Pemerintah Daerah Stakeholder Kunci

Departemen Kehutanan berkepentingan untuk melaksanakan tugasnya dalam pengurusan kawasan hutan. Demikian juga dengan Dirjen PHKA, BAPLAN, serta Dirjen Inventarisasi dan Tata Guna Lahan yang bertugas melaksanakan pengaturan tata batas dan pengelolaan KPA. Sedangkan BTNGH merupakan unit pelaksana teknis dari Departemen Kehutanan yang melaksanakan pengelolaan KPA di lapangan. Peran Departemen Dalam Negeri Depdagri dalam proses penetapan TNGH terutama pada tahap penataan batas. Menurut Permendagri No. 12006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 1262742SJ2002 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah, tugas Depdagri diantaranya ialah Membentuk Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah PPBD Tingkat Pusat dan menandatangani peta batas daerah. Berdasarkan UU No. 241992 mengenai Penataan Ruang Pasal 19; UU No. 322004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13, 189; Keppres No. 321990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 35, diketahui bahwa dalam proses penetapan taman nasional Menteri Koordinator Tata Ruang Nasional dapat berperan dalam proses penunjukan, penataan batas, dan pemetaan. Stakeholder ini juga dapat berperan sebagai mediator konflik dan koordinator pelaksanaan jika penataan ruangnya meliputi lebih dari satu provinsi. Berdasarkan kewenangan yang ditetapkan secara legal formal, pengaruh ketiga instansi pemerintah pusat terhadap kebijakan TNGH cukup tinggi. Namun demikian, mengingat kebijakan penetapan konservasi kawasan merupakan kebijakan pemerintah pusat diperkirakan semua instansi tersebut bersikap mendukung sejauh komunikasi dan koordinasi antar instansi yang dilakukan Departemen Kehutanan berjalan dengan baik.

B. Pemerintah Daerah

Penetapan TNGH berdampak langsung terhadap pemerintah daerah mulai dari tingkat Desa, Kabupaten sampai Provinsi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, wilayah administrasi Kabupaten yang masuk dalam lokasi studi ialah Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Sedangkan wilayah administrasi Pemerintah Provinsi yang masuk dalam lokasi studi ialah Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat. Dampak langsung yang dirasakan ialah perubahan fungsi lahan, tata batas wilayah, status pemukiman warga, dan status aset obyek wisata daerah. Bagi daerah, kedua dampak tersebut membawa konsekuensi terhadap penataan kembali tata ruang daerah, penduduk berserta penyediaan sarana dan prasarana sosialnya. Menurut peraturan perundangan yang ada, PEMDA dalam proses penetapan taman nasional berperan mulai dari tahap inventarisasi, penunjukan, penataan batas, pemetaan, sampai dengan penetapan. Dalam tahap inventarisasi, menurut PP Np. 252000 tentang Kewenangan Pemerintah dan dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom Pasal 3 5, Pemerintah Provinsi berwenang membuat pedoman penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan kawasan hutan. Dalam tahap penunjukan taman nasional, Menteri Kehutanan menunjuk kawasan tertentu sebagai kawasan pelestarian alam taman nasional harus berdasarkan pertimbangan Gubernur PP No. 681998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 10 dan usulan Pemda Kabupaten Kepmenhut No. 32Kpts-II2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan Pasal 11. Dalam tahap penataan batas, menurut UU No. 241992 Penataan Ruang Pasal 8; UU No. 322004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 189; PP No. 621998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Pasal 2, peran Pemerintah Provinsi ialah mengkoordinasikan penataan ruang yang meliputi lebih dari satu kabupaten dan membuat pedoman penyelenggaraan rekonstruksi dan penataan batas hutan. Sedangkan Pemerintah Kabupaten, menurut Kepmenhut No. 32Kpts-II2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan Pasal 8,9, 12,14 dan 16, mempunyai peran dalam membentuk panitia tata batas, menjadi anggota panitia, memberikan pengakuan bebas hak-hak pihak ketiga terhadap areal yang ditata batas, menyetujui dan menandatangani berita acara tata batas BATB. Sementara Pemerintah Desa menurut kebijakan yang sama juga mempunyai peran dalam hal persetujuan dan penandatanganan BATB. Dalam posisi peran dan kewenangan tersebut, seharusnya pengaruh PEMDA dalam pengambilan keputusan cukup tinggi. Berdasarkan observasi lapangan, sikap perangkat PEMDA terhadap keberadaan TNGH sangat ditentukan oleh Kepala Daerah masing-masing wilayah yaitu Gubernur untuk PEMDA TK I dan Bupati untuk PEMDA TK II. Sikap ini dapat dinegosiasikan jika BTNGH dapat membangun komunikasi, koordinasi, dan kerjasama yang baik dengan jajaran dinas-dinas terkait dibawahnya seperti Dinas Kehutanan, Pariwisata, dan Sosial. Masukan dari dinas terkait kepada pimpinan daerah inilah yang kemudian dapat mempengaruhi keputusan akhir Kepala Daerah. Sampai dengan penelitian dilakukan, berdasarkan rekaman proses penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional RPTN I di Sukabumi pada 7- 9 Agustus 2006, pemerintah daerah Lebak belum menentukan sikap karena belum ada kejelasan tata batas. Demikian juga hasil wawancara dengan narasumber di Dinas Kehutanan dan Dinas Pariwisata di Kabupaten Sukabumi dan Bogor. Hasil wawancara dengan kepala BTNGH 125 diperoleh informasi bahwa BTNGH akan membuat nota kesepahaman MoU dengan tiap-tiap kepala daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, responden dari instansi pemerintah umumnya menunggu hasil kesepakatan tersebut baru akan menyusun program-program yang diperlukan. Sikap Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap keberadaan TNGH sebenarnya dapat dilihat dalam Perda No. 21996 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Provinsi Jawa Barat. Dalam Perda tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengalokasikan sekitar 30 luas wilayahnya untuk kawasan lindung. Hal ini secara tidak langsung mengakui perlunya keberadaan TNGH. Namun demikian, alokasi ruang dan tata batas perlu direkonstruksi ulang sehingga sesuai dengan perencanaan tata ruang provinsi 126 .

C. DPRD