f. Pada batas antara hutan konservasi dengan HTIPerkebunan dirancang suatu sistim eco-hydro buffer zone yang bertujuan untuk meminimalkan pengaruh
penurunan kedalaman airtanah di hutan konservasi. Maksimum penurunan kedalaman airtanah di kawasan hutan konservasi sekitar 15 cm yang biasanya
terjadi pada musim kemarau. Pada musim hujan air ditampung cukup lama di hutan konservasi dan dikeluarkan perlahan-lahan ke kebun HTI pada musim
kemarau. Sementara itu, pemahaman mengenai keberagaman kepentingan dari
pemangku kepentingan juga menjadi sangat dibutuhkan. Memahami konsep mengenai kepentingan ini menjadi hal yang strategis untuk membentuk kerjasama
membangun. Logika yang terjadi adalah, kegiatan membangun dapat dilakukan dengan adanya kerjasama, sedangkan kerjasama dapat terjadi bila ada kesepakatan
antar pihak yang terlibat. Kesepakatan ini hanya terjadi bila ada interaksi dialog dan komunikasi kepentingan antar pihak.
Hal penting yang harus disadari dan disiapkan adalah adanya pemahaman yang jelas oleh setiap pemangku kepentingan terhadap kepentingannya sendiri
yang akan dikomunikasikan dengan pihak lain. Hal kedua, penting untuk dapat menyadari dan memahami kepentingan pihak lain. Selanjutnya adalah usaha
untuk membangun kepentingan jalan tengah yang dapat memberikan “win-win solution”, atau suatu kondisi yang dapat diterima semua pihak. Pada konsensus
kepentingan, yang terjadi adalah proses “take and give” yang dilandasi kemauan
untuk menyelesaikan perbedaan. Dalam proses untuk menyamakan kepentingan ini, analisis dan perspektif
mengenai konteks bagaimana terjadinya suatu kepentingan dan implikasi apabila suatu kepentingan dilakukan menjadi penting untuk mengeksplorasi suatu solusi.
Dengan adanya peta kepentingan seluruh pihak terkait berikut penyebab dan implikasinya akan dapat memudahkan menyusun suatu peta solusi yang jelas.
Pengelolaan Semenanjung Kampar saat ini secara garis besar berada di bawah kewenangan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP Tasik Besar
Serkap dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam BBKSDA Riau. Dalam hal ini BBKSDA bertanggung jawab atas pengelolaan empat suaka margasawa
yang ada di Semenanjung Kampar, sementara wilayah KPHP Tasik Besar Serkap
mencakup luasan ± 513.276 hektar. Di dalam wilayah KPHP Tasik Besar Serkap sendiri saat ini beroperasi puluhan ijin usaha, terutama di dominasi oleh Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman IUPHHK-HT. Lembaga-lembaga tersebut bekerja sesuai batas kewenangannya masing-
masing. BBKSDA fokus pada tujuan perlindungan dan pengawetan, sedangkan KPHP Tasik Besar Serkap fokus pada pengelolaan hutan produksi. Belum ada
yang menyatukan keduanya serta stakeholder lainnya dalam satu konstruksi kelembagaan, sehingga implementasi pengelolaan oleh aktor belum bisa
disinergikan. Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa baik BBKSDA maupun
KPHP Tasik Besar Serkap kapasitasnya masih rendah, sehingga kinerja pengelolaannya pun masih rendah. Kerusakan dan kegiatan ilegal masih banyak
terjadi di lapangan, dibarengi dengan belum adanya rencana pengelolaan yang komprehensif dari keduanya. BBKSDA sendiri bahkan hampir tidak memiliki
aktivitas riil di lapangan, dengan argumen minimnya pendanaan, personil, dan infrastruktur pendukung. Sementara KPHP Tasik Besar Serkap sendiri yang
notabene masih baru belum mampu menjembatani kepentingan para pihak. Permasalahan yang terjadi di lapangan memberikan gambaran bahwa
kinerja pengelolaan pada skala lanskap masih rendah. Kapasitas pengelola yang masih lemah belum mampu menjamin keberlanjutan pengelolaan Semenanjung
Kampar. Atas dasar itu, agar pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya dapat dikelola secara efisien dan lestari, maka pengelolaan harus
dilakukan pada skala lanskap di bawah satu konstruksi kelembagaan. Hamparan lanskap Semenanjung Kampar semestinya disatukan dalam satu kesatuan
pengelolaan hutan. Untuk itu perlu dirancang suatu kelembagaan kolaboratif pengelolaan lanskap Semenanjung Kampar sebagai transisi untuk menuju
pengelolaan yang lebih berkelanjutan.
5.4.1 Usulan Kelembagaan 5.4.1.1 Tujuan
Seperti diuraikan sebelumnya, pengelolaan lahan gambut di Semenanjung Kampar dilaksanakan oleh berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah pusat
maupun daerah, sebagai salah satu pemangku kepentingan, membagi tanggung jawabnya melalui beberapa instansi sektoral. Oleh pengusaha, gambut
dimanfaatkan fungsi dan nilainya sebagai lahan penanaman kayu bahan baku industri, perkebunan kelapa sawit, pertambangan, budidaya pertanian, dan usaha
non kehutanan lainnya. Disamping itu, lahan gambut Semenanjung Kampar juga dikelola oleh masyarakat setempat dan menjadi bagian dari kehidupan sosial-
budayanya. Sistem pengelolaan multi-stakeholders ini seringkali menjadi tumpang
tindih dan dapat menimbulkan benturan antara satu pemangku kepentingan dengan pemangku kepentingan lainnya. Perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, serta pengawasan dan evaluasi seringkali dilakukan secara terpisah; masing-masing kelompok bertindak menurut kepentingan kelompok sektor
masing-masing. Keadaan ini menjadikan pengelolaan lahan gambut Semenanjung Kampar menjadi tidak efektif dan menyebabkan munculnya kegiatan pengelolaan
yang bertentangan dengan prinsip pemanfaatan sumberdaya lahan gambut secara lestari. Kurangnya perhatian akan pentingnya lahan gambut dalam mendukung
pembangunan yang berkelanjutan dan tidak adanya suatu lembaga khusus yang diberi tanggungjawab atas pengelolaan dan perlindungan keberadaan lahan
gambut mempercepat kerusakan dan penurunan kualitas lahan rawa gambut yang ada.
Ekosistem gambut Semenanjung Kampar seharusnya dipandang sebagai sistem hidro-ekologis tunggal yang fungsi dan perubahan bentuknya sangat
dipengaruhi oleh kemampuan gambut dalam menyimpan air. Untuk mengatasi dampak lingkungan yang mungkin terjadi harus dirancang suatu pengelolaan
secara kolaboratif antar pemangku kepentingan yang terkait. Atas dasar pemikiran tersebut, maka ditetapkan tujuan pengelolaan Semenanjung Kampar secara
kolaboratif adalah : “Terwujudnya pengelolaan ekosistem gambut Semenanjung
Kampar secara lestari pada skala lanskap ”
5.4.1.2 Prinsip
Dalam konteks pengelolaan ekosistem gambut secara lestari, pengelolaan Semenanjung Kampar harus didasarkan atas kelestarian fungsi ekologi, fungsi
sosial-budaya dan fungsi ekonomi. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip yang harus dikedepankan adalah:
a. Pengelolaan Semenanjung Kampar harus memberikan manfaat sosial ekonomi dan ekologi yang optimum.
b. Kawasan lindung gambut KLG dan kawasan konservasi KK pada lanskap Semenanjung Kampar merupakan perajut semua kepentingan dan harus
dikelola bersama secara bertanggung-gugat. Dalam kawasan ini pemanfaatan yang dilakukan berbasis pada jasa lingkungan ekowisata, karbon, air,
sumberdaya perairan dan hasil hutan bukan kayu. c. Semua pelaku pembangunan di Semenanjung Kampar baik pemerintah,
pemerintah daerah, swasta, maupun masyarakat harus bersedia untuk menerapkan adi-praktis best practices, khususnya dalam pengelolaan tata air
water management. d. Harus ada kesediaan dari KPH Tasik Besar Serkap dan BBKSDA Riau untuk
bersama dengan aktor lain membentuk lembaga kolaboratif pengelolaan Semenanjung Kampar untuk menjembatani kelemahan kelembagaan yang ada
saat ini. e. Lembaga kolaboratif pengelolaan Semenanjung Kampar dikembangkan secara
partisipatif dengan mempertimbangkan interaksi antar aktor yang saat ini terjadi.
f. Semua pelaku pembangunan di Semenanjung Kampar harus bersedia mematuhi peraturan dan kesepakatan.
5.4.1.3 Arahan Pengelolaan
Pengelolaan kolaboratif Semenanjung Kampar dapat dilakukan melalui zonasi. Atas dasar informasi mengenai fungsi peruntukkan dan bentuk
pemanfaatan sumber daya alam yang ada saat ini, zonasi bisa mencakup 5 zona utama, yaitu:
1 zonakawasan konservasi; 2 zonakawasan lindung gambut;
3 zonakawasan lindung dalam kawasan budidaya; 4 zona hutan tanaman; dan
5 zona kelola masyarakat.
Dalam pengelolaan seluruh zona tersebut, masyarakat lokal harus menjadi penerima manfaat yang dipertimbangkan oleh para pihak.
Secara garis besar arahan pengelolaan kolaboratif Semenanjung Kampar disajikan pada Tabel 18. Adapun zonasi Semenanjung Kampar berdasarkan
eksistensi kawasan lindung gambut KLG dan kawasan budidaya terbatas KBT, serta kondisi sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya disajikan pada Gambar
25 dan Gambar 26. Tabel 12. Arahan umum peruntukan utama dan urutan penerima manfaat dalam
setiap zona di Semenanjung Kampar sebagai dasar pelembagaan
No. ZONA
Peruntukan Utama Urutan Penerima
Manfaat
1. Zona
Kawasan Konservasi
Perlindungan sistem penyangga kehidupan
Pelestarian keanekaragaman hayati Pemanfaatan ikan dan sumberdaya
perairan 1. Publik
2. Masyarakat lokal
2. Zona
Kawasan Lindung
Gambut Sekarang
masih dibebani ijin
IUPHHK- HA
Perlindungan sistem penyangga kehidupan
Pelestarian keanekaragaman hayati Pemanfaatan jasa lingkungan
karbon, payment for environmental servicesPES, ekowisata
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara lestari
Pemanfaatan ikan dan sumberdaya perairan secara lestari
1. Masyarakat lokal 2. Swasta
3. Publik
3. Zona
Kawasan Lindung di
Areal HTI Perlindungan hutan bernilai
konservasi tinggi Sistem penyangga tata air ekosistem
gambut Pemanfaatan jasa lingkungan
karbon, PES, ekowisata Pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu secara lestari Pemanfaatan ikan dan sumberdaya
perairan secara lestari 1. Masyarakat lokal
2. Swasta 3. Publik
4. Zona Hutan
Tanaman Pemanfaatan kayu serat secara
lestari Tanaman kehidupan untuk
masyarakat lokal Pemanfaatan ikan dan sumberdaya
perairan secara lestari Pelestarian spesies tertentu
1. Swasta 2. Masyarakat lokal
3. Publik
5. Zona Kelola
Masyarakat Pemanfaatan sumberdaya alam dan
lahan secara lestari oleh masyarakat Pelestarian spesies tertentu
1. Masyarakat lokal 2. Publik
Gambar 15. Zonasi pada kawasan lindung gambut
Gambar 16. Zonasi pada kawasan budidaya terbatas
5.4.1.4 Instrumen Pengendali
Dengan banyaknya pihak yang berkepentingan, dibutuhkan instrumen pengendali dalam pengelolaan Semenanjung Kampar. Instrumen tersebut adalah:
1 tata ruang dan 2 tata air. Semua pelaku pembangunan di Semenanjung Kampar harus patuh terhadap hasil penataan ruang serta bersedia untuk
memperbaiki tata air yang sudah ada, karena pada dasarnya kolaborasikemitraan hanya akan efektif bila seluruh pihak patuhtaat pada aturan main yang telah
disepakati. Derajat kepatuhan atas aturan main tertentu tentu saja bervariasi, oleh karenanya perlu dikendalikan melalui mekanisme pengawasan dan manajemen
konflik yang melembaga. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, penentuan pola
pemanfaatan ruang di Semenanjung Kampar harus mengacu pada PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menegaskan
tentang kriteria-kriteria lahan dalam penyusunan pola pemanfaatan ruang wilayah. Karena itu dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan
kabupatenkota hendaknya menggunakan basis data yang mutakhir, sesuai dengan kondisi pemanfaatan ruang yang ada. Semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang harus melakukan kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang. Pemerintah sendiri harus konsisten dalam pemberian izin agar tidak ada
kepemilikan ganda terhadap kawasan-kawasan tertentu dari jenis izin yang berbeda.
Instrumen pengendali selanjutnya adalah tata air. Kelestarian ekosistem hutan rawa gambut sangat ditentukan oleh kondisi tata air yang dikendalikan oleh
kubah di bagian tengahnya. Pengelolaan ekosistem gambut, termasuk pemanfaatannya untuk pembangunan hutan tanaman, kebun dan lahan pertanian,
harus dilakukan pada skala lanskap dengan fokus pada penataan tata air melalui perlindungan bagian kubah dan sekitarnya. Secara hidrologi, kerusakan sistem tata
air akan menyebabkan ekosistem hutan gambut mengalami degradasi terus menerus, sekalipun tutupan lahan adalah hutan alam. Keputusan Presiden Nomor
32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal
55 Ayat 2 mengamanatkan secara tegas perlindungan kubah gambut. Disebutkan
kriteria kawasan bergambut yang harus ditetapkan sebagai kawasan lindung adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di
bagian hulu sungai dan rawa. Mengingat hal tersebut, pengelolaan lanskap Semenanjung Kampar harus
mempertimbangkan kedalaman gambut, karakteristik ekosistem dan karakteristik tipe vegetasi yang tumbuh di atasnya. Bentuk ini memiliki karakteristik sirkulasi
air dari puncak kubah ke arah kaki-kaki kubah yang pada umumnya merupakan areal yang dikelola oleh unit manajemen baik perkebunan, IUPHHK-HA dan
IUPHHK-HT. Sehubungan dengan itu, maka pengelolaan lahan gambut di Semenanjung Kampar harus senantiasa berbasis pada bentang alam, hal ini
dikarenakan areal puncak kubah sampai dengan kaki-kaki kubah tersebut merupakan satu unit ekosistem, yang juga harus dikelola dalam satu kesatuan unit
pengelolaan. Dalam pengelolaannya, bentuk kubah dipakai sebagai dasar untuk mengatur tata ruang penggunaan lahan gambut tersebut.
5.4.1.5 Pelibatan Pemangku Kepentingan
Karakteristik sumber daya alam dan ekosistem Semenanjung Kampar yang khas serta keberagaman pemangku kepentingan menuntut penataan kelembagaan
yang dapat memadukan pengetahuan tentang keduanya. Pengetahuan tersebut sangat menentukan ketepatan bentuk kelembagaan pengelolaan. Dalam hal ini,
kelembagaan untuk pengelolaan SDA dan ekosistem Semenanjung Kampar harus didasarkan pada beberapa elemen penting seperti penetapan batas-batas alokasi
sumberdaya, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, maupun pengakuan oleh peraturan dan perundangan
yang lebih tinggi. Untuk menjamin pencapaian manfaat serta agar proses-proses pengelolaan
berjalan sesuai harapan, diperlukan ketepatan mengenai pihak-pihak atau pemangku kepentingan yang seharusnya terlibat dalam proses dan dukungan
kebijakan yang memadai. Para pihak atau pemangku kepentingan tersebut kemudian dilibatkan sesuai dengan klasifikasinya berdasarkan hasil analisis
pemangku kepentingan. Dari hasil analisis, klasifikasi pemangku kepentingan pengelolaan Semenanjung Kampar sesuai dengan tingkat kepentingan dan
pengaruhnya adalah seperti sebagai berikut lihat Gambar 27:
1 Kelompok A kuadran I, yaitu kelompok yang memiliki pengaruh tinggi tetapi tingkat kepentingannya rendah. Kelompok ini adalah kelompok yang
bermanfaat untuk merumuskan atau menjembatani opini dan pengambilan keputusan.
2 Kelompok B kuadran II, yaitu kelompok yang memiliki pengaruh dan tingkat kepentingan tinggi. Kelompok ini adalah kelompok pemangku
kepentingan yang paling kritis dan perlu pengaturan yang seksama. 3 Kelompok C kuadran III, yaitu kelompok yang pengaruhnya rendah tetapi
memiliki tingkat kepentingan yang tinggi. Kelompok ini merupakan kelompok pemangku kepentingan yang penting tapi memerlukan pemberdayaan.
4 Kelompok D kuadran IV, yaitu kelompok yang memiliki pengaruh rendah dan tingkat kepentingan rendah. Kelompok ini adalah kelompok pemangku
kepentingan yang paling rendah prioritasnya dan hanya perlu dimonitor sebagaimana biasanya.
Matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan seperti Gambar 27 memberikan gambaran situasi pada saat penelitian dilakukan. Matriks ini dapat
berubah tipenya sepanjang waktu dan dampak perubahan tersebut perlu dipertimbangkan Reed et al. 2009. Pemangku kepentingan yang berada pada
posisi kelompok B kuadran II harus diajak kerjasama karena mempunyai pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap fenomena pengelolaan sumber
daya alam dan ekosistem hutan gambut Semenanjung Kampar. Sementara itu pemangku kepentingan yang termasuk kelompok C kuadran III perlu dilakukan
pemberdayaan untuk mencegah kemungkinan mereka melakukan perlawanan dengan membentuk aliansi. Menurut Groenendjik, 2003 bahwa untuk mencapai
keberhasilan dalam suatu proyek dalam hal ini pengelolaan sumber daya alam dan ekosistem hutan gambut Semenanjung Kampar maka pemangku kepentingan yang
ada di kuadran I, II dan III adalah merupakan pemangku kepentingan inti yang perlu diperhatikan.