Implikasi Pengembangan Ekowisata Terhadap Konflik di TNGH

Isi dari dokumen tersebut tidak mencerminkan kebutuhan BTNGH yang sangat membutuhkan dukungan dan kerjasama dari PEMDA maupun swasta. Banyak aspek-aspek pengembangan ekowisata yang tidak tertangani karena terbatasnya personil dan dana BTNGH. Persoalannya, kualitas dan kuantitas komunikasi yang selama ini dibangun tidak berjalan dengan baik. Juga tidak terbangunnya rasa saling percaya diantara para pihak terutama pembagian retribusi kawasan. Karena itu perlu dibuat mekanisme kerjasama yang disepakati dan menguntungkan para pihak. Analisis kebutuhan stakeholders kunci dalam pengembangan ekowisata di TNGH dirangkum dan disajikan pada Tabel 58.

5.3.4 Implikasi Pengembangan Ekowisata Terhadap Konflik di TNGH

Mengacu pada karakteristik konflik yang disajikan pada Tabel 27, ada empat penyebab konflik di TNGH. Keempat konflik tersebut ialah perbedaan sistem nilai, ketidaksepakatan status lahan, ketidaksepakatan tata batas, dan ketidakpastian akses terhadap SDA. Berdasarkan karakteristik konflik tersebut dan penjelasan konsep ekowisata serta implementasinya di TNGH, dapat disimpulkan bahwa ekowisata memberikan implikasi terhadap penyelesaian konflik di TNGH baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengembangan ekowisata memberikan implikasi secara langsung terhadap konflik keterbatasan akses. Sedangkan terhadap ketiga konflik lainnya, ekowisata memberikan implikasi secara tidak langsung. Implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik ketidakpastian akses yaitu dengan terjembataninya pencapaian kebutuhan dasar bagi masyarakat lapangan kerja dan penghasilan tambahan dan kebutuhan organisasi bagi BTNGH konservasi. Dari sisi masyarakat, hal yang mendasar dari konflik ini adalah tuntutan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dan pengakuan terhadap eksistensiperannya dalam pengelolaan SDA. Sedangkan dari sisi BTNGH, masyarakat dapat mengakses SDA di TNGH hanya untuk kegiatan yang mendukung konservasi yang ditetapkan undang-undang. Sementara kewenangan tetap berada di tangan pemerintah. 206 Tabel 58 Analisis kebutuhan stakeholders kunci dalam pengembangan ekowisata GAP 1 STAKEHOLDER KONDISI SAAT INI KONDISI YANG DIHARAPKAN SUMBER PERSOALAN LANGKAH PENYELESAIAN YANG DIBUTUHKAN 2 BTNGH Terbatasnya SDM, dana, sarana dan prasarana Personil yang memahami konsep dan implementasi ekowisata Tersusunnya program pengembangan ekowisata yang lebih terarah untuk mencapai tujuan konservasi dan ekonomi - Keterbatasan pengetahuan personil BTNGH mengenai konsep ekowisata - Program pengembangan ekowisata tidak terarah dan kuatnya intervensi lembaga donor - Terbatasnya lembaga donor dan pihak swasta yang mau berinvestasi Rendahnya dukungan para pihak Terbangunnya kesepahaman para pihak Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan dengan para pihak - Kualitas dan kuantitas komunikasi yang tidak berjalan dengan baik - Tidak terbangunnya rasa saling percaya diantara para pihak - Belum ada mekanisme kerjasama yang saling menguntungkan para pihak - Peningkatan kapasitas mengenai konsep ekowisata - Penguatan eksisting institusi KSM - Membangun mekanisme kerjasama di tingkal lokal, regional dan nasional. - Membangun kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi. PEMDA Pengembangan ekowisata di TNGH dianggap tidak memberikan kontribusi PAD kepada PEMDA Perlu dibangun mekanisme yang menguntungkan semua pihak - Belum terbangunnya rasa saling percaya dan kesepahaman yang saling menguntungkan Belum ada program pembangunan PEMDA yang diarahkan untuk mendukung pengembangan ekowisata di TNGH - Dipahaminya konsep ekowisata oleh PEMDA - Perlu melakukan rapat kerja untuk menyelaraskan program pembangunan Para pihak tidak memahami posisi dan peran yang harus dan dapat dikontribusikan pada pihak lain - Peningkatan kapasitas mengenai konsep - Membangun mekanisme kerjasama di tingkal lokal, regional dan nasional. - Membangun kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi. Keterangan: 1h asil wawancara, dan observasi lapangan lampiran 1; 2 hasil penelusuran literatur lampiran 2, wawancara, dan observasi lapangan lampiran 1. Sebagai konsep operasional dari pariwisata yang berkelanjutan, kebutuhan akses masyarakat dapat diakomodasikan dengan melibatkan mereka secara aktif dalam setiap tahap pengembangannya. Masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai penonton atau obyek tontonanwisata, tetapi sebagai operatorpelaksana, pemilik dan pengambil keputusan. Sebagai operator dan pemilik, jasa yang diberikan masyarakat kepada wisatawan dapat menghasilkan pendapatan income yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan sebagai bagian dari pengambil keputusan, masyarakat dapat menjalankan fungsi kontrolnya. Untuk kasus pengembangan ekowisata di TNGH, pada tahun pertama ekowisata dapat memberikan peluang lapangan kerja yang baru, pendapatan tambahan, dan peningkatan kapasitas masyarakat yang terlibat aktif di KSM. Namun pada tahun-tahun selanjutnya, proses pengembangan ekowisata ini seperti menuju ke titik nol. Berdasarkan analisis kriteria kecukupan ekowisata, ditemukan indikasi bahwa pemenuhan kriteria kecukupan pengembangan ekowisata di lokasi studi tidak optimal. Sedangkan hasil analisis institusi dalam studi ini menunjukkan 3 hal yang menyebabkan pengembangan ekowisata tidak berjalan dengan baik. Ketiga hal tersebut ialah hubungan antar stakeholder yang tidak berjalan dengan baik, peraturan perundangan yang secara khusus dapat diacu untuk mengembangan ekowisata sangat terbatas dan belum memadai, dan tidak optimalnya peran stakeholders dalam mendukung pengembangan ekowisata di lokasi studi. Pengembangan ekowisata memberikan implikasi secara tidak langsung terhadap penyelesaian konflik perbedaan sistem nilai, ketidaksepakatan status lahan dan tata batas. Untuk konflik perbedaan sistem nilai, dalam pengembangan ekowisata adanya apresiasi terhadap kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam lestari. Pengetahuan ini dapat digunakan sebagai materi pembelajaran bagi wisatawan dan staf BTNGH. Selain itu, dengan pemahaman terhadap kearifan lokal ini, BTNGH dapat membangun kerjasama dengan masyarakat yang memiliki kearifan lokal yang sesuai dengan tujuan konservasi kawasan. Untuk konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas, pengembangan ekowisata membutuhkan kepastian ruang. Kepastian ruang ini dibutuhkan untuk memberikan kejelasan pembagian kewenangan dalam mengelola, penyediaan lokasi sarana prasarana dan investasi. Di TNGH, kebutuhan akan kepastian ruang ini dapat dipenuhi jika konflik status lahan dan tata batas dengan masyarakat sudah diselesaikan. Implikasi lain dari pengembangan ekowisata terhadap penyelesaian konflik ialah sebagai salah satu media untuk membangun komunikasi hubungan antar stakeholders yang konstruktif. Implikasi pengembangan ekowisata terhadap penyelesaian konflik di TNGH dirangkum dan disajikan pada Tabel 59. Tabel 59 Implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik KONFLIK IMPLIKASI 1. Perbedaan sistem nilai Mendukung pelestarian sistem nilai lokal sebagai materi pembelajaran bagi wisatawan 2. Ketidaksepakatan status lahan 3. Ketidaksepakatan tata batas Mendorong penyelesaian status lahan untuk kepastian pembagian kewenangan, manajemen pengelolaan, dan investasi. 4. Ketidakpastian akses Menjembatani pencapaian kebutuhan dasar bagi masyarakat lapangan kerja dan penghasilan tambahan dan kebutuhan organisasi bagi BTNGH konservasi. Sumber: Hasil analisis Agar pengembangan ekowisata di lokasi studi dapat berkontribusi terhadap konflik yang ada, maka diperlukan langkah-langkah perbaikan seperti yang diindikasikan pada analisis kebutuhan. Untuk itu, dalam disertasi ini dibangun suatu model pengembangan institusi ekowisata yang dapat menjadi acuan dalam pelaksanaannya. Sebagai bagian dan hasil dari penelitian ini, penyusunan model pengembangan ekowisata disajikan secara khusus pada Bab VI. 209

VI. MODEL PENGEMBANGAN INSTITUSI EKOWISATA

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya, konflik di TNGH ditinjau dari aspek institusi disebabkan oleh kurangnya peran dan kapasitas stakeholders dalam penyelesaian konflik. Selain itu, peraturan perundangan yang ada tidak dapat menjawab persoalan konflik hak dan akses. Untuk itu dibutuhkan suatu model 163 pengembangan dan penguatan institusi yang sudah ada agar intensitas konflik dapat berkurang. Ekowisata merupakan bagian dari institusi pengelolaan taman nasional yang sudah ada di lokasi studi. Secara empiris pengembangan ekowisata terbukti dapat berkontribusi dalam penyelesaian konflik akses. Untuk itu, model institusi yang akan dikembangkan dalam penelitian ini ialah model pengembangan institusi ekowisata. Secara konseptual, model yang akan dibangun seperti yang digambar pada Gambar 10. Dalam konsep tersebut digambarkan bahwa ada dua faktor yang membentuk institusi yaitu stakeholders dan aturan main. Kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh situasi atau kondisi yang ada. Sebaliknya, institusi ini juga dapat mempengaruhi perilaku stakeholders dan menghasilkan kinerja diantaranya berupa konflikA. Untuk memperbaiki kinerja institusi tersebut, diperlukan perubahan atau perbaikan terhadap kondisi yang ada sehingga diperoleh kinerja yang lebih baik seperti berkurangnya konflik atau bahkan terselesaikannya konflik yang ada A’. Perubahan yang perlu dilakukan dari stakeholder ialah persoalan peningkatan peran dan kapasitas. Sedangkan dari faktor aturan main, perbaikan yang perlu dilakukan ialah persoalan ruang dan pembagian kewenangan.

6. 1 Peningkatan Peran Stakeholders

Sejak tahap inisiasi program, partisipasi stakeholders dalam pengembangan ekowisata di TNGH selama ini sangat terbatas 164 . Di Kasepuhan 163 Model adalah suatu deskripsi yang mengekspresikan alternatif-alternatif mengenai representasi beberapa aspek dalam kondisi nyata yang disederhanakan. Hokey Zeckhauser 1978;22-23 164 Pada tahun 1995 terbentuk sebuah Konsorsium Program Pengembangan Ekowisata TNGH. Anggotanya terdiri dari LSM BSCc, WPTI, BTNGHS, Institusi Pendidikan UI dan swasta, McDonald Sproule dan Suhandi, 1998:229-231.