Dimensi Modal Sosial Modal Sosial Pemangku Kepentingan

koordinasi yang dimilikinya, Bappeda mampu membangun bridging social capital antar pelaku pembangunan. Realitanya, koordinasi tersebut masih dalam tataran perencanaan, sedangkan yang terkait dengan teknis di lapangan merupakan ranah instansi teknis dinas.

C. Modal Sosial Menghubungkan Linking Social Capital

Penghubung adalah semacam penyambung khusus yang memperhatikan fakta bahwa jaringan pada umumnya melekat satu sama lain dalam wujud lapisan hirarkis. Penghubung pada dasarnya penyambung vertikal, dimana dimensi vertikal umumnya berangkat dari lokal kepada yang lebih global. Penghubung linking social capital pada umumnya bersifat struktural. Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa instansi pemerintah, dapat disimpulkan bahwa instansi yang sangat terkait dengan Semenanjung Kampar adalah Dinas Kehutanan Provinsi Riau serta Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan dan Siak. Hubungan antar Dinas Kehutanan Provinsi dengan Dinas Kehutanan Kabupaten dalam era otonomi daerah hanya bersifat fungsional dan koordinatif. Hal itu disebabkan Dinas Kehutanan Kabupaten bertanggungjawab kepada Bupati. Dinas Kehutanan Provinsi dalam hal ini merupakan penghubung institusi kehutanan di tingkat lokal dengan institusi kehutanan di pusat baik PHKA, Badan Planologi Kehutanan maupun Bina Produksi Kehutanan. Dalam kaitan dengan Semenanjung Kampar, instansi lain yang juga terkait dan menunjukkan modal sosial „menghubungkan’ adalah antara Badan Lingkungan Hidup BLH Provinsi Riau dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Di tingkat lokal, sesuai dengan tupoksinya BLH berinteraksi dengan banyak instansiinstitusi lain terkait masalah lingkungan dan sumberdaya alam yaitu dengan dengan Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Perusahaan pulp and paper seperti RAPP, APP, dll., maupun perusahaan pertambangan minyak, batubara, pasir, dan mineral. Dari tingkat lokal, BLH menjadi penghubung ke Kementerian Lingkungan Hidup pada tingkat nasional. Kementerian Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup Jaringan Nasional Jaringan Lokal Linking Linking Dishut Prov. Riau Dishut Kab. Siak Dishut Kab. Pelalawan Perusahaan tambang Perusahaan Pulp Paper BLH Prov. Riau Gambar 9. Model linking social capital

5.2.5 Permasalahan

Banyaknya pemangku kepentingan dalam pengelolaan Semenanjung Kampar ditambah modal sosial yang relatif masih lemah, memunculkan permasalahan di lapangan. Diantara permasalahan tersebut adalah ketidakmerataan distribusi manfaat, keberagaman kepedulian dari pemangku kepentingan, dan lemahnya tata hak masyarakat lokal.

5.2.5.1 Ketidakmerataan Distribusi Manfaat

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ada beberapa kelompok kepentingan yang terlibat dalam pemanfaatan lahan hutan gambut di Semenanjung Kampar. Kelompok kepentingan tersebut dapat dibedakan berdasarkan tujuan yang ingin mereka capai. Misalkan kepentingan ekonomi berupa pengusaha HPH, HTI, pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan budidaya pertanian. Dari kepentingan lingkungan bisa berupa konservasi baik flora maupun fauna serta ada lokasi tertentu yang ditetapkan sebagai suaka margasatwa dan kawasan lindung gambut. Untuk kepentingan sosial dan budaya berupa perlindungan suku asli. Pada dasarnya konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan telah diatur sedemikian rupa agar potensi dan fungsinya dapat termanfaatkan secara adil dan merata bagi pemenuhan kepentingan para pihak. Persoalannya, konsep yang ada seringkali bersifat normatif tidak selalu sesuai dengan dinamika realitas faktual. Pembangunan kehutanan yang secara konseptual ditujukan untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik memang dapat dicapai, namun pencapaian tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Secara ekonomis, meskipun pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari peningkatan investasi dan penerimaan devisa mengalami peningkatan pesat, namun dalam proses redistribusinya ternyata justru hanya dinikmati sebagian kecil kalangan. Sementara mayoritas masyarakat yang berada pada posisi hirerarki menengah ke bawah tidak memperoleh manfaat sepadan. Padahal bagi masyarakat tertentu yang selama ini tinggal di dalam dan sekitar hutan umumnya mereka mempunyai hubungan emosional dengan hutan, terlebih lagi hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga sosial budaya masyarakat secara kolektif.

5.2.5.2 Keberagaman Kepedulian Para Pihak

Berbagai diskusi, pemberitaan dan hasil penelitian menunjukkan bahwa persoalan gambut sudah mulai gencar dibicarakan orang lebih dari satu dekade terakhir. Meningkatnya perhatian terhadap gambut terjadi ketika dunia mulai menyadari bahwa sumberdaya alam ini tidak hanya sekedar berfungsi sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budi daya, dan sumber energi; tetapi juga memiliki peran yang lebih besar sebagai pengendali perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia. Jauh sebelum itu, konvensi internasional tentang lahan basah yang disepakati di Ramsar Iran pada tahun 1971 merupakan awal kepedulian masyarakat secara internasional terhadap fungsi dan manfaat lahan basah. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia menunjukkan komitmennya pada pelestarian lahan basah dengan meratifikasi konvensi tersebut melalui Kepres No. 48 tahun 1991 tanggal 19 Oktober 1991. Sebagai bagian dari ratifikasi tersebut Indonesia kemudian menetapkan Taman Nasional Berbak dan Taman Nasional Danau Sentarum sebagai Situs Ramsar, membentuk Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah pada tahun 1994, dan menyusun dokumen strategi nasional ”The National Strategy and Action Plan for Wetlands Management” pada tahun 1996. Selanjutnya, karena Strategi Nasional tahun 1996 dianggap tidak