Adimihardja 1992; Alikodra 1992, Galudra 2006; Suharyono 2007; dan hasil observasi lapangan. Di bawah pemerintahan Republik Indonesia, konflik berawal
ketika pada tahun 1961 Kawasan Gunung Halimun dan sekitarnya ditetapkan sebagai Cagar Alam dan dikelola oleh Perum Perhutani Harada et al. 2001;
Widada 2004:46.
5.1.2 Faktor-faktor Penyebab Konflik
Ada tiga teori yang dapat membantu untuk menjelaskan faktor penyebab konflik di TNGH. Ketiga teori ini ialah teori kebutuhan manusia, teori hubungan
masyarakat, dan teori transformasi konflik Malik et al. 2003; van der Merwe 1997 dalam Fisher et al. 2001. Berikut uraian masing-masing teori tersebut.
a. Teori Kebutuhan Manusia membantu menjelaskan fenomena konflik ketidaksepakatan status lahan dan ketidakpastian akses di TNGH. Berdasarkan
asumsi dasar teori ini, konflik kepentingan disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi.
Kondisi ini dirasakan oleh hampir semua responden di lokasi studi. Keamanan, identitas, pengakuan, dan partisipasi sering merupakan inti
pembicaraan. Sasaran yang dapat dicapai dari konflik menurut teori ini adalah membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan
mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; dan mencapai
kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. b. Teori Hubungan Masyarakat membantu menjelaskan konflik perbedaan sistem
nilai dan ketidaksepakatan tata batas. Berdasarkan asumsi dasar teori ini, konflik yang berasal dari perbedaan informasi dan hubungan manusia
disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Di
lokasi studi, perbedaan informasi dapat diketahui dari perbedaan dokumentasi sejarah dan pemetaan kawasan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat lokal. Klaim hak atas lahan dan tata batas ditetapkan berdasarkan sudut pandang masing-masing pihak. Sulit mencapai titik temu. Polarisasi
persoalan semakin diperlebar dengan hadirnya pihak ketiga, LSM. Dengan
keterbatasan kapasitas personilnya dalam memahami konflik dan proses penanganannya, pihak ketiga mencoba menyelesaikan persoalan dengan
memberikan solusi yang tidak tepat sasaran. Sebagai contoh ialah kasus sertifikasi lahan milik adat di Desa Citorek untuk menghindari masuknya
lahan adat tersebut kedalam wilayah TNGH. Padahal, jika mengacu pada syarat pengakuan status masyarakat adat dalam peraturan perundangan, solusi
ini dapat mengancam pengakuan status adat kasepuhan tersebut. Penyelesaian konflik yang disarankan oleh teori hubungan masyarakat ialah meningkatkan
komunikasi, saling pengertian dan toleransi antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
c. Konflik perbedaan sistem nilai juga dapat dipahami dengan pendekatan Teori Transformasi Konflik. Menurut teori ini konflik yang bersumber dari masalah
struktural disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Di lokasi
studi ketidaksetaraan ini dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Berdasarkan observasi pada beberapa pertemuan untuk menyusun kebijakan
pengelolaan TNGHS Lampiran 1, BTNGH hanya mengundang perwakilan dari institusi akademis, Pemda, dan LSM. Masyarakat lokal direpresentasikan
oleh LSM
100
. Mereka hanya dilibatkan dalam proses konsultasi dan pengumpulan informasi. Penyelesaian konflik yang ditawarkan menurut teori
ini adalah mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;
meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang; dan mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan
pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi, dan pengakuan. Selain ketiga teori mengenai faktor penyebab konflik tersebut, fenomena
konflik di TNGH dapat dilihat berdasarkan teori mengenai hubungan antar stakeholdernya. Teori konflik yang dikembangkan oleh Lewis Coser menyebutkan
bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok atau dapat membangun kohesi dengan kelompok lain melalui aliansi. Di TNGH fenomena
ini dapat dilihat dari terbentuknya aliansi antar kelompok masyarakat dan aliansi
100
hasil wawancara dengan staf BTNGH dan JICA 7-08-2006 dan 21-02-2007.
antara kelompok masyarakat dengan kelompok pendukung LSM
101
. Teori Coser ini juga menyebutkan bahwa konflik dapat mengaktifkan
peran individu yang tadinya terisolasi dan membantu fungsi komunikasi yang sebelumnya macet. Fenomena ini dapat ditemukan disemua lokasi studi. Melalui
observasi pada pertemuan formal maupun non-formal yang diadakan para pihak, masyarakat lokal, baik warga Kasepuhan maupun yang Non-Kasepuhan,
memiliki tokoh-tokoh yang berperan aktif dalam proses penyelesaian konflik. Secara umum, konflik di TNGH juga mendukung teori konflik yang
dikembangkan oleh Randall Collins. Asumsi dasar dari teori ini menyebutkan bahwa orang dipandang mempunyai sifat sosial dan mudah berkonflik dalam
kehidupan sosialnya. Manusia juga berupaya mengoptimalkan status subyektifnya”. Hal ini tergantung pada sumberdaya mereka maupun sumberdaya
orang lain dan dengan siapa mereka berurusan. Stratifikasi sosial dipandang sebagai institusi yang menyentuh begitu banyak ciri kehidupan dan penyebab
timbulnya konflik. Kondisi ini dapat dilihat di lokasi studi. Dalam proses negosiasi, baik BTNGH maupun masyarakat lokal selalu berusaha
mengoptimalkan kepentingannya. BTNGH dengan program sterilisasi kawasan dari aktifitas manusia. Disisi lain, masyarakat lokal dengan kebutuhan mengenai
lahan garapannya. Berdasarkan hasil identifikasi jenis konflik serta pembahasan teori konflik,
faktor-faktor yang diasumsikan mempengaruhi konflik di TNGH diantaranya: 1 hubungan antar manusia yang dapat dilihat dari perbedaan persepsi
102
terhadap nilai SDA. Faktor ini juga dapat dilihat dari kurangnya kualitas dan kuantitas
komunikasi serta koordinasi antara BTNGH dengan stakeholder lainnya
103
. 2 masalah struktural karena adanya perbedaan posisi dalam pengambilan
keputusan dan kewenangan yang menyebabkan ketimpangan akses dan kontrol.
3 perbedaan informasi karena metode pengumpulan dan cara menterjemahkan data yang berbeda. Kondisi ini dapat dilihat dari bagaimana masing-masing
pihak mendokumetasi sejarah pengelolaan kawasan. Misalnya dokumen yang
101
Contohnya Persatuan Adat Banten Kidul dan Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat-Banten FKMHJBB.
102
Persepsi adalah kemampuan untuk menerima; suatu tindakan atau hasil dari sebuah proses menerima suatu kondisi diterjemahkan dari The Merriam-Webster Dictionary oleh Woolf et al. 1976.
103
Hasil observasi lapangan dan wawancara dengan narasumber baik dari masyarakat, LSM maupun staf BTNGH.
dikeluarkan BTNGH hanya mencantumkan sejarah pengelolaan oleh pemerintah tanpa menyajikan rentang waktu dimana masyarakat lokal sudah
berada dilokasi yang sama. Contoh lainnya dapat dilihat pada ketidaksepakatan mengenai tata batas di Desa Citorek dan Malasari. Di kedua
lokasi tersebut, ada dua versi tata batas yaitu versi BTNGH versus versi Pemerintahan DesaKecamatan.
4 masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar yaitu pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat lokal versus kepentingan konservasi dan
pelestarian alam untuk DephutBTNGH. Rangkuman mengenai penyebab konflik dan faktor yang mempengaruhinya ini
disajikan pada Tabel 25.
5.1.3 Tipe Konflik