Penyebab Konflik Karakteristik Konflik di Lokasi Studi

105

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Konflik di Lokasi Studi

Tujuan dari analisis konflik ialah untuk memahami penyebab, tipe, dan faktor yang mempengaruhi konflik di lokasi studi. Tujuan selanjutnya ialah memetakan intensitas konflik berdasarkan hubungan antar para pihak dan mengidentifikasi usaha apa saja yang sudah dilakukan untuk merespon konflik tersebut. Berikut ini uraian dari hasil analisis konflik tersebut.

5.1.1 Penyebab Konflik

Berdasarkan penelusuran literatur terhadap 84 dokumen dan data primer dari 60 responden, adanya konflik diindikasi oleh 81,7 responden dan 50 dokumen. Mengacu pada definisi konflik 90 yang disebutkan oleh Fisher et al. 2001, Malik et al. 2003, serta Kartodiharjo dan Jhamtani 2006, konflik yang terjadi dilokasi studi adalah suatu hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki sasaran atau kepentingan yang tidak sejalan sehingga menimbulkan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau kelompok atas sesuatu lahan dan akses terhadap sumberdaya alam. Ada empat penyebab konflik. Pertama, konflik mengenai perbedaan sistem nilai. Konflik ini diindikasikan oleh 25 dokumen dan 41,7 responden. Kedua, konflik mengenai ketidaksepakatan status lahan. Konflik ini diindikasikan oleh 33,3 dokumen dan 75 responden. Ketiga, konflik mengenai ketidaksepakatan tata batas. Konflik ini diindikasikan oleh 27,4 dokumen dan 66,7 responden. Keempat, konflik mengenai ketidakpastian akses masyarakat terhadap sumberdaya alam di kawasan TNGH. Konflik ini diindikasikan oleh 42,9 dokumen dan 78,3 responden. Informasi ini dirangkum dan disajikan pada tabel 23. 90 Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan Fisher et al. 2001:4; adalah suatu situasi yang menunjukan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau lebih dan atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan Malik et al. 2003; adalah gejala yang terlihat di permukaan dari suatu transformasi modal sosial masyarakat yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat Kartodiharjo dan Jhamtani 2006. Tabel 23 Penyebab konflik menurut dokumen dan responden SUMBER VARIABEL DOKUMEN 1 RESPONDEN 2 KONFLIK 50,0 81,7 JENIS KONFLIK Sistem Nilai 25,0 41,7 Lahan 33,3 75,0 Tata Batas 27,4 66,7 Akses 42,9 78,3 Keterangan: 1 hasil identifikasi dari 84 dokumen Lampiran 2. 2 hasil survei terhadap 60 responden Tabel 4.

A. Konflik Perbedaan Sistem Nilai dalam Mengelola SDA

Menurut Koentjaraningrat 1992, sistem nilai ialah konsepsi mengenai apa yang bernilai bagi kelompok masyarakat tertentu. Di lokasi studi, terutama di Desa Sirnarasa Kasepuhan Ciptarasa dan Desa Citorek Kasepuhan Cibedug sudut pandang antara masyarakat lokal dan pemerintah dalam memberi nilai terhadap SDA yang berada di kawasan TNGH berbeda Harada 2003; Widada 2004. Bagi masyarakat relasi mereka dengan hutan merupakan relasi yang bersifat sosial, ekonomi dan spiritual Admihardja 1992; Adimihardja et al. 1994; Asep 2000; dan Saputro 2006. Hutan tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar namun juga tempat dimana mereka melakukan aktivitas sosial budaya dan ritual kepercayaan. Hutan dipandang sebagai milik bersama common goods. Semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengakses SDA seperti juga mempunyai kewajiban yang sama untuk melestarikannya sesuai aturan adat. Akses terhadap hutan bukan barang yang dapat diperdagangkan common property 91 dan pelestarian hutan merupakan bagian dari praktek kehidupan sosial budaya. Disisi lain, pemerintah memandang status hutan berdasarkan kepemilikan property right. Hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan perundangan mengenai pengurusan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hutan yang tidak jelas kepemilikannya dapat diklaim menjadi hutan negara atau state property 91 Commons adalah lahan yang utuh tidak dibagi yang dimiliki oleh anggota dari komunitas lokal dan common property adalah lahan yang memiliki peraturan pengelolaan yang mengatur penggunaan atau pemanfaatannya Ellsworth 2004. Harsono 2005. Sumberdaya hutan dipandang sebagai aset ekonomi yang dapat diperdagangkan tradable title. Sebagai contoh, beberapa areal di kawasan ekosistem Halimun saat ini diberikan hak pengelolaannya kepada perusahaan tambang emas ANTAM dan panas bumi CHEVRON, perkebunan teh dan karet, dan BUMN, PERHUTANI BTNGHS 2007; Hanafi et al. 2004. Disisi lain, ketika pemerintah memandang hutan sebagai aset yang harus dilestarikan, hutan di kawasan taman nasional harus steril dari aktivitas manusia selain yang ditentukan oleh undang-undang 92 . Penetapan kawasan TNGH juga mengabaikan faktor budaya, eksistensi organisasi lokal, serta sistem nilai 93 yang sudah ada dan mengakar pada masyarakat lokal. Kawasan yang semula dikelola oleh lembaga adat 94 , setelah ditunjuk sebagai kawasan TN berdasarkan UU No. 51990 Bab 10 dan PP No. 252000 pasal 3, kewenangannya berada di tangan pemerintah pusat. Akibatnya, posisi lembaga adat yang tadinya pengelola kawasan yang diakui masyarakat lokal bergeser menjadi pengguna bahkan menjadi perambah atau encroacment. Kondisi ini terjadi pada masyarakat Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek. Selain karena perbedaan sistem nilai, konflik antara masyarakat dan pemerintah timbul karena selama ini sistem nilai yang diacu hanya peraturan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sistem nilai masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan meskipun diakui dalam peraturan perundangan 95 namun pada prakteknya dilapangan sulit diterapkan seperti contohnya dalam proses penetapan TNGH. Berdasarkan penelusuran literatur dan observasi lapangan, setidaknya ada dua kondisi yang menyebabkan implementasi kebijakan pengakuan hak masyarakat adat tersebut sulit dilakukan. Pertama, peraturan perundangan menetapkan bahwa hukum adat dapat diakui keberadaannya jika mendapat pengakuan dari pemerintah lokal melalui Peraturan Daerah Perda. Padahal, 92 Kegiatan yang boleh di lakukan di taman nasional ialah kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam Pasal 31 1 UU No. 51990. 93 Nilai adalah penghargaan terhadap sesuatu seperti harga pasar, kemampuan membeli, atau perkiraan harga Woolf et al. 1976: 762 94 Misalnya lembaga adat Kasepuhan dan Kanekes yang merupakan satu kesatuan sosial, ekonomi, budaya dan sejarah masyarakat penduduk asli sekitar TNGH, yang tersebar di wilayah Kabupaten Sukabumi Selatan, Banten Selatan Lebak dan Bogor Selatan Adimihardja 1992; Hidayati 2004; Saputro 2006; dan Suhaeri 1994. 95 Undang-undang Dasar 19 45 hasil amandemen kedua Tahun 2000 Pasal 18 dan 28 Abdurrahman 2006; Ketetapan MPR No. IXMPR2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam; dan Undang-undang No. 41 tahun 1999 mengenai Kehutanan Pasal 1 6, dan 67. proses untuk mendapat perda ini pada kenyataannya merupakan proses politik yang panjang. Membutuhkan waktu, dana dan kemampuan negosiasi yang umumnya tidak dimiliki masyarakat adat. Kedua, untuk mendapat pengakuan, diperlukan dokumentasi hukum adat sebagai alat bukti. Padahal, hukum adat umumnya disampaikan turun temurun secara lisan.

B. Konflik Ketidaksepakatan Status Lahan

Implikasi dari perbedaan sistem nilai dalam mengelola SDA dan penetapan sepihak kawasan TNGH adalah masuknya beberapa wilayah adat masyarakat kasepuhan kedalam wilayah TNGH. Sebagai contoh di Desa Citorek, seluruh wilayah adat Kasepuhan Cibedug masuk kedalam wilayah TNGH. Sedangkan di Desa Sirnarasa, sebagian wilayah adat Kasepuhan Ciptarasa menjadi bagian TNGH. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, dasar klaim pemerintah atas wilayah adat ini didasari oleh kebijakan agraria yang menyebutkan bahwa lahan yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan oleh yang menguasainya maka lahan tersebut menjadi domain negara Harsono 2005:44-46. Kebijakan ini diperkuat oleh Undang-undang Pokok Kehutanan No.51967 yang meskipun mengakui keberadaan hak ulayat namun menyebutkan hutan negara pada hutan yang bukan hak milik. Meskipun kemudian pada Undang-undang Kehutanan No. 411999 mengenai Kehutanan Pasal 67 menyebutkan bahwa pengelolaan hutan adat diakui keberadaannya namun hak tersebut dapat diberikan jika ada pengakuan dari Pemerintah Daerah PEMDA. Selain faktor pengakuan PEMDA yang sampai saat ini belum ada, asumsi hukum yang digunakan pemerintah tersebut juga bertentangan dengan kesadaran hukum yang dimengerti masyarakat. Wilayah adat bagi mereka adalah common property atau lahan milik yang dikelola secara bersama. Status tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan kolektif anggota masyarakatnya resource tenure. Sampai saat ini status masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan TNGH ini menjadi encroachment atau pemukim liar. Status yang menurut masyarakat lokal sangat diskriminatif dan berimplikasi pada kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah 96 . Sementara konflik lahan antara masyarakat non-Kasepuhan dan pemerintah ditemukan di Desa Malasari. Konflik disebabkan oleh status lahan garapan yang tidak jelas. Masyarakat merasa sudah menggarap secara turun temurun dan memberikan pajak penghasilan melalui petugas lapangan PERHUTANI tetapi secara sepihak sebagian lahan sengketa ini diberikan hak guna usahanya kepada perkebunan teh.

C. Konflik Ketidaksepakatan Tata Batas

Penataan batas di kawasan Gunung Halimun sudah dilakukan sejak kawasan ini berstatus Cagar Alam Gunung Halimun. Kegiatan ini mulai dilakukan pada tahun 1985. Pal batas merupakan tanda fisik di lapangan yang belakangan hilang atau rusak. Pada Tahun Anggaran 1994-1996 dilakukan kembali pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi tata batas terutama dengan enclave Nirmala. Pada tahun 1999 pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi jalur batas luar baru direalisasikan namun proses penataan tata batasnya sendiri belum dilaksanakan BTNGH, 2000a: V-2. Ketidakjelasan tata batas ini berimplikasi pada ketidakpastian jumlah desa di kawasan penyangga. BTNGH 2000a menyebutkan ada sekitar 46 desa di kawasan penyangga yang tersebar di 13 kecamatan dan 3 kabupaten. Sedangkan survei yang dilakukan Widada 2004 mengidentifikasi sekitar 51 97 desa penyangga dengan total jumlah penduduk sebesar 219.723 jiwa. Pada tahun 2003, kawasan taman nasional ini diperluas melalui SK Menhut No. 175Kpts-II2003. Luas TNGH yang semula 40.000 ha menjadi +113.357 ha. Dari luas kawasan ini sekitar 83,07 ha diantaranya merupakan kawasan permukiman dan perkebunan Evy 2003. Hal ini diperkirakan karena masuknya beberapa wilayah administratif desa penyangga yang tadinya berstatus diluar kawasan TNGH. Kondisi ini menunjukan bahwa penetapan dan perluasan kawasan ini tidak melalui proses inventarisasi kawasan yang lengkap. Penetapan ini disinyalir ditentukan secara sepihak oleh pemerintah Santosa 2006 dan observasi lapangan. Selain itu, tidak diperoleh informasi apakah sebelum 96 Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat adat di Kasepuhan Cibedug. 97 Keempat lokasi studi dalam penelitian ini masuk kedalam kategori desa penyangga ini. menunjuk kawasan tersebut sebagai taman nasiona, pemerintah mendapatkan surat pernyataan bebas pihak ketiga dari badan hukum yang berkepentingan terlebih dahulu atau tidak. Berdasarkan Kepmenhut No. 32Kpts-II2001 tentang kriteria standar dan pengukuhan kawasan hutan Pasal 72 dan PP No. 691996 tentang partisipasi masyarakat dalam tata ruang Pasal 12, 15, dan 18, hal ini merupakan salah satu tahapan proses yang harus dilakukan. Karena itu, meskipun pada tahun 2007, BTNGH mengklaim bahwa 91,4 1170 Km dari 1280 Km panjang batas TNGHS sudah ditatabatas 98 kenyataan dilapangan menunjukan masih rendahnya pengakuan dari masyarakat dan pemerintah daerah hasil observasi lapangan. Implikasi dari belum selesainya penataan batas dan rekonstruksinya bagi BTNGH sendiri adalah sulitnya melakukan pembagian zona. Pada tahun 2000, dalam Rencana Pengelolaan–TNGH RPTNGH direkomendasikan untuk membagi TNGH menjadi 5 zona: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, zona pemanfaatan tradisional, dan zona rehabilitasi BTNGH 2000a; Widada 2004:47. Namun demikian, sampai Desember 2003, TNGH belum memiliki zonasi kawasan yang definitif Harada et al. 2001; Widada 2004:47. Kondisi ini masih berlanjut sampai penelitian ini dilakukan.

D. Konflik Ketidakpastian Akses terhadap Sumberdaya Alam

Menurut Ribot dan Peluso 2003, akses adalah kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu. Dalam studi ini, yang dimaksud dengan akses ialah kemampuan individu atau kelompok masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di kawasan TNGH. Sebelum ditetapkannya kawasan Gunung Halimun menjadi kawasan taman nasional pada tahun 1992, ada sekitar 11 jenis pemanfaatan yang biasanya dilakukan masyarakat Galudra 2003; Adimihardja et al. 1994. Ke-11 jenis pemanfaatan tersebut ialah pengambilan kayu untuk bangunan dan kayu bakar, tanaman untuk obat, konsumsi sehari-hari, keperluan ritual budaya, pakan ternak, dan dijual, satwa burung dan babi hutan, bahan baku kerajinan tangan, lahan pertanian, dan emas. 98 BTNGHS, 2007: 6. Namun sejak ditetapkan menjadi taman nasional melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282Kpts-II1992, akses masyarakat untuk memanfaatkan SDA di kawasan tersebut menjadi terbatas. Menurut Undang- undang UU No. 51990 dan Peraturan Pemerintah PP No. 681998 99 , kawasan taman nasional hanya dapat dimanfaatkan untuk aktivitas penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan wisata alam. Kondisi ini tentu meresahkan masyarakat karena menimbulkan ketidakpastian akses mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kasepuhan Cibedug misalnya, dengan status seluruh wilayah adatnya masuk kedalam kawasan TNGH maka secara legal otomatis tidak dapat memanfaatkan SDA untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kondisi yang hampir sama dirasakan sebagian warga Kasepuhan Ciptarasa. Sedangkan untuk warga Desa Malasari, mereka kehilangan akses untuk memanfaatkan hasil ladanglahan garapan yang sekarang sudah diklaim sebagai bagian TNGH. Sementara untuk warga Kampung Leuwijamang, Desa Sukajaya, dengan status enclave kebutuhan mereka untuk memanfaatkan sumberdaya hutan menjadi terbatas. Dari sudut BTNGH, konflik akses ini disebut sebagai gangguan atau aktifitas yang mengancam tujuan konservasi dan kelestarian kawasan. Mereka membuat tujuh kategori aktifitas yang termasuk ancaman dan tiga kelompok pelaku yang disebut perambah. Ketujuh kategori aktivitas tersebut adalah 1 penambangan Emas Tanpa Izin PETI; 2 pencemaran air oleh merkuri dari pengolahan emas; 3 pembangunan jalan terutama ke Perkebunan Nirmala; 4 tumpang tindih kawasan karena tata batas yang tidak jelas; 5 perburuan ilegal; 6 pemukiman; dan 7 pencurian kayu BTNGH 2000b: I-48, BTNGH 2000a, : V- 36; Sudarmadi 2000 dalam Widada 2004:5, 59; BTNGHS 2007. Konflik antara BTNGH dengan masyarakat dapat dilihat dari karakteristik gangguan di masing- masing resort yang disajikan pada Tabel 24. Sedangkan tiga kelompok pelaku yang disebut perambah ialah BTNGH, 2000a: V-44: ƒ Kelompok A: petani yang tidak memiliki lahan dan hanya menggarap lahan dalam kawasan TNGH; 99 Undang-undang No. 51990 mengenai Konservasi Keanekaragaman Hayati berserta ekosistemnya dan PP No. 681998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. ƒ Kelompok B: petani yang disamping merambah kawasan juga memiliki atau menggarap lahan di luar kawasan = 0,75 haKK; dan ƒ Kelompok C: keluarga petani yang sebenarnya memiliki atau menggarap lahan 0,75 ha dan juga merambah kawasan TNGH. Tabel 24 Karakteristik gangguan di setiap resort TNGH tahun 2002 Jenis Gangguan Pencurian Kayu Perambahan PETI No SeksiResort M 3 Btg Ha KK Ha orang 1 Seksi Wilayah I Kabupaten Lebak 4.44 256.68 371 36.55 100 2 Seksi Wilayah II Kabupaten Bogor 3.79 12 147.99 769 29.25 180 3. Seksi Wilayah III Kabupaten Sukabumi 22.37 - 19.90 76 J u m l a h 30.60 12 524.57 1,216 65.80 280 Sumber: Laporan Balai TNGH tahun 2002 dalam Widada 2004: 59 BTNGH mengakui bahwa konflik pengelolaan tersebut tidak terlepas dari permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh BTNGH. Permasalahan internal misalnya: terbatasnya jumlah dan kapasitas personil untuk menangani medan yang sulit dan kawasan yang relatif luas. Selain itu, belum adanya sistem informasi kawasan yang baik dan efesien untuk mendukung pengelolaan BTNGH 2000a: V-37; BTNGHS 2007:6-10. Sedangkan permasalahan eksternal yang dihadapi diantaranya kondisi desa-desa penyangga TNGH yang relatif masih terbelakang dengan karakteristik masyarakat yang memiliki pendidikan dan pendapatan yang rendah Tabel 18, Tabel 19 dan pembahasan pada sub bab 4.4. Selain itu, ketergantungan masyarakat desa-desa penyangga terhadap SDA di TNGH yang tinggi Adimihardja 1992; Adimihardja et al. 1994; Harada et al. 2001; Widada 2004:5. Kondisi ini menyebabkan sulitnya membangun kesamaan persepsi yang berkaitan dengan keberadaan dan fungsi kawasan Widada 2004:5. Hal ini juga dapat dilihat dari rendahnya pengakuan masyarakat terhadap eksistensi kawasan. Berdasarkan penelusuran literatur dan sejarah penguasaan Lampiran 7, konflik akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam di kawasan Gunung Halimun sudah berlangsung jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional Adimihardja 1992; Alikodra 1992, Galudra 2006; Suharyono 2007; dan hasil observasi lapangan. Di bawah pemerintahan Republik Indonesia, konflik berawal ketika pada tahun 1961 Kawasan Gunung Halimun dan sekitarnya ditetapkan sebagai Cagar Alam dan dikelola oleh Perum Perhutani Harada et al. 2001; Widada 2004:46.

5.1.2 Faktor-faktor Penyebab Konflik