akibat ulah manusia. Adapun dampak dari kegiatan atau perubahan
fungsi ini akan menyebabkan perubahan karakteristik ekosistem lahan gambut tersebut.
Pembalakan hutan yang tidak arif mendorong hilangnya beberapa jenis komersial atau memacu semakin langkanya suatu jenis tertentu pada areal bekas
tebangan. Tanpa basis pemahaman ilmiah dan prinsip pengelolaan berdasarkan kehati-hatian telah terbukti berdampak pada kemusnahan jenis-jenis tertentu
terutama jenis komersial sebagaimana terjadi pada jenis Ramin Gonystylus bancanus yang merupakan jenis komersial hutan rawa gambut.
Dampak lain akibat pembukaan dan fragmentasi hutan yaitu pada keanekaragaman genetika baik untuk flora dan fauna. Khusus untuk flora,
pengurangan sejumlah besar spesies dan individu akibat penebangan komersial dan liar di hutan rawa gambut akan berpengaruh pada pengurangan diversitas
gentikanya Young et al. 1996. Pengurangan dalam jumlah besar khususnya pada jenis Ramin yang terjadi saat ini telah mencapai puncaknya dengan ditandai
semakin sulitnya untuk menemukan jenis ini dalam jumlah besar di habitat alaminya. Dampak lainnya adalah berkurangnya rata-rata ukuran populasi
tanaman yaitu menjadi semakin kecil dan rentang serta terisolasinya beberapa poluasi ke dalam ukuran kecil.
Pembalakan yang kurang arif juga mengakibatkan terpecahnya kawasan hutan, sekaligus terpecahnya populasi jenis pohon ke dalam
sub-populasi yang hanya terisi individu dalam jumlah kecil. Populasi berukuran kecil tersebut akan lebih rentan terhadap cekaman lingkungan. Lugo 1988 dalam
TBI 2010a menambahkan bahwa fragmentasi hutan menimbulkan isolasi suatu species dari species yang sama pada populasi lainnya, sehingga tidak
memungkinkanya terjadinya aliran gen. Pembalakan hutan maupun pembukaan wilayah hutan dalam bentuk kanal
menyebabkan terjadinya kerawanan lingkungan mikro yang biasanya terjadi di tepi-tepi hutan atau biasanya disebut dengan efek tepi edge effect. Semakin
banyak pembuatan kanal dan terbukanya pinggiran hutan maka akan lebih banyak
pengaruhnya terhadap intensitas cahaya yang masuk ke lantai hutan yang akan mempengaruhi suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Pengaruh seperti ini
biasanya dapat meluas hingga masuk ke dalam hutan sejauh 500 meter dari tepi dan dampak terhadap tumbuhan dan satwa liar yakni ketidakmampuan untuk
beradaptasi dengan lingkungan mikro yang baru dan terdesak untuk mencari lingkungan atau habitat lain yang mungkin sesuai atau bahkan tidak cocok. Yang
paling buruk adalah terjadinya kepunahan akibat populasi tidak mampu mencapai minimum persyaratan untuk bertahan hidup Supriatna 2008.
Fragmentasi hutan yang disertai dengan perubahan iklim mikro menyebabkan daerah-daerah tertentu terbuka atau terpapar matahari menyebabkan
keringnya lantai hutan sehingga mudah terbakar. Kabakaran di areal gambut menyebabkan iklim mikro pada bagian dalam interior hutan berubah. Zat kimia
yang terkandung dalam asap yang dihasilkan oleh kebakaran akan mempengaruhi perilaku dan pola reproduksi satwa karena berkaitan dengan kondisi tekanan
fisiologisnya. Hal ini menyebabkan penurunan populasi satwa sampai pada batas atau titik dimana sulit untuk pulih kembali dan untuk waktu lama akan mengalami
kepunahan yang dimulai dengan lingkup lokal dan selanjutnya regional jika tidak ditangani dengan baik.
Rusaknya tempat mencari pakan, tempat berlindung bagi satwa tertentu, mengakibatkan stress fisiologis. Harimau Sumatera termasuk satwa langka yang
tahan terhadap gangguan kabakaran karena lebih mudah melarikan diri ke lokasi lainnya dan dalam keadaan terpaksa mereka bisa masuk ke kampung-kampung
atau rumah penduduk.
5.2 Pemangku Kepentingan Stakeholders Pengelolaan Semenanjung
Kampar
Pemangku kepentingan yang terkait dengan persoalan pengelolaan Semenanjung Kampar diidentifikasi melalui analisis pemangku kepentingan
stakeholders analysis. Hasil dari analisis ini adalah daftar stakeholder yang terkait berikut kategorinya, hubungan antar stakeholder dan pengaruhnya terhadap
pengelolaan Semenanjung Kampar. Berdasarkan hasil observasi lapang, penelusuran data dan wawancara terhadap 70 responden perwakilan dari