d Konflik di lokasi studi juga sudah sampai tahap konflik yang termanifestasikan
108
. Pada tahap ini kelompok yang berkonflik mulai saling melakukan aksi yang dapat menghambat tujuan kelompok lawannya. Bentuk
aksi dapat berupa agresi
109
terbuka maupun tertutup. Menurut BTNGH 2000a: V-37 sd 44 agresi terbuka pernah terjadi sekitar tahun 1997-1998,
dimana situasi kawasan TNGH sempat tidak aman sehingga memerlukan bantuan operasi gabungan antara ABRI dan Pemda setempat. Berdasarkan
wawancara dengan narasumber dan observasi lapangan, agresi ini kemungkinan terjadi akibat perlawanan masyarakat Desa Malasari
110
yang menuntut lahan garapan yang kini dikuasai perkebunan teh dan warga Desa
Cisarua
111
yang tidak menerima perilaku polisi hutan. Sedangkan agresi tertutup umumnya dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan. Salah satunya
dengan tetap bertahan untuk bermukim dan berladang di wilayah adatnya. Intensitas konflik ini dipetakan dalam bentuk hubungan antar aktor, utama
dan pendukung. Berdasarkan pemetaan tersebut, ada enam tipe hubungan antar stakeholder. Keenam tipe hubungan tersebut ialah hubungan: dengan konflik,
aliansi
112
, kerjasama
113
, struktural formalkoordinasi, koordinasi
114
yang tidak optimal, dan komunikasi
115
yang tidak optimal Gambar 7.
5.1.4 Penanganan Konflik
Dalam merespon
”gangguan”
116
atau konflik, BTNGH sudah melakukan beberapa pendekatan diantaranya dengan melakukan pembinaan daerah
penyangga. Sampai dengan tahun 2004, program pembinaan daerah penyangga ini
108
Konflik yang termanifestasikan mencapai bentuk perilaku penuh konflik yang didalamnya termasuk: sabotase, agresi terbuka, apatis, penarikan diri, dan kinerja yang minimal Winardi 2003.
109
Agresi : perbuatan bermusuhan yang bersifat penyerangan fisik atau psikis terhadap pihak lainnya Depdiknas 2005: 13.
110
Hasil interview dengan narasumber dari BTNGH, PT Perkebunan Nirmalasari, RMI, dan masyarakat Desa Malasari menyebutkan bahwa pada waktu itu masyarakat berusaha untuk mengambil alih kembali lahan hak guna usaha mereka dari
PT Perkebunan Nirmala. Sementara kaum perempuannya melakukan perlawanan dengan tetap bercocok tanaman Hendarti 2004 dan Hidayati 2004.
111
Hasil interview dengan narasumber dari masyarakat Desa Cisarua dan BTNGH menyebutkan bahwa konflik di Desa Cisarua, dipicu oleh perilaku Polisi Hutan yang mereka anggap tidak manusiawi dan semena-mena.
112
Aliansi ialah ikatan antara dua kelompok atau lebih dengan tujuan pencapaian tujuan politik Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2005:29.
113
Kerjasama ialah hubungan dua kelompok atau lebih dalam suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama untuk mencapai tujuan bersama Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2005:554.
114
Koordinasi ialah hubungan yang mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan atau kegiatan tersebut tidak saling bertentangan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2005:593.
115
Komunikasi ialah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2005:585.
116
Gangguan ialah hal yang menyebabkan ketidaklancaran, halangan atau rintangan Depdiknas 2005:332
sudah mencakup 7 Desa di Kabupaten Sukabumi
117
, 4 Desa di Kabupaten Bogor
118
, dan 13 Desa di Kabupaten Lebak
119
Tabel 26. Berkaitan dengan program pembinaan daerah penyangga ini, kecuali Kampung Cibedug, tiga lokasi
studi lainnya dijadikan lokasi pengembangan ekowisata. Tabel 26 Pembinaan daerah penyangga TNGH
No Tujuan Program
Kegiatan
1. Memberikan dan meningkatkan wawasan, pengetahuan dan
keterampilan masyarakat tentang pentingnya konservasi
a Pelatihan pemanduan ekowisata b Pelatihan budidaya pertanian
c Pelatihan budidaya ulat sutra d Pelatihan beternak kambing dan domba potong
2. Meningkatkan ketrampilan dalam berwirausaha
a Pembentukan Koperasi Usaha Konservasi b Bantuan ternak dengan sistem bergulir
c Bantuan bibit tanaman pertanian d Bantuan bibit tanaman keras
3. Pendekatan sosial-budaya
a Turut dalam acara sarasehan masyarakat Kasepuhan b Membina dan mendukung upaya pelestarian budaya
masyarakat kasepuhan di sekitar kawasan TNGH. 4.
Menjalin kemitraan a Pembentukan kader konservasi
b Pembentukan pengamanan swakarsa Sumber: diolah dari Widada, 2004: 65-67
Selain pembinaan daerah penyangga, usaha lain yang dilakukan BTNGH ialah menawarkan opsi transmigrasi atau resetlement kepada warga kasepuhan Cibedug
dan Ciptarasa. Namun tawaran ini ditolak. Sedangkan untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi, BTNGH mengundang perwakilan instansi pemerintah
pusat dan daerah terkait pada acara workshop, seminar, Focus Group Discussion FGD dan konsultasi publik.
Usaha penyelesaian konflik juga dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek, misalnya, sejak tahun 2000
memperjuangkan status adat dengan difasilitasi oleh LSM, RMI
120
. Selain membuat dokumentasi hukum adat dan beraliansi dengan masyarakat kasepuhan
lainnya dalam forum Kasepuhan Banten Kidul, mereka juga melobi pemerintah daerah. Sampai studi ini dilakukan, proses untuk mendapat pengakuan dari
PEMDA masih berlangsung.
117
Desa Kabandungan, Cipeuteuy, hamerang, Sampora, Cikelat, Cicadas, dan Sirnaresmi.
118
Cileuksa, Pasirmadang, Purasari, dan Purabakti.
119
Sirnagalih, Situmulya, Kujangsasi, Citorek, Cikate, Cilebang, Cirompang, Sukamaju, Cituja, Majasari, Lebakgedok, dan Lebaksitu.
120
Berdasarkan wawancara dengan narasumber dari warga kasepuhan dan RMI.
Komunikasi tidak optimal
BTNGH
Masyarakat
Adat Non-
Adat
Gambar 7 Pemetaan konflik
PEMDA TK I II Dinas
Terkait PT
LSM
LATIN RMI
YEH PEKA
SWASTA
Kecamatan dan Desa
DEPHUT INSTANSI
PUSAT TERKAIT
Koordinasi tidak optimal
Keterangan:
Hubungan struktural Kerjasama
Konflik
DONOR
Aliansi
120
Selain persoalan teknis seperti kapasitas masyarakat dan pendanaan, faktor yang menjadi hambatan untuk mendapat pengakuan ini ialah perilaku elit politik
yang menjadikan perjuangan masyarakat ini menjadi komoditas politik. Misalnya untuk meraih suara dalam pencalonan bupati.
Di Desa Sirnarasa, masyarakat kasepuhan bekerja sama dengan para peneliti dari perguruan tinggi dan instansi pemerintah untuk mendokumentasikan
hukum adat dan sejarah mereka. Seperti Kasepuhan Cibedug, Kasepuhan Ciptarasa beraliansi dengan kelompok Kasepuhan Banten Kidul lainnya untuk
memperoleh pengakuan dari Pemda. Disisi lain, sebagai bentuk kompromi dengan BTNGH, kasepuhan Ciptarasa membentuk PAMSWAKARSA untuk membantu
menjaga hutan. Dengan difasilitasi oleh LSM, LATIN, mereka juga mengusulkan program kemitraan melalui program PHBM. Namun, sampai studi ini dilakukan
usulan belum mendapat kepastian dari pihak PERHUTANI. Padahal Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi sudah menerbitkan PERDA No. 132003 mengenai
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM dan Surat Keputusan Bupati Sukabumi No. 4072004 tentang Prosedur tetap PHBM di Kabupaten Sukabumi
untuk mendukung program tersebut. Di Desa Malasari, untuk menghindari terulangnya klaim tanah dari pihak
luar, masyarakat mengembangkan konsep Kampung dengan tujuan konservasi KDTK dan membuat pemetaan partisipatif yang difasilitasi RMI. Namun
sayangnya hasil pemetaan partisipatif ini malah tidak digunakan warga karena setelah dihitung, luas wilayah desa bedasarkan pemetaan partisipatif ternyata lebih
kecil yaitu 4.750 Ha Hanafi et al. 2004:64 dari luas wilayah desa versi pemerintah seluas 8.262,22 Ha Monografi Desa Malasari 2006.
Menurut Malik
et al. 2003 dan Winardi 2003, secara teoritis konflik dengan karakteristik seperti yang diuraikan sebelumnya dapat diselesaikan dengan
cara: • mengangkat kepermukaan konflik laten agar dapat ditangani lebih lanjut;
• meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi agar perbedaan persepsi dan
informasi dapat diselesaikan; dan • mengidentifikasi dan mengatasi akarsumber penyebab konflik yang
termanifestasikan atau konflik terbuka.
Karakteristik konflik di masing-masing lokasi studi dirangkum dan disajikan pada Tabel 27.
5.2 Analisis Institusi Penetapan TNGH