Prosiding.Seminar.Radar.Nasional.2008

(1)

(2)

SEMINAR RADAR NASIONAL 2008

Prosiding

Gedung Widya Graha LIPI


(3)

Prosiding

Seminar Radar Nasional 2008

ISSN : 1979 - 2921

Hak cipta © 2008 oleh Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi – LIPI

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin, memproduksi dalam segala bentuk, termasuk

mem-

fotocopy

, merekam, atau menyimpan informasi, sebagian atau seluruh isi dari buku ini tanpa ijin

tertulis dari penerbit.

Prosiding Seminar Radar Nasional / [editor by] Mashury Wahab, A.A. Lestari, A.B. Suksmono,

Rustini S. Kayatmo, Purwoko Adhi, Goib Wiranto.

vi + pp.; 21,0 x 29,7 cm

ISBN : 1979 - 2921

Radio Detecting and Ranging (Radar)

Technical editing by Pamungkas Daud, Yusuf Nur Wijayanto, and Dadin Mahmudin,

Cover design by Yadi Radiansah.

Diterbitkan oleh :

Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET)

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Kampus LIPI Jl. Sangkuriang, Bandung

Telp. (022) 2504661 Fax. (022) 2504659

Website :

www.ppet.lipi.go.id


(4)

Pelindung

Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI

Ketua Umum

Yuyu Wahyu

Panitia Pengarah

Lilik Hendradjaja, Dephan

Endon Bharata, IRCTR-IB

Adang Suwandi, ITB

Nana Rachmana, ITB

Masbah RT Siregar, LIPI

Mashury Wahab, LIPI

Tatang A. Taufik, BPPT

Syamsu Ismail, LIPI

Hiskia Sirait, LIPI

Rustini S Kayatmo, LIPI

Andriyan B Suksmono, ITB

Purwoko Adhi, LIPI

A Andaya Lestari,IRCTR-IB

Eko Tjipto Rahardjo, UI

Panitia Pelaksana

Novrita Indayanti, LIPI

Ridwan Effendi, ITB

Lilis Retnaningsih, LIPI

Andi Kirana, RCS

Folin Oktafiani, LIPI

Gunawan Handayani, ITB

Yusuf Nur Wijayanto, LIPI

Asep Yudi Hercuadi, LIPI

Sulistyaningsih, LIPI

Pamungkas Daud, LIPI

Yadi Radiansah, LIPI

Deni Permana K, LIPI

Zaenul Arifin, LIPI

Sri Hardiati, LIPI

Popi Sumarni, LIPI

Yudi Yulius Maulana, LIPI

Lisdiani, LIPI

Dadin Mahmudi, LIPI

Endang Ridwan, LIPI

Iqbal Syamsu, LIPI

Noorfiya Umniyati, LIPI

Lia Mulyani P, LIPI


(5)

v

KATA PENGANTAR

Ungkap syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya

sehingga Seminar Radar Nasional pada tanggal 30 April 2008 ini dapat terselenggara.

Selanjutnya kami mengucapkan selamat datang di kota Jakarta kepada para peserta seminar,

pembicara kunci, pemakalah poster dan para undangan lainnya. Adapun maksud dan tujuan

diadakannya seminar ini adalah menjadi sarana sosialisasi dan forum pertukaran informasi antara para

pakar, peneliti dan pengguna Radar, sehingga akan membantu pemerintah dalam permasalahan Radar

di Indonesia. Suatu hal yang tidak mustahil bila teknologi, kebijakan dan pemecahan masalah tentang

Radar akan terungkap dalam seminar ini.

Seminar ini menghadirkan pembicara tamu dari pengarah/pembuat kebijakan dalam bidang Radar.

Akhirnya panitia mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Deputi IPT – LIPI,

pembicara undangan, peserta dan semua pihak yang telah membantu hingga terselenggaranya acara

ini.

”Selamat dan sampai jumpa di seminar – seminar berikutnya”

Jakarta, 30 April 2008


(6)

vi

Daftar Isi

Susunan Panitia ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vi


(7)

vii

Daftar Makalah

1.

Rancang Bangun Radar Pengawasan Pantai INDRA II Di Pusat

Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) LIPI ...

1 - 6

Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, dan Rustini S. Kayatmo

2.

Status Pemetaan dengan Radar di Bakosurtanal ...

7 - 12

Fahmi Amhar, Ade Komara Mulyana, Aris Poniman

3.

Rancangbangun System Secondary Surveillance RADAR untuk Aplikasi

Tracking Peluncuran Roket Jarak Jauh ... 13 - 18

Wahyu Widada dan Sri Kliwati

4.

Pembangunan Radar VHF Lapan Di Pameungpeuk ... 19 - 24

M. Sjarifudin, S. Kaloka, A. Purwono, A. Kurniawan, P. Sitompul, S. Cahyo,

M. A. Aris, H. Bangkit, M. Batubara, J. R. Roettger, M. Chandra, G.

Viswanathan

5.

A Method to Determine Radial Speed of Target from the FMCW Radar

Signal ... 25 - 28

W. Sediono, A. A. Lestari

6.

Aplikasi Radar Pasif untuk Mengisi Celah Kosong Liputan Radar ... 29 - 32

Syamsu Ismail

7.

Pembangkit Gelombang RADAR Berdasarkan Teknik Heterodyne Optis . 33 - 36

Bambang Widiyatmoko, Tomi Budi Waluyo dan Masbah R.T. Siregar

8.

Phase Shifter Control Card dan Test Bench untuk Radar Thomson ... 37 - 41

Bambang Sutopo

9.

Pembuatan Exciter Untuk Perangkat Pemancar Jamming ... 42 - 47

Elan Djaelani, Daday Ruhiat

10.

Evaluasi Penerapan Gaya Pengembang – Telitian – Industri –

Manufaktur di Institut Teknologi Telkom ... 48 - 51

Soetamso, Suwandi, Kris Sujatmoko, Arfianto Fahmi, Heroe Wijanto,

Ashardi Haryuno

11.

Kajian Perbandingan Distribusi Amplitudo pada Pencatu Antena

Susun Untuk Aplikasi Radar Maritim ... 52 - 57

Y.K. Ningsih, F.Y. Zulkifli, E.T. Rahardjo, A.A. Lestari

12.

Pengolahan Sinyal Stepped Frequency Continous Wave – Ground

Penetrating Radar (SFCW-GPR) dengan Metode Gabor Based

Compressive Sampling ... 58 - 62

Dodik Ichrom Resanto

13.

Desain Parallel-Coupled Microstrip Bandpass Filter dengan Substrate


(8)

viii

Liarto, A.A. Lestari

14.

Metode Pengaturan Impedansi Input Antena pada Sistem SFCW GPR

100 – 1000 MHz ... 69 - 72

A.A. Pramudita,A. Kurniawan, A. B Suksmono, A.A. Lestari

15.

Analisa Spektral Curah Hujan Tropis Menggunakan Data Surabaya

Untuk Evaluasi Sistem Radar Dan Komunikasi Radio Di Atas 10 Ghz ... 73 - 76

Achmad Mauludiyanto, Gamantyo Hendrantoro

16.

Penerapan dan Pengembangan Georadar RCS ... 77 - 80

A. Sulaiman, A. Kirana

17.

Sistem Identification Friend, Foe, or Neutral Radar Menggunakan

Radar Cross Section dan Kecepatan Pesawat Berbasis Jaringan Syaraf

Tiruan Adaptive Resonance Theory 1 dan Fusi Informasi ... 81 - 86

Nopriansyah, Aciek Ida Wuryandari, Arwin D.W. Sumari, Andaruna

Setiawan

18.

Dekoding Format Data Untuk Integrasi Sistem Radar Yang Berbeda ... 87 - 90

Thomas Sri Widodo

19.

Desain Graphical User Interface (GUI) Untuk Radar Maritim Indra ... 91 - 96

Deni Yulian, Imam Fahrur Rozi, A. Andaya Lestari

20.

Rangkaian Pengukuran Jarak dengan Gelombang Ultrasonik

menggunakan AT89C51 ... 96 - 100

Teguh Praludi, Yusuf Nur Wijayanto

21.

Kajian Penggunaan Dielectric Resonant Oscillator (DRO) untuk

Frequency Modulated Continuous Wave (FM-CW) Radar ... 101 - 104

Rustini Soemaryato Kayatmo, Fredrika H. Kana

22.

Rancang Bangun Perangkat Lunak Citra RADAR ... 105 - 109

Mashury, Dadin Mahmudin, Yusuf Nur Wijayanto

23.

Analisa Plot Medan Listrik untuk Antena GPR Dengan dan Tanpa

Pembebanan Resistif dan Kapasitif menggunakan Simulasi FDTD ... 110 - 115

Folin Oktafiani, Yudi Yuliyus Maulana, Yuyu Wahyu

24.

Rectangular Patch Array untuk Sistem Antena Radar Pantai ... 116 - 118

Pamungkas Daud, Yusuf Nur Wijayanto

25.

Estimasi Batasa Penyinaran Radiasiterhadap Lingkungan dari Gerakan

Beam Antena Radar ... 119 - 122

Sri Hardiati

26.

Antena Adaftif untuk Ground Penetrating Radar ... 123 - 127


(9)

ix

27.

Perancangan dan Simulasi Direct Digital Synthesizer (DDS) ... 128 - 136

Arief Suryadi S, Nurul Dwi Angga Hastuti dan Teguh Praludi

28.

Desain dan Realisasi Struktur Penunjang Fisik Sistem Antena Radar

Pantai ... 137 - 140

Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, Mashury, Folin Oktafiani, Sulistyaningsih,

Sri Hardiati

29.

Aplikasi “Mobile Weather Radar” di Indonesia ... 140 - 144

Tri Handoko Seto, Findy Renggono, Mimin Karmini, Rino B. Yahya, dan

Samsul Bahri

30.

Aplikasi Taper Chebychev pada Sistem Antena WLAN ... 145 -148

Rudy Yuwono, Achmad

31.

Foot Print Antena Rolled Dipole untuk Ground Penetrating Radar

(GPR) ... 149 - 155


(10)

Rancang Bangun Radar Pengawasan Pantai INDRA II

di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) LIPI

Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, dan Rustini S. Kayatmo

Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI Kampus LIPI Gd. 20 Lt.4, Jl. Sangkuriang, Bandung – Indonesia Tlp. 022-2504661, Fax. 022-2504659, Email: mashury@ppet.lipi.go.id

ABSTRAK

Dalam tulisan ini, rancang bangun sebuah Radar pengawas pantai yang dinamakan Indonesian Radar (INDRA) II di Puslit Elektronika dan Telekomunikasi LIPI dipresentasikan. Rancang bangun ini meliputi beberapa bagian antara lain antena, perangkat lunak pengolahan sinyal, perangkat keras pemancar, penerima dan pembangkit sinyal serta sebuah sistem antena. Pelaksanaan rancang bangun ini dilakukan dalam kurun waktu sekitar tiga tahun yang dimulai dari tahun 2006. Radar INDRA II ini menggunakan teknologi Frequency Modulated Continuous Wave (FM-CW) yang tidak memerlukan daya pancar besar. Penggunaan antena array meningkatkan emitted radiated power (ERP) dari sistem antena sehingga dapat menjangkau obyek-obyek yang berada pada jarak puluhan kilometer. Kerjasama teknis dengan pihak luar PPET telah dilakukan untuk mewujudkan Radar INDRA II ini. Kerjasama utamanya dilakukan dengan International Research Centre for Telecommunications and Radar (IRCTR) dari Technical University of Delft (TU- Delft).

Kata kunci: Radar pengawas pantai INDRA II, rancang bangun, perangkat lunak, perangkat keras, sistem

antena, antena array, kerjasama teknis.

1. PENDAHULUAN

Pengamanan dan pengawasan wilayah NKRI yang terdiri dari kurang lebih 17.504 pulau dengan 2/3 wilayah terdiri dari lautan memerlukan aparat dan peralatan yang berjumlah sangat besar. Pada kenyataannya, kemampuan TNI-AL dan Polri untuk mengawasi wilayah RI sangat terbatas sehingga wilayah perairan Indonesia rawan akan pencurian ikan, pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing, pembajakan kapal laut dan penyelundupan. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dalam mengawasi dan mengamankan wilayah adalah dengan menggunakan Radar pengawas pantai untuk mengawasi pergerakan kapal laut sehingga dapat dicegah tindakan-tindakan yang dapat merugikan NKRI dan juga tabrakan kapal apabila hendak merapat ke pelabuhan. Pemasangan Radar pengawas pantai dengan daya besar (high

power) di kapal atau dipinggir daratan (sekitar

pantai) dapat digunakan untuk mengawasi wilayah laut yang luas sampai beberapa puluh mil laut.

Disamping untuk pengawasan perairan Indonesia, Radar pengawas pantai dapat juga digunakan untuk pengontrolan dan pengaturan lalulintas kapal dipelabuhan. Kapal-kapal yang masuk dan keluar dapat dijadwalkan dan diatur sehingga tabrakan antar kapal dapat dihindari terutama apabila cuaca buruk terjadi.

Pengawasan perairan Indonesia termasuk pulau-pulau yang dekat dengan perbatasan Indonesia dan negara tetangga akan sangat terbantu dengan penggunaan Radar pengawas pantai. Hal ini ditunjukkan oleh fakta-fakta berikut [1, 2]:

1. Sepertiga dari wilayah Indonesia terdiri dari sekitar 17 ribu pulau dan dua pertiga terdiri dari lautan.

2. Jarak dari kota Sabang di NAD sampai kota Jayapura diPapua sekitar 5.556 Km. 3. Jumlah kapal milik angkatan laut Indonesia

adalah sekitar 117 buah dan 77 diantaranya berusia 21-60 tahun.

4. Perbandingan antara jumlah kapal terhadap total luas perairan Indonesia adalah sekitar 1:72 ribu mil persegi.

5. Sekitar 350 kapal diperlukan untuk mencakup seluruh perairan Indonesia. Merupakan suatu tugas berat bagi pemerintah Indonesia untuk dapat membeli Radar dari luar negeri untuk dapat memenuhi kebutuhan didalam negeri baik untuk kepentingan sipil maupun militer karena jumlah Radar yang diperlukan berjumlah besar. Hal ini ditambah oleh kemampuan keuangan negara yang tidak mendukung terutama sejak krisis moneter pada tahun 1998. Harga Radar diluar negeri juga sangat mahal (dalam orde jutaan dollar). Kondisi ini diperburuk oleh sulitnya pembelian Radar dari luar negeri karena Radar sangat strategis untuk pertahanan dan keamanan. Contoh dari Radar pengawas pantai dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 3 memperlihatkan jangkauan dari Radar pengawas pantai jika di-instalasi diseluruh wilayah pantai Indonesia. Jangkauan ini ditentukan oleh daya yang ditransmisikan, lebar pita sinyal yang dipancarkan/diterima, penguatan antena, polarisasi antena, dan lebar berkas antena. Semua Radar akan terhubung melalui sebuah jaringan dan dikendalikan oleh stasiun pusat (master station=


(11)

MS), misalnya di Jakarta. Komunikasi antara Radar dengan MS dilakukan via jalur satelit. Jalur satelit lebih diutamakan karena Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau dan banyak pulau yang memiliki pegunungan sehingga menghambat komunikasi menggunakan jalur radio terrestrial. Semua data akan dikumpulkan dan dianalisa oleh MS untuk keperluan pengambilan keputusan.

Gambar 1. Contoh Radar Pengawas Pantai.

Pada awalnya, jenis Radar yang banyak digunakan oleh pelabuhan Udara, laut dan instalasi militer adalah jenis Radar pulsa [3, 6]. Radar jenis ini dapat menjangkau jarak yang sangat jauh (puluhan sampai ratusan kilometer) akan tetapi Radar ini memerlukan konsumsi daya yang sangat besar serta komponen-komponen yang berharga mahal. Seiring dengan perkembangan teknologi dibidang piranti keras (hardware) untuk frekuensi Radio dan gelombang mikro (microwave) serta kemajuan dibidang perangkat komputer, Radar yang menggunakan teknologi frequency modulated-continuous wave (FM-CW) semakin mudah untuk direalisasikan [3, 4, 5]. Radar jenis FM-CW ini hanya memerlukan daya rendah sehingga dapat menghindari kesulitan realisasi untuk piranti kerasnya, tidak seperti pada Radar pulsa yang memerlukan daya tinggi dan memerlukan penguat daya berupa magnetron, dengan demikian peralatan FM-CW Radar dapat dibuat lebih terintegrasi menggunakan komponen-komponen elektronika yang berukuran kecil (solid state dan IC) dan harga implementasinya akan jauh lebih murah dari pada Radar pulsa. Oleh karena itu, pada penelitian di PPET-LIPI dipilih sistem Radar FM-CW, karena teknologinya sudah dikuasai dan tidak memerlukan dana penelitian yang terlalu besar.

Adanya keinginan dari pihak luar negeri untuk bekerja sama dalam penelitian/pembuatan Radar

yaitu International Research Centre for Telecommunications-transmission and Radar (IRCTR) dari TU Delft, Belanda turut mendorong dilakukannya penelitian ini. Kedua belah pihak menamakan Radar pengawas pantai ini sebagai Indonesian Radar II karena Indonesian Radar I berupa Radar navigasi kapal yang dikerjakan oleh pihak swasta lokal di Indonesia. Desain dan implementasi sistem pemancar (transmitter), penerima (receiver) dan antena Radar dilakukan dengan bekerjasama dengan IRCTR, sedangkan perangkat lunak pengolahan citra Radar hanya berupa desain saja dan implementasinya oleh PPET.

Blok diagram Radar FM-CW secara umum dapat direpresentasikan pada gambar 2 [3, 6]. Seperti terlihat pada gambar 2, sistem Radar terbagi atas dua bagian utama yaitu pemancar (transmitter) dan penerima (receiver). Hasil deteksi Radar akan ditampilkan oleh Display unit yang mengolah sinyal yang diterima dari bagian Receiver menjadi suatu gambar yang dapat diinterpretasikan dengan mudah oleh pengguna. Ada antenna control yang berfungsi untuk mengatur agar gerakan antenna sesuai dengan tampilan dilayar dari Display unit. Synchronizer berfungsi untuk menyesuaikan sinyal-sinyal yang dikirimkan oleh transmitter dengan tampilan yang diinginkan di Display unit.

Gambar 2. Blok diagram sistem Radar.

Mengingat jumlah Radar pengawas pantai yang diperlukan untuk mengawasi wilayah perairan Indonesia terutama wilayah perairan yang strategis dan berbatasan dengan negara tetangga, seperti diselat Malaka, akan berjumlah besar dan jaringan Radar yang dibentuk memerlukan pengendalian secara terpusat, maka akan diperlukan jumlah tenaga operator dan Radar yang juga berjumlah besar dalam rangka melakukan operasi dan pemeliharaan Radar-Radar yang dipasang. Apabila Radar-Radar ini juga diaplikasikan untuk pertahanan dan keamanan wilayah perairan Indonesia, maka aparat dari pihak TNI juga harus ikut dilatih supaya terampil mengoperasikan Radar ini.

Synchronizer Transmitter

Display Unit Receiver Power Supply

Antenna Control Video


(12)

Satelit

Gambar 3. Jangkauan jaringan Radar pengawas pantai.

2. SPESIFIKASI UMUM PERANCANGAN

™ Pemancar (Transmitter):

z Frekuensi: X band (sekitar 9 GHz). z Pilihan jangkauan: 64 km, 32 km, 16

km, 8 km, 4 km, 2 km. Jangkauan maksimum diset pada 64 km, lebih jauh dari 27 km (jarak dari Radar ke horizon) agar memungkinkan untuk mendeteksi kapal yang tinggi yang berlokasi beberapa kilometer lebih jauh dari horizon.

z Output power: 2 Watt.

™ Penerima (Receiver): z IF bandwidth: 512 kHz. z Jumlah range cells: 512.

z Range cells: 125 meter, 62 meter, 31

meter, 16 meter, 8 meter, 4 meter. z Pengolahan sinyal berbasis PC. z Standard PC display.

z Maximal beat frequency 167kHz. z Beat signal disampling oleh 16bit ADC

™ Frequency Generation

Pembangkit frekuensi utama dari DRO (dielectric resonant oscillator).

z FM – Modulation.

z Linear saw-tooth yang dihasilkan oleh DDS (direct digital synthesizer).

z Frekuensi pengulangan Sweep (Sweep

Repetition Frequency): 1000Hz.

z Fixed sweep time of 3mS.

z Frekuensi Sweep: 2MHz, 4MHz, 8MHz,

16MHz, 32MHz, 64MHz.

z Frequency sweep 1 MHz @40NM, 2

MHZ @20NM, 10 MHZ @4NM. ™ Antenna:

z Microstrip patch arrays antenna dengan rectangular patch elements.

z Antenna dengan flares untuk mengurangi vertical beamwidth.

z Modular system; antena terdiri dari

modul-modul dan bisa diperbesar dengan meningkatkan jumlah modul. Dengan memperbesar dimensi antenna maka penguatan (gain) dan lebar berkas (beamwidth) bisa ditingkatkan.

z Konfigurasi dua antenna untuk transmit

and receive.

z Horizontal beamwidth: 1.2°. z Vertical beamwidth: 10°. z Polarization: horizontal.

z Rotational speed: 20 / 60 rpm.

z Pertimbangan disain antena:

o Antena Microstrip tidak

memerlukan biaya besar (murah).

o Antena Microstrip tidak berat

(ringan) sehingga mengurangi biaya pembuatan menara antenna.

o Implementasi antenna modular microstrip patch arrays di Radar

FM-CW belum ditemukan di literature (daftar pustaka) sehingga memberikan kemungkinan untuk unsur keterbaruan (novelty).

3. TAHAPAN PELAKSANAAN

Pelaksanaan rancang bangun Radar INDRA II ini telah dilaksanakan sejak tahun 2006 dan penyelesaiannya diharapkan pada pertengahan tahun 2008 ini. Adapun tahapan pelaksanaan adalah sebagai berikut:

1. Perancangan antena dan perangkat keras (pemancar dan penerima) pada tahun 2006. 2. Implementasi antena array pada tahun 2006.


(13)

3. Implementasi perangkat keras pada tahun 2007.

4. Implementasi perangkat lunak pada tahun 2007 dan dilanjutkan pada tahun 2008. 5. Pembuatan sistem antena pada tahun 2007

yang menjadi dudukan dari antena array dan perangkat keras.

6. Pengetesan perangkat keras dan sistem antena dilakukan pada tahun 2007 sampe tahun 2008.

7. Integrasi perangkat keras dan perangkat lunak pada tahun 2008.

8. Instalasi Radar INDRA II pada lokasi ditepi pantai dalam tahun 2008.

9. Pengetesan dan kalibrasi dari Radar INDRA II yang telah di-install pada tahun 2008.

4. HASIL YANG TELAH DICAPAI

Berdasarkan tahapan pelaksanaan yang diuraikan pada sub-bab sebelumnya, maka berikut ini hasil-hasil yang telah dicapai:

1. Perangkat keras pemancar (TX) sudah selesai.

2. Perangkat keras penerima (RX) hampir selesai (90%) karena masih ada sedikit komponen yang ditunggu kedatangannya. 3. Perangkat lunak: 70%. Graphical user

interface (GUI) dari tampilan Radar masih

dalam perbaikan.

4. Sistem antena dan motor penggerak: 70%. Pengetesan sistem antena di anechoic

chamber belum dilakukan dan motor

penggerak belum dipasang.

5. Sisa pekerjaan yang belum selesai diharapkan dapat diselesaikan paling lambat pada bulan Agustus 2008 mendatang.

5. PERAKITAN DAN PENGETESAN

Berikut ini beberapa hasil perakitan dan pengetesan yang telah dilakukan:

Gambar 4. Pembangkit Frekuensi, Pemancar dan Penerima tanpa Synthesizer (DDS).

Gambar 5. Pembangkit frekuensi dengan DDS.

Gambar 6. Synthesizer (DDS) dan catu dayanya.

Gambar 7. Hasil Pengetesan DDS.

Gambar 8. Sistem Antena (tampak depan).


(14)

Gambar 10. Pengetesan low noise amplifier yang digunakan pada penerima (RX).

Gambar 11. Pengetesan penguat daya untuk bagian pemancar.

Gambar 12. Pengetesan power divider/combiner yang menghubungkan antena array dengan pemancar dan

penerima.

Gambar 13. Satu modul antena untuk INDRA II.

Gambar 14. Hasil pengetsan satu modul antena.

Gambar 15. Contoh tampilan Radar.

6. KESIMPULAN

Telah dipresentasikan kegiatan rancang bangun Radar pengawas pantai INDRA II di PPET-LIPI. Rancang bangun ini meliputi pembuatan desain antena, perangkat keras dan perangkat lunak, implementasi dan pengetesan. Pelaksanaan rancang bangun ini dilakukan dalam kurun waktu tiga tahun dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008. Dukungan teknis pelaksanaan rancang bangun ini diperoleh dari lembaga penelitian diluar negeri yaitu IRCTR TU-Delft. Masih ada beberapa tahapan pelaksanaan yang akan diselesaikan pada pertengahan tahun 2008.

UCAPAN TERIMAKASIH

Peneliti yang terlibat dalam rancang bangun ini mengucapkan terima kasih kepada koordinator program kompetitif dan DIPA tematik atas bantuan pendanaan untuk pelaksanaan penelitian ini. Kami juga mengucapkan terimakasih atas dukungan teknis dari staf di IRCTR TU-Delft.


(15)

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Harian Kompas, ‘Indonesia Butuh Ratusan Kapal Patroli Laut’, 11 September 2003. [2]. Harian Kompas, ‘Menjaga Laut Sungguh

Tidak Mudah’, 04 November 2004.

[3]. Leo P. Ligthart, ’Short Course on Radar Technologies’, International Research Centre for Telecommunications and Radar, TU Delft, September 2005.

[4]. Mark Richards, ’Radar Signal Processing’, McGraw-Hill, 2005.

[5]. Bassem R. Mahafza, ‘Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB’, Chapman & Hall, 2005.

[6]. M.I. Skolnik, ’Radar Handbook’, McGraw-Hill, 1990.


(16)

Status Pemetaan dengan Radar di Bakosurtanal

Fahmi Amhar, Ade Komara Mulyana, Aris Poniman

Balai Penelitian Geomatika

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong

Telp. 021-87906041 Fax. 021-87906041 email: famhar @yahoo.com

ABSTRACT

Mapping technology using Radar in Indonesia believed by many people is the solution to overcome the cloudcover which is the major drawback of aerial photographs or high-resolution satellite image with passive sensors. But in the reality, from the beginning there is not many comprehensive assessment of application of this technology in Indonesia, from the data acquisition until topographic line map production. This paper will give a short overview from research and experience in Bakosurtanal with data from Radarsat, Airborne-Ifsar, SRTM, ALOS and TerrasarX in the last decade. Problems which are found during data cleaning, difficulties in topographic object recognition until accuracy measurement will be described. Some geometric comparison with topographic map from photogrammetry and geodetic-GPS will accomplish this paper.

ABSTRAK

Teknologi Pemetaan dengan Radar di Indonesia diyakini banyak orang sebagai solusi mengatasi tutupan awan yang sering menghalangi penggunaan foto udara maupun citra satelit sensor pasif beresolusi tinggi. Namun sesungguhnya, sejak awal belum banyak kajian yang komprehensif atas penggunaan teknologi ini untuk pemetaan di Indonesia, mulai dari pengambilan data hingga pembuatan peta rupabumi. Dalam tulisan ini akan dikupas beberapa penelitian dan pengalaman di Bakosurtanal dengan data Radarsat, Airborne-Ifsar, SRTM, ALOS dan TerrasarX dalam dasawarsa terakhir. Masalah-masalah yang ditemukan dalam pembersihan data dari “noise”, kesulitan-kesulitan dalam mengenali objek topografi hingga pengukuran akurasi akan disampaikan. Beberapa perbandingan geometri dengan data peta rupabumi hasil fotogrametri serta data GPS-geodetis akan menyertai kajian ini.

1. PENDAHULUAN

Salah satu kendala pemetaan di Indonesia adalah awan yang menutupi sebagian besar area yang akan dipetakan. Baik foto udara maupun citra satelit (sensor pasif) mengalami kendala ini. Pemetaan di HPH di sebagian besar wilayah Kalimantan terpaksa menggunakan skala 1:20.000 atau lebih besar karena pesawat harus terbang di bawah awan. Karenanya, ketika dari foto-foto itu akan dibuat peta rupabumi 1:50.000, dengan overlap 60% dan sidelap 30% diperlukan sekitar 144 model per lembar peta.

Lebih tragis lagi di Papua. Rendahnya awan memaksa pesawat terbang lebih rendah lagi, sehingga ketika foto udara yang dihasilkan berskala 1:5000, dengan overlap 60% dan sidelap 20% diperlukan sekitar 1891 model per lembar peta!

Besarnya jumlah foto ini akan sebanding dengan besarnya biaya yang diperlukan untuk pekerjaan fotogrametri, baik triangulasi udara (AT) maupun kompilasi stereo (plotting).

Karena itu, teknologi pencitraan dengan radar yang tembus awan, selalu menarik, karena teknologi ini menjanjikan pengumpulan data baku dengan cepat, bisa dikerjakan tanpa tergantung cuaca, bahkan bisa dikerjakan siang dan malam.

Tercatat ada tiga teknologi yang menantang hingga saat ini, yaitu: (1) radar berwahana satelit dengan jangka operasi lama, misalnya Radarsat, ERS, JERS – dua yang terakhir ini kemudian disusul satelit generasi baru TerrasarX dan ALOS-Palsar; (2) radar berwahana pesawat ruang angkasa dengan jangka operasi pendek, di sini adalah Shuttle Radar Topography Mission (SRTM); (3) radar berwahana pesawat, misalnya IFSAR dari Intermap.

Dalam beberapa segi, Bakosurtanal terlibat dengan uji coba, bahkan proyek yang cukup besar dengan teknologi ini – dan bila hasilnya bisa diperdebatkan, minimal ada hikmah yang bisa dipetik.

2. RADARSAT

Sementara di Indonesia data ERS atau JERS lebih sering hanya dipakai dalam riset, data Radarsat lebih bersifat komersial dan populer dipakai. Pada 2003, untuk pemetaan rupabumi di Kalimantan Barat, pada mulanya akan dipakai data SPOT-stereo. Namun karena kesulitan mendapatkan data SPOT secara stereo yang keduanya bebas awan dengan incident angle yang cukup dalam kurun waktu yang ditentukan, sebagian area terpaksa ditutup dengan data Radarsat.


(17)

Data ini kemudian diolah secara radargrametri dengan software PCI, dan hasilnya memberikan sejumlah “kejutan”, karena cukup banyaknya spikes atau shadow. Pada “lubang-lubang” ini data DEM menjadi tidak wajar (elevasi ratusan ribu meter, atau negatif).

Gambar 1. DEM yang tidak wajar; karena adanya “blankspot” & “spike”

Sedang pada data yang kelihatan “wajar”, ternyata memiliki diskrepansi yang cukup besar (hingga 200-300 meter) dengan data pembanding dari SPOT-stereo, peta rupabumi ataupun tinggi menurut GPS yang telah direduksi dengan undulasi global (EGM96).

Gambar 2. DEM yang wajar; namun akurasinya masih belum diketahui sebelum test lapangan

Sangat sulit mengoreksi data semacam ini. Saran dari pakar di Radarsat sendiri hanya mengatakan metode yang lazim dipakai adalah “buldozing”, yaitu meratakan begitu saja spikes atau shadow. Meski demikian, untuk planimetris, amplitudo image dari Radarsat tetap amat bermanfaat untuk mendapatkan data daerah yang selalu tertutup awan.

3. AIRBORNE IFSAR

Sebenarnya istilah IFSAR adalah trademark dari Intermap (perusahaan Canada). Perusahaan Jerman Aerosensing lebih suka menggunakan istilah Insar, walaupun yang ditunjuk adalah teknologi yang kurang lebih sama. Saham Aerosensing kemudian dibeli oleh Intermap. Di Jerman provider Insar tinggal Daimler, yang kini bergabung dalam holding perusahaan-perusahaan dirgantara Eropa, yaitu EADS, dengan anak perusahaan mapping

bernama InfoTerra yang kemudian menjadi operator satelit TerrasarX. Para ahli Aerosensing ada yang kemudian mendirikan perusahaan di Brazilia dengan nama Orbisar. Sejauh ini penawar teknologi airborne Ifsar / Insar lainnya tinggal GeoSAR (EarthData) di Amerika Serikat. Menariknya, baik Orbisar maupun GeoSAR ini menggunakan dua jenis gelombang (yaitu X dan P), sehingga mampu mendapatkan data elevasi pada canopy pohon dan sekaligus tanahnya, sehingga teoretis dapat menghitung volume biomassa hutan.

Berbeda dengan airborne radar yang menggunakan radargrametri, dengan bahan baku amplitudo dari radar, airborne ifsar menggunakan algoritma interferometri, dengan bahan baku fase dari radar. Artinya proyek-proyek radar di Kalimantan tahun 1980-an / awal 1990-an, belum menggunakan ifsar.

Bakosurtanal memiliki dua kali pengalaman dengan ifsar. Tahun 1996/1997, dalam proyek pemetaan tata ruang, digunakan teknologi ifsar untuk menghasilkan DEM dan ORI. Hasilnya sekitar 70% DEM menunjukkan deviasi 18-24 meter dibandingkan dengan benchmark dari fotogrametri [1].

Menurut pakar ifsar dari Aerosensing Dr. Joe Moreira (komunikasi pribadi, 2000), persoalan ini disebabkan terutama oleh kondisi teknologi saat itu, di mana sensor GPS, Inertial Measurement Unit (IMU) dan transmitter radar belum 100% sinkron. Namun menurutnya, saat ini hal itu sudah terpecahkan.

Pada 2003, Intermap bekerjasama dengan PT-Exsa International memulai proyek Nextmap-Indonesia. Ini adalah inisiatif pemetaan pertama yang berasal dari pendanaan murni swasta. Bakosurtanal mendapatkan semua data ORI yang bisa digunakan untuk keperluan internal (misalnya update peta), tanpa hak untuk menjual kembali. Sedang data DEM hanya mendapatkan 3000 sqKm gratis, selebihnya harus membeli. Intermap menawarkan pola harga yang sangat berbeda untuk data yang telah tersedia dengan data yang masih harus dipotret. Karena pasar data radar di Indonesia belum benar-benar terbentuk, range harga ini adalah

subject to negotiate. Pasar baru akan terbentuk

nantinya bila penawaran tidak hanya berasal dari satu sumber, dan pembeli juga lebih bervariasi. Bakosurtanal telah membeli data DEM dari sebagian Kalimantan, NAD, Nias dan Papua untuk menutup daerah yang tidak ada fotonya atau tertutup awan.

Dalam segi pengambilan data, Ifsar memang lumayan cepat karena bebas dari menunggu awan hilang. Namun hasil yang didapatkan masih setara dengan foto udara setengah matang. Memang ada DEM, namun DEM ini adalah DEM pada kanopi pepohonan, bukan di permukaan tanah. Karena itu DEM disebut DSM (Digital Surface Model), dan bukan DTM (Digital Terrain Model). Meski Intermap konon telah mengembangkan software


(18)

untuk menjadikan DSM menjadi DTM, saat ini masih diperlukan cukup banyak pekerjaan interaktif di depan komputer dengan software fotorametri softcopy.

Untuk membuat peta rupabumi atau Topographic Line Map (TLM), ORI maupun DSM harus dimiliki. Pertama-tama, dibuatlah stereo-mate dari ORI. Lalu ORI dengan stereo-matenya diolah secara stereo dalam sistem fotogrametri softcopy. DSM diresample pada gridspace 50 meter. Kemudian secara stereo dilakukan pengumpulan layer hidrologi, transportasi dan breaklines, yang lalu dimerge dalam “breaklines database”. Berikutnya adalah menghilangkan bentuk-bentuk terisolir (spikes) dari DSM, meski ada software “TerraScan” yang diklaim mampu melakukannya otomatis. Sayangnya software ini masih dipakai di Intermap sendiri saja. Kemudian DSM yang telah dihilangkan spikesnya diedit bersama breaklines database, dengan menyesuaikan seluruh garis kontur ke breaklines, serta membuat “stepping” pada sungai, sehingga semua sungai mengalir ke bawah. Dari kontur yang sudah teredit ini, dibuat DTM.

Software-software fotogrametri softcopy seperti PCI-Geomatics 10.1.2, BAE-Soccetset 5.4.1. KLT-Atlas 12.16.6.7, atau Summit Evolution 4.2/4.3 telah memiliki modul-modul editing yang dibutuhkan untuk itu (kecuali TerraScan). Namun semua software ini tak akan banyak gunanya bila hardware yang tersedia tidak memiliki setidaknya RAM yang besar, HD beberapa ratus GB (atau bahkan TerraByte), grafik akselerator dengan kapasitas besar, layar monitor yang juga besar (prioritas dual monitor), dan mouse berpresisi tinggi. Harga asesoris ini bisa jauh lebih mahal dari harga PC biasa.

Gambar 3. Softcopy Photogrammetry Workstation untuk membuat TLM dari data ifsar.

Dari sisi planimetris, perlu disadari bahwa interpretasi citra radar (ORI) sangat berbeda dengan foto udara ataupun citra satelit sensor pasif. Interpretasi tidak bisa hanya dari tone di dalam ORI, namun juga dengan konteks, daerah, serta sejumlah informasi lain.

Tanpa melibatkan DSM, bisa terjadi sebuah areal disangka sungai atau danau, padahal ternyata itu

hanya radar-shadow. Untuk mengatasi hal ini, bisa dilakukan fusi dengan citra sensor pasif (misal dengan data SPOT 5 XS atau Ikonos-XS). Bisa pula dilakukan perbandingan dengan data SRTM.

Dari proses bisnis, ada tiga pekerjaan dalam pemetaan dengan IFSAR, yaitu: (1) pencitraan, (2) pembentukan DEM/ORI, dan (3) interpretasi menjadi TLM. Pada saat ini, biaya IFSAR masih didominasi oleh proses (1) yang teknologinya sepenuhnya di tangan Intermap. Proses (2) sebagian besar juga masih dilakukan di Jerman atau Canada. Hanya untuk kasus yang sangat spesifik (karena alasan keamanan) Intermap bersedia menaruh komputer pengolah data di Indonesia. Bila dikatakan bahwa radar dapat memetakan dengan cepat, maka itu baru proses (1) dan (2) yang dalam struktur biaya memakan 70% – 80% dari total biaya. Sebaliknya bila dikatakan bahwa Indonesia sudah menguasai teknologi ini, maka yang dimaksud adalah proses (3) yang sebenarnya sangat menghabiskan waktu (time consuming) namun paling rendah dari sisi biaya, karena padat karya. Untuk itulah Intermap yang telah beroperasi di seluruh dunia berinvestasi di Indonesia, sehingga interpretasi data dari mancanegara itu dapat dikerjakan di Indonesia. Bagaimanapun, ini tentu akan memberikan semacam impuls bagi kebangkitan industri pemetaan di Indonesia.

4. SRTM

SRTM adalah proyek pemetaan global dengan space shuttle Atlantis pada tahun 2000. Hasilnya telah dikeluarkan oleh NASA dan USGS di awal 2004. Untuk seluruh dunia, data disediakan secara cuma-cuma dengan resolusi 3” atau sekitar 90 meter. Sedang untuk wilayah USA, data tersedia dalam resolusi 1” (30 meter). Pada 2008 Indonesia (Bakosurtanal dan LAPAN) mendapatkan dari DLR data Sumatera dan Jawa dengan resolusi 1”. Akurasi horizontal absolut (90% circular error) adalah 20 meter, dan vertikal 16 meter, meskipun perlu pembuktian untuk memanfaatkan akurasi ini bila ukuran rasternya adalah 90 x 90 atau 30 x 30 meter. Namun data ini jelas lebih baik dibanding data ETOPO yang resolusinya 0,5” (hampir 1 km) – atau setara data citra gratis satelit NOAA.

Dengan ketersediaan data SRTM ini, maka data relief (DEM, garis kontur) untuk peta rupabumi seluruh Indonesia pada skala 1:250.000 telah tersedia, sedang untuk Sumatera dan Jawa skala 1:50.000.

Bakosurtanal telah mendapatkan data SRTM seluruh wilayah Indonesia, yang dikemas dalam satuan Tile (1° x 1°) dalam format hgt. Format ini bisa diolah dengan software Global Mapper, dan direformat ke format-format lain. Dengan software Global Mapper pula bisa dilakukan transformasi ellipsoid referensi maupun sistem proyeksinya secara


(19)

mudah, mengambil subset dari DEM sesuai koordinat tertentu (misalnya disesuaikan dengan potongan peta rupabumi Indonesia) ataupun membuat garis kontur darinya. Global Mapper juga memiliki fasilitas script, sehingga sebagian besar pekerjaan bisa dilakukan secara otomatis sehingga hasilnya akan memiliki standar yang sama.

Untuk uji ketelitian vertikal data SRTM, bisa dilakukan benchmark dengan data fotogrametris, ataupun data GPS.

Benchmarking dengan data fotogrametris hanya bisa dilakukan di sedikit lokasi, di mana sudah tersedia DEM hasil fotogrametri dengan akurasi yang cukup baik (foto skala 1:50.000 atau lebih besar). Ini berarti kemungkinan benchmarking SRTM dengan fotogrametri hanya bisa dilakukan di wilayah Jawa – Bali – Nusatenggara (ex Digital Mapping).

Perbandingan data SRTM dengan hasil fotogrametri tidak cukup dilakukan dengan menumpangsusunkan kontur dari kedua sumber data itu. Kontur bisa saja mirip, namun elevasi berbeda. Karena itu cara yang paling akurat adalah dengan raster-subtraction. Namun untuk itu kedua data harus dibawa ke dalam resolusi spasial dan sistem referensi yang sama.

Sedang benchmarking dengan GPS, dari percobaan dengan beberapa data GPS di Kalimantan Timur, setelah data tinggi direduksi dengan geoid dari EGM96, didapatkan bahwa perbedaan GPS dengan SRTM berkisar dari 50 cm sampai dengan 20 m. Diduga perbedaan 50 cm terjadi pada areal yang cukup terbuka dan datar, sedang 20 m pada areal dengan banyak pepohonan, di mana tinggi menurut SRTM adalah tinggi rata-rata (mean, modus atau median) kanopi pada jarak raster 90 m.

Pada eksperimen di daerah Kaltim, selisih DEM dari ifsar-rbi, srtm-rbi dan ifsar-srtm menghasilkan hasil seperti dalam gambar-4 berikut ini.

Prosentase titik dalam range selisih ketinggian

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Selisih ketinggian antar DEM

P ro sen tase t it ik yan g m asu k

ifsar - rbi srtm - rbi ifsar - srtm

Gambar 4. Prosentase titik dalam range selisih ketinggian antara ifsar – srtrm dan rbi.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa antara IFSAR-RBI hanya 35% titik memiliki selisih ketinggian kurang dari 10 meter. Di sejumlah tempat perbedaan mencapai maksimum 95,7 meter sedang minimumnya cuma 0,49 meter. Perbandingan ini juga menunjukkan bahwa antara SRTM-RBI hanya 32% titik memiliki selisih ketinggian kurang dari 10 meter. Namun menarik

bahwa 94% titk sesuai hingga kurang dari 50 meter. Ini berarti, SRTM sudah dapat digunakan untuk spesifikasi peta RBI skala 1:250.000 di mana interval kontur adalah 100 atau 125 meter dan kesalahan ditolerir hingga 50 meter. Yang paling menarik adalah perbandingan IFSAR-SRTM. Ternyata 62% cocok hingga 10 meter, dan pada toleransi 25 meter cocok 95% dan pada 35 meter cocok 100% [3]. Pada data SRTM 1” akurasi ketinggian sama dengan SRTM 3”, hanya SRTM 1” memiliki resolusi yang lebih baik sehingga detil topografi lebih mudah dikenali.

Salah satu persoalan yang pernah dihadapi dengan data SRTM adalah noise pada muka air laut. Riak-riak di permukaan air akan berakibat muka laut memiliki berbagai elevasi tak sama dengan nol (rentang –5 sampai +5 meter). Pada daerah dengan pantai rawa-rawa, menjadi agak sulit untuk menemukan garis pantai dari data DEM SRTM. Perlu ditemukan metode khusus untuk mendeteksi variasi data dari riak-riak air laut ini dan memfilternya.

5. ALOS

ALOS (Advance Land Observing Satellite) adalah satelit baru yang telah diluncurkan Jepang awal tahun 2006. Satelit ini memiliki 3 jenis sensor yaitu: PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), AVNIR (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer) dan PALSAR (Phased Array L-Band Synthetic Aperture Radar).

Kombinasi sensor dalam satu wahana ini sangat menarik untuk pemetaan yang bisa dilakukan secara teratur, karena wahana ini diharapkan akan beroperasi tanpa terputus selama beberapa tahun. Pemutakhiran peta akan dapat dilakukan tanpa terlalu tergantung pada ketersediaan pesawat, seperti pada wahana airborne. Lebih-lebih bila kemudian harga satuannya memang bisa bersaing.

Untuk menguji performance dan akurasi ALOS baik dalam pemetaan RBI maupun tematik, saat ini di Bakosurtanal dilakukan eksperimen sebagai berikut:

Peta rupabumi akan dibuat dengan menggunakan PRISM + AVNIR (untuk Bogor & Jakarta 1:25.000). Bogor dan Jakarta mewakili daerah urban dan suburban yang juga mencakup wilayah pantai dan pegunungan. Wilayah ini juga telah memiliki peta hasil fotogrametri konvensional sebagai benchmark, terutama unsur relief dan planimetris yang utama.

Peta rupabumi 1:50.000 atas daerah yang sama juga akan dibuat dengan PALSAR (Fine Beam Single dan Full Polarimetri) serta atas wilayah Berau, Kalimantan Timur dengan penutup lahan utama berupa hutan perawan dan rawa-rawa di dataran rendah.


(20)

PRISM atau PALSAR digunakan untuk menghasilkan DSM dan DTM, yang kemudian akan dipakai untuk membuat garis kontur. Unsur lain peta rupabumi (layer sungai, garis pantai, jalan, pemukiman dan vegetasi) akan divektorisasi dari PRISM yang telah difusi dengan ortho-AVNIR menjadi file pan-sharpened (resolusi 2,5 m dan warna). Pada kasus PALSAR, data ini divektorisasi dari data Polarimetri yang difusi dengan data Fine-Beam-Single.

Kombinasi dari garis kontur dan planimetris akan menghasilkan peta manuskrip. Pada peta lengkap, informasi tambahan untuk batas-batas administrasi, identifikasi gedung, kelas jalan dan nama-nama geografis harus dikumpulkan dengan survei lapangan atau lembaga resmi.

11

Gambar 5. Contoh data ALOS-Palsar di atas kawasan Bakosurtanal - Cibinong.

Hasilnya dibandingkan dengan peta yang ada. Dua puluh lokasi objek yang tersebar merata akan dipilih dan diuji. Hasilnya dapat dikatakan “bagus” jika 90% objek memiliki perbedaan kurang dari 0.2 mm pada skala peta (planimetri) dan 0.3 dari interval kontur (untuk vertikal). Tentu saja effort yang diperlukan akan dibandingkan dengan metode fotogrametri konvensional [2].

6. TERRASAR-X

TerrasarX adalah satelit radar (SAR) Jerman yang diluncurkan tahun 2007 dalam suatu Private-Public-Partnership (PPP) Project. Karena itu penggunaan satelit ini setengahnya untuk pengembangan ilmu pengetahuan (di mana data dapat diperoleh gratis) dan setengahnya lagi komersial.

Satelit ini memiliki tiga jenis pencitraan yaitu Spotlight modus (resolusi 1 m), stripmap modus

(resolusi 3 m) da Scansar modus (resolusi bervariasi, lebih besar dari 10 m). Makin halus resolusinya, makin kecil area cakupannya.

Gambar 6. Radar-corner-reflector yang dipasang di area kantor Bakosurtanal - Cibinong.

Gambar 7. Cakupan data TerrasarX pada pencitraan 8 dan 12 Februari 2008

Berbeda dengan ALOS, TerrasarX hanya merekam jika ada pesanan. Untuk menguji performance data dari TerrasarX, dilakukan pemesanan data kawasan Jakarta dari pantai Ancol hingga Gunung Salak di Bogor. Gambar 7 menunjukkan cakupan TerrasarX yang terdiri dari 1 scene spot-light mode (1 m) & 2 scene strip-map (3 m). Citra spot-light diambil pada saat terjadi banjir di Jakarta awal Februari. Citra strip-map diambil pada 8 dan 12 Februari 2008 pada posisi ascending & descending.

Pada saat pencitraan tanggal 8 dan 12 Februari 2008 dipasang sejumlah corner-reflektor untuk melakukan uji akurasi (gambar 6).


(21)

Sayangnya pada pencitraan ini, dua scene stripmap tidak bertampalan di area di mana 6 corner reflector berada, sehingga tampilannya pada citra ascending dan descending belum dapat dibedakan.

Citra TerrasarX didistribusikan sudah dalam format GeoTiff. Hanya saja, untuk proses orto baru dibuat berdasarkan DEM dari SRTM 1”. Pembuatan DEM dari TerrasarX hanya dapat dilakukan dengan data multipass yang akan berselang beberapa hari dan memungkinkan

temporal-decorrelation – hal yang pasti akan terjadi

pada hampir semua sistem satelit, selain SRTM yang membawa antene 60 m. Badan Ruang Angkasa Jerman DLR berencana akan meluncurkan satelit TerrasarX-Tandem pada 2009 agar dari dua satelit ini didapatkan data DEM teliti.

Seminar Nasional Teknologi Radar Antariksa untuk Pemetaan, 27 Februari 2008 Stripmap 1:25.000

Seminar Nasional Teknologi Radar Antariksa untuk Pemetaan, 27 Februari 2008 Stripmap 1:10.000

Seminar Nasional Teknologi Radar Antariksa untuk Pemetaan, 27 Februari 2008 Spotlight 1:10.000

Gambar 8. Beberapa contoh citra TerrasarX.

Gambar 8 atas adalah citra Stripmap (res 3m) yang ditampilkan pada skala 1:25.000; sedang Gambar tengah adalah citra yang sama pada skala

1:10.000. Gambar bawah adalah citra Spotlight (res 1m) yang ditampilkan pada skala 1:10.000.

Gambar 9 adalah komplek Bakosurtanal pada citra TerrasarX. Meski pada citra SAR batas-batas gedung tidak setajam pada citra optis, namun pagar justru dikenali dengan baik dari pantulan sinyal oleh logam.

Hal penting yang dapat dicatat juga di sini adalah:

(1) agar tidak melakukan “over-zoom”, misalnya stripmap tidak divisualisasi hingga skala lebih besar dari 1:25.000. (2) Sebaiknya menggunakan metode interpretasi yang lebih kompleks dari pada citra optis (Poniman et al, 2008).

Gambar 9. Bakoplex pada TerrasarX (res 3 m)

7. KESIMPULAN

Dalam beberapa tahun mendatang ini, pemetaan di Indonesia mau tidak mau akan berangsur-angsur mengadopsi teknologi pencitraan radar, walaupun tidak akan sama sekali meninggalkan fotogrametri. Banyak hal yang masih harus dikerjakan dan dipelajari, dan ini juga merupakan lapangan terbuka untuk riset bagi dunia perguruan tinggi.

DAFTAR REFERENSI

[1] Fahmi Amhar (1999): Kualitas Geometri DEM dari Radar Interferometri, Prosiding PIT-MAPIN 1999: 21-25

[2] Fahmi Amhar, 2006. Indonesia Contribution to ALOS in ALOS Project. ISPRS Comission-VI Symposium, Tokyo, 2006.

[3] Fahmi Amhar, Harry Ferdiansyah (2007): Membandingkan DEM dari RBI, Ifsar dan SRTM. Jurnal Geomatika Vol. 13 No. 1, Agustus 2007


(22)

Rancangbangun System Secondary Surveillance RADAR untuk Aplikasi

Tracking Peluncuran Roket Jarak Jauh

Wahyu Widada dan Sri Kliwati

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jalan Raya LAPAN, Sukamulya, Rumpin, Bogor E-mail: w_widada@yahoo.com, sri_kliwati@yahoo.com

ABSTRACT

Range and position are important parameter in the rocket development. Recently, RADAR and GPS telemetry are use for tracking rocket trajectory, however maintenance and operational cost is very expensive. In this paper develops a

low cost secondary surveillance RADAR for measurements distance from rocket to ground station using radio

transceiver and transponder. Frequency and power of the radio is designed specially for long-range rocket trajectory. This system will be applied for tracking long-range rocket flight test. The radio power is designed for up to 50 Watt and the frequency is near 500 MHz. An algorithm based on frequency domain is developed in order to calculate accurately the delay time.

Keywords: radio ranging, secondary surveillance RADAR, transceiver, transponder, UHF radio, trajectory rocket.

ABSTRAK

Alat deteksi jarak dan posisi sangat diperlukan dalam pengembangan performa roket. Teknologi RADAR dan GPS telemetri digunakan untuk tracking roket tersebut, akan tetapi memerlukan biaya maintenance dan operasional yang tinggi serta ketergantungan terhadap negara lain. Dalam tulisan ini membahas pengembangan sistem secondary surveillance RADAR untuk pengukur jarak dengan menghitung delay signal dari transceiver dan transponder. Frekuensi dan power radio didesain secara khusus, sehingga dapat disesuaikan akurasi dan jarak pengukurannya. RADAR ini akan diaplikasikan untuk deteksi jarak pada peluncuran roket kendali jarak jauh. Dalam rancangbangun kali ini ditargetkan hingga 50 Watt power dengan frekuensi sekitar 500 MHz. Algoritma untuk delay waktu menggunakan frekuensi-domain sehingga diperoleh hasil yang akurat.

Kata kunci: radio ranging, secondary surveillance RADAR, transceiver, transponder, UHF radio, trayektori roket.

1. PENDAHULUAN

Pengembangan roket dan satelit dilakukan secara kontinyu untuk meningkatkan kemampuannya. Untuk mengetahui performa dan posisi saat meluncur memerlukan sistem tracking. Teknologi yang dapat digunakan adalah RADAR dan GPS telemetri. Akan tetapi masing-masing teknologi tersebut ada kelemahan-kelemahannya secara ekonomi dan politik untuk pengembangan roket. RADAR tipe transponder

(Secondary Surveillance RADAR) SSR adalah

teknologi yang telah digunakan pada masa perang dunia ke 2 dalam penentuan identifikasi pesawat musuh dan juga pasukan sekutu [1]. Teknologi SSR ini relatif lebih murah daripada RADAR tipe refleksi dari target, sehingga sangat cocok untuk pengembangan roket. Dalam bidang penerbangan pesawat komersial, juga digunakan untuk sistem kontrol lalulintas (Air Traffic

Control). Untuk sistem ini maka perlu kesamaan sistem

dengan negara-negara lainnya [2]. Akan tetapi untuk bidang pertahanan, maka tidak perlu kesamaan bahkan perlu kerahasiaan, sehingga pengembangan sistem SSR untuk peluncuran roket ini sangat penting dilakukan.

Dalam tulisan ini membahas sistem SSR untuk aplikasi tracking roket. Prototipe mendasar dari

radio untuk sistem hardware telah diuji coba di laboratorium dengan frekuensi antara 300-600 MHz yang dapat diubah-ubah. Signal RADAR yang digunakan dengan frekuensi 5 MHz yang cukup akurat untuk mendeteksi jarak lintasan (< 1 meter).

Gambar 1. Sistem Secondary Surveillance RADAR.

SSR Transceiver Ground Station Transponder

Antenna

Range

2

C T


(23)

2. SECONDARY SURVEILLANCE RADAR

Berbeda dengan RADAR tipe back scattering (reflektor), maka RADAR tipe ini lebih mudah dalam pembuatan hardware dan pemrosesan signalnya [3]. Karena tipe ini memang khusus untuk memantau wahana yang akan dikontrol. Skema sistem RADAR ini adalah seperti gambar 1, terdiri dari ground station dan transponder.

Ground station terdiri dari transmitter dan receiver. Kemudian pada muatan roket (transponder) terdiri dari receiver dan transmitter, dengan masing-masing gelombang frekuensi yang berbeda. Transponder pada muatan roket seperti sebuah cermin retroreflector yang memantulkan kembali sinar yang diterima, sehingga signal radio yang diterima langsung dikirim kembali ke stasiun pengamat. Jika kecepatan gelombang radio adalah C = 3×108m/s dan waktu yang dibutuhkan oleh signal radio di atmosphere adalah TA,

maka jarak tempuhnya L adalah sebagai berikut.

2

A

CT

D

=

(1) Kemudian dalam pengukuran waktu tempuh signal secara total TTOT yang diukur adalah sebagai berikut.

E C A

TOT

T

T

T

T

=

+

+

(2) Disini TC adalah waktu tempuh di kabel antena, TE

adalah waktu tempuh di dalam rangkaian radio [4]. Sehingga, jarak antara stasiun pengamat dan roket pada saat uji terbang adalah sebagai berikut.

2

)

(

T

TOT

T

C

T

E

C

D

=

(3) Jika sinyal yang dipancarkan adalah s1(t), maka signal

yang diterima adalah s2(t) dapat kita tulis dengan

persamaan berikut:

)

(

)

(

)

(

1

2

t

s

t

t

n

t

s

=

α

+

+

(4) Disini α adalah atenuasi sinyal di atmosfir, s1(t) adalah

sinyal dari transmitter, n(t) adalah sinyal noise, dan ∆t

adalah delay sinyal di udara antara objek dan stasiun pengamatan. Skema lebih detailmengenai sistem di atas adalah seperti gambar 2 di bawah.

Gambar 2. Sistem Secondary Surveillance RADAR.

3. PENGEMBANGAN HARDWARE

Sistem hardware yang harus dikembangkan adalah seperti pada gambar 1 diatas. Terdiri dari transmitter dan receiver dengan dua buah frekuensi

untuk komunikasi uplink dan downling signal. Signal secara kontinyu dikirim dan diterima, sehingga pemrosesan sinyal menjadi lebih mudah. Pengembangan hardware ini membutuhkan ketekunan dan kesinambungan dari hal yang mendasar hingga dapat Transmitter

Carrier F1 MHz Signal 5 MHz

Receiver

Carrier F2 MHz Signal 5 MHz

RADAR Transponder

Carrier Rx F1 MHz Carrier Tx F2 Mhz

Signal 5 MHz

RADAR TRANSCEIVER

F1 MHz

F2 MHz

DSP - TDOA

Muatan Roket

Ground Station


(24)

mencapai sistem yang berteknologi tinggi. Beberapa langkah awal yang telah kami lakukan adalah mengembagkan radio tarsmitter dan receiver dengan frekuensi dan power yang khusus serta dapat mengirim signal RADAR yang mempunyai frekuensi antara 1-10 MHz [5]. Signal dengan frekuensi ini tidak dapat dikirim dengan mengguakan radio amatir, karena keterbatasan bandwidth (hanya signal voice).

3.1 Radio Transmitter dan Receiver

Radio trasnmitter secara umum terdiri dari VCO, mixer, signal sub-carrier, bandpass filter, RF amplifier, RF power modules, dan antena. VCO digunakan untuk membuat signal carrier yang dapat dikontrol kestabilan frekuensinya dengan menggunakan PLL (phase locked loop). Gambar 3 adalah contoh VCO yang digunakan dan mempunyai range frkuensi antara 300 MHz hingga 600 MHz. Sehingga, kita dapat memilih frekuensi sesuai dengan kebutuhan, agar tidak terganggu oleh signal radio amatir. Tanpa menggunakan PLL, maka frekuensi VCO akan tidak stabil, secara detail teknik penggunaan PLL untuk kestabilan VCO ini akan kami tulis pada paper tersendiri. Kemudian, untuk menggabungkan signal carrier dengan signal sub carrier, maka kita gunakan mixer.

Gambar 3. Voltage Control Oscilator untuk carrier radio tranmsitter 300 – 600 MHz dengan PLL.

Tipe mixer yang digunakan adalh TUF-2 dari Mini-Circuits, seperti pada gambar 4.

Kemampuan frekuensi signal yang dapat dikombinasikan adalah sampai 1 GHz. Signal sub-carrier untuk RADAR adalah 1 MHz, sehingga output dari antena menjadi (f1 + 1) MHz. Disini f1 adalah

frekuensi carrier uplink, kemudian frekuensi untuk downlink menjadi (f2 + 1) MHz.

Gambar 4. Mixer radio untuk Carrier signal dan RADAR signal dengan range frekuensi hingga 1 GHz.

Gambar 5. Blok diagram radio transmitter untuk SSR trayektori roket.

Bagan dari transmitter adalah seperti pada gambar 5 diatas. Power amplifier pada transmitter ini akan menggunakan power module hingga 50 Watt. Kemudian bagan receiver adalah seperti gambar 6 dibawah ini.

Gambar 6. Blok diagram radio receiver untuk SSR trayektori roket.

3.2 RADAR Signal Generator

Untuk dapat mengukur jarak antara roket dengan stasiun pengamat, maka perlu dikirim signal pulsa dengan frekuensi dan delay tertentu. Contoh signal

BPF

Amp MIXER

BPF VCO+PLL MHz

Signal 1-5 MHz

TRANSMITTER

BPF LNA MIXER

BPF VCO PLL MHz

RECEIVER

AGC


(25)

tersebut adalah seperti gambar 7 dibawah.

Gambar 7. Ilustrasi RADAR signal

Signal diatas dapat dibuat dengan mudah menggunakan microcontroller. Prototipe yang digunakan adalah seperti gambar dibawah.

Gambar 8. RADAR signal generator dengan menggunakan microcontroller dan bandpass filter 1 MHz.

3.3 Radio Transponder

Untuk mengirim kembali signal RADAR maka pada muatan roket perlu dipasang transponder. Gambar 9 menunjukkan blok diagram transponder yang akan dikembangkan.

Gambar 9. Blok diagram transponder untuk muatan roket, terdiri dari receiver dan transmitter radio dengan frekuensi

yang berbeda.

4. RADAR SIGNAL PROCESSING

Pemrosesan sinyal secondary RADAR ini adalah dengan menghitung beda waktu tiba antara signal yang dikirim dengan signal yang diterima atau disebut

Time Different Of Arrival TDOA. Algoritma estimasi

TDOA berbasis frekuensi telah dikembangkan oleh wahyu dkk adalah sebagai berikut [6,7]. Mula-mula signal referensi dan signal yang diterima dihitung nilai spektrunya. Spektrum frekuensi masing-masing signal adalah sebagai berikut:

=

s

t

e

dt

X

1

(

ω

)

i

(

)

iωt (5) ntuk signal yang kedua menjadi berikut.

u

=

s

t

e

dt

X

2

(

ω

)

2

(

)

iωt (6) rekuensi cross correlation kedua signal dengan

(7)

ungsi bobot W(ω) pada persamaan di atas dihitung F

fungsi bobot tersebut adalah sebagai berikut:

+

=

∆ /2

2 /

* 2 1

12 argmax ( ) ( ) ( )

T

T

j

d e X X W

T ω ω ω ωβ ω

β F

dengan persamaan berikut:

) ( ) (

1 )

(

2

1 ω ω

ω

X X

W = (8) ungsi bobot ini berhubungan dengan fase signal dan F

dapat secara efektif menghilangkan pengaruh signal yang dominan.

-4 -2 0 2 4

x 10-3 -4

-3 -2 -1 0 1 2

Samples

RADAR S

Ig

n

a

l

Gambar 10. Simulasi signal RADAR dengan delay waktu 90 nsec.

Pulse delay = D Pulse Frequency = f

BPF

LNA MIXER

BPF VCO-PLL

AGC BPF

BPF

Amp MIXER

VCO-PLL


(26)

0 100 200 300 400 0

20 40 60 80 100

C

or

rel

a

ti

on S

ign

al

Time Delay (nsec)

True Value = 50 (nsec) Estimation = 50 (nsec)

0 100 200 300 400

0 20 40 60 80 100

C

or

rel

at

io

n S

ignal

Time Delay (nsec)

True Value = 50 (nsec) Estimation = 51 (nsec)

Gambar 11. Hasil estimasi TDOA yang mempunyai nilai sama dengan nilai sebenarnya.

Pemrosesan sinyal berbasis frekuensi ini sangat handal terhadap pengaruh noise [5]. Gambar 10 adalah sinyal tanpa noise, sehingg ahsil perhitungan delay menjadi sangat akurat. Akan tetapi seperti gambar 12, walaupun sinyal sangat besar noisenya, dan sinyal RADAR sudah tidak dapat dilihat lagi, hasil dari algoritma ini tetap dapat mendeteksi delay waktu dengan akurat seperti pada gambar 13 dibawah. Hal ini disebabkan sinya RADAR mempunyai frekeunsi yang sangat khas dibanding dengan random noise yang frekuensi spektrumnya melebar dan lemah. Jika diproses dengan time domain makan hampir pasti tidak dapat dihitung kembali.

-4 -2 0 2 4

x 10-3 -4

-2 0 2 4 6

Samples

RADAR S

Ig

n

a

l

Gambar 12. Signal RADAR dengan delay waktu 90 nsec dengan noise 4 kali lebih besar dari signal.

Gambar 13. Hasil estimasi TDOA mirip hasilnya dengan nilai sebenarnya walaupun dengan derau yang relatif besar

dibanding dengan signal utama.

Akurasi dari hasil diatas kurang dari 3 nsec, sehingga sangat akurat untuk deteksi trayektori roket.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Secondary surveillance RADAR dapat dikembangkan secara mandiri untuk kepentingan nasional. Sistem ini akan dimanfaatkan untuk tracking roket-roket LAPAN tipe jarak jauh. Daya jangkau sistem ini dapat ditingkatkan sampai ratusan kilometer dengan hanya menambah power output signal puluhan Watt. Pemrosesan sinyal RADAR untuk menghitung delay waktu telah dikembangkan berbasis spektrum frekuensi dan diperoleh algoritma yang handal terhadap gangguan noise. Pengembangan hardware masih perlu ditingkatkan secara kontinyu dan terprogram sesuai dengan kebutuhan tracking roket.

Jika teknologi ini sudah dapat dikuasai dengan sempurna, maka aplikasi untuk bidang-bidang lain dapat dilakukan dengan mudah, seperti lokal air traffic control, pemantauan pasukan, radio telekomando dan lain-lain. Perhatian dan dukungan dana untuk kemajuan penelitian ini sangat diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Peter Honold,“Secondary RADAR”, Siemens 1976. 2. Simon K and Shaun Quegan,”Understanding

RADAR Systems”,McGRAW-HILL1992.

3. Wahyu Widada, etal, "Iterative Correction of Multiple-Scattering Effects in Mie-Scattering

LIDAR Signals", Proceeding International Laser

RADAR Conference ILRC Quebec CANADA, July 8-12, 2002.

4. Wahyu Widada dan Sri Kliwati,”Metoda Kalibrasi TDOA Untuk Sistem Passive RADAR Trayektori


(27)

Roket”, Jurnal Teknologi Dirgantara Desember 2007.

Wahyu Widada, Sri Kliwati,”Frequency-Domain TDOA

5.

Estimation Of Passive RADAR For Rocket

6.

k Aplikasi Uji

7.

enerator untuk Tracking

Flight Test”, Prosiding Seminar Nasional FISIKA,

ITB Bandung 5-6 February 2008.

Wahyu Widada dan Sri Kliwati,”Desain Sistem Passive RADAR Radio UHF Untu

Terbang Roket”, Seminar Nasional SITIA ITS

Surabaya Mei 2008.

Wahyu Widada dan Sri Kliwati,”Pengembangan RADAR Signal G

Long-Range Rocket Flight Test”, Prosiding


(28)

Pembangunan Radar VHF Lapan di Pameungpeuk

M. Sjarifudin

1

, S. Kaloka

1

, A. Purwono

1

, A. Kurniawan

1

, P. Sitompul

1

, S. Cahyo

1

, M. A.

Aris

1

, H. Bangkit

1

, M. Batubara

1

, J. R. Roettger

2

, M. Chandra

2

, G. Viswanathan

3

1) Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung 40573

Telp. 022-6012602 Fax. 022-6014998 Email: sja@bdg.centrin.net.id

2) DLR (Deutsche Zentrum für Luft und Raumfahrt) Jerman Email: Roettger.JR@T-Online.de

3) ISRO (Indian Space Research Organisation) India Email: gemsvi@yahoo.com

ABSTRAK

Radar VHF LAPAN yang sedang dibangun di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat termasuk jenis radar atmosfer hamburan koheren yang dioperasikan pada frekuensi 150MHz dengan daya pancar puncak 1kW. Diperkirakan dapat mengamati atmosfer sampai ketinggian 2km. Radar ini merupakan versi mini dari radar TRAINERS 10kW yang akan dibangun dalam rangka kerjasama proyek multi-nasional TRAINERS dengan pendukung utamanya adalah LAPAN Indonesia, DLR Jerman, dan ISRO India. Penggunaan frekuensi 150MHz ini cukup unik karena radar atmosfer di dunia umumnya menggunakan frekuensi antara 30-50MHz. Lokasi radar di Pameungpeuk yang terletak di tepi pantai Lautan Hindia selain meningkatkan pemahaman tentang cuaca dan iklim di Kawasan Barat Indonesia, juga akan mendukung informasi tentang fenomena-fenomena seperti ENSO dan QBO yang menjadi perhatian pakar iklim dunia. Dengan mengatur arah pancar sinyal yang ditransmisikan dan meningkatkan dayanya, radar VHF LAPAN dapat juga dipakai untuk penelitian irregularitas ionosfer pada lapisan E dan F seperti fenomena ES (E Sporadic) dan ESF (Equatorial Spread F), serta penelitian VHF-TEP (Very High Frequency-Trans Equatorial Propagation) di daerah ekuator.

Pada tahun 2006, telah dilakukan studi tentang prinsip dasar, teknik dasar, prinsip instrumentasi, antena radar atmosfer, perancangan sistem instrumentasi dan konfigurasi radar VHF LAPAN. Telah dikaji berbagai aspek sistem instrumentasi radar VHF LAPAN mulai dari jenis radar, hamburan koheren, modulasi pulsa, deteksi koheren, sistem antena, pemancar, penerima, pembangkit pulsa, kontroler, konverter A/D, pemroses data, dan lain-lain. Dengan bantuan DLR Jerman dan ISRO India telah dibuat desain perangkat keras radar VHF LAPAN. Pengadaan penerima analog 3-kanal dan pemancar radar 150MHz 1kW dari India telah dilakukan. Sedangkan sistem antena Yagi, power splitter, generator sinyal pulsa 150MHz, pengontrol radar berbasis mikrokontroler ATmega8535 dan perangkat lunak LabVIEW Professional, serta konverter A/D berbasis ME-4660S DAQ Card dibangun sendiri oleh LAPAN. Gedung radar dan lahan antena telah tersedia di SPD Pameungpeuk.

Pada bulan Desember tahun 2007 telah dilakukan penginstalasian dan pengujian operasi radar VHF LAPAN di Pameungpeuk. Pada dasarnya radar ini telah beroperasi namun perlu adanya penyempurnaan perangkat keras dan sistem pengolah datanya. Telah diperoleh contoh data dalam bentuk text file serta rekaman photo dan video dari sinyal I dan Q. Mulai tahun 2008 sampai dengan 2010 secara bertahap akan dilakukan peningkatan daya hingga 10 kW, pengoperasian penerima 3-kanal, pengembangan sistem antena, pemrosesan data secara digital menggunakan system DSP (Digital Signal Processor), serta terlaksananya operasi radar secara rutin.

Kata Kunci : radar VHF LAPAN, frekuensi 150MHz, daya puncak 1kW, penerima analog 3 kanal, sistem antena

Yagi, generator sinyal pulsa 150MHz, pengontrol radar berbasis mikrokontroller ATmega8535 dan LabVIEW Professional, konverter A/D berbasis ME-4660S DAQ

1. LATAR BELAKANG

Proyek kerjasama multi-nasional TRAINERS (Tropical Atmosphere and Ionosphere New Equatorial

Radar System) yang dimulai pada tahun 2003

didukung oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Indonesia, DLR (Deutsche

Zentrum für Luft und Raumfahrt) Jerman, and ISRO

(Indian Space Research Organisation) India. Pada proyek TRAINERS akan dibangun radar TRAINERS yang merupakan sebuah radar atmosfer dengan

frekuensi 150MHz dan daya pancar puncak 10kW di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Pada awalnya radar TRAINERS ditargetkan selesai tahun 2008. Radar ini akan digunakan untuk memantau perilaku atmosfer dan ionosfer di kawasan Barat Indonesia. Kegiatan dalam proyek ini cukup menantang karena adanya kegiatan mengkonstruksi sistem radar VHF dari awal dan menciptakan komunitas pengguna ilmiah yang kompeten dari semua pendukung proyek. Juga terdapat misi pendidikan teknologi,


(29)

rekayasa, riset ilmiah, dan penanganan logistik yang berguna bagi LAPAN [2].

Penggunaan frekuensi 150MHz ini cukup unik karena radar atmosfer/ionosfer VHF umumnya menggunakan frekuensi antara 30 - 50MHz, misalnya EAR (Equatorial Atmospheric Radar) Kototabang-Bukittinggi 47MHz, radar VHF Nagoya 38.5MHz, dan radar VHF Chung-Li Taiwan 52MHz. Penelitian baru penggunaan frekuensi 150MHz inilah yang menyebabkan DLR, ISRO dan institusi lainnya tertarik untuk berpartisipasi dalam proyek TRAINERS.

Dengan radar TRAINERS akan dapat diperoleh informasi tentang PBL (Planetary Boundary Layer), komponen spektral dari hamburan dan angin di atmosfer hingga ketinggian 18km [2]. Lokasi radar di Pameungpeuk yang selain meningkatkan pemahaman tentang cuaca dan iklim di Kawasan Barat Indonesia, juga akan mendukung informasi tentang fenomena-fenomena seperti ENSO (El-Nino and Southern

Oscillation) dan QBO (Quasi Biennial Oscillation)

yang menjadi perhatian pakar iklim dunia [1]. Data radar TRAINERS di Pameungpeuk juga merupakan data pembanding atau komplemen dari data EAR di Kototabang dan sistem pengamat atmosfer lainnya di daerah tropis Indo-Pacific [7]. Dapat disimpulkan bahwa radar TRAINERS akan meningkatkan penelitian atmosfer dan ionosfer di Indonesia secara intensif. Namun dalam pelaksanaan proyek TRAINERS, terjadi berbagai kendala pada mitra LAPAN yang mengakibatkan pelaksanaan proyek tersebut tidak sesuai dengan perencanaan dan menimbulkan kesan ketidak pastian.

Di lingkungan LAPAN timbul gagasan dan inisiatif untuk membuat sendiri sebuah prototip radar VHF atau radar TRAINERS versi kecil (mini) yang dapat digunakan untuk pengamatan awal atmosfer dan ionosfer. Radar ini juga akan dioperasikan pada frekuensi 150MHz dengan daya puncak 1kW. Dengan daya 1kW, diperkirakan akan dapat diamati atmosfer sampai ketinggian 2 km [2]. Adanya fasilitas pengaturan arah pancar sinyal radar memungkinkan dilakukannya penelitian VHF-TEP (Very High

Frequency – Trans Equatorial Propagation) di

ekuator. Peningkatan daya radar hingga 10kW dan konfigurasi antena yang sesuai akan meningkatkan ketinggian atmosfer yang dapat diamati hingga 18km dan memungkinkan pengamatan irregularitas di ionosfer seperti fenomena ES (E-sporadic) dan ESF (Equatorial Spread F) pada ketinggian antara 100-500km [2,3].

2. RADAR VHF LAPAN

Pada tahun 2006 dimulai pembangunan radar VHF LAPAN yang dituangkan dalam bentuk kegiatan penelitian berjudul ”Pembangunan Radar VHF LAPAN di Pameungpeuk” [5]. Disusun tahapan pembangunan radar VHF LAPAN mulai tahun 2006 sampai dengan 2010 (lihat Gambar 2-1). Desain

konfigurasi radar dan pemilihan perangkat keras radar VHF LAPAN dilakukan sendiri oleh LAPAN bekerjasama dengan DLR Jerman dan ISRO India. Telah dibuat konfigurasi awal perangkat keras radar VHF yang terdiri dari pemancar berupa 150MHz 1kW T-R Module, penerima analog 150MHz 3-kanal, modul antena Yagi untuk pemancar dan penerima, serta sistem pengontrol radar berbasis µC Atmega8535, ME-4660S DAQ Card dan perangkat lunak LabVIEW Professional. Pengujian skala laboratorium dilakukan dengan bantuan DLR & TUC Jerman, ISRO & NARL India. Gedung radar dan lahan untuk antena telah tersedia di SPD Pameungpeuk.

Pada tahun 2007 dilakukan pengoperasian pemancar 1kW, penerima 1-kanal, pengontrol radar, pemasangan sistem antena Yagi sebanyak 64 buah, instalasi dan pengujian radar VHF LAPAN di Pameungpeuk.

Pada tahun 2008 radar VHF LAPAN direncanakan akan dioperasikan dengan pemancar radar 2 x 1kW, penerima 2-kanal, antena pemancar 64 buah, antena penerima 2 x 64 buah, dan dilakukan pemrosesan awal sinyal radar.

Pada tahun 2009 direncanakan radar VHF LAPAN dioperasikan dengan pemancar 4 kW, penerima 3-kanal, antena pemancar 128 buah, dan antena penerima 3 x 64 buah.

Pada tahun 2010 direncanakan radar VHF LAPAN dioperasikan dengan pemancar 10 kW, penerima 3-kanal, antena pemancar 256 buah, antena penerima 3 x 64 buah, dan dilengkapi dengan sistem DSP (Digital Signal Processing).

Gambar 2-1: Tahapan pembangunan radar VHF LAPAN

2.1 Karakteristik umum radar VHF LAPAN

Radar VHF LAPAN dengan frekuensi 150MHz, pemancar dengan daya pancar puncak 1kW, sistem modul antena Yagi, penerima analog 3-kanal, dan pengontrol radar berbasis mikrokontroler, merupakan versi kecil (mini) radar TRAINERS. Kesamaannya selain pada frekuensi operasi 150MHz juga pada mode pengukurannya yaitu mode SAD

(Spaced-Antenna-Drift) dan DBS (Doppler Beam Swinging).

Juga keduanya dapat dipakai untuk aplikasi riset atmosfer dan riset ionosfer. Radar VHF LAPAN termasuk radar multi-statik karena menggunakan satu pemancar dan tiga penerima serta antena masing-masing yang terpisah [2].

Sensitivitas radar VHF LAPAN yang menunjukkan kualitasnya ditentukan oleh indikator


(30)

radar PAP (Power Aperture Product) = Pa.Ae, dimana

Pa adalah daya rata-rata pemancar dan Ae adalah luas

effektif antena. PAP radar VHF LAPAN dengan daya pancar puncak 1kW, siklus kerja 25%, dan memakai empat buah antena Yagi besarnya adalah 2 x 103 Wm2. Harga PAP ini masih jauh di bawah PAP radar MST Gadanki 5 x 108 Wm2 dan radar Wind Profiler SHAR 4 x 107 Wm2 di India [6]. PAP radar VHF LAPAN akan menjadi 6.4 x 105 Wm2 bila dayanya 10kW dengan antena Yagi sebanyak 128 buah. Penggunaan antena Yagi sebanyak 256 buah akan meningkatkan PAP nya menjadi 6.4 x 106 Wm2 [5].

2.2 Diagram blok radar VHF LAPAN

Diagram blok radar VHF LAPAN ditunjukkan pada Gambar 2-2. Pemancar radar berupa 150MHz 1kW T-R Module buatan Vikas Communication Pvt. Ltd. India, sedangkan penerima 150 MHz 3-kanal buatan United System Engineering Ltd. India. Sistem modul antena Yagi empat elemen dan power divider untuk sistem antena penerima dan pemancar dibuat sendiri oleh LAPAN. Generator sinyal pulsa 150 MHz untuk pemancar dan sistem pengontrol radar juga dibuat sendiri oleh LAPAN dengan berbasis mikrokontroler ATmega8535 dan perangkat lunak LabView Professional versi 8. Digunakan konverter A/D berbasis ME-4660S DAQ Card buatan Meilhaus Jerman.

Gambar 2-2: Diagram blok radar VHF LAPAN

2.3 Sistem antena radar VHF LAPAN

Sistem antena radar VHF LAPAN terdiri dari sejumlah antena Yagi 4 elemen phasa horisontal yang membentuk suatu phased array dalam bentuk sistem modular, dimana setiap modul antena terdiri dari empat antena Yagi dengan 4-port power

splitter/combiner/divider seperti terlihat pada Gambar

2-3 dan Gambar 2-4. Power splitter berfungsi mengatur fase dari setiap antena pemancar dan membagi daya input dari pemancar secara merata pada keempat antena tersebut. Ada 2 buah modul antena yang sudut azimuth dan elevasinya dapat diatur dengan rotator azimuth-elevasi Yaesu KR-5500 untuk keperluan penelitian ionosfer seperti irregularitas ionosfer dan VHF-TEP (Very High Frequency Trans

Equator Propagation). Saat ini sudah terpasang 64

buah antena Yagi yang dapat dioperasikan dengan

konfigurasi 2 x 32 buah (untuk pemancar dan penerima) atau 1 x 64 buah yang dapat dipakai bergantian oleh pemancar dan penerima.

Gambar 2-3: Modul 4 antenna Yagi

Gambar 2-4: Sistem antena Yagi pada radar VHF LAPAN

2.4 Pemancar radar VHF LAPAN

Diagram blok penguat pemancar radar VHF LAPAN yang berupa 150MHz 1kW T-R Module dan dibeli dari Vikas Communication Pvt. Ltd. India terlihat pada Gambar 2-5, sedangkan spesifikasinya ditunjukkan pada Tabel 2-1. Sinyal input pulsa 150MHz – 5dBm untuk mendorong modul T-R ini dibangkitkan pada generator sinyal pulsa 150 MHz yang dilengkapi dengan penguat RF 150MHz. Pengontrolan modul T-R ini bisa menggunakan

RS-422 interface atau dengan sinyal level TTL.

Gambar 2-5: Diagram blok modul T-R 150MHz 1kW Tabel 2-1 : Spesifikasi modul T-R 150MHz 1kW

Operating frequency : 150

MHz Pulse width: 0.5–200µs

Input power: -5 dBm max Duty ratio: Up to 10% Output power: 1 kW Rise/ Fall time:100 ns Bandwidth: >3.4 MHz Operating temperature:


(1)

tepat dari profil Wu-King.

Gambar 1. Geometri antena rolled dipole

Gambar 2. Profil Pembebanan Resistif untuk 10 resistor yang dapat menginterpolasi untuk harga resistor yang

digunakan lebih banyak.

Untuk mengetahui unjuk kerja dari antena rolled dipole terlebih dahulu dilakukan simulasi agar dapat diketahui hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Simulasi dilakukan dengan menggunakan program FDTD dan NEC. Bentuk pulsa eksitasi yang digunakan pada simulasi ditunjukkan pada gambar 2.

Antena yang telah didesain dicetak diatas papan PCB single layer, pada penelitian ini kami menggunakan FR4. Geometri antena yang telah dicetak pada FR4 ditunjukkan pada gambar 3. Metode yang digunakan pada pengukuran antena rolled dipole yaitu antena dicatu menggunakan kabel semi rigid (TSR) seperti ditunjukan pada gambar 4. Kabel TSR terdiri dari 2 kabel semi rigid terpisah yang saling berdekatan satu sama lain dan tersolder seluruhnya, menghasilkan line transmisi yang seimbang dengan impedansi karakteristik 100 (. Masing-masing ujung kabel TSR dihubungkan ke kanal GPR 50 ( yang berbeda-beda.

Gambar 3. Geometri antena dicetak pada FR4

Gambar 4. Sistem Pengukuran Impedansi Input dengan kabel Twin Semi Rigid (TSR)

Gambar 5. Gelombang transmit medan dekat dari antena rolled dipole pada ruang bebas : (a). tanpa pembebanan,

(b) dengan pembebanan (profil Wu-King). Ujung dari kabel TSR dihubungkan dengan AUT (Antenna Under Test) sementara ujung yang lain dihubungkan dengan kabel coax 50 ohm ke port-1 dan port-2 dari VNA (Vector Network Analyzer). Parameter S11 dan S12 dari kedua port VNA diukur dan selanjutnya diproses menggunakan post-processing software menggunakan Matlab.

Dapat dilihat bahwa ketika antena tidak dibebani maka gelombang didominasi oleh refleksi internal seperti yang diperkirakan. Kami mencatat bahwa pada daerah medan dekat pantulan pertama dari akhir antena (antenna end) masih terpisah secara jelas dari pulsa utama yang diradiasikan dari feed point.


(2)

Ketika ditambahkan pembebanan resistif dengan profil Wu-King, seperti ditunjukan pada 5(b) dimana seluruh refleksi dieliminasi, hanya tinggal pulsa utama.

Setup Pengukuran Footprint

Gambar 6. Antenna Under Test yang terpasang pada scanner

Antenna under test (AUT) dipasang pada scanner yang dipolarisasi sepanjang sumbu-x. Pengukuran dilakukan di IRCTR-TU DELFT Belanda

Setup pengukuran ditunjukkan pada gambar pada gambar-7. Port 1 dan 2 dari AUT masing-masing dihubungkan ke chanel 1 dan 2 dari Head Sampling dengan 10m kabel RF. Antena pemancar berupa loop antenna berdiameter 3 cm yang ditanam didalam 17 cm dibawah permukaan pasir pada pusat scanner (x=y=0). Pengendalian dan data akuisisi dari digital sampling oscilloscope dilakukan secara otomatis menggunakan software dalam PC.

Beberapa parameter pengukuran yang perlu diperhatikan :

Sampling scope settings : • 10ns time windows • 1024 points

• Dot averaging factor 128

• 2 channels acquired simultaneously

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 -50 0 50 100 150 200 250 300 350

400 Korvet Pulse (40dB attenuation)

Timebase [ns] M agni tude [ m V ] (a) (b)

Gambar 8. Monopulsa 0.2-ns untuk

membangkikan antena (a) Bentuk Gelombang, (b) Spektrum

Scanner settings :

• Scanning area 1.4x1.4 m2

• Distance between samples 1 cm in both directions

• AUT – ground distance ca 3 cm

File-file Matlab C-scans adalah 3D arrays, dimensi adalah x, aimensi 2 adalah y dan dimenasi 3 adalah waktu

3. HASIL PENGUKURAN

Dengan menggunakan fasilitas dan setup pengukuran seperti yang tersebut diatas footprint antena ditunjukkan pada gambar 9, gambar 10 dan gambar 11. Gambar 9 menujukkan footprint antena tegangan peak to peak yang ternormalisasi (dB) tehadap level yang paling tinggi yang berbentuk oval. Secara kuantitatif ukuran footprint terhadap levelnya terlihat pada table 1 :

Tabel 1. Ukuran Footprint

Level (dB) X(cm) Y(cm)

0 30 60

-10 48 80

-20 70 120

Tabel 1 menunjukkan bahwa ukuran footprint akan meningkat dengan level yang makin rendah. Untuk. Pada level 0 dB atau level yang paling tinggi ukuran x = 30 cm, hal ini hampir sama dengan ukuran panjang antena sekitar 25 cm sedangkan ukuran y = 60 cm. Dengan demikian ukuran footprint dengan level yang paling tinggi untuk antena rolled dipole yang bekerja pada frekuensi 600 MHz dan panjang 25cm dengan ukuran 25 cm adalah berbentuk oval dengan x=30 cm dan y=60 cm.


(3)

frekuensi yang berbeda-beda yaitu pada frekuensi : 400 MHz, 600 MHz, 1 GHz, 2 GHz, 3GHz dan 4 GHz. Dari gambar 10 dapat menunjukkan bahwa intensitas spectrum menurun sesuai dengan naiknya frekuensi. Sedangkan puncak dari spectrum ada pada ftrkuensi 600 MHz. hal ini sesuai dengan perancangan antena yang terjadi resonansi pada frekuensi 600 MHz.

Gambar 11 menunjukkan spektrum dari bentuk gelombang yang diterima terhadap perpindahan arah X (Bidang-E) dan arah Y (Bidang-H). Untuk bidang-E puncak intensitas spektrum yang paling tinggi sekitar pada frekuensi 0,6 -1,5 GHz dengan ukuran x=30 cm dan intensitas tinggi pada frekuensi 0,5 – 2,25 GHz dengan ukuran x=40 cm. Sedangkan untuk bidang-H yang paling tinggi 0,6 – 1,5 Ghz dengan ukuran y=40 cm dan yang tinggi pada frekuensi 0,5 -2,25 GHz dengan ukuran y=100cm.

4. KESIMPULAN

1. Antena rolled dipole dapat memperkecil dimensi antena tanpa merubah karakteristik dari antena dan dapat menekan ringing

2. Antena rolled dipole memiliki footprint dengan puncak spectrum dengan resolusi paling tinggi pada ukuran x= 30 cm dan y=60 cm yang bekerja pada frekuensi 600 MHz sesuai dengan perancangan.

3. Antena rolled dipole memiliki ukuran spketrum bidang-E yang lebih rendah dibandingkan dengan bidang-H dan puncak intensitas bekerja pada frekuensi dekitar 600 MHz seduai dengan perancangan

UCAPAN TERIMAKASIH

Kami ucapkan terimakasih kepada Ir. Pascal Aubry staf peneliti laboratorium GPR di IRCTR-TU DELFT Belanda yang telah melakukan pengukuran.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Butler, C.M., Jul 1982, “The equivalent radius of a narrow conducting strip,”IEEE Trans. Antenna Propagat., vol. 30, no. 4, pp. 755-758.

[2] Lestari, A.A., A.G. yarovoy, L.P Ligthart, Oct. 2004, “ RC loaded bow-tie antenna for improved pulsa radiation,” IEEE Trans. Antenna Propagat., vol. 52, no. 10, pp. 2555-2563.

[3] Morrow, I.L., J. Persijn, P. van Genderen, 2002 “Rolled edge ultra-wideband dipol antenna for GPR application,” 2002 IEEE

APS Int. Symp. Digest, Vol. 3, pp. 484-487. [4] TP.Montoya, G.S.Smith, ,Aug.1996, ”A study

of pulse radiation from several broad-band loaded monopoles”, IEE Trans.Antennas Propagat., vol.44,no.8,pp.1172-1182.

[5] [T.T.Wu, R.W.P.King, May 1965 , ”The cylindrical antenna with non reflecting resistiv loading”, IEE Trans.Antennas Propagat., vol.AP-13, no.5, pp.369-373

[6] A.A. Lestari, Antennas for Improved Ground Penetrating Radar: Modeling Tools, Analysis and Design, Ph.D. Dissertation, ISBN 90-76928-05-3, Delft University of Technology, The Netherlands, 2003.

[7] A.A. Lestari, Y.A. Kirana, A.B. Suksmono, A. Kurniawan, E. Bharata, A.G. Yarovoy, L.P. Ligthart, “Compact UWB Radiator for Short-Range GPR Applications,” Proc. 10th International

[8] Conference on Ground Penetrating Radar (GPR 2004), vol. 1, pp. 141-144, Delft, The Netherlands, Jun. 2004.

[9] A. Yarovoy, R. de Jongh, L. Ligthart, “Ultra-wideband sensor for electromagnetic field measurements in time domain,” Electr. Lett., vol. 36, no. 20, pp. 1679-1680, Sep. 2000. [10]A.A. Lestari, A.G. Yarovoy, L.P. Ligthart,

“Ground influence on the input impedance of transient dipole and bow-tie antennas,” IEEE Trans. Antennas Propagat., vol. 52, no. 8, pp. 1970-1975, Aug. 2004.

[11]G.J. Burke, A.J. Poggio, Numerical Electromagnetic Code (NEC) – Method of Moments, NOSC TD-116, Naval Ocean Syst. Center, San Diego, CA, Jan. 1980.

[12]A.A. Lestari, A.B. Suksmono, E. Bharata, A.G. Yarovoy, and L.P. Ligthart, “Small UWB antenna with improved efficiency for pulse radiation,” Proc. 2005 IEEE Int. Workshop AntennaTechnology (IWAT 2005), pp. 295-298, Singapore, Mar. 2005.

[13]A.A. Lestari, Y.A. Kirana, A.B. Suksmono, E. Bharata, Applied research on Ground Penetrating Radar, Bow-tie Antenna, GPR antenna, Adaptive antenna, Ultra-wideband antennas, Supplemental Report (Project ID: IS 03143), no. IRCTR-S-041-04, Delft University of Technology, The Netherlands, Dec. 2004.

[14]A.A. Lestari, W. Yogantara, A. Rufiyanto, F. Dahmir, K. Herusantoso, E.T. Rahardjo, A.G. Yarovoy and L.P. Ligthart, “Design and realization of a GPR antenna for hydrological application,” CD-ROM Proceedings of the 11th International Conference on Ground Penetrating Radar (GPR 2006), Columbus Ohio, USA, June 2006.

[15]G. Mur, User’s Guide for FDTD3D; The C++ Finite-Difference Code for Electromagnetic Fields in Three Dimensions and Time, IRCTR


(4)

and Laboratory for Electromagnetic Research, Delft University of Technology, Delft, The Netherlands, May 2000.

[16]A.G. Yarovoy, V. Kovalenko, F. Roth, A.D. Schukin, I.V. Kaploun, A.A. Lestari, L.P.

Ligthart, “Multi-waveform video impulse radar for landmine detection,” Invited paper,

CD-ROM Proc. 28th General Assembly Int. Union Radio Science (URSIGA 2005), New Delhi, India, Oct. 2005.


(5)

012345678910 -5 0 5 10 15 20 25 30

Time [ns] Output Pulse

Voltage [

V]

AUT

Tx Loop Sampling Head

Digital Sampling Converter

Pulse Generator 0 5 10 15

-250 -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200 250 Received m

Time [ns]

Voltage [m

V]

Wavefor

LPT Motor Control Unit

Stepping Motor

Port1 Port 2

CH1 CH2 RS232

Control PC

Gambar 7. Setup Pengukuran Footprint

-30

-3 0

-30

-30

-30

-30 -30

-30

-2 0 -20 -20

-20

-20

-20

-20

-10

-10 -10

-10 -1

0

X (cm)

Y (

c

m

)

Normalised peak to peak voltage in dB

-60 -40 -20 0 20 40 60

-60 -40 -20 0 20 40 60

Gambar 9. Footprint Antena Tegangan Peak to Peak yang ternormalisasi (dB)


(6)

Gmabra 10.Footprint Antena dalam Spektrum Ternormalisasi (dB)