sesuai, persaingan untuk mendapatkan sumberdaya. Dalam masalah kehutanan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Center for International Forestry Research CIFOR terhadap berita koran dan pengamatan lapangan, ada lima jenis kegiatan kehutanan yang dapat memicu
terjadinya konflik. Kelima jenis kegiatan ini yaitu: perambahan hutan, pencurian kayu, penataan batas, perusakan lingkungan, dan alih fungsi atau status kawasan
Wulan et al. 2004.
2.2.4 Tahapan Konflik
Louis R. Pondy Winardi 2003:255-262 mengembangkan suatu model untuk memahami dan menangani konflik dalam keorganisasian. Ia memandang
konflik sebagai proses yang terdiri dari lima tahap. Kelima tahap tersebut ialah: a Tahap 1 konflik laten
31
: tahap dimana organisasi memiliki potensi konflik yang disebabkan karena berbagai faktor perbedaan yang sifatnya vertikal dan
horisontal. b Tahapan 2 konflik yang dipersepsi: tahap dimana suatu kelompok atau sub-
unit merasa kepentingannya terbengkalai karena kelompok lain. Pada tahap ini mulai dianalisis sumber penyebab konflik. Masing-masing kelompok harus
dapat mengidentifikasi problem apa yang dihadapi mereka sehingga menimbulkan konflik.
c Tahap 3 konflik yang dirasakan: tahap dimana masing-masing kelompok mulai memberikan reaksi dan mengembangkan aliansi serta mentalitas dalam
wujud ”kita-mereka”. Pada tahap ini kerjasama dan efektifitas organisasi mulai menyusut.
d Tahap 4 konflik termanifestasikan
32
: tahap dimana kelompok yang berkonflik mulai saling melakukan aksi yang dapat menghambat tujuan kelompok
lawannya. Bentuk aksi dapat berupa agresi terbuka atau tertutup. Agresi tertutup diantaranya dengan tidak melakukan suatu tindakan sehingga
pencapaian tujuan kelompok lain jadi tertunda atau terhambat. e Tahap 5 Setelah konflik usai conflict aftermath: muncul kembali atau
31
Konflik laten menyediakan kondisi anteseden bagi konflik dalam bentuk : persaingang untuk mendapatkan sumber- sumberdaya yang langka; konflik peranan; dan divergensi pada tujuan-tujuan kelompok Winardi 2003.
32
Konflik yang termanifestasikan mencapai bentuk perilaku penuh konflik yang didalamnya termasuk: sabotase, agresi terbuka, apati, penarikan diri, dan kinerja yang minimal Winardi 2003.
tidaknya suatu konflik tergantung pada bagaimana pertama kali konflik diselesaikan. Jika konflik diselesaikan sebelum mencapai tahap 4, maka
hubungan kerjasama kedepan akan lebih baik.
2.2.5 Metode Penanganan Konflik
Menurut Stoner dan Freeman 1989 dalam Winardi 2003 konflik dapat dikurangi ataupun diselesaikan. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk
mengurangi konflik diantaranya : pemberian informasi yang setara, peningkatan komunikasi, dan negosiasi di level pemimpin kelompok. Sedangkan beberapa
metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik diantaranya: dominasi atau supresi, kompromi, pemecahan problem secara terintegrasi konsensus,
konfrontasi atau penggunaan tujuan superordinat. Malik et al 2003 menyebutkan ada dua cara yang dapat ditempuh dalam
menangani konflik. Pertama dengan menempuh jalur pengadilan, dan kedua melalui jalur di luar peradilan. Penyelesaian konflik melalui pengadilan
membutuhkan waktu yang lama dan dana yang tidak sedikit. Karena itu dibuatlah mekanisme penyelesaian di luar pengadilan
33
. Ada tiga bentuk penyelesaian konflik melalui jalur di luar pengadilan yaitu arbitrase, mediasi dan negosiasi.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa
34
. Lembaga arbitrase hanya dapat digunakan sebagai lembaga penyelesaian sengketa jika para pihak yang melakukan perjanjian telah
menyepakatinya. Ada dua cara untuk melakukan arbitrase yaitu dengan membuat pactum de compromittendo
35
dan akta kompromi
36
. Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan tentang sang arbiter, atas permintaan pihak yang
berkonflik, arbiter diangkat oleh hakim yang berwenang. Karena penyelesaian sengketa melalui lembaga ini dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian
33
Dasar hukum penyelesaian konflik di luar jalur pengadilan: Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ; Pasal 6 ayat 1 UU No 301999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah ; dan Pasal 30, 31, dan 33 UU No 231997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
34
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 301999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah.
35
pactum de compromittendo [Pasal 615 ayat 3 Rv]: merupakan klausul dalam perjanjian yang menentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada seorang atau majelis wasit. Pada waktu pembuatannya perselisihan
belum terjadi Malik et al. 2003.
36
Akta kompromi: merupakan perjanjian khusus yang dibuat setelah terjadinya perselisihan guna mengatur serta mengajukan perselisihan yang terjadi itu kepada seorang wasit untuk diselesaikan. Di dalam akta kompromi ditentukan
batas waktu untuk memutuskan sengketa oleh wasit. Kalau tidak ditentukan, batas waktunya adalah enam bulan Malik et al. 2003.
sengketa dan putusan arbitrase bersifat final serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak putusan arbitrase tidak dapat digugat lagi Pasal 60
UU No. 301999. Pada praktiknya lembaga arbitrase hanya digunakan untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan.
Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa yang menyangkut bantuan dari pihak ketiga yang netral dalam upaya negosiasi dan penyelesaian
sengketa. Hardjasoemantri 1999:381 dalam Malik et al. 2003. Namun, menurut Hadimulyo 1997 dalam Malik et al. 2003, pihak ketiga atau mediator tersebut
tidak ikut serta mengambil keputusan. Beberapa kemungkinan dalam mediasi :
• mediasi di antara para pihak yang setara, sejajar, seimbang dimana mediator tidak memiliki kekuasaan dan wewenang otoritatif untuk
mengambil keputusan; • mediasi di antara para pihak yang bersifat vertikal, yang satu lebih tinggi
derajatnya dibandingkan dengan yang lainnya. Mediator di sini juga tidak memiliki kekuasaan dan wewenang otoritatif untuk mengambil keputusan;
• mediator yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan para pihak yang bersengketa namun mediator di sini dituntut untuk mengendalikan
diri agar tidak menggunakan kekuasaan atau wewenang untuk pengambilan keputusan.
Negosiasi atau berunding merupakan proses diskusi, dialog dalam perundingan-perundingan yang berhubungan dengan ide, informasi dan pilihan-
pilihan dari para pihak yang terlibat konflik. Menurut Bangert dan Pirzada Malik et al. 2003 ada tiga tahap dalam negosiasi yaitu: faktor-faktor pra-penerimaan,
proses dan hasil. Pada tahap pertama, kondisi yang harus ada untuk semua pihak untuk masuk kepada ruang negosiasi tanpa kekerasan dan harus memiliki
kemauan untuk menyelesaikan konflik. Tahap kedua, proses, adalah melakukan komunikasi berulang-ulang tentang bentuk inti dari negosiasi. Banyak faktor
penentu dalam proses ini termasuk: komposisi tim negosiasi, persepsi pihak lawan berkaitan dengan pihak lainnya, sifat dasar dan saluran-saluran komunikasi,
kepentingan relatif manusia versus isu, struktur negosiasi, gaya penawaran, dan manfaat pihak ketiga. Tahap terakhir, hasil, ditentukan oleh dua faktor yaitu 1
masukan menuju pengambilan keputusan decision making oleh kedua belah
pihak; dan 2 format yang digunakan untuk membuat persetujuan form of agreement. Pada faktor pertama, proses pengambilan keputusan adalah ciri dasar
dari kegiatan negosiasi; proses ini harus menjawab bagaimana keputusan itu dibuat secara partisipatif. Sedangkan pada faktor kedua, ketika sebuah
kesepakatan dihasilkan, satu pertanyaan penting adalah apakah kesepakatan tersebut berbentuk formal atau informal, karena kebanyakan kesepakatan dibuat
secara formal dan tertulis. Dalam situasi tertentu, suatu kesepakatan tertulis mungkin ditambahkan melalui suatu kesepahaman informal.
2.2.6 Metode Analisis Konflik