Prosiding.Seminar.Radar.Nasional.2009

(1)

(2)

SEMINAR RADAR NASIONAL III

2009

Prosiding

Bandung

30 April 2009

Savoy Homann Bidakara Hotel

Penyelenggara:

Sponsor:

Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPET - LIPI)

dan

Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI - ITB) bekerjasama dengan

International Research Centre for Telecommunications and Radar (IRCTR) Delft University of Technology

(TU Delft) The Netherlands LIPI


(3)

Prosiding

Seminar Radar Nasional III 2009

ISSN : 1979 - 2921

Hak cipta © 2009 oleh Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi – LIPI

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin, memproduksi dalam segala bentuk, termasuk mem-fotocopy, merekam, atau menyimpan informasi, sebagian atau seluruh isi dari buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Prosiding Seminar Radar Nasional / [editor by] Mashury Wahab, Asep Yudi Hercuadi A.A. Lestari, A.B. Suksmono, , Yuyu Wahyu, Pamungkas Daud.

vi + pp.; 21,0 x 29,7 cm ISBN : 1979 - 2921

Radio Detecting and Ranging (Radar)

Technical editing by Yudi Yuliyus Maulana, Dadin Mahmudin, Deni Permana K,Yadi Radiansah, Sulistyaningsih, Folin Oktaviani.

Cover design by Yadi Radiansah.

Diterbitkan oleh :

Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Kampus LIPI Jl. Sangkuriang, Bandung Telp. (022) 2504661 Fax. (022) 2504659


(4)

Pelindung

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI

Ketua Umum

Mashury Wahab

Panitia Pengarah

Lilik Hendradjaja, Dephan

Adang Suwandi, ITB

Syahrul Aiman, LIPI

Tatang A. Taufik, BPPT

Hiskia Sirait, LIPI

Andriyan B. Suksmono, ITB

A. Andaya Lestari, IRCTR-IB

Endon Bharata, IRCTR-IB

Nana Rachmana, ITB

Yuyu Wahyu, LIPI

Syamsu Ismail, LIPI

Rustini S. Kayatmo, LIPI

Eko Tjipto Rahardjo, UI

Adit Kurniawan, ITB

Panitia Pelaksana

Iskandar, ITB

Andi Kirana, RCS

Gunawan Handayani, ITB

Pamungkas Daud, LIPI

Folin Oktaviani, LIPI

Sulistyaningsih, LIPI

Yudi Yulius Maulana, LIPI

Dadin Mahmudin, LIPI

Deni Permana K., LIPI

Sri Hardiati, LIPI

Iqbal Syamsu, LIPI

Asep Yudi Hercuadi, LIPI

Yadi Radiansah, LIPI

Zaenul Arifin, LIPI

Endang Ridwan, LIPI

Lisdiani, LIPI

Poppy Sumarni, LIPI

Noorfiya Umniyati, LIPI

Dicky Desmunandar, LIPI


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga Seminar Radar Nasional (SRN) III pada tanggal 30 April 2009 ini dapat terselenggara. Selanjutnya kami mengucapakan selamat datang di Kota Bandung kepada para peserta seminar, pembicara kunci, pemakalah dan para undangan lainnya. Tujuan diadakannya seminar ini adalah untuk menjadi sarana sosialisasi dan forum pertukaran informasi antara para pakar, peneliti dan pengguna Radar, sehingga akan membantu pemerintah dalam menjawab permasalahan dibidang Radar dan mendorong kemandirian dalam penyediaan Radar di Indonesia. Suatu hal yang tidak mustahil bila teknologi, kebijakan dan pemecahan masalah tentang Radar akan terungkap dalam seminar ini.

Seminar ini menghadirkan beberapa pembicara tamu dari berbagai latar belakang yaitu pembuat kebijakan, pengguna dan tenaga ahli dibidang Radar. Ada sekitar 30 makalah yang dipresentasikan dalam sesi paralel seminar. Kami mengharapkan para peserta dapat memperoleh tambahan informasi/pengetahuan melalui kegiatan Seminar ini.

Akhirnya Kami Panitia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah mendukung terselenggaranya kegiatan SRN III 2009 ini yaitu antara lain Kepala LIPI, Deputi Bidang IPT – LIPI, IRCTR-IB, IRCTR TU-Delft, ITB, Pembicara tamu P2SDKP, Pembicara tamu BMKG, Pembicara Tamu MABESAU, Pembicara tamu Staf Ahli Menristek Bidang Hankam, Hp-Agilent, PT. Solusi 247-RCS, Telkom Bandung, para peserta dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

“Selamat mengikuti seminar, dan sampai jumpa pada acara seminar berikutnya“

Bandung, 30 April 2009


(6)

Daftar Isi

Susunan Panitia ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v


(7)

Daftar Makalah

1. Tinjauan Pemanfaatan Teknologi Seluler GSM Diaplikasikan Sebagai

Pasif Radar ...

Febrian Wijoseno, Adit Kurniawan, Arwin D.W.Sumantri

1-5

2. Analisa FDOA-RADAR Sekunder Terhadap Gangguan Random Noise

Wahyu Widada dan Sri Kliwati ………..

6-10

3. Sistem Identifikasi Pesawat Menggunakan Kecepatan dan Radar Cross

Section Pesawat Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation …………

Maman Darusman, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari, Aciek Ida Wuryandari

11-15

4. The Performance Of Supervised And Unsupervised Neural Networks In

Performing Aircraft Identification Tasks ……….

Arwin Datumaya Wahyudi S, Aciek Ida Wuryandari, Maman Darusman, Nur Ichsan Utama

16-22

5. Minimalisasi Sinyal Harmonik Radar Indra I dengan IF Lumped Element

Filter ... Liarto, A.A Lestari, Sri Hardiati

23-26

6. First Results Of The Signal Processing Of INDERA ………..

W. Sediono, A. A. Lestari

27-29

7. Teknik Pengukuran Pola Radiasi Transduser Dwi-Fungsi Akustik

Bawah Air ………

Syamsu Ismail

30-32

8. Analisis Penyesuai Impedansi NTL Menggunakan Metode Ekspansi

Fourier ... Rudy Yuwono, Achmad Setiawan, D.J. Djoko H.S

33-38

9. Antena Array Electronic Switch Beam Untuk Pengerahan Beam Antena

Pada Sistem Radar ...

Yoko Wasis, Bambang Edhie Sahputra, Iswahyudi, Yogi Koswara, A.A Pramudita

39-41

10. Antena UWB Bentuk T Untuk Aplikasi SFCW-GPR 100-1000 Mhz ...

A.Adya Pramudita, A. Kurniawan, A. Bayu Suksmono,A.Andaya Lestari

42-46

11. Sistem Trigger Pada Radar Maritim Indera ...

Oktanto Dedi Winarko, A. Andaya Lestari

47-51

12. Penelitian-Penelitian Radar Dan Pendukungnya di Lipi ...

Masbah R.T. Siregar

52-56

13. Karakterisasi Penggunaan Garis Kurva Pada Lengan Seri 3 dB Hybrid

Coupler MicrostripPita Lebar ... Y.K. Ningsih, F.Y. Zulkifli, E.T. Rahardjo, A.A. Lestari

57-62

14. Optimasi Pemodelan Arima Dengan Efek Deteksi Outlier Pada Data

Curah Hujan Di Surabaya ...

Achmad Mauludiyanto, Gamantyo Hendrantoro, Mauridhi Hery P, Suhartono

63-67

15. Desain Dan Simulasi Tranceiver Stepped Frequency ContinuousWave

Ground Penetrating Radar (SFCW GPR) 700 – 1400 Mhz ...

Tommi Hariyadi, Endon Bharata, Andriyan Bayu Suksmono


(8)

16. Sistem Antena Radar VHF Lapan ... Peberlin Sitompul, Aries Kurniawan, M. Sjarifudin, MarioBatubara, Harry Bangkit, Timbul Manik, J.R Roettger

75-78

17. Pembuatan Modul Receiver Untuk Sistem PerangkatPemancar

Jamming ………..

Elan Djaelani

79-84

18. Pemanfaatan Sistem Pakar dalam Perancangan Sistem Analisa Masalah

Dan Penentu Tindakan Pemeliharaan Radar ...

Edith Nurhidayat Kurniawan S. , Aciek Ida Wuryandari , Arwin D.W. Sumari

85-88

19. Penggunaan Radar Bagi Kepentingan Pertahanan Udara ...

Suparman D, MM

89-94

20. Kerjasama DEPHUT Dan Lembaga International dalam Penggunaan Radar

Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan yang Lestari ………...

Iwan Setiawan Priyambudi Santoso

95-96

21. Perbandingan Performansi Sistem Identifikasi Pesawat Menggunakan

Jaringan Syaraf Tiruan Mode Adaptive Resonance Theory 1 Dan 2 ...

Nur Ichsan Utama, Aciek Ida Wuryandari, Arwin D. W. Sumari

97-101

22. Ilmu Pengetahuan Rekayasa dan Teknologi Dan Seni (ILPERTEKS)

Untuk Pengembangan Radar Pengawas Pantai ...

Elan Djaelani, Prof. Dr. Rohani J Widodo, Ridodi Anantaprama,Iwan Setiawan

102-108

23. Usulan Pemakaian Radar Langit Untuk Daerah Khusus Atau Rawan ...

Hari Satriyo Basuki

109-113

24. Implementasi Peta Dinamis Pada Radar INDERA ...

Deni Yulian, W. Sediono, A. Andaya Lestari

114-118

25. Perancangan dan Realisasi Antena Rolled Dipole Untuk Keperluan

Ground Penetrating (GPR) Dengan Menggunakan Metoda Finite

Different Time Domain (FDTD) ... Yudi Yuliyus Maulana, Yuyu Wahyu, Folin Oktafiani dan AA Lestari

119-124

26. Antena Ground Penetrating Radar Adaptif Terhadap Multi Pulsa ...

Folin Oktafiani, Yuyu Wahyu, Yudi Yuliyus, A.A Lestari

125-128

27. Estimasi Electromagnetic Interference (EMI) Dalam Sistem Antena Patch

Array Untuk Radar ... Sri Hardiati,Sulistyaningsih

129-132

28. Antena Dipole Dengan Pembebanan Resistif dan Layer Dielektrik Untuk

Ground Penetrating Radar (GPR) ...

Y.Wahyu, A.Kurniawan, Sugihartono, A.S Ahmad, A A Lestari

133-137

29. Kajian Mengenai Radar Clutter Dan Pengaruhnya Pada Unjuk Kerja Radar ...

Mashury Wahab dan Sulistyaningsih

138-142

30. Pembangkit Chirp Untuk Radar FMCW Menggunakan DDS ...

Purwoko Adhi


(9)

TINJAUAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI SELULER UNTUK

DIAPLIKASIKAN SEBAGAI PASSIVE RADAR

Febrian Wijoseno

1)

, Adit Kurniawan

2)

, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari

3)

1)2)3) Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung Gedung Ahmad Bakrie Lt. 2, Jl.Ganesha 10, Bandung,40132-INDONESIA Email : jos_eno@yahoo.com, adit_kurniawan@yahoo.com, arwin91aau@yahoo.co.id

3)Departemen Elektronika, Akademi Angkatan Udara Jl. Laksda Adisutjipto, Yogyakarta, 55002-INDONESIA

ABSTRAK

Tulisan ini membahas tentang tinjauan pemanfaatan teknologi seluler diaplikasikan sebagai passive radar untuk mendeteksi pesawat terbang. Sesuai dengan fungsinya, maka pemodelan ini memerlukan beberapa asumsi dasar antara lain model propagasi “Llyods mirror” dihitung, dan model propagasi yang digunakan adalah propagasi sinyal di ruang bebas. Selanjutnya dibahas penggunaan sinyal pilot pada WCDMA untuk cellular radar.Cellular radar ini bekerja berdasar gabungan antara prinsip radar konvensional dengan deteksi oleh cellular yang memanfaatkan proses sinkronisasi pararel sinyal PN. Dengan skema ini proses deteksi akan mencari nilai terbesar dari autokorelasi antara urutan PN dengan nomor path.

Kata kunci : radar, passive radar,cellular radar, WCDMA, seluler, Llyods mirror

1. PENDAHULUAN

TNI AU memiliki tugas pokok menjaga kedaulatan negara di udara. Dengan kondisi geografis wilayah Indonesia yang sangat luas dan potensi konflik yang rawan terjadi dengan pihak luar, dibutuhkan unsur pertahanan udara yang selalu siap. Untuk mewujudkannya, selain diperkuat dengan beberapa jenis pesawat tempur, TNI AU juga menggelar satuan radar di berbagai pelosok Indonesia.

Pada saat ini, dari Sabang sampai Merauke, terdapat 17 satuan radar yang dimiliki TNI AU. Fungsi radar sendiri bisa sebagai early warning

ataupun ground interceptor bagi pertahanan udara.

Early warning merupakan sistem peringatan dini jika ada ancaman dari pesawat asing / rudal yang memasuki wilayah kedaulatan udara Indonesia. Sedangkan ground interceptor berfungsi sebagai pemandu pesawat tempur di udara.

Satuan-satuan radar tersebut lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Indonesia bagian barat. Sedangkan di bagian timur Indonesia masih banyak daerah-daerah yang belum terlindungi dengan radar, sehingga sering terjadi pelanggaran kedaulatan udara di wilayar tersebut. Dilain pihak, untuk mengadakan satu site radar baru diperlukan dana yang cukup besar. Dengan kondisi di atas, perlu dicarikan solusi alternatif untuk mengatasinya. Tentunya dengan memprerhatikan segala aspek, termasuk dari segi pendanaan. Alternatif yang memungkinkan, yaitu dengan menggunakan passive radar. Sementara ini, telah banyak konsep tentang passive radar

dikembangkan di dunia barat. Contoh passive radar

yaitu dengan memanfaatkan sinyal dari siaran radio, televisi dan telopon seluler.

Komunikasi seluler sendiri, sekarang ini sedang berkembang pesat di Indonesia. Coverage dari komunikasi seluler ini, hampir melingkupi seluruh pelosok Indonesia. Dengan latarbelakang inilah, penulis melakukan penelitian untuk menganilisis kemungkinan pemanfaatan teknologi GSM sebagai

passive radar. Pemanfaatan teknologi seluler sebagi

passive radar ini lebih dikenal dengan sebutan

cellular radar.

Diharapkan dengan memanfaatkan infrastruktur yang telah ada, cellular radar ini, dapat merealisasikan kebutuhan TNI AU untuk covering

daerah-daerah yang belum ada radarnya.

2. DASAR TEORI

2.1 Radar

Radar (Radio And Detecting ranging), merupakan peralatan elektronik yang dapat mendeteksi posisi suatu obyek (target) di udara. Radar banyak digunakan di kalangan militer untuk keperluan pertahanan udara. Selain itu, pemanfaatan radar dapat ditemui di bandara-bandara sebagai alat monitoring ATC (Air Traffic Controller)

Prinsip kerja Radar

Secara sederhana, komponen radar bagian transmitter yang memproduksi pulsa-pulsa untuk diradiasikan ke ruang bebas. Pulsa yang mengenai target, kemudian menghasilkan echo dipantulkan kembali ke Radar. Dengan antenna penerima yang sangat sensitive, receiver radar menerima sinyal echo selanjutnya sinyal tersebut diolah untuk mengidentifikasi target. Hasil identifikasi target berupa jarak target terhadap radar, ketinggian target bahkan dengan signal processing modern dapat diketahui jenis dari target tersebut.


(10)

Gambar 1 :Prinsip kerja Radar

Rumus –rumus Radar

Berikut daftar simbol yang digunakan dan satuan-satuannya :

Pt Transmitted Power Watt

Pr Received Power (direct path) Watt

Ps Scattered power Watt

Pn Noiser Power Watt

Gt Gain transmitter

Gr Gain receiver

λ Panjang gelombang m R1 Jarak antara Transmitter ke target m

h Ketinggian target m σ Radar cross section m2 Rumus Umum Radar :

Pe = Pt . G2. σ. λ2 / (4Π)3 R4

..….(1) Sehingga jarak R dapat diperoleh dengan rumus :

2 2 4

3

.

.

.

.(4

)

Pt G

R

Pe

λ σ

ππ

=

..….(2) Jarak jangkau maksimum Radar (Rmax)

Dari rumus di atas, dapat diturunkan rumus untuk mencari jangkauan maksimum radar. Dengan asumsi (Ps, G, λ) konstan, radar cross section = 1m2.

2 2 4

max 3

min

.

.

.

.(4

)

Pt G

R

Pe

λ σ

ππ

=

…………(3)

Pemin = Daya terkecil yang mampu diditeksi oleh

radar.

Rmax = Jarak jangkau maksimum radar.

2.2 Passive radar

Passive radar merupakan salah satu teknologi Radar yang memanfaatkan iluminasi GEM dari sumber lain untuk mendeteksi target. Teknologi ini

memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada, ditambahkan dengan sistem penerima sinyal yang mempunyai algorithma untuk mengolah sinyal echo dari sumber tersebut menjadi informasi target. Pendeteksian target passive radar menggunakan prinsip Passive Coherent Location. Contohnya, dengan memanfaatkan sinyal FM, sinyal VHF televisi dan sinyal seluler.

Passive Coherent Location

Proses penentuan lokasi suatu target dengan sistem ini Passive Coherent Location dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2 : Proses deteksi target dengan passive coherent

location

Receiver dibuat secara khusus untuk mendeteksi sinyal echo dari target. Selanjutnya sinyal tersebut diolah untuk menentukan posisi dari target.

2.3 Celular Radar

Passive radar yang menggunakan sinyal seluler dikenal dengan sebutan cellular radar. Dengan teknologi seluler, passive radar dimungkinkan untuk mendeteksi target yang berada di tempat jauh dan bergerak cepat secara real time dengan biaya yang relatif murah. Cellular radar ini, berlaku sebagai sebuah sistem radar yang mampu mendeteksi dan memproses data dengan cepat. Sedangkan sebagai sistem seluler, mempunyai coverage yang luas.

Bagian pertama dari identifikasi target adalah pendeteksian oleh sejumlah receiver yang memproses secara digital sinyal echo dari target. Yang ke dua, yaitu sistem seluler mendeteksi target dengan melakukan pengolahan dan pengkombinasikan sinyal-sinyal echo tersebut. Sinyal-sinyal-sinyal tersebut diolah oleh sebuah jaringa yang mengakomodir BTS-BTS penerima sinyal.

Di Indonesia, teknologi seluler sudah digunakan secara luas. BTS-BTS seluer tersebut sudah menjangkau daerah-daerah pelosok yang tidak dilingkupi oleh sistem radar TNI-AU. Dengan alasan tersebut, digunakanlah teknologi seluler untuk dikembangkan sebagai cellular Radar.

3. SEMIANALITIK TEORI

Semianalaitik dari teori passive radar dengan memanfaatkan teknologi seluler ini memakai asumsi


(11)

antenna yang digunakan adalah isotropis. Walaupun dalam kenyataan tidak mungkin membuat antenna isotropis, tapi dalam hal ini penggunaan antenna isotropis bertujuan untuk memudahkan analisis dan perhitungan.

Selanjutnya ntuk menentukan jangkauan dari passive radar dapat didefinisikan dari SCR (Sinyal to Cluster Rasio) yang diturunkan dari rumus persamaan radar (11) di atas.

..….(4) Untuk antenna isotropis :

..….(5) Llyods Mirror

Dengan memakai asumsi target terbang rendah dekat dengan tanah, maka efek Llyods mirror perlu diperhitungkan. Pengaruh pada factor propagasi sinyal adalah sebagai berikut :

P (r,h,H) ≈ 4 Sin2 (khH/r)

Karena khH/r <<1 maka nilai Sin () dapatdi expand mejadi

..….(6) Dengan r merupakan ground range dan R adalah slant range, untuk target yang terbang rendah r R sehingga persamaan dapat disederhanakan menjadi:

..….(7) Lyods Mirror dengan target jauh

Ketika target berada jauh dari BTS, dengan kondisi Rt Rsr Rx maka nilai SCR dapat

disederhanakan sebagai berikut :

..….(8) Pendeteksian Target

Berdasarkan ketinggian target, perkiraan posisi target dapat dikategorikan menjadi 3 buah posisi.

a) Target terbang rendah b) Target terbang sedang c) Target terbang tinggi Target terbang rendah

Ketika target terbang rendah, dimana ketinggiannya kurang dari jarak antara BTS satu dengan yang lainnya (h<< Rx, ) berdasar :

Dan dengan kondisi BTS yang banyak maka, jarak Transmitter ke target (Rts) dan jarak Transmitter ke receiver (Rtr) jika dikomparasikan akan mempunyai nilai yang lebih besar dibanding jarak target ke receiver (Rsr). Sehingga rumus di atas dapat disederhanakan menjadi

Maka diperoleh rumus SCR yang baru sebagai berikut:

..….(9) Melalui metode pendekatan dapat diperoleh

SCR> -71 – 20 Log[Rx(km)] + σ + propagasi Nilai -71 sudah termasuk faktro 4π dan konversi dari meter ke kilo meter. Karena posisi target yang masih rendah maka 2D Geometric dilution of precission (GDOP) akan bernilai kecil sedangkan 3D GDOP bernilai besar. Hal ini dikarenakan posisi target, transmitter dan receiver yang relatif berada pada satu bidang datar. Dengan kata lain resolusi 3D nya bernilai rendah, tapi posisi horizontal target dapat ditentukan dengan baik.

Target terbang sedang

Berdasar rumus (4), posisi target yang berada di ketinggian sedang dibandingkan dengan perbandingan jarak antara transmitter ke receiver. Nilai Rts dan Rsr Rx , pada kondisi tersebut efek Llyods mirror akan bertambah karena semakain banyaknya path propagasi sinyal.

Faktor Llyods mirror yang berpengaruh pada setiap path yaitu :

4 sin2(khH/r)

mempunyai rata-rata factor 2 ( +3dB). Karena dinumerator terdapat 2 faktor Llyods mirror sedangkan di denominator hanya mempunyai satu kmaka nilainya akan menjadi 3dB lebih tinggi dibanding propagasi sinyal di ruang bebas.

Dari kondisi di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

*) ketika target terbang pada ketinggian sedang dengan parameter hamper sama dengan jarak antara transmitter ke receiver maka


(12)

SCR > -68 – 20 log [Rx(km)] + σ *) nilai 2D dan 3D GDOP akan menjadi bagus Target terbang tinggi

Kondisi ini mirip pada konvensional radar, dimana Rts ~ Rsr ~ R. Untuk menentukan target, maka sinyal dibandingkan kekuatannya dari area yang luas. Ukuran luas area akan sebanding dengan kuadrat dari ketinggian target.

Dari kondisi tersebut, maka nilai SCR dapat dihitung sebagai berikut :

SCR> -68 -20log[Rx/R2(km)] + σ

Dengan menambahkan power dari beberapa receiver ∆SCR=20log(R/Rx(km)) maka nilai SCR sistem menjadi:

SCRsystem > -68-20log{Rtr/RxR(km)] + σ Jarak , elevasi maupun azimuth target dapat dihitung pada kondisi ini, namun transverse posisinya akan lebih susah ditetukan.

Dari rumusan di atas, dapat disimpulkan secara teoritis teknologi seluler dapat dimanfaatkan untuk passive radar. Dengan kondisi semakin jauh target dari transmitter/receiver maka performasi cellular radar untuk mendeteksi target akan semakin turun.

4. CELLULAR RADAR DENGAN TEKNOLOGI WCDMA

4.1

Perhitungan probabilitas deteksi oleh

Radar

Deteksi pada konsep radar berdasar pada besarnya sinyal echo yang ditangkap oleh radar dibatasi level threshold (Vt). Jika sinyal tersebut

masuk level threshold berarti radar berhasil melakukan deteksi (detection). Sedangkan jika sinyal tersebut besarnya di bawah level threshold, berarti

false alarm.

Besarnya probabilitas detectin (Pd) maupun False

alarm (Pfa) dapat dicari dengan cara yang sama,

berdasarkan pada level threshold. Perbedaannya, pada saat terjadi false alarm hanya terdapat sinyal noise.

Gambar 3 : Threshold level pada sistem Radar

Pada umumnya, besarnya nilai SNR minimum dapat dicari dengan menghitung Pd dan Pfa. Dari hal

tersebut dapat ditentukan jarak maksimum jangkauan radar.

Dari tumus (1), dengan kondisi Rmax dapat dicari

probabilitas sebuah radar mendeteksi sasarannya. Perbedaannya, pada saat terjadi false alarm hanya terdapat sinyal noise.

(

)

2 2

min fa d 4 3

max

.

.

.

Pe

P , P

.(4 )

Pt G

R

λ σ

π

=

..….(10) Rumus di atas menggambarkan, bagaimana pengaruh Pemin (SNR) berpengaruh terhadap Rmax. Sedangkan

pada rumus selanjutnya (13), menggambarkan hubungan antara Pfaa dengan proportioning noise envelopo(Tfa) terhadap waktu.

1 fa

1

( ) 1

P

( ) .

N k

k k av

N

k av fa

k k t t T T T = = =

= =

B ..….(11) 0 d 2 2 ( ) 2 d 0 0 0

P

( )

P

.

. .(

).

t t s V R A V

P R dR

R

R

e

ω

I

ω

ω

∞ + ∞

=

=

A

dR

..….(12) Rumus (12) menggambarkan hubungan antara probabilitas deteksi dengan besarnya sinyal yang memenuhi level threshold. Berdasarkan rumus empiris yang diusulkan oleh albersheim, hubungan antara Pd

,Pfa dan SNR adalah sebagai berikut : SNR = A + 0.12 AB + 1.7B

Ket :

A = ln (0.62/Pfa)

B = ln [Pd/(1-Pd)]

4.2 Perhitungan probabilitas deteksi oleh cellular

Dengan skema sinkronisasi parallel, maka cara ini akan mencari nilai terbesar dari autokorelasi antara urutan PN (PN sequence) dengan nomor path. Receiver akan men-generate sinyal PN untuk setiap path, dan menghasilkan intentional time-delay sesuai dengan pathnya. Sebuah sinyal PN yang diterima, meliputi time-delay yang dihasilkan oleh channel dan sinyal yang dikorelasikan dengan PN –codes (yang di-generate di setiap path oleh receiver). Penggabungan PN dilakukan dengan menyeleksi path


(13)

yang menunjukkan nilai autokorelasi terbesar diantara path-path tersebut. Oleh karena itu, berikut kejadian yang dimungkinkan selama penggabungan PN :

- Deteksi : sukses deklarasikan path yang mempunyai nilai korelasi terbesar.

- False alarm : sukses deklarasikan path, tetapi path tersebut bukan merupakan nilai yang terbesar.

-Miss : gagal deklarasikan path, walaupun path tersebut mempunyai nilai korelasi terbesar.

2 2 0 d ( ) 2 1, 2 2 ( ) 2 0 0 0

P

.

1

.

.

2

x

.

. .(

).

k

t

u L

j j j k

R A

V

u

e

du

R

RA

e

I

dR

μ σ

ω

μ

σ

σ π

ω

ω

− − ∞ = ≠ −∞ + ∞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠

=

Φ

Probabilitas deteksi dalam penggabungan PN dapat dirumuskan sebagai berikut :

d k th

d j k th

d

th

d

j k th

( 1,

P (u is the largest|k path is aligned) P (u <U , | k path is aligned) P

(u|k path is aligned) P

(u <U ,

| k path is aligned).

1

.

.

2

k u L j j j k

P

P j k

P du

P

j

k

u

e

μ

μ

σ

σ π

∞ −∞ − − ∞ = ≠ −∞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎝ ⎠ = = ≠ =

=

Φ

2 2 ) 2σ

.

du

..….(13) Probabilitas ditentukan oleh autokorelasi urutan PN. Keseluruhan autokorelasi dipengaruhi oleh jarak yang dilalui sinyal. Dengan kata lain, jarak antara Base Station (BS) , target, dan receiver merupakan faktor paling signifikan dalam menentukan besarnya probabilitas deteksi oleh seluler.

Besarnya sinya yang diterima dari sistem komunikasi berbeda antara daerah perkotaan dengan daerah luar kota. Tentunya variasi dari sinyal penerimaan ini mempengaruhi besarnya proabilitas deteksi seluruh sistem cellular radar.

4.3 Perhitungan probabilitas deteksi oleh cellular

radar-WCDMA

Definisi deteksi pada sistem Radar maupun sistem komunikasi seluler telah ditetapkan. Kedua pendfinisian tersebut penting untuk mendefinisikan deteksi cellular radar-WCDMA. Pada sistem cellular radar, sistem seluler harus sinkron secara sempurna dengan prosedur penggabungan PN, sebelum menentukan apakah sinyal masuk dalam threshold level atau tidak.

Untuk itu, definisi dari deteksi cellular radar berdasar teknologi WCDMA ditetapkan sebagai berikut : sebuah sinyal terdeteksi apabila sinkronisasi sempurna pada penggabungan PN dan kuat sinyal berada dalam threshold level. Secara matematis, merupakan perkalian dari deteksi radar dengan deteksi cellular :

..….(14)

4.4 Pekerjaan mendatang

Melakukan simulasi untuk membuktikan deteksi

cellular radar. Besarnya parameter-parameter yang dipakai dalam simulasi ditentukan sebagai berikut :

Pilot power 3.6 W

Pilot frequency 100 pilot / second Detection hight 500-2000m Detection radius 0-2000m False alarm probability 1.11 x 109 Height of RX & TX 30 m Dwell time 104 sec Path-loss exponents 2 (suburban)

3 (urban)

5 KESIMPULAN

Secara teoritis teknologi seluler dapat dimanfaatkan sebagai passive radar atau dikenal dengan sebutan cellular radar. Dengan teknologi selulser WCDMA deteksi pada cellular radar sudah didefinisikan sebagai gabungan antara deteksi pada seluler dan deteksi pada Radar, yaitu sinkronisasi sempurna pada penggabungan PN dan kuat sinyal berada dalam threshold level . Tulisan ini dapat menjadi dasar untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan teknologi seluler sebagai passive radar. Dan dengan memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada, tidak menutup kemungkinan memanfaatkan teknologi cellular radar ini, sebagai teknologi alternatif guna memenuhi tuntutan kebutuhan TNI –AU.

DAFTAR REFERENSI [1]http://www.cit.iit.bas.bg/cit_online_contents.html [2]http://www.nga.mil/MSISiteContent/StaticFiles/N AV_PUBS/RNM/310ch1.pdf [3]http://www.radartutorial.eu [4]http://www.tniau.mil.id/forum/printable.asp?m=47 9

[5]Mabes TNI AU, Doktrin TNI AU Swa Bhuwana Paksa, Jakarta, 2007.

[6]Miceli,Andrew,Wirelesstechnician’shandbook.2nd ed,Artec house Inc.,2003

[7]Sahr John D, An investigation of a distributed passive radar system,2001.


(14)

Analisa FDOA-RADAR Sekunder

Terhadap Gangguan Random Noise

Wahyu Widada dan Sri Kliwati

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Raya LAPAN Rumpin, Bogor Indonesia Email:w_widada@yahoo.com, sri_kliwati@yahoo.com

ABSTRAK

RADAR (Radio Detecting And Ranging) tipe sekunder untuk tracking roket dikembangkan dengan menggunakan linear chirp signal sebagai sub-carrier. Perbedaan frekuensi signal yang dikirim dan diterima digunakan untuk menghitung jarak. Tulisan ini membahas hasil analisa pengaruh random noise terhadap akurasi pengukuran jarak. Hasil simulasi menunjukkan metoda FDOA (Frequency Domain of Arrival) sangat handal terhadap gangguan noise hingga SNR (signal to noise ratio) 0.33.

Kata Kunci: FDOA, RADAR sekunder, noise, tracking roket.

1. PENDAHULUAN

LAPAN sedang mengembangkan sistem RADAR sekunder untuk memantau ujicoba peluncuran roket. RADAR yang dikembangkan menggunakan radio dengan frekuensi UHF antara 300 – 500 MHz. Radio tersebut dikembangkan sendiri secara khusus sehingga dapat menjangkau jarak jauh dan tidak terganggu oleh frekuensi radio amatir. Sedangkan sub-carrier yang berupa signal RADAR digunakan untuk deteksi delay waktu dan jarak roket. Signal pulsa dengan frekuensi dan repetition tertentu telah dicoba sebagai sub-carrier dan dapat mengukur delay secara akurat menggunakan algoritma

Generalized Cross-Correlation (GCC). Sedangkan

alternatif lainnya adalah menggunakan signal chirp. Signal ini mempunyai amplitudo yang konstan dan frekuensi yang berubah baik secara linier, parabolik, dan lain-lain.

Tulisan ini membahas hasil analisa FDOA pada sistem RADAR sekunder untuk aplikasi tracking roket terhadap gangguan random noise. Penambahan random noise hingga SNR menjadi 0.33, sehingga sudah cukup mewakili terjadinya noise hingga menutupi signal yang dipantulkan oleh transponder.

2. FDOA RADAR SEKUNDER

Sistem RADAR sekunder adalah seperti pada gambar dibawah. Ground station terdiri dari

transmitter dan receiver. Kemudian pada muatan

roket terdiri dari receiver dan transmitter

(transponder), dengan masing-masing gelombang

frekuensi yang berbeda (Gambar 1).

Gambar 1: Sistem RADAR sekunder untuk tracking roket.

Transponder

Transponder pada muatan roket seperti sebuah cermin retroreflector yang dapat memantulkan kembali sinar yang diterima, sehingga signal radio yang diterima langsung dikirim kembali ke stasiun pengamat. Jika kecepatan gelombang radio adalah C = 3×108m/s dan waktu yang dibutuhkan oleh signal radio di atmosphere adalah TA, maka jarak tempuhnya

D adalah sebagai berikut.

2

A

CT

D

=

(1) Delay signal ini dapat diukur dari signal referensi dan signal yang diterima.

Sub-carrier signal RADAR sekunder dapat

menggunakan chirp signal, sehingga delay waktu dapat dihitung dari perbedaan frekuensi antara signal yang dikirim dan signal yang dipantulkan. Akurasi pengukuran jarak menjadi sangat tergantung pada koreksi perubahan frekuensi dan kecepatan perubahan frekuensi (chirp rate). Persamaan berikut adalah hubungan antara perubahan frekuensi dan delay waktu.

SSR Transceiver Ground Station Antenna

Range

2

C T D=Δ ×


(15)

μ

f

T

=

Δ

Δ

(2) Disini μ adalah sebagai chirp rate dalam Hertz/detik. Semakin lebar perubahan frekuensi atau semakin cepat nilai μ, maka akurasi delay waktu juga semakin akurat.

Tabel 1: Parameter analisa akurasi FDOA.

Parameter Nilai Jarak maksimum

f0

ft

Tc

C

10 km 1 kHz 100 kHz 10/c detik 3x108 m/detik Gambar 2 adalah ilustrasi perubahan frekuensi pada signal chirp terhadap delay yang terjadi. Analisa dilakukan dengan parameter untuk pengukuran roket hingga hingga 10 km. Rangkuman parameter adalah seperti pada Tabel 1 distas.

Gambar 2: Ilustrasi signal RADAR yang dikirim dan yang dipantulkan.

Gambar 3: Time-frequency feature of an LFM.

2.1 Pengaruh Perubahan Bandwidth Frekuensi.

Dari persamaan (2) di atas, maka jika perubahan Δf semakin cepat (bandwidth lebar) akan semakin akurat.

Gambar 3 di atas adalah hubungan antara perubahan frekuensi dan waktu. Dalam pengembangan hardware, maka harus diusahakan agar waktu perubahan secepat mungkin dan frekuensi yang dirubah menjadi lebih lebar.

2.2 Pengaruh Noise Terhadap Akurasi Jarak.

Jika sinyal yang dikirim adalah s(t), maka dengan penambahan noise random n(t) dapat ditulis kembali menjadi sebagai berikut:

S

R

( ) ( ) (

t

=

s

t

+

n

t

)

(3) Disini SR(t) adalah sinyal yang diterima. Signal to Noise ratio SNR sinyal yang diterima dapat dirubah-rubah dengan amplitudo random noise. Dalam analisa kali ini perubahan SNR hingga senilai 0.3 diaplikasikan untuk menguji algoritma pada receiver.

3. HASIL ANALISA

Gambar 4 adalah signal linear chirp signal sebagai sub-carrier. Signal tersebut jika ditulis dengan persamaan sebagai berikut:

( )

+

=

2

0

2

cos

t

T

t

f

t

S

C

β

π

(4) Disini f0 adalah frekuensi awal, ß adalah lebar perubahan frekuensi dan TC adalah waktu yang diperlukan untuk merubah frekuensi.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

-1 -0.5 0 0.5 1

time(s)

y(

t)

u

Tc

B f

Gambar 4: Signal linear chirp sebagai sub-carrier. Spektrum signal pada gambar 4, dapat dihitung dengan

algoritma FFT seperti pada gambar 5 berikut.


(16)

0 100 200 300 400 500 0

0.02 0.04 0.06 0.08 0.1

Frequency (Hz)

Po

wer

Gambar 5: Spektrum frekuensi chirp signal.

Gambar 6: Spektrogram signal chirp antara frekuensi dan waktu.

Spektrogram signal antara perubahan waktu dan frekuensi dapat dihitung dengan algoritma SFFT seperti pada gambar 6. Signal yang dipantulkan pada saat delay 0.3 detikadalah seperti gambar 7. Dari perbedaan frekuensi pada gambar 4 dan 7 maka delay terebut dapat kita prediksi.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

-1 -0.5 0 0.5 1

time(s)

y(

t)

Gambar 7: Signal RADAR yang dipantulkan dengan delay 0.3 detik.

Kemudian spektrogram dari signal di atas adalah seperti pada gambar 8 berikut.

Gambar 8: Spektrum signal yang dipantulkan .

Kemudian perubahan frekuensi antara signal yang dipantulkan dan yang dikirim seperti pada gambar 9 berikut. Delay waktu adalah 0.3 detik, sehingga menurut persamaan (2) diatas, perbedaan frekuensi yang timbul adalah sebesar 75 Hz. Pada gambar 9 juga terlihat hasil yang mirip antara delay yang telah ditentukan dengan delay dari algoritma yang telah dikembangkan.

0 100 200 300 400 500

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Frequency (Hz)

Pow

e

r

Gambar 9: Delay waktu dengan menghitung perubahan frekuensi.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

-1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

time(s)

y(

t)

Gambar 10:Signal yang dipantulkan ditambah dengan random noise (SNR=1).


(17)

0 100 200 300 400 500 0

0.05 0.1 0.15 0.2

Frequency (Hz)

Po

we

r

Gambar 11:Spektrum signal frekuensi yang dipantulkan.

Untuk menguji algoritma di atas maka dengan menambahkan random noise seperti pada gambar 11 di atas. Pada gambar tersebut terjadi perubahan frekuensi sekitar 75 Hz dan pada signal frekuensi rendah. Kemudian dengan algoritma spektrogram, maka signal dalam waktu dan frekuensi adalah seperti pada gambar 12. Pada gambar tersebut, perubahan ciri chirp masih terlihat dengan jelas. Sedangkan pengaruh noise hanya menambah offset dari frekuensi yang melatar belakangi.

Gambar 12: Spektrogram signal dengan noise.

Kemudian delay waktu dihitung seperti pada gambar 8, dan hasilnya seperti terlihat pada gambar 13 berikut.

0 100 200 300 400 500

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

Frequency (Hz)

Pow

e

r

Gambar 13:Perubahan frekuensi yang menunjukkan perubahan delay.

Hasil perhitungan delay waktu antara gambar 9 dan gambar 13 menunjukkan nilai yang sangat mirip. Hal ini menunjukkan bahwa dari hasil tersebut algoritma yang telah dikembangkan handal terhadap gangguan noise (SNR=1).

Sedangkan gangguan noise yang lebih besar lagi (SNR=0.33), perubahan frekuensi masih dapat dideteksi seperti pada gambar 14 dibawah ini.

0 100 200 300 400 500

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Frequency (Hz)

Po

wer

Gambar 14: Hasil perhitungan frekeunsi saat SNR = 0.33.

4. KESIMPULAN

Pada sistem FDOA untuk RADAR sekunder, bandwidth signal chirp dan kecepatan lebih lebar dan cepat akan menambah akurasi delay yang diukur. Untuk jarak maksimum roket 10 km bandwidth yang diperlukan pada signal chirp minimal 40 kHz. Tambahan random noise hingga SNR = 0.33 tetap dapat mengukur dengan baik, sehingga aplikasi FDOA ini juga cocok untuk RADAR sekunder. Hardware signal chirp generator akan dibahas lebih detail dalam tulisan tersendiri.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada LAPAN yang telah memfasilitasi dan mendanai proyek pengembangan RADAR sekunder.

DAFTAR REFERENSI

1. Wahyu Widada dan Sri Kliwati,” Desain Sistem Passive RADAR Radio UHF Untuk Aplikasi Uji

Terbang Roket ”, Posiding SITIA ITS-Surabaya

2008.

2. Wahyu Widada dkk,” Metoda Kalibrasi TDOA

Untuk Sistem Passive RADAR Trayektori Roket”,

IES ITS 2008 Surabaya.

3. Wahyu Widada, Sri Kliwati,”Frequency-Domain TDOA Estimation Of Passive RADAR For Rocket

Flight Test”,Prosiding Seminar Nasional Fisika

2008 ITB Bandung.

4. Robert J. Purdy etal, "Radar Signal Processing", LINCOLN LABORATORY JOURNAL VOLUME 12, NUMBER 2, 2000.


(18)

5. Wahyu Widada, ”Rancangbangun Robot Pencari Asal Arah Suara Berbasis Jaringan Saraf

Tiruan”, Thesis Sarjana Engineering Waseda

University, Tokyo JAPAN 1994.

6. Donald F. Breslin, “ADAPTIVE ANTENNA

ARRAYS APPLIED TO POSITION LOCATION”,

Master Thesis Virginia Polytechnic Institute and State University.


(19)

Sistem Identifikasi Pesawat Menggunakan Kecepatan dan

Radar

Cross Section

Pesawat Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan

Backpropagation

Maman Darusman

1

, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari

2

, Aciek Ida Wuryandari

3 1) 2) 3) Sekolah Teknik Elektro dan Informatika – ITB,

Gedung Labtek VIII Kampus ITB, Jl. Ganesha No. 10 Bandung, 40132 – INDONESIA 2) Departemen Elektronika, Akademi TNI Angkatan Udara,

Ksatrian Akademi TNI AU, Lanud Adisutjipto, Yogyakarta, 55002 - INDONESIA 1)maman_darusman@yahoo.com, 2) arwin91aau@yahoo.co.id, 3)aciek@lskk.ee.itb.ac.id

ABSTRAK

Radar digunakan untuk mendeteksi adanya obyek yang digunakan baik itu untuk kepentingan militer maupun sipil. Dalam bidang militer, Radar digunakan untuk mendeteksi adanya pesawat terbang yang sedang beroperasi di wilayah udara yang bersangkutan. Radar tidak hanya dapat mendeteksi pesawat tetapi juga dapat menerima informasi mengenai karakteristik pesawat, sehingga informasi karakteristik pesawat tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis pesawat. Informasi pesawat terbang yang dapat diketahui melalui Radar di antaranya adalah kecepatan dan penampang atau Radar Cross Section (RCS). Untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara diperlukan aplikasi di Radar yang dapat mengolah informasi pesawat yang terdeteksi sehingga menghasilkan keluaran berupa jenis pesawat. Dalam makalah ini dibahas desain dan implementasi perangkat lunak system identifikasi jenis pesawat terbang berbasis jaringan syaraf tiruan backpropagation menggunakan data kecepatan dan radar cross section sebagai parameter identifikasi. Aplikasi ini diberi nama Sistem Identifikasi Pesawat Terbang Berbasis Backpropagation Network (SIPT-BBPN). Aplikasi ini diimplementasikan menggunakan bahasa pemrograman MATLAB dengan memanfaatkan toolbox neural network. Hasil simulasi terhadap perangkat lunak disertakan untuk menunjukkan bahwa perangkat lunak yang dibuat memiliki kemungkinan besar untuk dapat diterapkan pada sistem radar nyata untuk kepentingan identifikasi pesawat terbang.

Kata kunci : Backpropagation, Identifikasi, Jaringan syaraf tiruan, Kecepatan, Radar, RCS

1. PENDAHULUAN

1.1 Konsep Dasar Radar

Radar adalah singkatan dari radio detection and ranging. Radar digunakan untuk mendeteksi, memperoleh posisi dan jarak suatu pesawat terbang, menghitung kecepatan, menghitung Radar Cross Section (RCS), dan mengetahui arah pesawat.

Prinsip utama dari teknologi radar adalah pemantulan gelombang elektromagnetik dan efek Doppler. Untuk mendeteksi suatu pesawat terbang radar memancarkan gelombang elektromagnetik melalui pemancarnya (transmitter) dan menerima pantulan gelombang elektromagnetik dari pesawat terbang tersebut dan diterima oleh penerima (receiver) radar. Konsep efek Doppler digunakan untuk menghitung kecepatan dan jarak dari pesawat terbang yang sedang dideteksi. Radar juga dapat membedakan obyek yang bergerak, misalnya pesawat, dengan obyek yang tidak bergerak dengan memanfaatkan konsep efek Doppler.

Frekuensi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan bervariasi mulai dari sekitar 3 MHz sampai 100 GHz. Frekuensi gelombang yang digunakan disesuaikan dengan jarak pendeteksian.

1.2 Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah suatu metoda pengolahan informasi yang menirukan kemampuan sel-sel syaraf manusia dalam mengolah data. Manusia mempunyai sel-sel syaraf yang disebut neuron yang memungkinkan dapat belajar, berfikir tentang sesuatu, mengenali dan mengingat sesuatu, membuat keputusan dan lain-lain. Itulah yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain. JST terdiri atas neuron-neuron yang berfungsi untuk mengolah informasi yang masuk. Data yang masuk ke suatu neuron diolah oleh suatu fungsi yang disebut fungsi aktivasi.


(20)

Sebagaimana halnya pada manusia, sebelum JST dapat digunakan untuk mengolah data, terlebih dahulu harus dilakukan pelatihan agar JST dapat mengetahui sasaran (target) yang benar dari suatu data yang dimasukkan. Dalam pelatihan tersebut terjadi penyesuaian terhadap bobot antar neuron. Penyesuaian bobot-bobot ini adalah proses penambahan pengetahuan pada JST setiap ia mengolah data atau informasi baru. Selama proses pelatihan, nilai bobot-bobot jaringan diperbarui terus-menerus hingga selisih atau kesalahan (error) antara keluaran jaringan terhadap mendekati targetnya sangat kecil sesuai yang telah ditentukan. Dalam praktiknya, terdapat beberapa metoda JST yakni perceptron, adaline, backpropagation, Adaptive Resonance Theory (ART), Adaptive Bidirectional Associative Memory (BAM).

1.3 Backpropagation

Backpropagation merupakan jaringan syaraf tiruan yang terdiri atas beberapa layer yaitu lapisan masukan (input layer), lapisan tersembunyi (hidden layer) dan lapisan keluaran (output layer). Pelatihan jaringan backpropagation adalah sebagai berikut : • data masukan ditransmisikan dari lapisan

masukan ke lapisan tersembunyi kemudian ke lapisan keluaran dengan nilai bobot awal, • dihitung error antara keluaran dengan targetnya, • jika error tersebut masih lebih besar dari error

yang diharapkan maka nilai error tersebut ditransmisikan kembali dari lapisan keluaran ke lapisan tersembunyi kemudian ke lapisan masukan,

• bobot disesuaikan untuk memperkecil error, • kemudian data masukan ditransmisikan lagi ke

lapisan keluaran melalui lapisan tersembunyi dengan bobot baru yang telah disesuaikan, • pelatihan selesai jika nilai kuadrat kesalahannya

atau mean square error (MSE) telah lebih kecil dari MSE yang diharapkan.

Fungsi aktivasi yang biasa digunakan dalam backpropagation di antaranya adalah sigmoid biner, sigmoid bipolar dan linier.

2. PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI

SISTEM IDENTIFIKASI PESAWAT TERBANG BERBASIS JST BACK

PROPAGATION NETWORK

Perangkat lunak identifikasi jenis pesawat yang dibuat memiliki beberapa batasan di antaranya adalah sebagai berikut :

a. data masukan untuk perangkat lunak ini adalah kecepatan dan RCS pesawat;

b. perangkat lunak ini belum diterapkan di Radar, maka data masukan dimasukkan melalui keyboard;

c. perangkat lunak ini dibuat dengan menggunakan program Matlab dengan memanfaatkan toolbox neural network yang ada di Matlab;

d. data sampel yang digunakan untuk dilatih oleh JST backpropagation ada 8 jenis pesawat beserta kecepatan dan RCS- nya. Berikut ini adalah data-data yang digunakan untuk melatih jaringan :

Tabel 1: Data jenis pesawat terbang, kecepatan rata-rata dan RCS[5].

No Jenis pesawat

terbang

Kecepatan rata-rata (km/jam)

RCS (m2)

1. Bell 47G 168,532 3

2. F-16 Fighting Falcon

1.470 5

3. Hawk 200 1000,08 8

4. Su-30 Sukhoi 2.878,75 15

5. Cobra AH-1S 227,796 18

6. Casa C-212 364,844 27

7. CN-235 PT DI 459,296 30

8. A-310 Airbus 980 100

Dikarenakan jenis pesawat terbang ditentukan oleh dua jenis data yaitu kecepatan rata-rata dan RCS, maka diperlukan dua JST untuk mengolah kedua data tersebut. JST pertama berfungsi untuk mengolah data kecepatan diberi nama JST1, sedangkan JST kedua berfungsi untuk mengolah data RCS diberi nama JST2. Dari data di atas dapat dibuat hubungan masukan dan target untuk kedua jaringan. Masukan dan target untuk kedua JST diperlihatkan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2: Masukan data dan pola target kecepatan pada JST1

No. Masukan Target

1. 168,532 00000001 2. 1.470 00000010 3. 1000,08 00000100 4. 2.878,75 00001000 5. 227,796 00010000 6. 364,844 00100000 7. 459,296 01000000 8. 980 10000000


(21)

Tabel 3: Masukan data dan pola target RCS pada JST2

No. Masukan Target

1. 3 00000001 2. 5 00000010 3. 8 00000100 4. 15 00001000 5. 18 00010000 6. 27 00100000 7. 30 01000000 8. 100 10000000 Arsitektur untuk kedua JST diperlihatkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1: Arsitektur JST1.

Gambar 2: Arsitektur JST2.

Jaringan JST1 dan JST2 yang dibuat kemudian dilatih dengan MSE yang diharapkan sebesar 0,001. Agar kedua jaringan yang dibuat dapat melakukan pelatihan dengan cepat dan akurat, maka perlu dilakukan pengujian terhadap beberapa kondisi yang mempengaruhi performa jaringan. Setelah dilakukan pengujian atau trial and error didapatkan hasil yaitu beberapa kondisi terbaik sebagai berikut :

a. Kondisi JST1

• Fungsi aktivasi di hidden layer adalah sigmoid biner dan fungsi aktivasi di output layer adalah linear.

• Jumlah neuron di hidden layer sebanyak 1000 neuron.

Learning rate yang digunakan besarnya 1. b. Kondisi JST2

• Fungsi aktivasi di hidden layer adalah sigmoid biner dan fungsi aktivasi di output layer adalah linear.

• Jumlah neuron di hidden layer sebanyak 20 neuron.

Learning rate yang digunakan besarnya 1.

3. Hasil Pelatihan SIPT-BBPN

Berikut ini adalah hasil pelatihan atau pembelajaran JST1 dan JST2 pada kondisi yang terbaik setelah dilakukan pengujian terhadap beberapa kondisi sebelumnya.

3.1 Hasil Pelatihan JST1

0 100 200 300 400 500 600

10-4 10-3 10-2 10-1 100 101 102

659 Epochs

T

rai

ni

ng

-B

lue

Go

a

l-B

lac

k

Performance is 0.00096893, Goal is 0.001

  Gambar 3: Grafik hasil pembelajaran JST1.

Dari grafik di atas diperoleh hasil MSE yang diharapkan dari pelatihan JST1 telah tercapai pada epoch ke 659.


(22)

Tabel 4a : Keluaran JST1 untuk data kecepatan Keluaran

1

Keluaran 2

Keluaran 3

Keluaran 4 -0.0005 -0.0022 0.1514 -0.0004

0.0003 0.0005 -0.0163 0.0001 0.0001 0.0007 -0.0520 0.0001 0.0001 0.0005 -0.0367 0.0001

-0.0001 -0.0007 0.0529 0.9999

-0.0003 -0.0006 1.0232 -0.0001

0.0002 1.0003 -0.0162 0.0001

1.0003 0.0004 -0.0132 0.0001

Tabel 4b: Keluaran JST1 untuk data kecepatan Keluaran

5

Keluaran 6

Keluaran 7

Keluaran 8

-0.0001 -0.0001 0.0019 0.8487

0.0003 0.0003 1.0001 0.0168

-0.0001 0.9999 -0.0008 0.0518

1.0000 0.0000 -0.0005 0.0366

0.0001 0.0001 0.0008 -0.0526 -0.0003 -0.0003 0.0000 -0.0237

0.0001 0.0001 -0.0001 0.0164 0.0003 0.0002 0.0001 0.0137

4. Hasil Pelatihan JST2

0 100 200 300 400 500 600 700 800 10-4

10-3 10-2 10-1 100 101

824 Epochs

T

rai

ni

ng-B

lue

G

oa

l-B

lac

k

Performance is 0.000984005, Goal is 0.001

  Gambar 4: Grafik hasil pembelajaran JST2. Dari grafik di atas diperoleh hasil MSE yang diharapkan dari pelatihan JST2 telah tercapai pada epoch ke 824.

Tabel 5a: Keluaran JST2 untuk data RCS Keluaran

1

Keluaran 2

Keluaran 3

Keluaran 4 -0.0068 0.0084 -0.0055 0.0160

0.0297 -0.0426 0.0138 -0.0031 -0.0096 0.0117 -0.0032 0.0074

0.0185 -0.0261 0.0045 0.0100 -0.0342 0.0501 -0.0107 0.9843

0.0238 -0.0313 1.0046 0.0039

0.0601 0.9045 0.0413 -0.0095

0.9264 0.1128 -0.0384 -0.0082

Tabel 5b: Keluaran JST2 untuk data RCS Keluaran

5

Keluaran 6

Keluaran 7

Keluaran 8 -0.0384 0.0617 -0.0359 0.9994

-0.0008 0.0091 0.9893 -0.0002

-0.0084 0.9895 0.0168 -0.0011

0.9725 0.0590 -0.0389 -0.0003

0.0307 -0.0395 0.0204 0.0018 -0.0038 0.0041 -0.0018 -0.0007

0.0062 -0.0146 0.0110 -0.0017 0.0268 -0.0333 0.0155 0.0029 Berdasarkan hasil pembelajaran pada masukan-masukan data kecepatan dan RCS yang diperlihatkan pada Tabel 4 dan Tabel 5, maka SIPT-BBPN yang dirancang dan diimplementasikan telah mampu mencapai hasil yang memuaskan. Untuk menguji sistem, akan dilakukan validasi pada Bagian IV.

5. VALIDASI SIPT-BBPN

Setelah dibuat jaringan yang optimal kemudian dibuat perangkat lunaknya. Pada penelitian ini untuk mengidentifikasi dilakukan tiga kali deteksi terhadap pesawat oleh radar. Jenis pesawat ditentukan melalui voting dari hasil kedua jaringan syaraf tiruan.

Gambar 5: Tampilan jendela SIPT-BBPN.

a. Pengujian kesatu

Untuk pengujian, SIPT-BBPN akan menerima tiga data masukan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 6, sedangkan hasil pengujiannya diperlihatkan pada Tabel 7.


(23)

Tabel 6: Data validasi SIPT-BBPN

Data masukan Deteksi

pertama

Deteksi kedua

Deteksi ketiga

Data kecepatan 168 169 167

Data RCS 3 3.2 2.7

Tabel 7: Hasil validasi SIPT-BBPN Keluaran Berdasarkan Informasi Jenis Pesawat Terbang Jumlah Informasi

Kecepatan Bell 47G 3

RCS Bell 47G 3

Hasil akhir Bell 47G

b. Pengujian kedua

Untuk pengujian, SIPT-BPN akan menerima tiga data masukan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 8, sedangkan hasil pengujiannya diperlihatkan pada Tabel 9.

Tabel 8: Data validasi SIPT-BBPN

Data masukan Deteksi

pertama

Deteksi kedua

Deteksi ketiga

Data kecepatan 100 200 300

Data RCS 4 5 6

Tabel 9: Hasil validasi SIPT-BBPN Keluaran Berdasarkan Informasi Jenis Pesawat Terbang Jumlah Informasi

Kecepatan Cobra AH-1S 1

RCS F-16 Fighting

Falcon

3 Hasil akhir F-16 Fighting Falcon Hasil ini menunjukkan bahwa SIPT-BBPN dapat mengidentifikasi dengan tepat jenis pesawat terbang yang dideteksi dengan variasi data kecepatan dan RCS yang diterimanya.

6. KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa JST-BPN dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis pesawat terbang berdasarkan kecepatan dan RCS. Kemampuan identifikasi ini diperoleh dari proses pembelajaran bertahap dengan pemilihan parameter-parameter pembelajaran JST yang meliputi jumlah neuron, laju pembelajaran, dan jenis fungsi aktivasi yang diaplikasikan pada lapisan tersembunyi dan lapisan keluaran guna untuk mendapatkan MSE sebesar 0,001. Dengan MSE yang sangat minimal, kesalahan identifikasi pesawat terbang dapat diminimalkan.

Pada tahap pelatihan jaringan untuk memperoleh MSE yang diharapkan dengan waktu yang lebih cepat maka cara yang diambil adalah menambah jumlah neuron di hidden layer, cara ini terbukti dengan baik.

Dari validasi yang telah dilakukan, SIPT-BBPN berusaha melakukan generalisasi untuk mengidentifikasi data masukan parameter-parameter pesawat terbang yang diterimanya sehingga mampu memberikan estimasi yang tepat mengenai identitas pesawat terbang yang dideteksinya. Dengan hasil ini, SIPT-BBPN memiliki kemungkinan untuk diuji coba pada sistem radar namun tentunya dengan beberapa penyempurnaan yang diperlukan.

DAFTAR REFERENSI

[1] Fausett, Laurene (1993), Fundamental of Neural Networks, Prentice-Hall.

[2] Freeman, James A., Skapura, David M. (1991), Neural Networks Algorithms, Applications, and Programming Techniques, Addison Wesley Longman Publishing Co., Inc., Redwood City.

[3] Hall, David L., Llinas, James (2001), Handbook of Multisensor Data Fusion, CRC Press, United States of America.

[4] Harre, Ingo (2004), RCS in Radar Range Calculations for Maritime Targets, http://www.mar-it.de/Radar/RCS/RCS_xx.pdf, 24 November 2008, 20.30 WIB.

[5] Nopriansyah (2008), System Identification Friend, Foe or Neutral Radar Menggunakan Radar Cross Section dan Kecepatan Pesawat, Tugas Akhir, Institut Teknologi Bandung. [6] Skolnik, Merril I. (1990), Radar Handbook,

McGraw-Hill, United States of America, 2nd Edition.

[7] Wesling, Andreas (2002), Radar Target Modelling Based on RCS Measurement, Linkoping.

[8] ______________, Doppler Effect in Accoustics, http://physics-animations.com/Physics/English/wave_txt.htm #Doppler, 25 November 2008, 20.00 WIB. [9] ______________, A-OA-148-001/AG-000

Manual of Instrument Flying, http://www.icpschool.com/Downloads/files/O-OA-148/pdfs/Chap21a.PDF, 2 Desember 2008, 09.00 WIB.

[10] ______________,

http://www.airtoaircombat.com, 3 Februari 2008, 11.00 WIB.

[11] ______________, Lab Exercise 7 : Doppler

Radar, http://www.eecs.umich.edu /emag/labmanual/EECS330_LE7.pdf, 3 Desember 2008, 10.00 WIB.

[12] ______________, Radar, http://lasonearth.files.wordpress.com/2008/05/ pdf_ radar1.pdf, 3 Desember 2008, 10.15 WIB.

[13] ______________, (2004), Neural Network Toolbox For Use with with Matlab®: Getting Started, The MATH WORKS Inc., Version 7.


(24)

The Performance of Supervised and Unsupervised

Neural Networks in Performing Aircraft Identification Tasks

Arwin Datumaya Wahyudi Sumari

1)

Aciek Ida Wuryandari

2)

Maman Darusman

2)

Nur Ichsan Utama

2)

1) Departemen Elektronika, Akademi Angkatan Udara Jl. Laksda Adisutjipto, Yogyakarta 55002 – INDONESIA

Telp. 0274 486922 ext 6101 Fax. 0274 488918 Email: arwin91aau@yahoo.co.id

2) Sekolah Teknik Elektro dan Informatika - ITB,

Kampus ITB Labtek VIII Lantai 2, Jl. Ganesa 10, Bandung 40132 – INDONESIA

Telp. 022 2502260 Fax. 022 2534222 Email: aciek@lskk.ee.itb.ac.id,

maman_darusman@yahoo.com, nur_ichsan@ymail.com

ABSTRACT

This paper is a report on our research progress in the area of aircraft identification by utilizing neural networks and information fusion. In this paper we address the performance comparison of supervised and unsupervised neural networks in aircraft identification tasks in a generic system called Neural Network-based Aircraft Identification System (NN-AIS). We select Adaptive Resonance Theory (ART) for the unsupervised neural network and Back Propagation Network (BPN) for the supervised one. As for previous research, we use two kinds of input namely aircraft Radar Cross Section (RCS) and average speed. Their performance will be

validated by using already-learnt and never-learnt patterns.

Keywords: ART, BPN, aircraft identification, RCS, speed

1. INTRODUCTION

Aircraft identification task is a critical matter to recognize the identity of an aircraft that is entering a monitored air space. The sooner the observed aircraft is identified, the faster the authorized authority can make a decision. In normal flight procedure, all aircraft flight plans must be reported to the authorized authority to be recorded. The records will be used to monitor every single aircraft movement in the monitored air space.

The reported flight plans ease the authority to track and identify a certain aircraft that is displayed on monitor room’s displays. A problem is arisen when the authority cannot identify a certain aircraft that is detected by radar system. There are two possibilities when an aircraft cannot be identified. First, there is a possibility the aircraft transponder for answering the interrogation signal from ground station is not working properly or failed. Second, there is an intention to turn-off the transponder in order to hide the aircraft identity.

For the second reason, we can conclude that the aircraft must be in undercover missions and can be a threat to our country’s sovereignty. Because of it, the authority must have a way to identify the unidentified aircraft before something harmful occurs in the future. One of ways in identifying aircraft is by using its Radar Cross Section (RCS) value and combining it with its speed. On the other hand, one approach that has been known well for object recognition is neural networks.

In this paper we address the utilization of two kinds of neural network architecture for performing aircraft identification tasks namely supervised and unsupervised. We use the two types of input for training and validating the networks and measure their performance. In general our proposed system is called as Neural Network-based Aircraft Identification System (NN-AIS).

The structure of the paper is as follows. Section 1 cover the background of the paper and it will be followed by Section 2 which covers a short introduction to neural networks as well as related matters to aircraft RCS and speed. Section 3 presents the NN-AIS design as well as the NN training. Section 4 delivers the system validation. The paper is summarized in Section 5 with some concluding remarks.

2. A SHORT INTRODUCTION TO NEURAL

NETWORK AND AIRCRAFT RCS

In this section, we will present a short introduction to neural network, its learning paradigm taxonomy, and a brief explanation regarding two types of learning paradigm we select for our research. We also deliver a very brief explanation regarding aircraft RCS and speed.

2.1. Neural Network

The most basic constructing element of a human nervous system is a neuron which is called as “processing unit” as presented in Figure 1. According


(25)

to Shepherd and Koch (1990) in Haykin (1994), human brain has more than 10 billion neurons and 60 trillion synapses or connections between neurons. Even though it is relatively slower than computer systems that are made up from nano-technology silicon gates, it can do highly complex, nonlinear, and parallel tasks such as pattern recognition and perception, faster and very much better than the best computing system that human ever created.

Figure 1: Neuron or nerve cell.

Because the neural networks are good for recognition tasks, some earlier researchers such as McCulloch-Pitts, Grossberg, Minsky, etc., tried to model the nervous processing unit so its mechanism can be emulated in computing systems. From this perspective, we define Artificial Neural network (ANN) or usually called as just Neural Network (NN) as an emulation of human nervous system when performing information processing. Its characteristics are displayed on the ability to obtain new knowledge after a successful learning process and store it in the information storage which is its synaptic weights.

In more detail, NN is generalization of mathematical models of human cognition based on the assumptions that (Fausset, 1994):

• information processing occurs at many simple elements called neuron,

• signals are passed between neurons over connection links,

• each connection link has an associated connection weight which multiplies the signals transmitted,

• each neuron applies an activation function which is usually non linier, to its net input to determine its output signals.

Figure 2: A mathematical model of a neuron.

In NN model, neuron takes a set of inputs, , along with a set of connection or link or synaptic which are characterized by weights, . The summing junction, ∑, sums up the input signals that are amplified by the connection weights. The activation function,

m x km w

( )

.

ϕ , limits the net outputs in allowable values. The architecture of the NN model is depicted in Figure 2.

The general mathematical equations for neural information processing are given in Equation 1 for inputs summing process to obtain vk

0

=

=

m k kj

j

v w xj (1)

and Equation 2 for producing the NN output, yk.

( )

k k

yv (2)

2.2. Neural Network Learning Model Taxonomy

According to Haykin’s (1994) taxonomy, there are three NN learning models.

Supervised. The essential of this paradigm is the availability of an external supervisor, so there will be an input-output relation in order to find the most minimum disagreement between the NN outputs with the examples given by the supervisor.

Unsupervised or Self-Organized. In this

learning paradigm, there is no external teacher or examples to be learnt by the NNs. So, the NNs will perform a competitive learning rule where the winning neuron is entitled to keep the input in its memory.

Reinforcement Learning. This is the on-line

learning of an input-output mapping through a process of trial and error designed to maximize a scalar performance index called as reinforcement signal.

2.3. Supervised Neural Network – Back

Propagation Network

The BPN was developed to cope with the limitations of single-layer NN. The BPN actually is a feedforward NN that is trained by backpropagation which means the signals is propagated in reverse direction. The primary aim of NN training is to train the NN to achieve a balance between the ability to respond correctly to the input patterns that are used for training or memorization, and the ability to give reasonable responses to input that is similar that used in training or generalization.

In training the NN with backpropagation mechanism, there will be three steps, namely:

• feedforwarding the input training patterns to the NN input layer,


(1)

Radar memancarkan, disebut, suatu polarisasi gelombang Right-Hand-Circularly (RHC), kemudian polarisasi gelombang yang diterima Left-Hand-Circularly (LHC), sebab sedang menyebarkan dalam arah berlawanan. Oleh karena itu, energi back-scattered dari rain droplets mempertahankan perputaran gelombang yang sama (polarisasi) sebagai incident wave, tetapi telah dibalikkan arah dari propagasi. Hal itu mengikuti bahwa Radar dapat suppress rain clutter dengan co-polarizing antena pemancar Radar dan penerima. Penjelasan seperti RCS per volume resolusi unit , dihitung sebagai penjumlahan dari semua individu scatterers RCS di dalam volume [3]

(12)

di mana total jumlah dari scatterers dalam volume resolusi.

Total RCS dari suatu volume resolusi tunggal adalah

(13) Suatu resolusi volume ditunjukkan pada Gambar 6, dan diperkirakan dengan

(14) di mana, dan adalah, berturut-turut, antenna azimuth dan elevasi beam width dalam radian, lebar pulsa dalam detik, c kecepatan cahaya, dan R adalah jarak.

Gambar 6: Definisi dari volume resolusi.

Mempertimbangkan propagasi medium dengan suatu indeks pantul . ith rain droplet RCS diperkiraan dalam medium ini adalah

(15)

dimana

(16)

dan adalah ith diameter droplet. Sebagai contoh, temperatur antara 32 o F dan 68 o F adalah

(17) dan untuk es persamaan (17) dapat diperkirakan sebagai

(18) Substitusi persamaan (17) ke dalam persamaan (12) hasilnya adalah

(19) di mana koefisien clutter cuaca digambarkan sebagai

(20) Secara umum, diameter rain droplet diberikan dalam milimeter dan volume resolusi Radar dinyatakan dalam meter kubik, begitu unit dari Z sering dinyatakan dalam .

2.2.1 Persamaan Radar untuk Volume Clutter Persamaan Radar memberi jumlah tenaga yang diterima oleh Radar dari suatu target pada Jarak R sebagai [1, 3]

(21) di mana semua parameter dalam persamaan (21) telah digambarkan lebih awal. Daya yang diterima Clutter cuaca oleh Radar adalah

(22) Menggunakan persamaan (13) dan persamaan (14) ke dalam persamaan (22) dan digabung menghasilkan

(23) SCR untuk clutter cuaca dihitung dengan pembagian persamaan (21) dengan persamaan (23). Dengan tepat,

(24) di mana tulisan di bawah garis V digunakan untuk menandakan volume clutter.


(2)

3. MODEL CLUTTER

Model clutter yang dibahas dalam seksi ini adalah model statistik dari clutter [3]. Sejak clutter dalam suatu sel resolusi atau volume adalah terdiri atas sejumlah scatterers dengan fase acak dan amplitudo secara statistic, yang diuraikan oleh suatu fungsi distribusi probabilitas. Jenis distribusi tergantung pada sifat alami clutter sendiri (laut, daratan, volume), Radar yang beroperasi frekwensi, dan grazing angle.

Jika clutter laut atau daratan terdiri atas dari banyak kecil scatterers ketika kemungkinan dari echo penerima dari satu menyebar secara statistik tidak terikat pada echo penerima dari menyebar yang lain, kemudian clutter mungkin diperagakan menggunakan distribusi Rayleigh,

(25) di mana rata-rata nilai x kuadrat.

Log-Normal distribusi yang terbaik menguraikan clutter daratan pada grazing angle. Hal ini juga sesuai dengan clutter laut dalam daerah dataran tinggi. Diberikan oleh

(26)

di mana angka median dari variabel acak, dan adalah simpangan baku tentang variabel acak ln(x). Distribusi Weibull digunakan untuk model clutter pada low grazing angles (lebih sedikit dibanding lima derajat) untuk frekwensi antara 1 dan 10 GHz. Fungsi probabiliti Weibull Density ditentukan oleh parameter slope Weibull (sering ditabelkan) dan koefisien nilai tengah scatter , dan dirumuskan

(27) di mana dikenal sebagai bentuk parameter. Catatlah bahwa ketika distribusi Weibull menjadi suatu distribusi Rayleigh.

4. PEREDUKSIAN CLUTTER

Dalam seksi ini dijelaskan mengenai salah satu cara sederhana yang dipakai untuk penekanan clutter tanah (ground clutter) untuk Radar-Radar yang dipasang diatas tanah dengan kemampuan untuk deteksi kecepatan target (Doppler) [4, 5]. Hal ini dilakukan melalui penghilangan (clipping) puncak Doppler spektrum pada kecepatan Doppler 0 m/s (kedudukan Radar terhadap tanah tidak berubah), lihat Gambar 7. Pengurangan terhadap rata-rata dari U(t) sebelum FFT Doppler akan memberikan hasil yang sama, dimana U(t) ini adalah sinyal setelah proses

perhitungan jangkauan (Range) pada suatu sistem Radar. Penekanan ini penting dilakukan apabila dalam pengukuran-pengukuran dengan sudut elevasi rendah karena Radar lebih dekat dengan tanah.

Gambar 7: Penekanan clutter pada Doppler spectrum. 5. KESIMPULAN

Clutter mempunyai dampak terhadap kinerja Radar berupa kesalahan deteksi yang tinggi dan menurunnya akurasi. Telah dipaparkan kajian dan evaluasi dari clutter pada bidang keilmuan Radar. Ada dua jenis clutter yang dipaparkan yaitu area dan volume clutter. Dipresentasikan juga model statistik untuk clutter. Salah satu contoh pereduksian clutter dengan metoda clipping juga dipresentasikan.

DAFTAR REFERENSI

[1] Leo P. Ligthart, ’Short Course on Radar Technologies’, International Research Centre for Telecommunications and Radar, TU Delft, September 2005.

[2] Mark Richards, ’Radar Signal Processing’, McGraw-Hill, 2005.

[3] Bassem R. Mahafza, ‘Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB’, Chapman & Hall, 2005.

[4] S.H. Heijnen, ‘TARA Data Processing’, Report for Cloudnet, October 2003.

[5] S.H. Heijnen, J.S. Van Sinttruijen, W.F. Van der Zwan, L.P. Ligthart, ’A Dedicated Computer System for FM-CW Radar Applications’, Proceeding of 13th International Conference on Microwaves, Radar and Wireless Communications, 2000 (Mikon-2000).

[6] M.I. Skolnik, ’Radar Handbook’, McGraw-Hill, 1990.


(3)

Pembangkitan Chirp untuk Radar FM CW Menggunakan DDS

Purwoko Adhi

Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI Kampus LIPI Gd.20 Lt.4 Jl. Sangkuriang Bandung 40135 Indonesia Telp. +62 22 2504661 Fax. +62 22 2504659 Email: purwoko@ppet.lipi.go.id

ABSTRAK

Tulisan ini membahas penggunaan direct digital synthesis (DDS) untuk membangkitkan sinyal chirp pada radar dengan frequency modulated (FM) continuous wave (CW) .Perioda pengulangan chirp bisa dipilih secara manual menggunakan jumper. Frekuensi bawah, frekuensi atas, dan perioda pengulangan chirp digunakan untuk menghitung kenaikan frekuensi dan seberapa sering kenaikan frekuensi. Kemudian frekuensi bawah dan frekuensi atas dihitung kembali dengan memasukkan guard time. Semua parameter diprogram dengan memasukkan nilai bilangan biner yang sesuai pada register-register DDS yang telah ditentukan.

Kata kunci:radar, chirp, dds, fm cw

1. PENDAHULUAN

Berbeda dengan radar pulse yang memancarkan pulse-pulse frekuensi secara periodik, radar FM CW adalah radar generasi baru yang memancarkan sinyal secara terus menerus. Sebagai penganti fungsi pulse, sinyal yang dipancarkan oleh radar FM CW dimodulasi dengan sebuah sinyal yang memiliki period ekuivalen dengan periode pulse.

Sinyal yang digunakan untuk memodulasi pada radar FM CW bisa berupa sinyal sinusoidal, segi tiga, gigi gergaji, atau bentuk lain. Sinyal yang dimodulasi bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, di antaranya dengan menggunakan voltage controlled ocsillator (VCO) yang diberi sinyal sinusoidal, segitiga, atau gigi gergaji sebagai input, dengan menggunakan DDS, atau dengan cara lain.

Dalam aplikasi radar yang dikembangkan PPET-LIPI, telah dipilih sinyal gigi gergaji sebagai sinyal pemodulasi. Untuk alasan kemudahan dalam pengendalian sinyal dibangkitkan menggunakan DDS. Output DDS berupa chirp yang berulang dengan periode yang sama dengan sweeptime ditambah guardtime.

2. DDS

DDS adalah sebuah teknik yang menggunakan blok-blok pengolahan data digital sebagai cara untuk membangkitkan sebuah sinyal output yang bisa diatur frekuensi dan fasanya berdasarkan pada sebuah clock referensi yang presisi dan memiliki frekuensi tetap. Dalam sebuah asitektur DDS clock referensi dibagi dengan faktor skala yang telah diset sebelumnya dalam sebuah bilangan tuning biner yang bisa diprogram. Bilangan tuning memiliki antara 24 dan 48 bit yang memungkinkan sebuah implementasi DDS untuk menghasilkan resolusi frekuensi tuning dari output yang lebih tinggi.

Produk-produk DDS masa kini yang relatif murah, berperforma tinggi, terintegrasi secara fungsi, dan dikemas dalam ukuran kecil segera menjadi alternatif untuk solusi sintesiser analog tradisional. Integrasi sebuah konverter D/A, yang berkecepatan dan berperforma tinggi, dan arsitektur DDS di atas sebuah chip tunggal (membentuk apa yang dikenal dengan solusi DDS lengkap) memungkinkan teknologi ini menjadikan beragam aplikasi yang lebih luas sebagai sasaran dan, dalam banyak kasus, menyediakan alternatif yang menarik untuk sintesiser PLL analog. Untuk banyak aplikasi, solusi DDS memiliki kelebihan khusus dari sintesiser frekuensi analog ekuivalen yang menggunakan rangkaian PLL.

Beberapa kelebihan DDS di antaranya. Resolusi tuning mikro Hertz dari frekuensi output dan kemampuan tuning fasa di bawah satu derajat, semua di bawah kontrol digital penuh. Hopping speed yang sangat tinggi pada frekuensi output tuning atau fasa. Arsitektur digital DDS tidak memerlukan manual tuning berkaitan dengan umur dan pergeseran suhu. Interface pengendalian digital dari DDS arsitektur mempermudah situasi di mana sistem bisa dikendalikan dari jarak jauh dan dioptimasi di bawah kendali prosesor. Dan ketika digunakan sebagai sebuah sintesiser kuadratur, DDS menghasilkan matching dan kontrol yang tak tertandingi dari output I dan Q.

Komponen DDS yang digunakan dalam tulisan ini adalah AD9956 dari Analog Devices. Komponen ini memiliki 3 mode operasi. Yang pertama dan yang juga merupakan mode operasi default adalah mode single-tone. Akumulator fasa bekerja pada frekuensi tetap, sesuai dengan bilangan tuning dari profile yang aktif. Demikian juga dengan offset fasanya yang tetap dan sesuai dengan bilangan offset fasa dari profile yang aktif. Divais ini memiliki 8 profile fasa/frekuensi yang berbeda, masing-masing memiliki bilangan tuning frekuensi 48 bit dan bilangan offset fasa 14 bit. Profile dipilih dengan memberikan nilai digital pada


(4)

pin-pin profile-select (PS2, PS1, dan PS0). Namun tidak dimungkinkan menggunakan fasa dari satu profile dan frekuensi dari profile lain.

Yang kedua adalah mode linear sweep. Mode diaktifkan dengan memberikan nilai logik 1 pada bit linear sweep enable dari control register (CFR1<17>=1) namun dengan tetap membiarkan 0 pada bit linear sweep no dwell (CFR1<16>=0). Ketika komponen dalam mode linear sweep, akumulator frekuensi meningkatkan frekuensi output dari divais dari frekuensi bawah yang telah diprogram ke frekuensi atas atau sebaliknya. Frekuensi bawah diatur oleh bilangan tuning frekuensi dari Profile 0, dan frekuensi atas diatur oleh bilangan tuning frekuensi dari Profile 1.

Kombinasi logika dalam akumulator frekuensi mengharuskan nilai yang disimpan pada FTW0 selalu lebih rendah dari nilai yang disimpan dalam FTW1. Arah sweep dikendalikan oleh PS0. Logika 1 pada pin ini memerintahkan output untuk sweep ke FTW1. Logika 0 memerintahkan output untuk sweep ke FTW0.

Akumulator frekuensi membutuhkan 4 nilai, yang disimpan dalam register-register. Yang pertama adalah nilai kenaikan frekuensi yang menentukan berapa besar kenaikan frekuensi setiap kali frekuensi naik. Nilai ini disimpan dalam rising delta frequency tuning word (RDFTW). Yang kedua adalah seberapa sering frekuensi naik. Nilai ini disimpan dalam rising sweep ramp rate word (RSRR). Nilai RSRR menentukan berapa banyak siklus SYNC_CLK yang harus dihitung oleh akumulator frekuensi dari kenaikan frekuensi ke kenaikan frekuensi berikutnya. Yang ketiga dan keempat adalah ekuivalen dari yang pertama dan kedua untuk arah yang berlawanan, yaitu falling delta frequency tuning word (FDFTW) dan falling sweep ramp rate (FSRR).

Mode operasi yang ketiga adalah mode linear sweep no dwell. Mode inilah yang digunakan dalam aplikasi untuk radar yang sedang dikembangkan oleh PPET-LIPI. Mode ini diaktifkan dengan memberikan logika 1 pada bit linear sweep enable dan bit linear sweep no dwell dari register control (CFR<17:16>=1). Ketika komponen dalam mode ini, akumulator frekuensi menaikkan frekuensi output dari divais dari frekuensi bawah ke frekuensi atas. Pada saat frekuensi atas tercapai, akumulator langsung kembali ke frekuensi bawah, tanpa melihat apakah PS0 kembali ke 0 atau tidak. Mode ini hanya menggunakan RDFTW dan RSRR. Operasinya masih dikendalikan oleh pin PS0. Namun pin ini berfungsi sebagai trigger. Ketika transisi pada pin PS0 dari 0 ke 1 terdeteksi, komponen melakukan sweep penuh, tanpa melihat apakah pin PS0 kembali ke 0 atau tidak. Setelah sweep, selesai sweep lain bisa dilakukan dengan memberikan rising edge lain pada pin PS0. Ini berarti pin PS0 harus dikembalikan ke 0 sebelum sweep berikutnya.

AD9956 memiliki 14 register yang bisa diakses, dibaca atau ditulis, melalui port interface serial. Mereka adalah Control Function Register 1 (CFR1), CFR2, Rising Delta Frequency Tuning Word (RDFTW), Falling Delta Frequency Tuning Word (FDFTW), Rising Sweep Ramp Rate (RSRR), Falling Sweep Ramp Rate (FSRR), Profile Control Register 0 (PCR0), PCR1, PCR2, PCR3, PCR4, PCR5, PCR6, dan PCR7. Untuk aplikasi radar, PPET-LIPI register-register yang digunakan adalah CFR1, CFR2, RDFTW, RSRR, PCR0, dan PCR1.

3. CHIRP

Sebuah chirp adalah sebuah sinyal yang memiliki frekuensi yang naik atau turun dengan waktu. Chirp bisa dihasilkan dengan memodulasi secara FM sebuah sinyal dengan sinyal gigi gergaji. Representasi frekuensi-waktu dari chirp yang ingin dibangkitkan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1: Representasi frekuensi-waktu dari chirp Perioda (T), sweeptime (Tsweep), dan guardtime

(Tguard) memiliki hubungan seperti pada Persamaan 1.

Sedangkan frekuensi tengah (fc), frekuensi bawah (fl),

dan frekuensi atas (fh) memiliki hubungan seperti pada

Persamaan 2.

Sinyal chirp dalam frequency-domain dapat ditulis dengan Persamaan 3,

di mana k adalah chirp rate.

Dengan demikian k dapat ditulis seperti pada Persamaan 4,


(5)

di mana frd adalah kenaikan frekuensi setiap step dan

Tr adalah periode step.

4. PEMROGRAMAN AD9956

Frekuensi clock referensi yang digunakan adalah 394.24MHz. Frekuensi yang sama akan digunakan untuk system clock (SYSCLK). Untuk itu kita bypass RF-DIVIDER dengan memberi logika 1 pada bit RF Divider SYSCLK Mux (CFR2<16>=1). Dengan demikian frekuensi synchronisation clock (SYNC_CLK) adalah sebesar SYSCLK dibagi 4, atau sebesar 98.56MHz. Frekuensi ini bisa didapat pada pin output SYNC_OUT.

Frekuensi sweep yang diinginkan adalah sekitar 2MHz, atau sweeptime sekitar 0.5ms. Frekuensi terdekat yang didapat dengan cara membagi SYNC_CLK dengan bilangan 2n adalah 1503.906Hz,

di mana n=16. Berarti sweeptime sama dengan 0.665ms atau 65536 siklus SYNC_CLK. Untuk meyakinkan bahwa akumulator frekuensi telah kembali ke frekuensi bawah, maka digunakan guardtime sebesar 4 siklus SYNC_CLK, sehingga sweep dari frekuensi bawah ke frekuensi atas dilakukan selama 65532 siklus SYNC_CLK.

Untuk mendapatkan frekuensi ekskursi sekitar 1.5MHz, nilai 1 dimasukkan pada RSRR. Nilai ini menghasilkan kenaikan frekuensi setiap Tr =

0.010146104us, atau setiap satu siklus SYNC_CLK. Kenaikan frekuensi yang dibutuhkan setiap kali adalah sekitar 22.8896Hz dan yang mendekati ini adalah fr =

23.49853516Hz yang bisa diperoleh dengan memberikan nilai 4 pada RDFTW. Nilai-nilai di atas akan menghasilkan frekuensi ekskursi sebesar 1.539906MHz untuk sweeptime yang telah ditentukan di atas. Tabel I menunjukan nilai-nilai RSRR dan RDFTW untuk frekuensi ekskursi yang lain.

Tabel 1: Nilai-nilai RSRR dan RDFTW. RSRR RDFTW Frekuensi ekskursi

(MHz)

1 4 1.539906

1 8 3.079812

1 16 6.159624

1 32 12.319248

1 64 24.638496

1 128 49.276992

Dengan mengambil 160MHz sebagai frekuensi tengah maka frekuensi rendah dan frekuensi tinggi untuk masing-masing frekuensi ekskursi dapat dilihat pada Tabel II.

Tabel II. Frekuensi bawah dan frekuensi atas. Frekuensi

ekskursi (MHz)

Frekuensi bawah (MHz)

Frekuensi atas (MHz)

1.539906 159.230047 160.769953 3.079812 158.460094 161.539906 6.159624 156.920188 163.079812

12.319248 153.840376 166.159624 24.638496 147.680752 172.319248 49.276992 135.361504 184.638496 Frekuensi bawah dan frekuensi atas digunakan untuk menghitung FTW0 dan FTW1 dengan menggunakan Persamaan 5.

di mana fs adalah frekuensi clock referensi.

Selanjutnya FTW0 dan FTW1 ditulis bersama dengan POW0 dan POW1, yang dibiarkan 0, pada PCR0 dan PCR1.

5. SINYAL TRIGGER

Untuk menjaga koherensi, sinyal triger dibangkitkan dengan membagi sinyal SYNC_CLK yang bisa diperoleh pada pin SYNC_OUT dari AD9956. Untuk meyakinkan bahwa pembagi bisa bekerja pada frekuensi SYNC_CLK, untuk pembagi tahap awal digunakan komponen TTL tipe fast (F). Setelah didapat frekuensi yang lebih rendah, pada tahap berikutnya bisa digunakan tipe lain. Diagram skema rangkaian pembagi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2: Rangkaian pembagi untuk trigger. Dalam rangkaian tersebut digunakan dua buah IC 74F74 yang masing-masing memiliki dua buah D-Flipflop yang difungsikan sebagai pembagi dua. Keempat D-Flipflop dirangkai membentuk pembagi 16. Sinyal output pada pin SYNC_OUT sudah kompatibel dengan sinyal TTL, sehingga bisa dihubungkan ke clock dari D-Flipflop pertama melalui sebuah kapasitor. D-Flipflop terakhir menghasilkan sinyal dengan frekuensi 6.160MHz. Selanjutnya sinyal ini dibagi 256 menggunakan 2 buah counter 4 bit yang ada dalam sebuah IC 74HC393 dan difungsikan sebagai pembagi 16. Selanjutnya sebuah counter pada IC 74HC393 lain difungsikan sebagai pembagi 2, 4, 8,


(6)

dan 16, di mana outputnya bisa diperoleh pada masing-masing dari 4 pin output. Keempat output memiliki frekuensi 12.031KHz, 6.016KHz, 3.008KHz, dan 1.504KHz yang bisa dipilih dengan jumper untuk input trigger DDS pada PS0.

6. PENGUKURAN

Sinyal output dari DDS dimonitor dengan sebuah spectrum analyzer. Sebelumnya sinyal dilewatkan melalui sebuah low pas filter untuk membuang frekuensi yang lebih tinggi. Contoh spektrum sinyal dengan frekuensi ekskursi 64MHz dan frekuensi tengah 160MHz yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 3. Penurunan level pada daerah mendekati frekuensi atas disebabkan oleh gain filter yang tidak rata pada rentang frekuensi output.

Gambar 3: Contoh spektrum sinyal output.

7. KESIMPULAN

Sinyal yang dimodulasi secara FM dengan sebuah sinyal gigi gergaji menghasilkan chirp. Sinyal yang sama bisa dibangkitkan dengan menggunakan komponen DDS. Untuk membangkitkan sinyal tersebut, DDS diprogram untuk mode operasi linear sweep no dwell. Parameter yang dimasukkan adalah frekuensi bawah, frekuensi atas, kenaikan frekuensi, dan seberapa sering kenaikan frekuensi yang masing-masing dimasukkan dalam register PCR0, PCR1, RDFTW, dan RSRR. Pengulangan dibuat dengan memberikan trigger periodik pada pin PS0. Semua parameter disesuiakan dengan periode trigger yang ekuivalen dengan sweeptime.

DAFTAR REFERENSI

1. A Technical Tutorial on Digital Signal Synthesis, Analog Devices, 1999

2. Data Sheets of AD9956 (2.7 GHz DDS-Based AgileRF Synthesizer), Analog Devices, 2004

3. Mahafza, Bassem R., Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB, 2nd Edition, Chapman and Hall/CRC, Boca Raton, 2005. 4. Miller, Gary M. and Beasley, Jeffrey S.,

Modern Electronic Communication, 7th