Pemangku Kepentingan Kunci Pemangku Kepentingan Stakeholders Pengelolaan Semenanjung

WWF memandang bahwa situasi sekarang seharusnya tidak digiring pada konflik yang lebih besar. Yang harus menjadi perhatian adalah bahwa Semenanjung Kampar adalah hutan rawa gambut dan memiliki implikasi pada kegiatan-kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. WWF setuju bahwa biaya termahal dalam mengelola lahan gambut adalah pengelolaan air, dan saat ini HTI, tambang dan perkebunanlah yang dianggap memiliki kemampuan secara finansial untuk membangun water management. Namun demikian perlu dibuka manajemen yang lebih besar dikolaborasikan antara perusahaan, masyarakat dan pihak lain yang terkait. Senada dengan WWF, Scale Up juga memandang pentingnya menjaga hubungan dengan perusahaan. Satu langkah awal yang menurut Scale Up harus dilakukan adalah memperbaiki cara-cara komunikasi. Cara-cara kotor seperti penggunaan uang dan teror di masyarakat harus dihentikan. Ada hal yang harus dipersiapkan sebagai prasyarat negosiasi untuk memulai hubungan yang baru yakni sebuah alat perencanaan. Scale Up adalah satu-satunya LSM yang dalam visinya secara eksplisit menyatakan kemitraan partnership yang dinamis antara masyarakat sipil civil society, pemerintah government dan sektor swasta private sector sebagai prasyarat terciptanya tata pengaturan kehidupan sosial yang baik dan kesejahteraan sosial yang berkeadilan melalui penyelenggaraan pembangunan sosial yang akuntabel dan berkelanjutan. Misi Scale Up adalah mengembangkan model pembangunan sosial yang akuntabel dan berkelanjutan berbasis kemitraan antara para pihak multistakeholder; meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan komitmen para pihak untuk mendukung proses perbaikan pembangunan sosial yang akuntabel dan berkelanjutan; dan mendorong perbaikan kebijakan dan tanggung jawab sosial para pihak. Untuk mewujudkan visi misinya, salah satu strategi dari Scale Up adalah fasilitasi pengembangan tata kelola yang tanggap secara sosial budaya dari kelembagaan sektor swasta. Dalam hal terjadi konflik pemanfaatan sumberdaya alam, Scale Up sudah memiliki pengalaman mediasi konflik baik di sektor kehutanan maupun perkebunan. Dalam situasi yang sebenarnya, kedua LSM yang paling mungkin memposisikan diri sebagai „penyambung’ ternyata tidak cukup kuat memposisikan lembaganya. Disamping tekanan kuat dari LSM lainnya untuk tidak membangun hubungan dengan perusahaan baca: perusahaan perusak lingkungan dan pelaku pembalakkan liar, LSM yang diharapkan menjadi bridger juga terjebak dalam wacana yang mereka usung sendiri. Perguruan tinggi sebagai satu otorita yang independen seharusnya dapat mengambil peran lebih dalam menjembatani para pihak. Tiga tugas utamanya yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat adalah nilai lebih yang membedakannya dengan institusi lain. Sayangnya, dalam isu pengelolaan Semenanjung Kampar, perguruan tinggi khususnya yang ada di Riau belum menunjukkan peran yang signifikan. Secara personal memang sudah ada beberapa peneliti yang mencoba menangkap peluang ini dan memposisikan diri sebagai bridger. Hal ini disambut baik oleh perusahaan dalam bentuk kerjasama penelitian. Sebaliknya dari pihak lain terutama LSM kurang menyambut baik karena adanya kekhawatiran dan kecurigaan bahwa individupeneliti tersebut adalah perpanjangan lidah perusahaan. Namum demikian, LSM-LSM masih mau berdiskusi selama perguruan tinggi sebagai inisiator dapat menjamin independensinya. Perguruan Tinggi Swasta LSM 2 LSM 1 LSM 3 LSM 4 Gambar 8. Model bridging social capital Satu hal lagi yang patut disayangkan adalah belum optimalnya fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda. Bappeda sebenarnya merupakan instansi pemerintah yang memiliki fungsi koordinatif antar instansi dinas. Bappeda memiliki kewenangan untuk melaksanakan sebagian urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah di bidang Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal. Seharusnya dengan fungsi koordinasi yang dimilikinya, Bappeda mampu membangun bridging social capital antar pelaku pembangunan. Realitanya, koordinasi tersebut masih dalam tataran perencanaan, sedangkan yang terkait dengan teknis di lapangan merupakan ranah instansi teknis dinas.

C. Modal Sosial Menghubungkan Linking Social Capital

Penghubung adalah semacam penyambung khusus yang memperhatikan fakta bahwa jaringan pada umumnya melekat satu sama lain dalam wujud lapisan hirarkis. Penghubung pada dasarnya penyambung vertikal, dimana dimensi vertikal umumnya berangkat dari lokal kepada yang lebih global. Penghubung linking social capital pada umumnya bersifat struktural. Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa instansi pemerintah, dapat disimpulkan bahwa instansi yang sangat terkait dengan Semenanjung Kampar adalah Dinas Kehutanan Provinsi Riau serta Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan dan Siak. Hubungan antar Dinas Kehutanan Provinsi dengan Dinas Kehutanan Kabupaten dalam era otonomi daerah hanya bersifat fungsional dan koordinatif. Hal itu disebabkan Dinas Kehutanan Kabupaten bertanggungjawab kepada Bupati. Dinas Kehutanan Provinsi dalam hal ini merupakan penghubung institusi kehutanan di tingkat lokal dengan institusi kehutanan di pusat baik PHKA, Badan Planologi Kehutanan maupun Bina Produksi Kehutanan. Dalam kaitan dengan Semenanjung Kampar, instansi lain yang juga terkait dan menunjukkan modal sosial „menghubungkan’ adalah antara Badan Lingkungan Hidup BLH Provinsi Riau dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Di tingkat lokal, sesuai dengan tupoksinya BLH berinteraksi dengan banyak instansiinstitusi lain terkait masalah lingkungan dan sumberdaya alam yaitu dengan dengan Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Perusahaan pulp and paper seperti RAPP, APP, dll., maupun perusahaan pertambangan minyak, batubara, pasir, dan mineral. Dari tingkat lokal, BLH menjadi penghubung ke Kementerian Lingkungan Hidup pada tingkat nasional.