Pengaturan Ruang dan Kewenangan

Dalam konteks pengembangan ekowisata, berdasarkan analisis kriteria kecukupan ekowisata, dapat disimpulkan bahwa ada bias pemahaman mengenai ekowisata. Hal ini dapat dilihat dari adanya gap informasi yang diberikan oleh responden dengan informasi yang diperoleh dari dokumen. Berdasarkan hasil analisis tersebut, untuk peningkatan kapasitas ada tiga substansi pokok yang perlu dipahami oleh para stakesholders. Ketiga hal tersebut ialah pemahaman mengenai peraturan perundangan yang terkait baik ditingkat pusat maupun lokal, pemahaman terhadap konsep ekowisata beserta implementasinya, dan pemahaman tentang teknik pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata. Program peningkatan kapasitas ini dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan, penyuluhan dan pembinaan. Kegiatan ini dapat dilakukan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh LSM atau lembaga pendidikan. Sumber pendanaan kegiatan ini dapat diperoleh baik dari APBN, APBD maupun donor. Berdasarkan analisis kebijakan mengenai peran dan kewenangan stakeholders dalam pemenuhan kriteria ekowisata, ada enam instansi pemerintah daerah dan delapan instansi pemerintah pusat. yang dapat menjadi penanggung jawab peningkatan kapasitas stakeholders. Keenam instansi pemerintah daerah tersebut ialah Sekda, Bapeda, Dinas Pariwisata, Dinas Sosial, Dinas Lingkungan Hidup, dan Bapedalda. Sedangkan kedelapan instansi pemerintah pusat ialah DephutBTNGHSS, Debudpar, Depdagri, KLH, Bappenas, Depsos, Kimpraswil, dan Depkeu. Rekomendasi ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 61.

6.3 Pengaturan Ruang dan Kewenangan

Pengaturan ruang dan kewenangan dibutuhkan dalam pengembangan ekowisata. Selain untuk mengatur pergerakan aktivitas wisatawan dan penyediaan sarana prasarananya juga untuk keamanan investasi pengembangan ekowisata. Di TNGH, kejelasan ruang dan kewenangan untuk pengembangan ekowisata belum tercapai karena fakta masih adanya konflik lahan dan tata batas dengan masyarakat lokal. Selain itu, kejelasan status kepemilikan obyek wisata antara BTNGH versus Pemerintah Daerah juga perlu diselesaikan. Berdasarkan hasil observasi lapangan, kegiatan ekowisata membutuhkan ruang baik di dalam kawasan TNGH maupun di kawasan sekitarnya. Kedua kawasan ini secara normatif berada dibawah kewenangan instansi pemerintah yang berbeda Gambar 11. Kawasan TNGH merupakan kawasan yang kewenangannya berada di Pemerintah Pusat, Cq. Departemen Kehutanan. Balai Taman Nasional Gunung Halimun sekarang BTNGHS merupakan unit pelaksana teknis dari departemen tersebut. Sedangkan kawasan sekitar TNGH kewenangannya berada dimasing-masing kepala daerah. Tabel 61 Model pengembangan kapasitas stakeholder PENANGGUNG JAWAB 1 SUBSTANSI PEMDA PEMERINTAH PUSAT 1. Kebijakan a. Kebijakan Taman Nasional Departemen Kehutanan b. Kebijakan Pariwisata BAPEDA, Dinas Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2. Konsep Ekowisata dan Implementasinya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Departemen Kehutanan 3. Pemenuhan Kriteria Kecukupan Ekowisata a. Penetapan Tujuan • Konservasi SDA • Konsep Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Sekda, BAPEDA, Dinas Pariwisata Debudpar, Dephut, Depdagri, KLH, Bappenas b. Partisipasi Masyarakat • Metode dan model partisipasi • Penguatan Organisasi, dll BAPEDA, Dinas terkait Debudpar, Dephut, Depdagri, KLH, Depsos, Kimpraswil c. Produk Ekowisata • Teknik interpretasi • Pendidikan lingkungan hidup Sekda, Dinas Pariwisata, Dinas Sosial Debudpar, Dephut, Bappenas d. Dampak Ekonomi Lokal • Jenis usaha dan teknik pemasaran pariwisata • Valuasi ekonomi SDA • Sistem pengelolaan usaha pariwisata skala kecil Sekda, Bapeda Debudpar, Dephut, Bappenas, Depkeu, Kimpraswil e. Dampak Lingkungan • Analisis dampak lingkungan • Variabel dan indikator dampak Sekda, Dinas Sosial, Dinas LH, Bapedalda, Debudpar, Dephut, Depsos, Bappenas, KLH, Kimpraswil 1 Berdasarkan hasil analisis kebijakan normatif mengenai peran dan kewenangan stakeholders Gambar 11 Konsep pengembangan kebutuhan ruang untuk ekowisata

A. Pengaturan Ruang

Tata cara pengaturan ruang diidentifikasi dari hasil analisis kebijakan, literatur pendukung serta observasi lapangan. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, diketahui bahwa kawasan taman nasional dapat dibagi kedalam empat kategori zonasi. Tiga zona diantaranya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pengembangan ekowisata. Ketiga zona tersebut ialah zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Di dalam zona lainnya ada tiga sub-zona yaitu zona tradisional, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus. Sedangkan di luar kawasan taman nasional, ada kawasan penyangga. Persoalannya di TNGH, sampai dengan saat studi ini dilakukan, belum memiliki zonasi. Disisi lain, masyarakat adat kasepuhan sudah memiliki konsep pengelolaan hutan. Kawasan hutan milik adat dibagi menjadi 3 yaitu: leuweung kolot, leuweung titipan dan leuweung sampalan. Masing-masing dibagi dengan kriteria dan ketentuan yang hampir serupa dengan pembagian zonasi di taman nasional. Hal ini dapat dilihat pada uraian di halaman 98. Karena itu, langkah pertama untuk menyusun model pengaturan ruang ialah dengan membuat konsep pembagian ruang berdasarkan pendekatan normatif dan budaya. Konsep ini disajikan pada Tabel 62. TNGH Kawasan Konservasi Lokasi pengembangan ekowisata Lokasi obyek wisata dan fasilitas terbatas Lokasi obyek wisata serta pembangunan sarana dan prasarana Kawasan Budidaya Tabel 62 Konsep pembagian ruang berdasarkan peraturan perundangan versus masyarakat kasepuhan KONSEP RUANG NORMATIF 1 KONSEP RUANG MENURUT MASYARAKAT KASEPUHAN Leuweung Kolot 165 Leuweung Titipan 166 Leuweung Sampalan 167 Zona Permukiman 1. Zona Inti 168 X 2. Zona Rimba 169 X 3. Zona Pemanfaatan 170 X

4. Zona lainnya

171 X a. Zona Tradisional X b. Zona Religi, budaya dan sejarah X c. Zona Khusus X 1 berdasarkan Pasal 32-34 UU No. 51990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; Peraturan Menteri Kehutanan No. .56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Berdasarkan konsep pembagian ruang pada Gambar 11 dan Tabel 62, maka pengaturan ruang yang dapat direkomendasikan pada masing-masing lokasi studi ialah sebagai berikut: 1 Desa Citorek, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten Ada dua opsi yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa lahan dan tata batas di lokasi ini. Pertama, jika lahan dipertahankan tetap diwilayah TNGH. Maka inisiatif penyelesaian dan kewenangan pengaturannya berada dibawah tanggung jawab BTNGHS. Rekomendasi pengaturan ruangnya ialah dengan membagi wilayah adat Kasepuhan Cibedug kedalam 3 zona, yaitu: 1 zona 165 Leuweng Kolot : berupa hutan yang masih alami, merupakan daerah resapan air hulu sungai, dan biasanya memiliki kelerengan yang curam. Kawasan hutan ini tidak boleh diganggu tetapi sumber airnya dapat dimanfaatkan oleh warga Adimihardja 1992; Rosdiana 1994; Harada et al. 2001; Nugraheni 2002; Kurniawan 2002; Saputro 2006. 166 Leuweung Titipan : berupa hutan yang melindungi mata air atau kawasan hutan yang memiliki nilai sejarah yang dikeramatkan. Kawasan ini biasanya mengelilingi leuweung kolot. Dapat dimanfaatkan hanya dengan ijin sesepuh Adimihardja 1992; Rosdiana 1994; Harada et al. 2001; Nugraheni. 2002; Kurniawan. 2002; Saputro. 2006. 167 Kawasan leuweng cadangan atau sampalan : terletak di sekitar atau di dalam leuweng titipan, dan berfungsi sebagai lahan cadangan untuk dimanfaatkan dimasa yang akan datang. Adimihardja. 1992; Rosdiana. 1994; Harada et al. 2001; Nugraheni. 2002; Kurniawan. 2002; Saputro. 2006. 168 Zona inti adalah zona yang memiliki kondisi fisik yag masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia, berfungsi untuk perlindungan Permenhut No. .56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Pasal 1 4. 169 Zona rimba adalah zona yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan pemanfaatan Permenhut No. .56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Pasal 1 5. 170 Zona pemanfaatan adalah zona yang letak, kondisi dan potensi alamnya terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya Permenhut No. .56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Pasal 1 6. 171 Zona lainnya adalah zona diluar kedua zona inti dan pemanfaatan karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu Penjelasan Pasal 32 UU No. 51990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. khusus untuk kawasan pemukiman; 2 zona religi, budaya, dan sejarah untuk situs cibedug; dan 3 zona tradisional untuk wilayah adat yang masih berupa hutan. Implikasi dari penyelesaian ini adalah 1 keharusan membuat kesepakatan antara masyarakat lokal dan BTNGHS; dan 2 bekerjasama dengan PEMDA untuk pengelolaan zona khusus dan religi. Opsi yang kedua ialah jika Pemda Kabupaten Lebak mau mengakui status masyarakat adat Kasepuhan Cibedug. Seluruh wilayah adat Kasepuhan Cibedug dikeluarkan dari kawasan TNGH. Langkah yang harus dilakukan Pemda, sesuai dengan UU No.411999 pasal 67, adalah mengeluarkan PERDA dan melakukan rekonstruksi tata batas dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan pihak Departemen Kehutanan. Proses ini dapat difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, dan Tim Tata Ruang Nasional. Pemda juga akan memerlukan data berupa dokumentasi hukum adat dari masyarakat. Proses ini dapat difasilitasi oleh LSM. 2 Desa Sirnarasa, Kec. Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat Untuk Kasepuhan Ciptarasa di Desa Sirnarasa, jika lahan adat tetap dipertahankan tetap diwilayah TNGH. Maka inisiatif penyelesaian dan kewenangan pengaturannya berada dibawah tanggung jawab BTNGHS. Rekomendasi pengaturan ruang ialah membagi wilayah adat kedalam 2 zona, yaitu: zona khusus untuk kawasan pemukiman Ciptagelar dan zona tradisional untuk wilayah adat yang masih berupa hutan. Implikasi dari penyelesaian ini ialah BTNGHS membuat kesepakatan dengan masyarakat lokal untuk menjamin kelestarian fungsi kawasan. Selain itu, bekerjasama dengan PEMDA untuk pengelolaan zona khusus. Namun jika Pemda Kabupaten Sukabumi mau mengakui status masyarakat adat Kasepuhan Ciptarasa maka seluruh wilayah adat Kasepuhan Ciptarasa dikeluarkan dari kawasan TNGH. Implikasinya Pemda Sukabumi harus mengeluarkan PERDA pengakuan masyarakat adat dan melakukan rekonstruksi tata batas dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan pihak Departemen Kehutanan. Proses ini dapat difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, dan Tim Tata Ruang Nasional. Pemda juga akan memerlukan data berupa dokumentasi hukum adat dari masyarakat. Proses ini dapat difasilitasi oleh LSM dan lembaga pendidikan seperti UNPADINRIK.

3 Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor

Untuk Desa Cisarua, karena tidak ada sengketa lahan maka opsi yang dapat diberikan menjadikan masyarakat sebagai mitra dalam mengelola zona pemanfaatan. Implikasinya, BTNGHS membuat kesepakatan antara masyarakat lokal untuk menjamin kelestarian fungsi kawasanan dan bekerjasama dengan PEMDA untuk pengelolaan zona pemanfaatan tersebut.

4 Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor

Persoalan konflik lahan di lokasi ini ialah keberadaan kampung-kampung dan lahan garapan di dalam kawasan TNGH. Jika BTNGHS mempertahankan keberadaan kampung-kampung yang berada didalam kawasan TNGH, maka kampung tersebut sebaiknya diberikan status zona khusus. Sedangkan untuk lahan garapan diberikan status zona tradisional. Implikasinya BTNGHS harus membuat kesepakatan antara masyarakat lokal. Selain itu, BTNGHS sebaiknya bekerjasama dengan PEMDA untuk pengelolaan zona khusus. Sementara, jika masyarakat tetap ingin lahan tersebut berstatus di luar kawasan TNGH maka diperlukan rekonstruksi penegasan tata batas wilayah administrasi desa. Untuk tujuan ini maka peran Pemda sangat penting. Langkah pertama yang perlu dilakukan ialah melakukan inventarisasi dan dokumentasi kawasan. Proses ini sebaiknya dilakukan bersama oleh BTNGHS, Pemda dan LSM yang selama ini sudah mendampingi masyarakat, RMI. Jika terjadi konflik maka dapat melibatkan atau bekerjasama dengan Tim Penegasan Tata Batas Daerah di Tingkat Pusat dan Daerah yang dibentuk oleh Departemen Dalam Negeri. Rekomendasi model pengaturan ruang di lokasi studi dirangkum dan disajikan pada Tabel 63.

B. Pengaturan Kewenangan

Secara konseptual pembagian kewenangan dalam setiap ruang yang digunakan untuk pengembangan ekowisata diilustrasikan pada Gambar 12. Dalam ilustrasi tersebut digambarkan bahwa lokasi pengembangan ekowisata terdapat pada ruang yang membutuhkan intervensi kewenangan baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Tabel 63 Model pengaturan ruang di lokasi studi STAKEHOLDER KUNCI DEPHUTBTNGHS PEMDA LOKASI STUDI PENYELESAIAN 1 IMPLIKASI PENYELESAIAN 1 IMPLIKASI Desa Citorek Menjadikan wilayah adat kedalam 3 zona, yaitu: • ·zona khusus untuk kawasan pemukiman • zona religi, budaya, dan sejarah untuk situs cibedug • zona tradisional untuk wilayah adat yang masih berupa hutan Membuat kesepakatan antara masyarakat lokal dan BTNGHSS. Bekerjasama dengan PEMDA untuk pengelolaan zona khusus dan religi. Mengakui status masyarakat adat sehingga seluruh wilayah adat Kasepuhan Cibedug dikeluarkan dari kawasan TNGHS. Mengeluarkan PERDA pengakuan adat berdasarkan data dari masyarakat. Fasilitasi penetapan tata batas wilayah adat. Desa Sirnarasa Menjadikan wilayah adat kedalam 2 zona, yaitu: • zona khusus untuk kawasan pemukiman Ciptagelar • zona tradisional untuk wilayah adat yang masih berupa hutan Membuat kesepakatan antara masyarakat lokal dan BTNGHSS. Bekerjasama dengan PEMDA untuk zona khusus. Mengakui status masyarakat adat berikut pengakuan terhadap seluruh wilayah adatnya. Mengeluarkan PERDA pengakuan adat berdasarkan data dari masyarakat. Fasilitasi penetapan tata batas wilayah adat. Desa Cisarua Masyarakat menjadi mitra dalam mengelola zona pemanfaatan. Membuat kesepakatan antara masyarakat lokal dan bekerjasama dengan PEMDA untuk zona pemanfaatan. Mendukung pengembangan ekowisata Bekerjasama dengan BTNGHS untuk membangun dan menaga keamanan kawasan. Desa Malasari Kampung yang masuk dalam kawasan TNGH diberi status zona khusus dan untuk lahan garapan diberikan status zona tradisional. Membuat kesepakatan antara masyarakat lokal dan BTNGHSS dan bekerjasama dengan PEMDA untuk zona khusus. Rekonstruksi penegasan tata batas wilayah administrasi desa. Inventarisasi kawasan dan bekerjasama dengan Tim Penegasan Tata Batas Daerah di Tingkat Pusat dan Daerah. Sumber: 1 MacKinnon et al, 1990: 214-222; Pasal 32-34 UU No. 51990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; Peraturan Menteri Kehutanan No. .56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Gambar 12 Konsep pembagian kewenangan dalam pengembangan ekowisata Berdasarkan analisa ruang di setiap lokasi studi ada dua kategori zonasi di dalam taman nasional yang relevan yaitu zona pemanfaatan dan zona lainnya. Sedangkan di luar kawasan taman nasional ada kawasan penyangga. Berikut ini uraian peran dan kewenangan dalam setiap zonasi yang dapat diidentifikasi dari peraturan perundangan yang ada ditambah hasil verifikasi di lapangan. 1. Zona Pemanfaatan Hampir semua stakeholder dapat berperan sebagai pemanfaat di kawasan ini. Namun karena terletak di dalam kawasan TN maka kewenangan pengambilan keputusan tetap berada di bawah pemerintah pusat, Cq. Departemen Kehutanan. Jika dalam zona ini terdapat leuweung cadangan masyarakat lokal, maka pengambilan keputusan harus berdasarkan hasil kesepakatan dengan lembaga adat setempat. Zona ini dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata serta penyediaan sarana dan prasarana terbatas untuk kegiatan ekowisata. 2. Zona Lainnya a. Zona Tradisional : merupakan bagian dari taman nasional dimana masyarakat dapat memanfaatkan SDA-nya secara lestari. Pemerintah Pusat, Cq. Departemen Kehutanan berperan sebagai pengambil keputusan. Lembaga adat dilibatkan dalam pengambilan keputusan jika leuweung cadangan mereka TNGH Kawasan Konservasi Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah Departemen Kehutanan dan BTNGH Pemerintah Daerah Wilayah administrasi desakabupatenprovinsi berada di dalam zona ini. Kawasan ini dapat dimanfaatkan sebagai daerah tujuan wisata alam, dan penyediaan sarana wisata terbatas seperti shelter atau lokasi perkemahan. b. Zona Religi, budaya dan sejarah: zona dimana didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya, danatau sejarah. Di lokasi studi kawasan seperti ini terdapat di Kampung Cibedug. Karena itu, meskipun berada di dalam kawasan TNGH namun karena situs atau peninggalan budaya tersebut merupakan bagian sejarah kelompok masyarakat tersebut maka pengambilan keputusan di zona ini harus melibatkan lembaga adat setempat. Zona ini dapat dimanfaatkan untuk obyek wisata budaya, religi dan sejarah serta pembangunan sarana dan prasarana terbatas juga pintu masuk kawasan TNGH. c. Zona khusus: merupakan bagian dari taman nasional yang digunakan untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebelum ditunjukditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupan. Meskipun berada di dalam kawasan TNGH namun karena terdapat kelompok masyarakat yang sudah bermukim sebelum ada TNGH maka pengambilan keputusan di zona ini harus melibatkan kelompok masyarakat tersebut dan PEMDA. Kondisi ini ditemukan di Kampung Cibedug dan Ciptarasa. Zona ini dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata budaya dan wisata agro. Selain itu, penyediaan sarana dan prasarana wisata serta pintu masuk kawasan TNGH juga dapat dibangun di lokasi ini. 3. Kawasan Penyangga Kawasan ini berfungsi untuk mengurangi benturan antara penggunaan tanah yang tidak sesuai antara kawasan konservasi dan kawasan yang berdekatan. Kawasan ini dibawah kewenangan PEMDA. Kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini diantaranya pembangunan sarana dan prasarana serta fasilitas akomodasi dan transportasi, pintu masuk dan kantor Balai. Model pembagian peran dan kewenangan ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 64. Tabel 64 Model pembagian kewenangan dalam setiap kategori ruang KATEGORI RUANG DAN PERAN STAKEHOLDERS ZONASI 1 MASYARAKAT PEMERINTAH DAERAH PEMERINTAH PUSAT PENDUKUNG I. Taman Nasional 1. Zona Pemanfaatan PelaksanaPemanfaat, Konsultasi PelaksanaPemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan PelaksanaPemanfaat, Konsultasi 2. Zona Tradisional PelaksanaPemanfaat, Konsultasi PelaksanaPemanfaat, Konsultasi PelaksanaPemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan PelaksanaPemanfaat, Konsultasi 3. Zona Religi, budaya dan sejarah PelaksanaPemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan PelaksanaPemanfaat, Konsultasi PelaksanaPemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan PelaksanaPemanfaat, Konsultasi 4. Zona Khusus PelaksanaPemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan PelaksanaPemanfaat, Konsultasi PelaksanaPemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan PelaksanaPemanfaat, Konsultasi II. Kawasan Budidaya Kawasan penyangga PelaksanaPemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan PelaksanaPemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan PelaksanaPemanfaat, Konsultasi PelaksanaPemanfaat, Konsultasi Keterangan: 1 MacKinnon et al. 1990: 214-222; UU No. 24 Tahun1992 tentang Penataan Ruang; Pasal 32-34 UU No. 51990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; Peraturan Menteri Kehutanan No. .56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. 226

VII. KESIMPULAN DAN SARAN