5 Mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan keunggulan komparatif dari berbagai aktor yang terlibat;
6 Lebih menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil produk fisik jangka pendek; dan
7 Memetik pelajaran melalui kaji ulang secara terus menerus dan memperbaiki pengelolaan sumber daya alam.
Lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi Gray 1989 dalam Suporahardjo 2005 meliputi:
1. Membutuhkan keterbukaan karena dalam kolaborasi antara pemangku kepentingan harus saling member dan menerima untuk menghasilkan solusi
bersama. 2. Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk
membangun kesepakatan. 3. Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk
pencapaian kesepakatan tentang jalan keluar. 4. Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi
diantara pemangku kepentingan dimasa depan. 5. Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses daripada
sebagai resep. Ada beberapa indikator untuk melihat jalannya proses pengelolaan
kolaborasi yang dijelaskan oleh Munggoro 1999 yaitu: 1. Kesadaran pemangku kepentingan terhadap isu-isu pengelolaan kolaboratif,
peristiwa, jadwal, hak, tanggungjawab dan sebagainya. 2. Adanya mekanisme untuk pertukaran informasi dan forum untuk
berkomunikasi dan menegosiasikan kesepakatan. 3. Adanya fasilitator untuk membantu dalam pertemuan, mediasi konflik,
berhubungan dengan bermacam-macam aktor di berbagai tingkat dalam masyarakat.
4. Keterlibatan aktif para pemangku kepentingan dalam mengembangkan kesepakatan pengelolaan partisipasi dalam rapat, penyampaian dan
pembelaaan posisi dan sebagainya.
5. Adanya kesepakatan pengelolaan antara pemangku kepentingan baik oral, tertulis maupun informal.
6. Definisi spesifik tentang fungsi, hak dan tanggung jawab yang telah disepakati.
7. Para pemangku kepentingan tunduk pada hak dan tanggung jawab yang telah disepakati.
8. Para pemangku kepentingan menyatakan kepuasannya terhadap kesepakatan pengelolaan.
9. Adanya badan atau organisasi pengaduan jika terjadi konflik didalam kerja sama pengelolaan.
10. Keterlibatan pemangku kepentingan dalam promosi perubahan kebijakan dan hokum yang mendukung kesepakatan pengelolaan kolaboratif.
11. Seiring dengan berjalannya waktu, perpanjang kesepakatan baik secara geografis maupun secara kompleksitas.
2.4.3 Kendala, Kelemahan dan Kunci Keberhasilan
Meskipun pendekatan kolaborasi dipercaya memberikan manfaat dalam menyelesaikan masalah, tapi dalam perjalanannya bisa saja dihadapkan pada
berbagai kendala sebagai keterbatasan dari pendekatan kolaborasi. Menurut Gray 1989 dalam Suporahardjo 2005 beberapa kendala dalam kolaborasi adalah:
1. Komitmen kelembagaan
tertentu menimbulkan
disinsentif untuk
berkolaborasi. 2. Sejarah hubungan yang dicirikan oleh interaksi permusuhan yang telah
berlangsung lama diantara dua pihak. 3. Dinamika perkembangan tingkat kemasyarakatan pendekatan kolaborasi
lebih sulit dipraktekkan ketika kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangkan alokasi sumber daya langka.
4. Perbedaan persepsi atas resiko. 5. Kerumitan yang bersifat teknis.
6. Budaya kelembagaan dan politik. Kusumanto et al. 2006 mengemukakan bahwa pengelolaan hutan secara
kolaboratif memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan. Beberapa kelemahan pengelolaan hutan secara kolaboratif yang sering terjadi diantaranya sebagai
berikut: 1 para pengelola sering menggunakan istilah kolaborasi dan partisipasi dengan maksud yang sama, 2 tujuan, metode, dan rencana pengelolaan hutan
dalam kenyataannya masih berada dalam ranah kegiatan “orang luar”, dan 3 potensi pengelolaan secara kolaboratif seperti menciptakan peluang bagi berbagai
kelompok untuk belajar bersama dan bernegosiasi tidak bisa dicapai jika partisipasi tidak diartikan sebagai upaya penentuan nasib sendiri oleh kelompok-
kelompok lokal. Lebih lanjut Kusumanto et al. 2006 menyebutkan faktor-faktor yang
menyebabkan keterbatasan kolaborasi sebagai berikut: 1. Hubungan antara pemangku kepentingan maupun hubungan dalam kelompok-
kelompok pemangku kepentingan tertentu ternyata lemah. Beberapa hal yang melatarbelakangi lemahnya hubungan tersebut adalah:
a Hubungan antara pengambil keputusan dengan pemangku kepentingan lain pada umumnya didasarkan pada hubungan kewenangan.
b Latar belakang sosial budaya para pemangku kepentingan yang berbeda- beda mengakibatkan terbatasnya komunikasi diantara mereka.
c Latar belakang sejarah. d Konteks legal dan kebijakan.
2. Lemahnya komunikasi diantara mereka. 3. Lemahnya peran lembaga-lembaga lokal dalam mengkoordinasikan
pemanfaatan dan pengelolaan hutan mengakibatkan tidak berkembangnya dasar struktural bagi para pemangku kepentingan untuk berkolaborasi.
Selanjutnya Kusumanto et al. 2006 mengemukakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan secara kolaboratif adalah:
1. Para pemangku kepentingan kunci tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan saja, tetapi dalam semua tahapan pengelolaan yaitu pengamatan,
perencanaan, aksi, pemantauan dan refleksi. 2. Pengembangan minat, keterampilan dan kemampuan lokal dapat membantu
para pemangku kepentingan menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan yang sangat cepat setelah proyek selesai. Salah satu cara untuk meningkatkan
kemampuan para pemangku kepentingan dalam menanggapi perubahan adalah
dengan mengikuti pembelajaran yang berkelanjutan dan terstruktur yang dapat membantu dalam mengadaptasi pendekatan pengelolaan mereka.
2.4.4 Beberapa KonsepTeori untuk Mengembangkan Kolaborasi 2.4.4.1 Konsep Partisipasi
Sebagian ahli mendefinisikan partisipasi sebagai keikutsertaan masyarakat, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan terbentuk sebagai
akibat dari terjalinnya interaksi sosial antar individu atau kelompok masyarakat yang lain Wardoyo et al. 2000. Mubyarto 1984 mengartikan partisipasi sebagai
suatu bentuk kesediaan membantu berhasilnya setiap kegiatan, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap individu tanpa mengorbankan diri sendiri. Lebih jauh,
Slamet 2003 memaknai partisipasi masyarakat sebagai wujud keikutsertaan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya
ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Jadi, bukan hanya menyumbangkan input ke dalam pembangunan, namun lebih jauh ikut serta
memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Oakley 1991 menjelaskan bahwa partisipasi sebagai fasilitas atau
perbaikan sistem atau sebagai suatu proses yang dimaksudkan untuk memberi penguatan pada kemampuan masyarakat desa agar mereka berinisiatif terlibat
secara langsung dalam pembangunan. Cernea 1985 menekankan bahwa partisipasi
berimplikasi pada
pemberdayaan masyarakat
lokal untuk
menggerakkan kemampuan mereka sebagai aktor-aktor sosial dan bukan sebagai subjek yang pasif, pengelola sumber daya, pembuat keputusan dan mengontrol
aktivitas yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kemudian Borrini-Feyerabend 1996 mengemukakan bahwa partisipasi yang efektif di dalam pengelolaan
sumber daya alam dapat dipandang sebagai suatu kondisi yang dengan kondisi tersebut kearifan lokal, keterampilan, dan sumber daya lainnya dimobilisasi dan
dimanfaatkan secara totalitas. Untuk mencapai partisipasi dalam pengembangan kapasitas, maka pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi prioritas.
Partisipasi dapat didefinisikan sebagai proses dimana para pemilik kepentingan stakeholder mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif
dan keputusan pembangunan serta sumberdaya yang berdampak pada mereka