Hubungan Keterkaitan Antar Stakeholders

pada tahap informasi dan konsultasi.

F. Forum Komunikasi atau Organisasi Masyarakat

Berdasarkan hasil penelusuran literatur dan wawancara, ada lima forum komunikasi dan organisasi masyarakat yang pernah atau masih beraktivitas di lokasi studi. Kelima organisasi tersebut ialah Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat-Banten FKMHJBB, Persatuan Adat Banten Kidul PABK, Konsorsium Program Pengembangan Ekowisata TNGH KPPETNGH, KSM dan Himpunan Pemandu Indonesia HPI. Sebagai contoh berdirinya FKMHJBB dan PABK yang merupakan forum komunikasi antar masyarakat untuk menyuarakan posisi mereka terhadap setiap kebijakan yang berdampak terhadap kehidupan mereka. Pengaruh forum ini terhadap pengambilan keputusan di TNGH cukup tinggi. Selain merupakan representasi dari masyarakat lokal keberadaan aliansi masyarakat ini tidak terlepas dari dukungan berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti RMI, AMAN, KEMALA, HUMA, dan Sawit Watch. Karena itu stakeholder ini sebaiknya dilibatkan pada semua tipe partisipasi. Disisi lain, potensi ekowisata di TNGH telah menarik berbagai pihak untuk membentuk memberikan kontribusi. Misalnya, KPPETNGH, KSM, dan HPI. Kedua kelompok stakeholder ini mempunyai misi yang sama yaitu menjadikan kawasan TNGH sebagai salah satu daerah tujuan wisata. Sayangnya, sejak tahun 1998 KPPTENGH tidak beraktivitas lagi di TNGH. Sementara HPI masih berkomunikasi dengan anggota KSM meskipun tidak rutin. Walaupun tidak memiliki kepentingan secara langsung, namun kedua bentuk organisasi ini memiliki kapasitas dan jaringan kerjasama dengan cakupan wilayah yang luas. Karena itu, kedua organisasi ini merupakan stakeholder yang berpotensi untuk dijadikan sebagai mitra kerja. Karakteristik stakeholder pendukung di lokasi studi dirangkum dan disajikan pada Tabel 30.

4. Hubungan Keterkaitan Antar Stakeholders

Selain mengidentifikasi stakeholder yang terkait dengan pengurusan hutan di TNGH, pada bagian ini dianalisis juga hubungan antar stakeholder. Tujuan dari Tabel 30 Stakeholder pendukung di lokasi studi STAKEHOLDER PENDUKUNG LOKASI STUDI Kategori Nama Kelompok PERAN DALAM PROSES PENETAPAN TNGHS 1. LSM RMI Fasilitasi PERDA pengakuan masyarakat Kasepuhan, peningkatan kapasitas masyarakat, dokumentasi 2. Peneliti IPB, UI Inventarisasi dan dokumentasi sejarah serta budaya lokal Desa Citorek 3. Forum Komunikasi FKMHJBB; PABK Advokasi pengakuan adat 1. LSM LATIN Penguatan organisasi petani YEH Pendampingan masyarakat dalam mengembangkan ekowisata PEKA Peningkatan kapasitas masyarakat KSM Pengembangan ekowisata 2. Institusi Pendidikan Penelitian UNPADINRIK dan UI Inventarisasi dan dokumentasi sejarah serta budaya lokal Desa Sirnarasa 3. Forum Komunikasi FKMHJBB, dan PABK Advokasi pengakuan adat 1. LSM YEH Pendampingan masyarakat dalam mengembangkan ekowisata KSM Pengembangan ekowisata Desa Cisarua 2. Institusi Pendidikan Penelitian LIPI, IPB Penelitian sosial budaya dan keanekaragaman hayati 1. LSM RMI Pendidikan kritis, pemetaan partisipatif, YEH Pendampingan masyarakat dalam mengembangkan ekowisata Desa Malasari ABSOLUT Kampanye kesadaran lingkungan, peningkatan kapasitas masyarakat lokal KSM Pengembangan ekowisata 2. Institusi Pendidikan Penelitian LIPI, IPB Penelitian Keanekaragaman Hayati, Lansekap, Ekowisata 3. Swasta PT Nirmala Agung dan ANTAM - 4. Lembaga Donor JICA Membantu pelaksanaan proses penetapan dan pengelolaan TNGH 5. Individu Peneliti dan wisatawan Wisata alam 6. Forum Komunikasi FKMHJBB Advokasi penyelesaian konflik Sumber: Hasil penelusuran literatur dan observasi lapangan analisis ini adalah untuk mengidentifikasi konflik hubungan stakeholders dalam pengurusan hutan. Sifat hubungan yang diidentifikasi dibagi kedalam enam kategori yaitu: 1 kerjasama; 2 hubungan struktural; 3 koordinasi yang tidak optimal; 4 konflik; 5 komunikasi yang tidak optimal; dan 6 aliansi. Sifat hubungan ini digali berdasarkan penelusuran literatur dan fakta di lapangan. Berdasarkan hasil analisis ini, dapat diidentifikasi bahwa konflik dalam pengurusan hutan di TNGH disebabkan oleh hubungan antar stakeholder sebagai berikut: • Konflik antara masyarakat dengan BTNGH karena ada ketidaksepakatan masalah status dan akses terhadap lahan. Hal ini dipicu oleh klaim BTNGH dengan menetapkan peraturan dan perundangan yang dianggap sepihak dan membuat pemetaan kawasan tanpa melakukan verifikasi lapangan; • Kurang optimalnya komunikasi antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah selaku stakeholders kunci dan pasifnya peran PEMDA dalam menyikapi persoalan di lapangan menyebabkan masyarakat berkonfrontasi langsung dengan BTNGH. Situasi ini diperuncing oleh peran beberapa LSM yang tidak netral atau tidak jelas posisinya dalam membantu penyelesaian konflik sehingga komunikasi para pihak semakin tidak kondusif; • Kurangnya optimalnya koordinasi yang dilakukan BTNGH dengan stakeholders kunci lainnya. Komunikasi dan koordinasi yang sudah ada selama ini baru sebatas saling berbagi pandangan dalam forum diskusi, seminar, konsultasi publik atau lokakarya yang diselenggarakan BTNGH. Di sisi lain, Pemerintah Daerah di Tingkat Kabupaten dan Provinsi selama ini juga bersikap pasif tidak proaktif dalam melakukan komunikasi dan koordinasi. Kondisi ini menyebabkan banyaknya persoalan di lapangan yang tidak terselesaikan dan menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat; • Secara struktural dan legal formal, pemerintah kabupaten, provinsi dan DPRD memiliki hubungan kerjasama. Demikian juga dengan pemerintah pusat. Namun tidak diperoleh informasi mengenai kerjasama dan koordinasi untuk isu konflik dalam pengurusan hutan di TNGH. • Konflik antara masyarakat dengan pihak swasta terutama PERUM PERHUTANI menimbulkan trauma. Karena terbatasnya pengetahuan, masyarakat menganggap posisi BTNGH, sebagai pengelola kawasan yang baru, sama dengan PERHUTANI. Kondisi ini membuat rasa saling percaya sulit dibangun. Matriks hubungan keterkaitan antar stakeholder dalam pengurusan hutan di TNGH disajikan pada Tabel 31.

5.2.2 Analisis Kebijakan Analisis Asumsi

Tujuan dari analisis kebijakan ini adalah untuk 1 mengidentifikasi peran pelaku kebijakan dalam proses penetapan taman nasional dari aspek legal formal; dan 2 mengidentifikasi realisasi atau implementasi peran tersebut di lokasi studi. Dalam studi ini, asumsi peran pelaku diidentifikasi dari 47 empat puluh tujuh peraturan perundangan yang dapat menjadi pedoman pemerintah pusat dan daerah dalam proses penetapan taman nasional Lampiran 3 nomor 1 sampai dengan 47. Sedangkan untuk mengidentifikasi realisasi atau implementasi peran tersebut di lokasi studi data yang digunakan berasal dari hasil content analysis terhadap 24 dokumen kebijakan ditingkat lokal Lampiran 3 nomor 42 sampai dengan 71, serta hasil observasi lapangan dan wawancara. Variabel yang digunakan untuk mengidentikasi peran stakeholder dalam proses penetapan taman nasional diambil dari pengertian dalam UU No. 411999 tentang Kehutanan Bab III Pasal 10. Berdasarkan undang-undang tersebut, kegiatan penetapan atau pengukuhan 137 taman nasional ada lima sub kegiatan yang harus dijalankan secara tahap demi tahap. Kelima sub-kegiatan tersebut ialah kegiatan inventarisasi 138 , penunjukan 139 , penataan Batas 140 , pemetaan 141 , dan penetapan 142 . Berdasarkan kegiatan pengukuhan tersebut, diidentifikasi siapa 137 Pengukuhan kawasan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum Pasal 14 ayat 2 UU No. 411999 tentang Kehutanan; Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui proses penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan Pasal 1 ayat 3 Kepmenhut No. 32Kpts-II2001. 138 Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang SDA, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap mulai tingka nasional, wilayah, DAS sampai unit pengelolaan Pasal 13 ayat 1 dan 3 UU No. 411999 tentang Kehutanan. 139 Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan yang dapat berupa penunjukan mencakup wilayah provinsi atau partialkelompok hutan Pasal 1 ayat 4 Kepmenhut No. 32Kpts-II2001. 140 Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, inventarisasi hak-hak pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara, pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif Pasal 1 ayat 5 Kepmenhut No. 32Kpts-II2001. 141 Pemetaan kawasan hutan adalah kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas kawasan hutan berupa peta tata batas yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Berita Acara Tata Batas. Pasal 1 ayat 6 Kepmenhut No. 32Kpts-II2001. 142 Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap dengan Keputusan Menteri Pasal 1 ayat 7 Kepmenhut No. 32Kpts-II2001.